• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah kedatangan Tionghoa

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 36-42)

PERJANJIAN GIYANTI TAHUN 1755

B. Sejarah kedatangan Tionghoa

1. Migrasi ke Nusantara

Kedatangan kelompok masyarakat Tionghoa dari negeri China jauh lebih

lama dari pada kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara.6 Secara geografis

letak wilayah Nusantara yang berada pada jalur perlayaran dan perdagangan

internasional menjadikan Nusantara sebagai tempat yang banyak dikunjungi

orang-orang Tionghoa dan kelompok masyarakat lain di dunia. Tidak semua

masyarakat Tionghoa yang datang ke Nusantara memutuskan untuk tinggal atau

menetap di Nusantara. Migrasi orang-orang Tionghoa di China menuju Nusantara

pada umumnya dilakukan secara bersama-sama atau sering dinamakan bedol desa.

Namun ada pula yang melakukan migrasi dalam kelompok kecil atau bahkan

perorangan. Meskipun migrasi orang-orang Tionghoa sudah lama terjadi, tetapi

akibat konstruksi politik yang dibangun kolonial Belanda membuat semua hal

yang berkaitan dengan masalah orang-orang Tionghoa terutama dewasa ini di

Indonesia, menjadi seolah dimulai bersamaan dengan kolonialisme Belanda yang

ada di Nusantara.

Motivasi yang melatarbelakangi migrasi yang dilakukan orang-orang

Tionghoa dari negeri China ke Nusantara adalah harapan akan kehidupan yang

lebih baik. Sebelum abad ke-19, alat transportasi laut belum begitu berkembang.

Untuk melakukan perjalanan antar pulau dengan kapal, orang harus berjuang

      

6 Catatan sejarah mengatakan bahwa perjalanan pertama kali bahkan sudah terjadi sejak tahun 300an. Orang Tionghoa yang pertama kali datang ke Nusantara adalah Pendeta Buddhis bernama Fa Hian yang melakukan perjalanan ke India namun berkunjung ke Jawa terlebih dahulu (399-414 M).

menempuh bahaya selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Tanpa harapan

akan kehidupan yang lebih membahagiakan, mustahil seseorang mau melakukan

perjalanan yang panjang dan penuh resiko itu.

Menurut Onghokham, Belanda dan juga China berasal dari sebuah

peradaban yang hampir sama. Kesamaan itu ditunjukkan dari latar belakang kota

yang dikelilingi oleh “dinding”. Sehingga pada dasarnya keduanya merupakan

penduduk urban atau penduduk kota. Datangnya orang-orang Tionghoa dan juga

Belanda pada pada umumnya dilakukan dalam rangka berdagang. Dalam

perkembangannya karena mereka berkecimpung dalam bidang yang sama, banyak

orang-orang Tionghoa yang kemudian menjadi mitra dagang Belanda.7 Hal ini

kemudian yang juga turut berperan, terutama dalam bidang-bidang perdagangan

yang terjadi di Nusantara

Perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Nusantara

sebenarnya sudah terjadi sejak abad ke-7. Akan tetapi, baru mengalami

perkembangan yang besar pada abad ke-19. Hal ini dikarenakan di pertengahan

abad ke-19 terjadi peningkatan migrasi yang sangat besar. Menurut Siauw Tiong

Djin, kebanyakan masyarakat Tionghoa yang bermigrasi berasal dari China

bagian selatan. Mereka memilih untuk meninggalkan tanah kelahirannya untuk

mengadu nasib di tanah seberang karena keadaan ekonomi China yang sangat

parah terutama karena dampak pemberontakan Tai Ping.8 Di antara

kelompok-       7

Onghokham. loc. cit

8

Siaw Tiong Djin. Siaw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indoneisa dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. 1999. Jakarta: Hasta Mitra. Hal. 11-12

kelompok masyarakat Tionghoa yang pergi meninggalkan tanah kelahirannya,

banyak yang memilih Hindia Belanda sebagai tujuannya. Hindia Belanda

dianggap tempat yang dapat memberikan harapan masa depan yang menjanjikan,

karena pada waktu itu investasi Belanda mengalami perkembangan pesat terutama

setelah dibukanya perkebunan dan pertambangan di wilayah Sumatra dan

Kalimantan.

Migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa dari

China ke seluruh pelosok wilayah Nusantara atau Hindia Belanda, dimulai pada

abad ke -16 hingga akhir abad ke-19. Menurut Puspa Vasanty, orang-orang

Tionghoa yang bermigrasi itu kebanyakan berasal dari suku-suku di dua propinsi

negeri China yakni propinsi Fukie dan Kwangtung.9 Masyarakat Tionghoa

bukanlah sebuah entitas satu suku, tetapi di dalamnya penuh dengan

keberagaman. Sehingga untuk dapat memahami sejarah masyarakat Tionghoa,

perlu untuk mengenal latarbelakang mereka secara lebih dalam.

Imigran dari China yang berasal dari bermacam-macam kolompok etnis

tersebut, datang ke Nusantara dengan membawa kebudayaan setiap sukunya

masing-masing. Kebudayaan yang mereka bawa dari tanah asal mereka itu dalam

perkembangannya turut menjadi sebuah strategi kebudayaan dalam

mempertahankan eksistensi mereka, terutama dalam mempertahankan hubungan

sosial antara masyarakat pribumi kelas atas dan masyarakat kolonial Belanda. Hal

itu terutama terjadi dalam kaitannya dengan dunia perekonomian. Di seluruh

       9

Puspa Vasanty. Kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat, ed. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hal. 353

gugusan kepulauan Nusantara, yang kemudian setelah proklamasi kemerdekaan

17 Agustus 1945 menjadi Negara Republik Indonesia, terdapat empat bahasa dari

suku-suku di China yang dapat ditemukan. Empat bahasa tersebut adalah:

Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Bahasa-bahasa tersebut berbeda satu

dengan lainnya walaupun keempatnya sama-sama berasal dari negeri China.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di seluruh Nusantara terdapat empat

suku besar yang berasal dari negeri China. Oleh karenanya, banyak di atara

orang-orang Tionghoa yang memakai bahasa dari tanah leluhur mereka tidak bisa atau

tidak mengerti pembicaraan antar satu suku dengan suku yang lainnya.

Pada umumnya, orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Jawa Timur,

Jawa Tengah, dan pantai barat Sumatra adalah orang Tionghoa dari suku

Hokkien. Sesuai dengan kebudayaan asalnya, orang-orang dari suku Hokkien ini

sangat maju dalam bidang perdagangan. Konstruksi kebudayaan itu juga yang

membuat orang-orang Tionghoa yang berasal dari suku Hokkien menjadi

pedagang yang paling berhasil jika dibandingkan dengan masyarakat suku-suku

China lain yang tinggal di Nusantara. Sementara orang-orang Tionghoa dari suku

Teo-Chiu dan Hakka atau Khek, dahulu pada awalnya banyak bekerja sebagai kuli

perkebunan dan pertambangan di Sumatra Timur, Bangka. Sedangkan suku

Hakka adalah suku yang memiliki kebudayaan maritim yang kuat. Orang-orang

Tionghoa dari suku Hakka banyak bekerja di bidang kemaritiman. Seperti

diketahui, migrasi yang mereka lakukan umumnya berdasarkan kebutuhan akan

mata pencarian untuk kehidupan mereka. Orang-orang Hakka berasal dari

orang-orang Hakka yang terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1850 sampai tahun

1930, menempatkan orang-orang Hakka sebagai imigran termiskin imigran lain.

Sebaliknya orang-orang dari suku Kanton atau Kwong Fu mereka datang dengan

membawa modal besar dan dengan kemampuan teknis yang tinggi. Orang-orang

dari suku Kanton dalam abad ke-19 banyak datang ke wilayah pulau Bangka

karena pertambangan timahnya.10 Di daerah Asia Tenggara terkenal sebagai kuli

pertambangan.

2. Menetap di Yogyakarta

Setelah Kasultanan Yogyakarta berdiri tahun 1756, banyak orang-orang

dari berbagai penjuru Nusantara datang di Yogyakarta. Kedatangan mereka pada

umumnya adalah dalam rangka berdagang. Kemudian, dalam perkembangan

selanjutnya para pedagang tersebut banyak yang kemudian memilih untuk

menetap di Yogyakarta. Di antara para pendatang tersebut adalah orang-orang

Tionghoa.11 Dalam masa-masa awal ini, sebagian besar dari orang-orang

Tionghoa yang menetap di Yogyakarta merupakan kaum laki-laki yang berusia

empat belas tahun ke atas.12

       10

Ibid., Hal. 353-354

11

Darmasugito. 200 tahun kota Yogyakarta ( 7-10-1756 – 7-10-1956).

1956. Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Yogyakarta 200 tahun kota Yogyakarta Sub Panitia Penerbitan. Hal.7

12 Peter Carey. Orang Jawa dan Masyarakat China (1755-1825). 1986. Jakarta: Pustaka Azet. Hal.35

Pada awalnya oleh penguasa Belanda, orang-orang Tionghoa yang

menetap di Yogyakarta dipusatkan di sekitar sebelah utara pasar Gede. Kemudian

dalam perkembangan yang lebih lanjut, pada tahun 1867 pemukiman komunitas

Tionghoa atau yang dikenal dengan nama pecinan telah menyebar di

daerah-daerah seperti: Ketandan, Gandekan, Ngabean, Ngadiwinatan, Suronatan, Gading,

Ngasem, wilayah patuk utara hingga wilayah antara rel kereta api dan tugu

Yogyakarta.13

Dalam tulisannya, Darmosugito berpendapat bahwa pada mulanya,

orang-orang Tionghoa tinggal di daerah kampung Kranggan.14 Seiring dengan

pertumbuhan penduduk orang-orang Tionghoa yang makin bertambah dengan ijin

Kasultanan mereka kemudian diperbolehkan menempati daerah selatan kampung

Kranggan hingga batas pasar Gede.15 Keberadaan orang-orang Tionghoa di

Yogyakarta yang menempati daerah-daerah di dekat pusat perekonomian

Yogyakarta, secara langsung maupun tidak langsung telah turut membangun

perekonomian Yogyakarta.

       13

Rezza Maulana. Dari ‘Muslim Tionghoa’ ke ‘Tionghoa Muslim’: Perjumpaan Tionghoa dengan Islam di Nusantara Abad XVI-XXI. Hal. 43-44

14

Darmasugito, op. cit., Hal. 23

15

Sementara itu di Yogyakarta kelompok lain berada pada: orang-orang Arab ada di kampung Sayidan dan orang-orang Eropa di Loji Kecil, Bintaran, Jetis hingga Kota Baru

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 36-42)

Dokumen terkait