• Tidak ada hasil yang ditemukan

merupakan kemitraan antara berbagai stakeholder dengan mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam lokal dalam rangka pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja (Blakely dan Bradshaw 2002). Banyak komunitas yang dituntut untuk kompetitif dalam mengambil kesempatan menciptakan usaha baru dengan menggunakan sumber daya lokal baik itu dari alam, sosial, institusi, dan fisik. Oleh karenanya, komunitas memerlukan kemitraan (partnership) untuk mengidentifikasi aset sehingga dapat membangun ekonomi lokal.

Pengembangan ekonomi lokal (PEL) terdiri dari 4 komponen, antara lain: lokalitas, basis ekonomi, sumber daya manusia, dan komunitas. Keempat aspek tersebut mengalami reformulasi dari konsep lama menuju konsep baru, di mana konsep baru tersebut lebih bersifat kolektif dan kerja sama antar berbagai stakeholder setempat. Lokalitas adalah lingkungan yang berkualitas dan kapasitas komunitas yang kuat. Basis ekonomi merupakan jejaring klaster industri kompetitif, sementara sumber daya manusia menekankan kualitas sumber daya manusia yang terampil dan inovatif. Komunitas menekankan kolaborasi kemitraan dari banyak grup komunitas dibutuhkan untuk mendirikan organisasi yang luas untuk mendukung industri yang kompetitif.

Desa Bojong Rangkas yang sudah menjadi sentra industri tas di Kabupaten Bogor dapat memberikan kesempatan kerja yang luas bagi para pengrajin atau pengusaha pemula dan peningkatan pendapatan karena industri tas memiliki pangsa pasar yang bagus bagi dunia fashion dan lainnya. Perkembangan industri tas di Desa Bojong Rangkas tidak terlepas dari peranan para pelaku usaha, masyarakat, perusahaan, pemerintah setempat, dan stakeholder lain yang berkaitan dalam pengembangan perekonomian lokal. Penelitian ini menggunakan keempat aspek PEL yang disesuaikan dengan kondisi lapang.

Aspek Lokalitas

Lokalitas dalam penelitian ini merupakan sarana penunjang yang tersedia di desa dalam mendukung para pengusaha untuk menjalankan usahanya. Sarana tersebut terdiri dari lokasi desa, kondisi jalan desa, akses ke transportasi publik, jaringan listrik, dan jaringan komunikasi/internet. Aspek lokalitas dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 29 Jumlah dan persentase responden menurut aspek lokalitas

No. Aspek Lokalitas Jumlah (orang) Persentase

1 Rendah 0 00.00

2 Sedang 6 17.14

3 Tinggi 29 82.86

Total 35 100.00

Sumber: Data Primer (2016)

Tabel 29 menunjukkan bahwa peranan sarana atau infrastruktur yang ada di desa termasuk kategori tinggi, yaitu sebesar 82.86 persen dan sisanya sebesar

17.14 persen termasuk kategori sedang dalam mendukung atau memfasilitasi industri tas di Desa Bojong Rangkas.

Sarana dan prasarana, meliputi akses jalan raya, listrik, air, telekomunikasi yang merupakan faktor penting untuk mendukung kelancaran usaha (Bank Indonesia 2015). Berdasarkan Tabel 29, sarana dan prasarana di Desa Bojong Rangkas sudah mendukung kelancaran usaha industri tas. Merujuk dari kondisi geografis pada kondisi umum Desa Bojong Rangkas, tata lahan didominasi oleh pemukiman masyarakat. Pemukiman yang dominan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai usaha tas dan berbagai variasinya di rumah masing-masing, khususnya RW 04. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap rumah dan gang memiliki usaha tas tersendiri. Namun, akses kendaraan roda empat ke RW 04 agak sulit karena jalannya yang sempit sehingga untuk memasuki kawasan home industry, yang letaknya agak ke dalam, lebih mudah ditempuh dengan kendaraan roda dua. Hal tersebut juga menyebabkan tidak adanya angkutan umum yang dapat melewati daerah tersebut melainkan ojeg atau becak. Jaringan listrik dan komunikasi/internet dapat dikatakan bagus karena para pengusaha dapat menjalankan usahanya yang menggunakan mesin jahit berlistrik walaupun ketika hujan terkadang mengalami padam lampu. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari beberapa responden dan informan, jalanan aspal utama di RW 04 tersebut masih tergolong baru sekitar 5 tahun karena mendapat bantuan dari perusahaan tambang. Di samping itu, akses menuju RW 04 juga sudah mudah karena ujung jalanan RW 04 yang dahulunya buntu, sekarang sudah bisa dilalui karena jalanan tersebut diperpanjang oleh bantuan perusahaan tambang. Lokasi desa juga termasuk strategis karena dekat dengan perkotaan dan salah satu jalanan utama terpadat di Kabupaten Bogor sehingga para pengusaha mudah untuk proses pengiriman barang ke tempat lainnya. Lokasi yang strategis dinilai sebagai penghubung transportasi yang murah antara pasar dan bahan mentah. Akses transportasi yang cukup mudah juga disebabkan kepemilikan kendaraan roda dua atau roda empat yang dimiliki pengusaha sebagai alat transportasi. Transportasi adalah salah satu faktor dalam produksi barang dan jasa, menimbulkan biaya bagi produsen. Menurut logika ekonomi tradisional, perbaikan infrastruktur akan menurunkan biaya transportasi (melalui singkatnya waktu perjalanan dan biaya operasional kendaraan) yang membuat produsen dapat menjual barangnya lebih murah dan diimbangi dengan peningkatan permintaan dan produksi (Muniroh 2011). Para pengusaha dan pengrajin merasa letak desa yang cukup strategis di dekat perkotaan dan jalan yang ramai dapat menambah nilai tambah untuk media promosi industri tas. Masyarakat sekitar juga sudah mengenal kawasan sentra industri tas di Desa Bojong Rangkas tersebut dengan bantuan papan nama di sebelah kiri jalanan utama Kecamatan Ciampea sebagai pintu masuk walaupun bukan pintu masuk utama.

Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi dalam penelitian ini melihat seberapa banyak pemesan yang rutin memesan tas, dompet, dan semacamnya hampir setiap bulannya. Jumlah pemesan yang rutin dapat menentukan seberapa luas jaringan mitra yang dimiliki responden. Jumlah pemesan dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 30 Jumlah dan persentase responden menurut aspek ekonomi

No. Aspek Ekonomi Jumlah (orang) Persentase

1 Rendah 7 20.00

2 Sedang 23 65.71

3 Tinggi 5 14.29

Total 35 100.00

Standar deviasi = 7 mitra ; Rataan = 5 mitra

Sumber: Data Primer (2016)

Berdasarkan Tabel 30, aspek ekonomi pengusaha tas di Desa Bojong Rangkas termasuk kategori sedang, yaitu sebanyak 23 responden dari total 35 responden (65.71 persen) yang memiliki jumlah pemesan/mitra antara 2-9 orang. Kategori rendah sebesar 20 persen dan sebanyak 7 responden yang memiliki hanya 1 pemesan/mitra. Sementara kategori tinggi, yang memiliki jumlah pemesan/mitra lebih dari 9 orang, hanya sebanyak 5 responden dan sebesar 14.29 persen.

Pengusaha tas di Desa Bojong Rangkas memiliki pemesan/mitra yang cukup banyak dan luas. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang hubungan kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dan menengah dan atau dengan perusahaan besar disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau perusahaan besar dengan memperlihatkan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

Kerja sama atau kemitraan yang cenderung banyak dan luas tersebut dapat meningkatkan keuntungan, melancarkan kegiatan produksi, memperluas pasar, dan peningkatan omzet. Kenaikan omzet dan keuntungan dapat terjadi melalui tambahan jumlah pesanan dari berbagai perusahaan atau instansi pemerintah karena sistem produksi secara massa atau bersifat pesanan. Jumlah pemesan/mitra yang rutin memesan hampir setiap bulannya berasal dari berbagai kalangan, antara lain perseorangan, toko eceran, toko grosir, toko berbasis online, perusahaan swasta, maupun instansi pemerintah. Jumlah pemesan/mitra yang rutin memesan dapat dikatakan fluktuatif karena tergantung dari jumlah pesanan yang diperoleh pengusaha tas. Mereka juga menerima pesanan dari pemesan/mitra lain karena hal tersebut merupakan kesempatan meraih keuntungan yang lebih banyak, pemesan/mitra yang sudah ada sedang sepi, dan tidak terikat juga.

Gambar 7 Prinsip kemitraan berdasarkan jumlah responden

Berdasarkan wawancara mendalam dan Gambar 7, selain banyaknya jumlah pemesan/mitra yang mereka miliki, para pengusaha tas di Desa Bojong Rangkas memiliki kualitas hubungan yang kuat dengan mereka. Pengusaha tas dan pemesan saling mempercayai dan saling membutuhkan dalam bertransaksi jual beli dan pemasaran. Pemesan memberikan bantuan dana berupa Dana Pertama (DP), bahan-bahan, dan beberapa pinjaman mesin jahit sebagai wujud kepercayaannya. Selain bantuan, kesepakatan yang terjadi di antara mereka adalah harga, bahan baku, dan model. Berdasarkan kesepakatan dan bantuan yang telah diperoleh, hampir sebagian besar dari mereka merasa mandiri dan ketergantungan sekaligus. Mandiri dari segi punya usaha sendiri dibandingkan dahulu masih kerja di usaha orang lain, dari segi keterampilan, dan bisa saja mencari mitra baru (menerima pesanan lain) jika mitra yang sudah ada sepi atau merugikan. Sedangkan dari segi ketergantungan adalah segi permodalan yang masih disediakan para pemesan dan pemasaran. Dari segi pemasaran, para pengusaha tas tidak menjual sendiri, belum memiliki merek sendiri, tidak tahu cara memasarkan sendiri (modal pengetahuan pemasaran kurang), dan tidak memiliki toko sehingga pemasaran dilakukan oleh para mitra/pemesan. Hal tersebut juga berkaitan dengan banyaknya sistem produksi secara massa (bersifat pesanan) merupakan bentuk pasar yang bersifat “buyer

market” atau produk untuk melayani pasar dalam negeri dan pasar ekspor (Thoha

dkk 2001). Penjualan yang dilakukan oleh para mitra didominasi penjualan untuk kebutuhan dalam negeri. Namun ada beberapa responden yang pernah melayani pesanan dari para mitra mereka yang mengekspor ke luar negeri seperti Timur Tengah dan Asia Timur.

Hubungan yang terjadi antara para pengusaha dan para mitra sedikit yang bersifat kekerabatan. Hubungan kekerabatan bisa terjalin biasanya jika mereka sudah lama bekerja sama namun, selain itu, mereka hanya berhubungan sebatas bisnis dan kesepakatan antara mereka (utang, jumlah pesanan, tanggal pengiriman). Dapat disimpulkan hubungan antara pemesan dan pengusaha terjalin dalam hubungan saling menguntungkan dari segi ekonomi. Hubungan kepercayaan lainnya adalah mereka percaya bahwa pengrajin/pengusaha dapat menyelesaikan

34 35 35 35 15 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Ju m lah R esp o n d en

pesanan sesuai kesepakatan, pemesan bisa memasarkan, dan suatu saat memesan kembali ke pengrajin/pengusaha. Hal tersebut didukung oleh pernyataan beberapa responden berikut ini.

“Ya kepercayaan lah dengan para mitra. Kan dikasih DP juga.” – E (55 tahun)

“Partner bisnis aja sih. Gak kekerabatan. Gak ada kesepakatan terikat juga sama dia. Jadi bisa nerima orderan dari yang lain dan mereka gak keberatan. Asal kerjaan sama dia beres. Saya juga gak ngandelin di satu bos. Kadang-kadang nyari bos juga yang lain, takutnya sepi semua, nanti kerja macet. Makanya kalau ada yang order kecil-kecil saya kerjain juga. Tapi hubungan gak putus lah, suka masuk-masukin barang aja.” – SK (31 tahun)

“Temen deket karna udah lama sih. Tapi mandiri sih bukan ketergantungan. Walaupun dia gak mesen ke saya, saya bisa

ngelemparin ke yang lain.”– J (30 tahun)

“Ketergantungan soalnya pemasarannya kan kalau gak ke situ, ke mana lagi. Pokoknya naro barang aja. Emang masalahnya di pemasaran. Kan saya produksi aja, pemasarannya tergantung si toko itu. Harga, model, kualitas. Toko maunya gini, dibuatin, kadang-kadang model sendiri juga. Tukeran.” – I (50 tahun) “Kan gak jualan sendiri, semua pesanan jadi. Jadi mereka gak berani stok barang. Susah penjualan, marketingnya. Pemasaran doang yang jadi kendala. Itu doang satu. Ketergantungan sih. Kan gak punya toko sendiri. Pemasaran itu. Saya gak punya penjualan sendiri. Jalan pemasarannya susah. Di sini semua orderan. 90% orderan, seperti saya nih. Saya juga gak berani stok, siapa yang mau beli? Tapi saling percaya sih. Kalau lancar dari kerja, ya kita kuat kerja samanya. Penyetorannya lancar, otomatis kan kuat kerja samanya. Gak kontrak juga kita. Kepercayaan aja. Kalau saya sih sebenernya gak terbatas sama 2 orang itu. Tapi akrab sih. Bisa dibilang modal saya cuma keterampilan dan kepercayaan dari orang aja. Dari DP itu saya puter-puterin untuk pengeluaran, hutang, dan pendapatan juga.” – SI (40 tahun)

“Saya mah ga tahu neng ke mana si bos jualnya. Kalo neng tanya ke bos besar pun pasti dia gatau jawabnya gimana. Kan dia online,

udah senasional kali.” – AD (42 tahun)

“Kalo masarin ke mananya saya gak tahu neng, paling saya

janjian sama dia di mana gitu atau gak dia yang ambil barang

ke sini. Saya taunya dia dari Jakarta aja.” – SE (39 tahun)

Pola kemitraan yang terjadi dapat disimpulkan berupa pola subkontrak. Hal tersebut serupa dengan penelitian Maghfiroh (2014) yang menyatakan bahwa tipologi hubungan produksi dalam industri kecil menengah tas di Desa Bojong Rangkas adalah sub contracting. Yang dimaksud dengan sub contracting ini adalah mereka yang bekerja sebagai pengusaha tas tetapi mendapatkan pekerjaan dari pengusaha lainnya, dengan kata lain pengusaha pada kategori ini tidak mandiri dan

bergantung pada pekerjaan yang diberikan oleh pengusaha lain yang memiliki skala usaha lebih besar. Pada kategori ini sebagian besar pengusaha bekerja sendiri tetapi ada juga yang dibantu oleh orang lain seperti anggota keluarga anak atau istri. Pola kemitraan subkontrak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 pada Pasal 14 menjelaskan bahwa usaha yang berskala lebih besar baik itu skala besar maupun menengah berkedudukan sebagai kontraktor sementara usaha skala kecil dan mikro berkedudukan sebagai subkontraktor. Menurut Sjaifudian dan Chotim (1994) seperti dikutip Ariyanah (2004) bahwa tipe subkontrak dibagi menjadi dua jenis, yaitu subkontrak komersial dan subkontrak industrial. Subkontrak komersial adalah hubungan produksi subkontrak di mana pemesan/prinsipal memasarkan barang siap jadi. Industri tas di Desa Bojong Rangkas tidak memiliki label atau merek sendiri sehingga pemasaran dilakukan oleh pihak pemesan untuk kemudian diberi label oleh mereka. Motivasi kemitraan dilandasi adanya keterbatasan pihak subkontrak (dalam hal ini pengusaha tas) seperti tidak memiliki akses ke pemasaran, pengadaan bahan baku yang tergantung dari pemesan, produksi tergantung pesanan, kurang akses ke lembaga keuangan atau pasar, teknologi yang masih sederhana, hubungan saling kenal atau kekeluargaan, serta fleksibel dalam menentukan jam dan tempat kerja (Saleh 1986 seperti dikutip Ariyanah 2004). Melalui hubungan kemitraan tersebut diharapkan para pengusaha tas di Desa Bojong Rangkas dapat mengatasi keterbatasannya. Aspek Sumber Daya Manusia

Aspek sumber daya manusia menilai dari segi keterampilan dan keahlian para pengusaha tas di Desa Bojong Rangkas dalam memproduksi berbagai jenis dan model tas, dompet, agenda, dan variasi lainnya. Keahlian yang dimiliki responden akan menentukan kemampuan pengusaha tas di Desa Bojong Rangkas dalam menjalankan usahanya. Keahlian dan keterampilan para pengusaha tas diukur ketika mereka dapat mengelola keuangan, mampu membuat desain tas sesuai keinginan konsumen, mampu memproduksi tepat waktu, mampu memproduksi dengan kualitas baik tanpa pengembalian/cacat, dan mampu mendaur ulang sisa-sisa bahan menjadi barang bernilai. Aspek sumber daya manusia dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 31 Jumlah dan persentase responden menurut aspek sumber daya manusia No. Aspek Sumber Daya Manusia Jumlah (orang) Persentase

1 Rendah 0 0.00

2 Sedang 14 40.00

3 Tinggi 21 60.00

Total 35 100.00

Sumber: Data Primer (2016)

Tabel 31 menunjukkan bahwa rata-rata aspek sumber daya manusia yang dinilai dari tingkat keahlian dalam bidang produksi dan pengelolaan keuangan, berada pada kategori tinggi, yaitu sebesar 60 persen dan sebanyak 21 orang sedangkan kategori sedang sebesar 40 persen dan sebanyak 14 orang. Rata-rata pengusaha tas dan pengrajinnya di Desa Bojong Rangkas sudah sangat terampil dalam bidang produksi tas. Bahkan ketika para pengrajin/tenaga kerja baru ingin meminta pekerjaan, para pengusaha sudah percaya bahwa mereka bisa menjahit

walaupun ada pembinaan atau seleksi lebih lanjut. Kemampuan dalam mengelola keuangan juga baik terlihat dari cara meereka mengatur pembelian bahan-bahan, upah tenaga kerja, dan keuntungan. Para pengusaha dapat memproduksi tas dengan berbagai variasi tergantung pesanan konsumen. Model dan jenis tas disesuaikan dengan kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak, terkadang pihak konsumen yang memberikan model, namun tidak jarang juga pihak pengusaha memberikan model buatannya. Keahlian para pengusaha tas juga berbeda-beda. Pengusaha tas yang ahli membuat tas fashion, tas butik, tas kombinasi kulit asli dan kain tenun/songket, dan tas kulit asli, pada umumnya, mereka memiliki keahlian yang lebih karena mengedepankan kualitas jahitan sehingga dijuluki “tas halus”. Sebaliknya, tas promosi, tas sekolah, tas kantor, tas laptop, dan semacamnya tidak

membutuhkan keahlian yang lebih dibandingkan tas wanita sehingga dijuluki “tas kasar”. Inovasi dari pengusaha tas di Desa Bojong Rangkas terlihat dari

kemampuan mereka mendaur ulang sisa-sisa bahan yang masih bisa dimanfaatkan. Sisa-sisa tersebut mereka olah kembali menjadi dompet koin, dompet kartu, gelang, gantungan kunci, dan berbagai macam suvernir lainnya. Fakta tersebut didukung oleh pernyataan berikut.

“Kalau ada pesenan juga saya ngitung-ngitung neng. Dari dia

ngasih berapa. Kan buat yang kerja juga, bahan-bahan, dan sebagainya. Kalau dia ngasihnya kurang, ya saya minta naik.

Ya tawar menawarlah saling menguntungkan.” – AD (42

tahun)

Tingginya kemampuan produksi para pengrajin dan pengusaha tercermin dari hasil-hasil tas, dompet, agenda, dan lainnya dengan modifikasi model dan motif yang menarik. Hal ini disebabkan kemampuan dasar yang sudah diperoleh dan dijalani sejak kecil. Pengalaman berusaha juga diperoleh dari pengalaman bekerja pada usaha milik orang lain sehingga para pengusaha dan pengrajin mampu menghasilkan tas yang beraneka macam model yang unik, berkualitas baik, dan laku di pasaran.

Proses pembuatan tas pada umumnya tergolong cukup lama dan rumit karena banyak bagian yang harus dibuat seperti bagian kantong, tali, seleting, dan asesoris lainnya. Proses pembuatan tas juga dipengaruhi oleh bahan baku utama. Bahan baku yang mahal seperti kuli binatang asli atau kain tenun/songket, memerlukan pengerjaan yang lebih teliti.

Proses pembuatan tas terdiri dari mendesain model, membuat pola/cetakan, menempel bahan dalaman (busa) dengan lateks, menggunting pola, menipiskan (seset), membentuk badan dengan menekuk, menyambung bagian pola yang lain, menempel kain dalaman dengan lem, menjahit, memberi asesoris seperti seleting dan kantong, lalu terakhir finishing dan pengemasan.

Proses menjahit dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki karena mereka sudah terampil di bidangnya, mulai dari membuat pola, menekuk, menipiskan, dan pemberian asesoris. Selain itu, mesin jahit yang digunakan beragam mulai dari ukuran kecil sampai paling besar sehingga mesin identik dengan pengerjaan seorang laki-laki. Sedangkan perempuan, tugasnya lebih mudah seperti

pengemasan, mengecat bagian akhir, membersihkan benang-benang yang tertinggal, mengelem, dan menggunting.

Gambar 8 Proses pembuatan tas pada umumnya Aspek Komunitas (Kelembagaan)

Aspek komunitas merupakan aspek dimensi kemasyarakatan yang melihat sejauh mana peranan stakeholder setempat bagi perkembangan ekonomi masyarakat Desa Bojong Rangkas terutama potensinya sebagai kawasan sentra industri kecil tas. Tidak adanya paguyuban atau persatuan bahkan koperasi tas, menyebabkan aspek komunitas diganti menjadi aspek kelembagaan lalu, aspek tersebut mengukur peranan pemimpin formal dan informal yang berkaitan dengan industri tas di Desa Bojong Rangkas. Stakeholder yang terdapat di Desa Bojong Rangkas antara lain peranan dari kepala desa, tokoh masyarakat (ketua RT/RW), dan pemerintah. Tingkat peranan yang mengukur aspek komunitas terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 32 Jumlah dan persentase responden menurut aspek kelembagaan No. Aspek Kelembagaan Jumlah (orang) Persentase

1 Rendah 16 45.71

2 Sedang 17 48.57

3 Tinggi 2 5.71

Total 35 100.00

Sumber: Data Primer (2016)

Berdasarkan Tabel 32, aspek kelembagaan yang mendukung perkembangan industri kecil tas di Desa Bojong Rangkas termasuk kategori sedang, yaitu sebesar 48.57 persen dan sebanyak 17 orang. Kategori rendah berbeda sedikit, hanya berbeda satu responden, dengan kategori sedang, yaitu sebesar 45.71 persen, sedangkan kategori tinggi hanya sebesar 5.71 persen dan sebanyak dua orang.

Mendesain model Membuat pola/cetakan Menempel bahan dalaman (busa) dengan lateks Menggunting pola Menipiskan (seset) Pembentukan tas dengan ditekuk Menyambung bagian pola yang lain Menempel kain dalaman dengan lem Menjahit Pemberian asesoris Pengemasan dan pengepakan

Kelembagaan merupakan kumpulan nilai dan norma yang mengatur masyarakat dan dapat berwujud sebagai lembaga atau aturan. Kumpulan nilai dan norma yang mengatur dapat dipengaruhi oleh interaksi dari para pemimpin lokal baik formal maupun informal. Menurut Uphoff dan Buck (2006), kapasitas dari kelembagaan ekonomi lokal pedesaan berkaitan dengan pendekatan peran pemimpin lokal.

Peran kelembagaan yang terdapat di Desa Bojong Rangkas tidak terlalu tinggi terhadap perkembangan industri kecil tas, baik itu dari kepala desa, tokoh masyarakat dan pemerintah. Pemberian motivasi, informasi, dan solusi dari kepala desa dan tokoh masyarakat dapat dikatakan cukup bagi para pengusaha tas. Sama halnya dengan pemerintah dalam memberikan dukungan dalam hal pelatihan, permodalan (uang dan mesin), serta pemasaran (pameran, promosi). Pada umumnya, kontribusi stakeholder setempat cenderung kurang dan rendah dalam mengembangkan industri tas di Desa Bojong Rangkas.

Perkembangan industri tas di Desa Bojong Rangkas sangat dipengaruhi oleh peranan para pengusaha tas itu sendiri. Mereka cenderung usaha secara mandiri tanpa bantuan stakeholder setempat karena mereka sudah merasa didukung dan dibantu dengan para mitra yang ada. Banyaknya pesanan yang mencapai ratusan bahkan ribuan unit menyebabkan mereka sibuk sehingga mereka sedikit memiliki waktu untuk mengikuti pelatihan atau pameran yang diselenggarakan pemerintah. Beberapa pengusaha juga tidak berminat untuk mengikuti kegiatan- kegiatan yang diadakan pemerintah karena mereka merasa dapat mengatasi permasalahannya sendiri karena kemandirian mereka. Namun, ada beberapa pengusaha tas yang mendapat pelatihan dari pemerintah seperti pelatihan Gugus Kendali Mutu (GKM), studi banding dan pemasaran di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan beberapa daerah di Jawa Barat. Selain itu, bantuan pemerintah yang