MASYARAKAT TIONGHOA DI ANTARA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN
B. Ancaman Disintegrasi
Belanda sebagai pemegang kekuasaan kolonial telah banyak
mempengaruhi hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat setempat.
Banyak kebijakan Belanda yang sebenarnya menjadi penghalang bagi
keberlangsungan integrasi di antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat
Jawa setempat. Oleh Belanda, orang-orang Tionghoa dilibatkan lebih dalam,
mengenai persoalan perekonomian yang berhubungan dengan orang-orang Jawa
setempat. Orang-orang Tionghoa tersebut dijadikan penarik pajak gerbang tol dan
penjualan candu yang tentunya disponsori oleh Belanda. Mereka juga bahkan
dituduh sebagai kambing hitam atas kemiskinan rakyat kecil.
Persaingan dagang menjadi pemicu lahirnya disintegrasi. Selain karena
adanya konstruksi Belanda, sebenarnya di pihak orang-orang Tionghoa sendiri,
terutama kelompok Hakka, banyak melakukan praktek ekonomi yang justru
mengundang adanya konflik dalam masyarakat.
1. Perdagangan
Banyak dari orang-orang Tionghoa bermatapencaharian sebagai pedagang
kelontong. Pedagang kelontong adalah pedagang yang menjual barang-barang jadi
dan juga barang-barang kelontongan, atau dapat juga dipahami sebagai penjual
barang apa saja. Mereka menjajakan barang-barangnya hingga ke pelosok
pedesaan dengan cara memikul barang-barangnya akan tetapi ada juga yang
memiliki toko. Bahkan ada juga pedagang yang membawa barang dagangannya
negeri Tiongkok juga dari orang-orang Belanda yang tidak bisa menjualkan
barang-barang dagang mereka hingga ke desa-desa.
Para pedagang kelontong itu biasanya melakukan penjualan barang-barang
dagangannya dengan memberikan kredit pada pembeli. Para pedagang ini juga
dikenal sebagai pedagang mindring. Hubungan pedagang mindring dengan para
pembeli yang mayoritas adalah orang-orang Jawa setempat ini telah
meninggalkan kesan buruk pada orang-orang Tionghoa. Besarnya bunga yang
diberikan bahkan telah membuat mereka dianggap sebagai lintah darat dan
pemeras.22
Persaingan ekonomi yang tidak sehat sebenarnya juga terjadi di Jawa di
awal tahun 1900-an. Hal tersebut dapat dilihat melalui akar organisasi bernama
Serikat Islam yang lahir pada awal tahun 1912. Serikat Dagang Islam merupakan
organisasi yang didirikan oleh Hadji Samanhoedi. Organisasi ini merupakan
perkembangan dari organisasi bernama Rekso Roemekso yanng lahir di daerah
Kasunanan Surakarta. Organisasi Rekso Roumekso merupakan sebuah organisasi
ronda malam. Organisasi ini didirikan dengan maksud melindungi kelompok
pedagang batik di Lawean dari perkelahian jalanan yang terjadi karena persaingan
bisnis dengan kelompok masyarakat Tionghoa. Dalam kasus ini, perkelahian
jalanan tersebut melibatkan dua kelompok yang terus bertikai. Kelompok tersebut
adalah Rekso Rumekso sendiri yang menjadi organisasi ronda masyarakat Jawa di
22
Mely G. Tan, ed. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. 1981. Jakarta: Gramedia. Hal. 44- 45
daerah Kasunanan Surakarta dan organisasi Kong Sing yang mewakili kelompok
masyarakat Tionghoa.23
Persaingan ekonomi yang menimbulkan pertikaian antar kelompok etnis
tidak terjadi di banyak tempat. Di Yogyakarta sendiri, pertikaian yang melibatkan
dua kelompok besar seperti yang terjadi terjadi di daerah Kasunana Surakarta,
hampir tidak dirasakan di Yogyakarta. Walaupun Serikat Islam yang kemudian
berganti nama menjadi Serikat Dagang Islam dalam perkembanganya telah
memiliki anggota yang tersebar di Jawa, akan tetapi hal demikian tidak lantas
membawa serta semangat yang mengacu pada pertikaian antar etis seperti yang
terjadi pada Rekso Roemekso.
2. Industri
Perkembangan sejarah di dalam Hindia Belanda telah menunjukan
bagaimana Belanda telah menancapkan pengaruhnya kian mendalam. Dalam
tahun 1900 bahkan pengaruhnya tidak lagi pada raja-raja dan bupati tetapi juga
rakyat desa.24 Keadaan ini tentu berpengaruh terhadap setiap hubungan antar etnis
di Hindia Belanda. Hal tersebut juga telah mendorong peralihan kehidupan
masyarakat pada abad ke-19, dimana kehidupan masyarakat beralih dari
tradisional ke bentuk masyarakat modern.
23
Takashi Shiraishi. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. 1990. New York: Cornell University. Hal. 41
24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. 1977. Proyek penelitian dan Pencatatan Sejarah Kebudayaan daerah. Hal. 137
Dengan kemunculan industri-industri di Eropa, imperialisme modern turut
lahir. Politik Pintu Terbuka yang dilakukan oleh Belanda kemudian memberi
kesempatan bagi para penanam modal dari luar negeri untuk masuk ke Hindia
Belanda. Pemerintah Belanda dalam Politik Pintu Terbuka telah memberikan
kesempatan bagi para pemilik modal untuk menyewa tanah dalam jangka waktu
yang panjang. Hal ini kemudian yang memicu banyak perusahaan-perusahaan
Belanda yang menjadikan sebidang tanah untuk areal penanamkan tebu, dan
mendirikan pabrik-pabrik gula.
Di Yogyakarta sendiri dalam abad ke-19 telah didirikan pabrik-pabrik gula
milik orang-orang Belanda. Di sisi lain pada dasarnya pendirian pabrik gula di
Yogyakarta merupakan keuntungan yang besar bagi pihak Kraton, Sri Sultan
Hamenku Buwana VII menjadi Sultan yang terkaya dari Sultan-sultan
sebelumnya karena sewa tanah dari pabrik-pabrik gula tersebut. Sebagian dari
pabrik gula tersebut banyak yang dipercayaakan pada orang Tionghoa baik
sebagai pengurusnya atau juga sebagai pengusaha penanam tebu.
Pada dasarnya pendirian pabrik gula bagi masyarakat di Yogyakarta
sangat bermanfaat terutama dalam rangka memberikan kesempatan ekonomi
masyarakat. Hal tersebut juga berlaku pada orang-orang Tionghoa di Yogyakarta.
Akan tetapi karena praktek-praktek kecurangan dan penyalahgunaan wewenang
kemudian hal tersebut memicu terjadinya aksi-aksi buruh pabrik gula di berbagai
tempat di Yogyakarta pada tahun 1882.25
Di beberapa pabrik gula di Yogyakarta terdapat orang-orang Tionghoa
yang dipercayai oleh orang-orang Belanda dalam menjalankan pabrik gula
tersebut. Seluruh tindakan yang kemudian menimbulkan aksi masa dalam
aksi-aksi buruh pabrik tersebut dalam hal ini mengancam adanya kerusuhan yang
mengarah pada persoalan rasial. Akan tetapi kerusuhan tersebut tidak menjadi
sebuah kerusuhan rasial yang menempatkan etnis tertentu sebagai sasarannya.
25
Tim penulis proyek inventarisasi dan dokumen sejarah nasional. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. 1990. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 124
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Integrasi terjadi tidak hanya karena adanya kesepakatan dari tiap
pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi juga karena adanya kepentingan yang di bawa
dalam rangka menjaga eksistensi suatu kelompok. Integrasi adalah sebuah proses
dalam interaksi sosial. Interaksi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat
Jawa telah terjadi dari sebelum Belanda datang ke Nusantara, akan tetapi posisi
Belanda justru menjadi ancaman bagi integrasi yang telah terjadi.
Dalam kasus sejarah etnis Tionghoa di Yogyakarta, terlihat bagaimana
integrasi telah ditempuh dengan melalui proses yang panjang sebelumnya. Hal itu
bahkan terjadi sejak Kerajaan Yogyakarta di bangun tahun 1755. Yogyakarta
sebagai sebuah kerajaan yang baru saja lahir setelah dilakukannnya perjanjian
Giyanti, menjadi perhatian kelompok-kelompok masyarakat di daerah lain
kususnya para pedagang untuk melakukan aktivitas bisnisnya di kerajaan yang
baru saja lahir tersebut. Salah satu kelompok masyarakat tersebut adalah
orang-orang Tionghoa. Dalam perkembangannya mereka kemudian banyak yang
memutuskan untuk menetap. Sejak saat inilah interaksi sosial-budaya di antara
masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta di mulai.
Pihak Belanda sebagai kolonial, turut mengambil pengaruh yang besar
terhadap dinamika sosial masyarakat Tionghoa. Hal ini terutama dapat dilihat
orang-orang Tionghoa dianggap suatu hal yang menguntungkan. Hal ini dikarenakan
kedatangan orang-orang Belanda yang dilatarbelakangi keinginan untuk
berdagang. Keadaan itu membuat Belanda membutuhkan mitra dagang yang dapat
memperlancar usaha kegiatan perdagangan yang dilakukan. Dalam hal ini
orang-orang Belanda menganggap orang-orang-orang-orang Tionghoa yang datang lebih dulu
dibanding mereka sangat tepat dijadikan mitra dagang orang-orang Belanda,
terutama dalam menyalurkan barang-barang dagangan hingga ke pelosok-pelosok
pedesaan. Selain itu kepentingan bisnis yang cenderung menguntungkan bagi
orang-orang Belanda membuat orang-orang Belanda cenderung menggunakan
orang-orang Tionghoa untuk kepentingan mereka. Hal tersebut dapat dilihat
bagaimana pemerintah Belanda menyerahkan monopoli atas penjualan candu,
rumah gadai, pembuatan garam, perahu tambang, serta pajak pasar kepada
orang-orang Tionghoa. Akan tetapi, di sisi lain persaingan dagang dengan orang-orang-orang-orang
Tionghoa kemudian menimbulakan pemikiran bahwa orang-orang Tionghoa telah
merusak harga pasar.
Atas dasar pemikiran yang meletakkan orang Tionghoa sebagai pihak
yang merugikan, Belanda kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang
cenderung merugikan bagi orang-orang Tionghoa. Kebijakan itu adalah
mengharuskan setiap orang Tionghoa untuk tinggal di suatu wilayah tertentu yang
telah di tentukan, yang kemudian dikenal dengan nama daerah pecinan. Selain itu
mereka harus mendapatkan surat jalan jika hendak melakukan perjalanan ke luar
ruang gerak orang-orang Tionghoa. Dengan demikian, pihak Belanda tidak lagi
memiliki pesaing bisnis yang dianggap mengancam.
Pemusatan tempat tinggal oarang-orang Tionghoa sendiri dalam
perkembangannya telah membawa dampak yang positif maupun negatif. Daerah
Pecinan tersebut telah mampu menjadi benteng bagi kebudayaan Tionghoa.
Dengan di pusatkannya tempat tinggal orang-orang Tionghoa, kebudayaan
Tionghoa terus dapat hidup. Akan tetapi, bagi masyarakat setempat di luar daerah
pecianan, keadaan demikian mencitrakan sosok masyarakat Tionghoa yang
eksklusif dan tidak mau membaur dengan masyarakat setempat.
Di Yogyakarta daerah pecinan terdapat di daerah Ketandan, Gandekan,
Ngabean, Ngadiwinatan, Suronatan, Gading, Ngasem, daerah Patuk utara hingga
daerah antara rel kereta api dan Tugu Yogyakarta. Bertambahnya jumlah
penduduk warga Tionghoa di Yogyakartalah yang membuat wilayah pacinan juga
kian lama kian meluas.
Lahirnya stereotipe yang negatif terhadap citra kelompok masyarakat
Tionghoa kususnya di kota-kota besar, dalam perkembangannya justru mengarah
pada kerusuhan rasial yang menempatkan etnis Tionghoa pada Korban. Akan
tetapi hal tersebut tidak terjadi di Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan
berhasilnya proses integrasi yang terjadi melalui berbagai sektor.
Proses integrasi yang terjadi di antara masyarakat Tionghoa Yogyakarta
dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta terjadi karena adanya peran aktif
orang-orang Tionghoa untuk masuk dalam sektor penting di Yogyakarta. Hal tersebut
menerima gelar kebangsawanan dari Kasultanan Yogyakarta. Ia telah berhasil
membuktikan bahwa seorang Tionghoa mampu menjadi bagian dari Kraton
Kasultanan Yogyakarta.
Selain dari segi politik, dengan adanya politik etis Belanda melahirkan
elite-elite Tionghoa yang mampu berperan aktif dari sektor sosial-kultural.
Dengan adanya eliete-elite Tionghoa di Yogyakarta, yang berkarya dalam ranah
sosial ataupun kultural, hal tersebut telah memecahkan stereotip negatif yang
melekat pada masyarakat Tionghoa. Stereotip yang bahkan mampu mambawa
masyarakat dalam kerusuhan rasial.
Kraton sebagai pemegang kekuasaan di Yogyakarta memiliki peran yang
sangat menentukan dalam proses integrasi tersebut. Kekuatan kultural yang ada di
masyarakat Yogyakarta membuat sosok Raja Yogyakarta sebagai sosok yang
dipatuhi dan menjadi panutan masyarakat Yogyakarta. Keadaan ini lah yang
melindungi masyarakat Yogyakarta dari kerusuhan sosial atau bahkan kerusuhan
yang berbentuk rasial. Yogyakarta yang cenderung aman dari kerusuhan rasial,
tidak berarti melepaskan masyarakat Tionghoa dari konflik. Hal ini terutama
karena konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial
masyarakat. Hal itulah yang membuat masyarakat Tionghoa berada pada
penerimaan dan penolakan. Penolakan tersebut terutama yang menyangkut
masalah pribadi anggota masyarakat. Namun, hal tersebut tetap tidak pernah dapat
berubah menjadi gerakan kolektif.
Pendirian Klenteng-klenteng di tengah kota Yogyakarta tidak mungkin
dua klenteng di tengah kota Yogyakarta telah menunjukkan adanya upaya yang
positif untuk menerima kelompok masyarakat Tionghoa menjadi bagian dari