PERJANJIAN GIYANTI TAHUN 1755
B. Sejarah kedatangan Tionghoa
1. Migrasi ke Nusantara
Kedatangan kelompok masyarakat Tionghoa dari negeri China jauh lebih
lama dari pada kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara.6 Secara geografis
letak wilayah Nusantara yang berada pada jalur perlayaran dan perdagangan
internasional menjadikan Nusantara sebagai tempat yang banyak dikunjungi
orang-orang Tionghoa dan kelompok masyarakat lain di dunia. Tidak semua
masyarakat Tionghoa yang datang ke Nusantara memutuskan untuk tinggal atau
menetap di Nusantara. Migrasi orang-orang Tionghoa di China menuju Nusantara
pada umumnya dilakukan secara bersama-sama atau sering dinamakan bedol desa.
Namun ada pula yang melakukan migrasi dalam kelompok kecil atau bahkan
perorangan. Meskipun migrasi orang-orang Tionghoa sudah lama terjadi, tetapi
akibat konstruksi politik yang dibangun kolonial Belanda membuat semua hal
yang berkaitan dengan masalah orang-orang Tionghoa terutama dewasa ini di
Indonesia, menjadi seolah dimulai bersamaan dengan kolonialisme Belanda yang
ada di Nusantara.
Motivasi yang melatarbelakangi migrasi yang dilakukan orang-orang
Tionghoa dari negeri China ke Nusantara adalah harapan akan kehidupan yang
lebih baik. Sebelum abad ke-19, alat transportasi laut belum begitu berkembang.
Untuk melakukan perjalanan antar pulau dengan kapal, orang harus berjuang
6 Catatan sejarah mengatakan bahwa perjalanan pertama kali bahkan sudah terjadi sejak tahun 300an. Orang Tionghoa yang pertama kali datang ke Nusantara adalah Pendeta Buddhis bernama Fa Hian yang melakukan perjalanan ke India namun berkunjung ke Jawa terlebih dahulu (399-414 M).
menempuh bahaya selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Tanpa harapan
akan kehidupan yang lebih membahagiakan, mustahil seseorang mau melakukan
perjalanan yang panjang dan penuh resiko itu.
Menurut Onghokham, Belanda dan juga China berasal dari sebuah
peradaban yang hampir sama. Kesamaan itu ditunjukkan dari latar belakang kota
yang dikelilingi oleh “dinding”. Sehingga pada dasarnya keduanya merupakan
penduduk urban atau penduduk kota. Datangnya orang-orang Tionghoa dan juga
Belanda pada pada umumnya dilakukan dalam rangka berdagang. Dalam
perkembangannya karena mereka berkecimpung dalam bidang yang sama, banyak
orang-orang Tionghoa yang kemudian menjadi mitra dagang Belanda.7 Hal ini
kemudian yang juga turut berperan, terutama dalam bidang-bidang perdagangan
yang terjadi di Nusantara
Perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Nusantara
sebenarnya sudah terjadi sejak abad ke-7. Akan tetapi, baru mengalami
perkembangan yang besar pada abad ke-19. Hal ini dikarenakan di pertengahan
abad ke-19 terjadi peningkatan migrasi yang sangat besar. Menurut Siauw Tiong
Djin, kebanyakan masyarakat Tionghoa yang bermigrasi berasal dari China
bagian selatan. Mereka memilih untuk meninggalkan tanah kelahirannya untuk
mengadu nasib di tanah seberang karena keadaan ekonomi China yang sangat
parah terutama karena dampak pemberontakan Tai Ping.8 Di antara
kelompok- 7
Onghokham. loc. cit
8
Siaw Tiong Djin. Siaw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indoneisa dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. 1999. Jakarta: Hasta Mitra. Hal. 11-12
kelompok masyarakat Tionghoa yang pergi meninggalkan tanah kelahirannya,
banyak yang memilih Hindia Belanda sebagai tujuannya. Hindia Belanda
dianggap tempat yang dapat memberikan harapan masa depan yang menjanjikan,
karena pada waktu itu investasi Belanda mengalami perkembangan pesat terutama
setelah dibukanya perkebunan dan pertambangan di wilayah Sumatra dan
Kalimantan.
Migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa dari
China ke seluruh pelosok wilayah Nusantara atau Hindia Belanda, dimulai pada
abad ke -16 hingga akhir abad ke-19. Menurut Puspa Vasanty, orang-orang
Tionghoa yang bermigrasi itu kebanyakan berasal dari suku-suku di dua propinsi
negeri China yakni propinsi Fukie dan Kwangtung.9 Masyarakat Tionghoa
bukanlah sebuah entitas satu suku, tetapi di dalamnya penuh dengan
keberagaman. Sehingga untuk dapat memahami sejarah masyarakat Tionghoa,
perlu untuk mengenal latarbelakang mereka secara lebih dalam.
Imigran dari China yang berasal dari bermacam-macam kolompok etnis
tersebut, datang ke Nusantara dengan membawa kebudayaan setiap sukunya
masing-masing. Kebudayaan yang mereka bawa dari tanah asal mereka itu dalam
perkembangannya turut menjadi sebuah strategi kebudayaan dalam
mempertahankan eksistensi mereka, terutama dalam mempertahankan hubungan
sosial antara masyarakat pribumi kelas atas dan masyarakat kolonial Belanda. Hal
itu terutama terjadi dalam kaitannya dengan dunia perekonomian. Di seluruh
9
Puspa Vasanty. Kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat, ed. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hal. 353
gugusan kepulauan Nusantara, yang kemudian setelah proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945 menjadi Negara Republik Indonesia, terdapat empat bahasa dari
suku-suku di China yang dapat ditemukan. Empat bahasa tersebut adalah:
Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Bahasa-bahasa tersebut berbeda satu
dengan lainnya walaupun keempatnya sama-sama berasal dari negeri China.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di seluruh Nusantara terdapat empat
suku besar yang berasal dari negeri China. Oleh karenanya, banyak di atara
orang-orang Tionghoa yang memakai bahasa dari tanah leluhur mereka tidak bisa atau
tidak mengerti pembicaraan antar satu suku dengan suku yang lainnya.
Pada umumnya, orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan pantai barat Sumatra adalah orang Tionghoa dari suku
Hokkien. Sesuai dengan kebudayaan asalnya, orang-orang dari suku Hokkien ini
sangat maju dalam bidang perdagangan. Konstruksi kebudayaan itu juga yang
membuat orang-orang Tionghoa yang berasal dari suku Hokkien menjadi
pedagang yang paling berhasil jika dibandingkan dengan masyarakat suku-suku
China lain yang tinggal di Nusantara. Sementara orang-orang Tionghoa dari suku
Teo-Chiu dan Hakka atau Khek, dahulu pada awalnya banyak bekerja sebagai kuli
perkebunan dan pertambangan di Sumatra Timur, Bangka. Sedangkan suku
Hakka adalah suku yang memiliki kebudayaan maritim yang kuat. Orang-orang
Tionghoa dari suku Hakka banyak bekerja di bidang kemaritiman. Seperti
diketahui, migrasi yang mereka lakukan umumnya berdasarkan kebutuhan akan
mata pencarian untuk kehidupan mereka. Orang-orang Hakka berasal dari
orang-orang Hakka yang terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1850 sampai tahun
1930, menempatkan orang-orang Hakka sebagai imigran termiskin imigran lain.
Sebaliknya orang-orang dari suku Kanton atau Kwong Fu mereka datang dengan
membawa modal besar dan dengan kemampuan teknis yang tinggi. Orang-orang
dari suku Kanton dalam abad ke-19 banyak datang ke wilayah pulau Bangka
karena pertambangan timahnya.10 Di daerah Asia Tenggara terkenal sebagai kuli
pertambangan.
2. Menetap di Yogyakarta
Setelah Kasultanan Yogyakarta berdiri tahun 1756, banyak orang-orang
dari berbagai penjuru Nusantara datang di Yogyakarta. Kedatangan mereka pada
umumnya adalah dalam rangka berdagang. Kemudian, dalam perkembangan
selanjutnya para pedagang tersebut banyak yang kemudian memilih untuk
menetap di Yogyakarta. Di antara para pendatang tersebut adalah orang-orang
Tionghoa.11 Dalam masa-masa awal ini, sebagian besar dari orang-orang
Tionghoa yang menetap di Yogyakarta merupakan kaum laki-laki yang berusia
empat belas tahun ke atas.12
10
Ibid., Hal. 353-354
11
Darmasugito. 200 tahun kota Yogyakarta ( 7-10-1756 – 7-10-1956).
1956. Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Yogyakarta 200 tahun kota Yogyakarta Sub Panitia Penerbitan. Hal.7
12 Peter Carey. Orang Jawa dan Masyarakat China (1755-1825). 1986. Jakarta: Pustaka Azet. Hal.35
Pada awalnya oleh penguasa Belanda, orang-orang Tionghoa yang
menetap di Yogyakarta dipusatkan di sekitar sebelah utara pasar Gede. Kemudian
dalam perkembangan yang lebih lanjut, pada tahun 1867 pemukiman komunitas
Tionghoa atau yang dikenal dengan nama pecinan telah menyebar di
daerah-daerah seperti: Ketandan, Gandekan, Ngabean, Ngadiwinatan, Suronatan, Gading,
Ngasem, wilayah patuk utara hingga wilayah antara rel kereta api dan tugu
Yogyakarta.13
Dalam tulisannya, Darmosugito berpendapat bahwa pada mulanya,
orang-orang Tionghoa tinggal di daerah kampung Kranggan.14 Seiring dengan
pertumbuhan penduduk orang-orang Tionghoa yang makin bertambah dengan ijin
Kasultanan mereka kemudian diperbolehkan menempati daerah selatan kampung
Kranggan hingga batas pasar Gede.15 Keberadaan orang-orang Tionghoa di
Yogyakarta yang menempati daerah-daerah di dekat pusat perekonomian
Yogyakarta, secara langsung maupun tidak langsung telah turut membangun
perekonomian Yogyakarta.
13
Rezza Maulana. Dari ‘Muslim Tionghoa’ ke ‘Tionghoa Muslim’: Perjumpaan Tionghoa dengan Islam di Nusantara Abad XVI-XXI. Hal. 43-44
14
Darmasugito, op. cit., Hal. 23
15
Sementara itu di Yogyakarta kelompok lain berada pada: orang-orang Arab ada di kampung Sayidan dan orang-orang Eropa di Loji Kecil, Bintaran, Jetis hingga Kota Baru