• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ancaman Disintegrasi

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 88-98)

MASYARAKAT TIONGHOA DI ANTARA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN

B. Ancaman Disintegrasi

Belanda sebagai pemegang kekuasaan kolonial telah banyak

mempengaruhi hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat setempat.

Banyak kebijakan Belanda yang sebenarnya menjadi penghalang bagi

keberlangsungan integrasi di antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat

Jawa setempat. Oleh Belanda, orang-orang Tionghoa dilibatkan lebih dalam,

mengenai persoalan perekonomian yang berhubungan dengan orang-orang Jawa

setempat. Orang-orang Tionghoa tersebut dijadikan penarik pajak gerbang tol dan

penjualan candu yang tentunya disponsori oleh Belanda. Mereka juga bahkan

dituduh sebagai kambing hitam atas kemiskinan rakyat kecil.

Persaingan dagang menjadi pemicu lahirnya disintegrasi. Selain karena

adanya konstruksi Belanda, sebenarnya di pihak orang-orang Tionghoa sendiri,

terutama kelompok Hakka, banyak melakukan praktek ekonomi yang justru

mengundang adanya konflik dalam masyarakat.

1. Perdagangan

Banyak dari orang-orang Tionghoa bermatapencaharian sebagai pedagang

kelontong. Pedagang kelontong adalah pedagang yang menjual barang-barang jadi

dan juga barang-barang kelontongan, atau dapat juga dipahami sebagai penjual

barang apa saja. Mereka menjajakan barang-barangnya hingga ke pelosok

pedesaan dengan cara memikul barang-barangnya akan tetapi ada juga yang

memiliki toko. Bahkan ada juga pedagang yang membawa barang dagangannya

negeri Tiongkok juga dari orang-orang Belanda yang tidak bisa menjualkan

barang-barang dagang mereka hingga ke desa-desa.

Para pedagang kelontong itu biasanya melakukan penjualan barang-barang

dagangannya dengan memberikan kredit pada pembeli. Para pedagang ini juga

dikenal sebagai pedagang mindring. Hubungan pedagang mindring dengan para

pembeli yang mayoritas adalah orang-orang Jawa setempat ini telah

meninggalkan kesan buruk pada orang-orang Tionghoa. Besarnya bunga yang

diberikan bahkan telah membuat mereka dianggap sebagai lintah darat dan

pemeras.22

Persaingan ekonomi yang tidak sehat sebenarnya juga terjadi di Jawa di

awal tahun 1900-an. Hal tersebut dapat dilihat melalui akar organisasi bernama

Serikat Islam yang lahir pada awal tahun 1912. Serikat Dagang Islam merupakan

organisasi yang didirikan oleh Hadji Samanhoedi. Organisasi ini merupakan

perkembangan dari organisasi bernama Rekso Roemekso yanng lahir di daerah

Kasunanan Surakarta. Organisasi Rekso Roumekso merupakan sebuah organisasi

ronda malam. Organisasi ini didirikan dengan maksud melindungi kelompok

pedagang batik di Lawean dari perkelahian jalanan yang terjadi karena persaingan

bisnis dengan kelompok masyarakat Tionghoa. Dalam kasus ini, perkelahian

jalanan tersebut melibatkan dua kelompok yang terus bertikai. Kelompok tersebut

adalah Rekso Rumekso sendiri yang menjadi organisasi ronda masyarakat Jawa di

       22

Mely G. Tan, ed. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. 1981. Jakarta: Gramedia. Hal. 44- 45

daerah Kasunanan Surakarta dan organisasi Kong Sing yang mewakili kelompok

masyarakat Tionghoa.23

Persaingan ekonomi yang menimbulkan pertikaian antar kelompok etnis

tidak terjadi di banyak tempat. Di Yogyakarta sendiri, pertikaian yang melibatkan

dua kelompok besar seperti yang terjadi terjadi di daerah Kasunana Surakarta,

hampir tidak dirasakan di Yogyakarta. Walaupun Serikat Islam yang kemudian

berganti nama menjadi Serikat Dagang Islam dalam perkembanganya telah

memiliki anggota yang tersebar di Jawa, akan tetapi hal demikian tidak lantas

membawa serta semangat yang mengacu pada pertikaian antar etis seperti yang

terjadi pada Rekso Roemekso.

2. Industri

Perkembangan sejarah di dalam Hindia Belanda telah menunjukan

bagaimana Belanda telah menancapkan pengaruhnya kian mendalam. Dalam

tahun 1900 bahkan pengaruhnya tidak lagi pada raja-raja dan bupati tetapi juga

rakyat desa.24 Keadaan ini tentu berpengaruh terhadap setiap hubungan antar etnis

di Hindia Belanda. Hal tersebut juga telah mendorong peralihan kehidupan

masyarakat pada abad ke-19, dimana kehidupan masyarakat beralih dari

tradisional ke bentuk masyarakat modern.

       23

Takashi Shiraishi. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. 1990. New York: Cornell University. Hal. 41

24

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. 1977. Proyek penelitian dan Pencatatan Sejarah Kebudayaan daerah. Hal. 137

Dengan kemunculan industri-industri di Eropa, imperialisme modern turut

lahir. Politik Pintu Terbuka yang dilakukan oleh Belanda kemudian memberi

kesempatan bagi para penanam modal dari luar negeri untuk masuk ke Hindia

Belanda. Pemerintah Belanda dalam Politik Pintu Terbuka telah memberikan

kesempatan bagi para pemilik modal untuk menyewa tanah dalam jangka waktu

yang panjang. Hal ini kemudian yang memicu banyak perusahaan-perusahaan

Belanda yang menjadikan sebidang tanah untuk areal penanamkan tebu, dan

mendirikan pabrik-pabrik gula.

Di Yogyakarta sendiri dalam abad ke-19 telah didirikan pabrik-pabrik gula

milik orang-orang Belanda. Di sisi lain pada dasarnya pendirian pabrik gula di

Yogyakarta merupakan keuntungan yang besar bagi pihak Kraton, Sri Sultan

Hamenku Buwana VII menjadi Sultan yang terkaya dari Sultan-sultan

sebelumnya karena sewa tanah dari pabrik-pabrik gula tersebut. Sebagian dari

pabrik gula tersebut banyak yang dipercayaakan pada orang Tionghoa baik

sebagai pengurusnya atau juga sebagai pengusaha penanam tebu.

Pada dasarnya pendirian pabrik gula bagi masyarakat di Yogyakarta

sangat bermanfaat terutama dalam rangka memberikan kesempatan ekonomi

masyarakat. Hal tersebut juga berlaku pada orang-orang Tionghoa di Yogyakarta.

Akan tetapi karena praktek-praktek kecurangan dan penyalahgunaan wewenang

kemudian hal tersebut memicu terjadinya aksi-aksi buruh pabrik gula di berbagai

tempat di Yogyakarta pada tahun 1882.25

Di beberapa pabrik gula di Yogyakarta terdapat orang-orang Tionghoa

yang dipercayai oleh orang-orang Belanda dalam menjalankan pabrik gula

tersebut. Seluruh tindakan yang kemudian menimbulkan aksi masa dalam

aksi-aksi buruh pabrik tersebut dalam hal ini mengancam adanya kerusuhan yang

mengarah pada persoalan rasial. Akan tetapi kerusuhan tersebut tidak menjadi

sebuah kerusuhan rasial yang menempatkan etnis tertentu sebagai sasarannya.

       25

Tim penulis proyek inventarisasi dan dokumen sejarah nasional. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. 1990. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 124

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Integrasi terjadi tidak hanya karena adanya kesepakatan dari tiap

pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi juga karena adanya kepentingan yang di bawa

dalam rangka menjaga eksistensi suatu kelompok. Integrasi adalah sebuah proses

dalam interaksi sosial. Interaksi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat

Jawa telah terjadi dari sebelum Belanda datang ke Nusantara, akan tetapi posisi

Belanda justru menjadi ancaman bagi integrasi yang telah terjadi.

Dalam kasus sejarah etnis Tionghoa di Yogyakarta, terlihat bagaimana

integrasi telah ditempuh dengan melalui proses yang panjang sebelumnya. Hal itu

bahkan terjadi sejak Kerajaan Yogyakarta di bangun tahun 1755. Yogyakarta

sebagai sebuah kerajaan yang baru saja lahir setelah dilakukannnya perjanjian

Giyanti, menjadi perhatian kelompok-kelompok masyarakat di daerah lain

kususnya para pedagang untuk melakukan aktivitas bisnisnya di kerajaan yang

baru saja lahir tersebut. Salah satu kelompok masyarakat tersebut adalah

orang-orang Tionghoa. Dalam perkembangannya mereka kemudian banyak yang

memutuskan untuk menetap. Sejak saat inilah interaksi sosial-budaya di antara

masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta di mulai.

Pihak Belanda sebagai kolonial, turut mengambil pengaruh yang besar

terhadap dinamika sosial masyarakat Tionghoa. Hal ini terutama dapat dilihat

orang-orang Tionghoa dianggap suatu hal yang menguntungkan. Hal ini dikarenakan

kedatangan orang-orang Belanda yang dilatarbelakangi keinginan untuk

berdagang. Keadaan itu membuat Belanda membutuhkan mitra dagang yang dapat

memperlancar usaha kegiatan perdagangan yang dilakukan. Dalam hal ini

orang-orang Belanda menganggap orang-orang-orang-orang Tionghoa yang datang lebih dulu

dibanding mereka sangat tepat dijadikan mitra dagang orang-orang Belanda,

terutama dalam menyalurkan barang-barang dagangan hingga ke pelosok-pelosok

pedesaan. Selain itu kepentingan bisnis yang cenderung menguntungkan bagi

orang-orang Belanda membuat orang-orang Belanda cenderung menggunakan

orang-orang Tionghoa untuk kepentingan mereka. Hal tersebut dapat dilihat

bagaimana pemerintah Belanda menyerahkan monopoli atas penjualan candu,

rumah gadai, pembuatan garam, perahu tambang, serta pajak pasar kepada

orang-orang Tionghoa. Akan tetapi, di sisi lain persaingan dagang dengan orang-orang-orang-orang

Tionghoa kemudian menimbulakan pemikiran bahwa orang-orang Tionghoa telah

merusak harga pasar.

Atas dasar pemikiran yang meletakkan orang Tionghoa sebagai pihak

yang merugikan, Belanda kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang

cenderung merugikan bagi orang-orang Tionghoa. Kebijakan itu adalah

mengharuskan setiap orang Tionghoa untuk tinggal di suatu wilayah tertentu yang

telah di tentukan, yang kemudian dikenal dengan nama daerah pecinan. Selain itu

mereka harus mendapatkan surat jalan jika hendak melakukan perjalanan ke luar

ruang gerak orang-orang Tionghoa. Dengan demikian, pihak Belanda tidak lagi

memiliki pesaing bisnis yang dianggap mengancam.

Pemusatan tempat tinggal oarang-orang Tionghoa sendiri dalam

perkembangannya telah membawa dampak yang positif maupun negatif. Daerah

Pecinan tersebut telah mampu menjadi benteng bagi kebudayaan Tionghoa.

Dengan di pusatkannya tempat tinggal orang-orang Tionghoa, kebudayaan

Tionghoa terus dapat hidup. Akan tetapi, bagi masyarakat setempat di luar daerah

pecianan, keadaan demikian mencitrakan sosok masyarakat Tionghoa yang

eksklusif dan tidak mau membaur dengan masyarakat setempat.

Di Yogyakarta daerah pecinan terdapat di daerah Ketandan, Gandekan,

Ngabean, Ngadiwinatan, Suronatan, Gading, Ngasem, daerah Patuk utara hingga

daerah antara rel kereta api dan Tugu Yogyakarta. Bertambahnya jumlah

penduduk warga Tionghoa di Yogyakartalah yang membuat wilayah pacinan juga

kian lama kian meluas.

Lahirnya stereotipe yang negatif terhadap citra kelompok masyarakat

Tionghoa kususnya di kota-kota besar, dalam perkembangannya justru mengarah

pada kerusuhan rasial yang menempatkan etnis Tionghoa pada Korban. Akan

tetapi hal tersebut tidak terjadi di Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan

berhasilnya proses integrasi yang terjadi melalui berbagai sektor.

Proses integrasi yang terjadi di antara masyarakat Tionghoa Yogyakarta

dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta terjadi karena adanya peran aktif

orang-orang Tionghoa untuk masuk dalam sektor penting di Yogyakarta. Hal tersebut

menerima gelar kebangsawanan dari Kasultanan Yogyakarta. Ia telah berhasil

membuktikan bahwa seorang Tionghoa mampu menjadi bagian dari Kraton

Kasultanan Yogyakarta.

Selain dari segi politik, dengan adanya politik etis Belanda melahirkan

elite-elite Tionghoa yang mampu berperan aktif dari sektor sosial-kultural.

Dengan adanya eliete-elite Tionghoa di Yogyakarta, yang berkarya dalam ranah

sosial ataupun kultural, hal tersebut telah memecahkan stereotip negatif yang

melekat pada masyarakat Tionghoa. Stereotip yang bahkan mampu mambawa

masyarakat dalam kerusuhan rasial.

Kraton sebagai pemegang kekuasaan di Yogyakarta memiliki peran yang

sangat menentukan dalam proses integrasi tersebut. Kekuatan kultural yang ada di

masyarakat Yogyakarta membuat sosok Raja Yogyakarta sebagai sosok yang

dipatuhi dan menjadi panutan masyarakat Yogyakarta. Keadaan ini lah yang

melindungi masyarakat Yogyakarta dari kerusuhan sosial atau bahkan kerusuhan

yang berbentuk rasial. Yogyakarta yang cenderung aman dari kerusuhan rasial,

tidak berarti melepaskan masyarakat Tionghoa dari konflik. Hal ini terutama

karena konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial

masyarakat. Hal itulah yang membuat masyarakat Tionghoa berada pada

penerimaan dan penolakan. Penolakan tersebut terutama yang menyangkut

masalah pribadi anggota masyarakat. Namun, hal tersebut tetap tidak pernah dapat

berubah menjadi gerakan kolektif.

Pendirian Klenteng-klenteng di tengah kota Yogyakarta tidak mungkin

dua klenteng di tengah kota Yogyakarta telah menunjukkan adanya upaya yang

positif untuk menerima kelompok masyarakat Tionghoa menjadi bagian dari

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 88-98)

Dokumen terkait