• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJADI BANGSAWAN DAN ELITE MASYARAKAT

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 53-72)

Orang Tionghoa mulai ada di Yogyakarta setelah Keraton Yogyakarta

berdiri, yaitu pasca perjanjian Giyanti. Dwi Naga Rasa Tunggal adalah sengkala

memet yang ada di bagian Selatan keraton Yogyakarta, merupakan lambang yang

menunjukkan berdirinya keraton, yaitu pada bulan September 1755.1 Denys

Lombard mengatakan bahwa sengkala memet yang terdapat di kraton Kasultanan

mempunyai pemikiran yang mendalam bahwa pendirian Yogyakarta merupakan

sebuah tindakan ganda yang bersifat politis namun juga spiritual sekaligus.2

Bagi sebuah kerajaan yang baru saja berdiri, pembangunan pada bidang

ekonomi menjadi bagian yang penting untuk menggerakkan roda pemerintahan.

Berdirinya pasar dekat kraton selain mempunyai fungsi secara simbolis terhadap

sistem pemerintahan kraton juga berfungsi untuk memicu para pedagang dari luar

daerah untuk datang ke Yogyakarta. Masyarakat Tionghoa adalah salah satu dari

kelompok etnis yang datang untuk berdagang dan pada akhirnya menetap di

Yogyakarta.

Berdirinya Kasultanan Yogyakarta merupakan awal keberadaan

Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Sejak itu, jumlah masyarakat Tionghoa di

       1

G. Moedjanto. Suksesi dalam Sejarah Jawa. 2002. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Hal. 121-122

2

Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 3; Warisan Kerajan-kerajaan Konsentris. 2008. Jakarta: Gramedia. Hal. 102

Yogyakarta terus berkembang seiring perubahan waktu. Setiap generasi baru

masyarakat Tionghoa tumbuh dalam konstruksi identitas sosial dari lingkungan

sekitar. Melalui konstruksi budaya Jawa serta konstruksi identitas sosial

masyarakat Yogyakata, tiap generasi yang lahir dileburkan dalam satu ruang,

yakni masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Hal inilah yang membawa etnis

Tionghoa di Yogyakarta bergabung dalam sebuah komunitas terbayang bersama

dengan kejawaan di Yogyakarta.3

Dalam konteks menjadi bagian dari sebuah komunitas yang terbayang,

setiap orang yang menjadi bagian dari komunitas tersebut atas dasar

kesetiakawanan akhirnya rela mengorbankan orang lain atau bahkan dirinya

sendiri.4 Proses inilah yang membentuk dinamika sosial masyarakat dalam

pencarian identitas kolektif rela bahkan menempuh jalur konflik atau kekerasan.

Dalam kaitannya dengan orang-orang Tionghoa di Yogyakarta, proses pencarian

identitas seperti itu akhirnya membawa mereka pada sebuah perputaran roda

kehidupan antara harmonisasi dan disharmonisasi sosial.

Posisi kelompok masyarakat Tionghoa di Yogyakarta sendiri, tidak dapat

dipisahkan dari latar belakang sosial dan budaya Jawa di Yogyakarta, serta posisi

Sultan sebagai figur yang berada pada puncak struktur kosmologis dan sistem

       3

Konsep ini dibuat oleh Benedict Anderson dalam: Benedict Anderson.

Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. 2002. Yogyakarta: Insist. Hal. 11

4

sosial di Yogyakarta.5 Sultan sebagai raja mengambil peran dalam menaungi masa

rakyatnya. Oleh karenanya, Sultan mengambil posisi yang cukup penting di dalam

seluruh dinamika masyarakat di Yogyakarta. Dalam kaitannya dengan etnis

Tionghoa di Yogyakarta, Sultan turut berperan atas keadaan masyarakat Tionghoa

di Yogyakarta. Hal tersebut terutama mengenai sikap orang-orang Yogyakarta

untuk dapat saling memahami serta menghormati.

Y. B. Mangunwijaya mengatakan bahwa dalam citra manusia tradisional

Jawa, pada hakikatnya adalah citra wayang belaka dalam kelir jagad cilik atau

yang dinamakan mikrokosmos. Di mana dalam kehidupan dipahami sebagai

sesuatu yang tidak sejati, bayangan, yang di gerakkan oleh Ki Dalang, dalam alam

penentu sejati.6 Pemahaman ini melahirkan sebuah upaya penyadaran posisi serta

kewajiban manusia muda dalam tatanan kehidupan yang dimuat di sebuah

piramida hirarkis. Sehingga, penyadaran posisi manusia melahirkan etika yang

mencoba memainkankan peran dalam kehidupan bersama. Sedangkan konflik

muncul sebagai benturan dari kepentingan-kepentingan manusia. Konflik selalu

muncul dalam kehidupan sebagai bagian dari dinamika sosial kehidupan manusia.

Dari sudut inilah muncul dualisme antara penerimaan dan penolakan masyarakat

Tionghoa oleh masyarakat sekitar. Penerimaan dan penolakan ini akan dilihat dari

beberapa bidang kehidupan yang terus berputar dan membentuk arus hubungan

yang harmonis dan disharmonis.

      

5 Budi Susanto, S. J., ed. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. 2003. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 71

6

Sindhunata, Ed. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. 2001. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 156-157

Kasultanan Yogyakarta yang merupakan sebuah kerajaan, tentu memiliki

sebuah sisitem sosial yang dibangun di masyarakatnya dalam rangka penyadaran

posisi setiap individunya dalam sebuah tataran hierarkis secara vertikal.

Srtatifikasi sosial seperti ini lahir tidak semata-mata untuk mengkotak-kotakkan

masyarakatnya, akan tetapi untuk menyadari bagaimana posisi di antara manusia

dengan sesamanya yang memiliki hak, kewajiban, serta tanggungjawab yang

berbeda. Hal ini tergambar melalui hasil kebudayaan Jawa yakni wayang. Frans

Magnis Suseno mengatakan bahwa golongan dewa, brahmana, satria, punakawan,

dan lain-lain mempunyai norma-normanya sendiri, bahkan setiap individu

memiliki tugas, peran, untuk mempertahankan keselarasan dengan alam dan

masyarakat.7 Wayang sebagai hasil kebudayaan Jawa, lahir dengan nafas

kebudayaan yang benar-benar hidup di masyarakat Jawa. Wayang bukanlah

semata sebuah angan atau cita-cita bentuk ideal seorang manusia Jawa. Dalam

bahasa Jawa kata wayang berarti bayangan, dan memiliki filosofi yang bermakna

pencerminan dari sifat-sifat yang ada di dalam diri masusia seperti kebajikan,

angkara murka, dan lain-lain.8

Sistem sosial secara hierarkis vertikal yang ada di masyarakat Yogyakarta

tersebut hidup dan dihidupi oleh seluruh masyarakat yang ada di Yogyakarta.

Oleh karena itu, hal ini berarti juga bahwa kelompok masyarakat Tionghoa dan

kelompok etnis lainnya yang tinggal di Yogyakarta tidak bisa untuk mengabaikan

       7

Franz Magnis Suseno. Wayang dan Panggilan Manusia. 1991. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 29

8

Lihat http://www.wacananusantara.org/99/356/Wayang diunduh pada tanggal 12-7-2010 pada pukul 12.54 Am

sistem sosial tersebut. Sebuah sistem sosial di mana Sultan menduduki puncak

teratas dalam piramida yang tersusun secara hierarkis. Dalam prosesnya, hal inilah

yang menjadi sarana bagai orang-orang Tionghoa di Yogyakarta untuk

berintegrasi dengan masyarakat setempat. Walaupun Kasultanan Yogyakarta

merupakan sebuah kerajaan yang cenderung lebih tertutup terutama jika

dibandingkan dengan Kasunanan di Surakarta akan tetapi bukanlah hal yang

benar-benar mustahil bagi kelompok etnis seperti etnis Tionghoa untuk bisa

masuk dan diterima sebagai bagian dari Kasultanan. Masuknya orang-orang

Tionghoa di dalam Kraton memperlihatkan sebuah proses dimana ada upaya baik

secara kultural, sosial bahkan politis untuk melebur bersama dengan masyarakat

Yogyakarta yang lain. Sebuah integrasi yang terjadi baik secara sadar atau pun

tidak, secara sengaja ataupun tidak, telah menempatkan masyarakat Tionghoa di

Yogyakarta dalam dinamika kehidupan yang lebih harmonis jika dibanding

dengan daerah lain di Nusantara. Sehingga masuknya orang-orang Tionghoa ke

dalam hierarki sosial masyarakat Yogyakarta adalah sebuah langkah yang

berpengaruh dalam hubungannya dengan penerimaan masyarakat Yogyakarta atas

masyarakat Tionghoa. Walaupun demikian Sultan tetaplah merupakan seorang

Raja yang menjadi kunci utama dalam keseluruhan dinamika masyarakat

Tionghoa di Yogyakarta.

Dinamika integrasi antara kelompok masyarakat Tionghoa dengan

masyarakat Jawa Yogyakarta terlihat dengan penerimaan masyarakat umum pada

posisi orang-orang Tionghoa yang menduduki posisi berpengaruh dalam segi-segi

karena adanya penerimaan satu golangan masyarakat kepada golongan yang lain

yang terjadi tanpa maksud tertentu atau latar belakang politis di dalamnya, tetapi

juga dapat terjadi karena proses integrasi menjadi jalan yang harus ditempuh

untuk menjaga eksistensi sebuah kelompok. Sehingga Integrasi menjadi alat

politis dalam mempertahankan kelompok. Integrasi di Yogyakarta kemudian

terlihat dengan keberadaan atas posisi orang-orang Tionghoa yang secara

hierarkis dalam struktur masyarakat Yogyakarta dapat memasuki posisi yang

cukup tinggi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Bahkan dapat dilihat

bagaimana orang-orang Tionghoa berhasil masuk dalam bagian dari Kraton, atau

juga melalui gelar kebangsawanan, serta menjadi elit masyarakat dalam

memperjuangkan aspek sosial kebudayaan yang ada di masyarakat Yogyakarta.

A. Menjadi Bagian dari Kraton

Bangsawan adalah keturunan darah biru, atau ningrat. Dalam sistem

pemerintahan Kerajaan, semua keturunan Raja atau orang yang diangkat menjadi

saudara Raja kemudian memiliki gelar bangsawan. Para bangsawan itu

menambahkan nama yang tidak bisa dimiliki oleh orang biasa. Kasultanan

Yogyakarta sendiri memiliki raja dengan gelar Sultan. Sultan merupakan sebuah

istilah yang diambil dari bahasa Arab dengan makna raja.9

Menurut konsep dari kekuasaan Jawa, seorang Raja memiliki kekuasaan

yang mutlak terhadap wilayah kekuasaannya. Oleh karenanya, maka dikenal itilah

       9

G. moedjanto. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. 1987. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 122

gung binathara bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemeliharaan

hukum dan penguasa dunia), maka dari itu dalam negerinya seorang raja Jawa

memegang kekuasaan tertinggi.10 Akan tetapi, apa yang didapatkan seorang raja

tersebut harus diimbangi dengan kewajiban yang besar pula yakni menjaga

keteraturan serta keamanan rakyatnya. Sehingga tidak terjadi seorang raja

memerintah secara tirani atas rakyatnya. Dengan demikian seorang Raja menjadi

figur yang penting dalam kaitannya dengan seluruh dinamika yang ada di

masyarakatnya. Hal tersebut juga berarti proses integrasi antar etnis yang tinggal

di wilayah Yogyakarta dipengaruhi pula sikap kraton dengan Sultan Hamengku

Buwono sebagai rajanya.

Dalam susunan hierarki sosial di masyarakat, seorang Raja menduduki

puncak tertinggi dalam stratifikasi tersebut. Dalam kehidupan nyata hal tersebut

ditunjukkan dari bagaimana bahasa yang dipilih untuk menyebut atau berbicara

dengan seorang Raja. Sosok Raja sebagai sosok yang dihormati dan dipatuhi

menjadi lebih kuat karena hidup kepercayaan bahwa sabda pandita-ratu tan kena

wola-wali yang berarti bahwa perkataan seorang pendeta dan Raja tidak boleh

mencla-mencle.11 Hal itu lah yang terus menjaga kewibawaan raja dalam

masyarakat.

Sejarah yang berhubungan dengan etnis Tionghoa dalam kerajaan Islam di

Jawa pada dasarnya sudah berlangsung sejak lama. Hal tersebut bahkan

ditunjuukan pada kerajaan islam pertama di Jawa yaitu kerajaan Demak. Kerajaan

       10

Ibid., Hal. 122-123

11

Demak telah berhubungan dengan orang-orang Tionghoa dari Palembang.12 Raja

Majapahit yang bernama Brawijaya memiliki selir seorang Tionghoa. Selir itu

kemudian melahirkan anak yang kemudian di beri nama Raden Patah. Raden

Patah memiliki nama lain Cek Ko Po.13 Ketika Raden Patah masih dalam

kandungan, terjadi malasah internal istana Majapahit. Keadaan itu kemudian

membuat Raja Brawijaya menitipkan perempuan Tionghoa, ibu dari Raden Patah

kepada seorang adipati di Palembang yang bernama Arya Damar. Arya Damar

sendiri juga merupakan seorang keturunan Tionghoa. Ia adalah putra dari

Wikramawardhana, seorang raja Majapahit dengan seorang putri Tionghoa dari

Cangki, Majakerta.14 Perkawinan antara Arya Damar dengan ibu dari Raden Patah

juga membuahkan seorang anak bernama Raden Kusen. Raden Patah kemudian

berjuang membangun kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, yakni kerajaan

Demak, setelah sebelumnya ia belajar dari Sunan Ngampel, setelah Sunan

Ngampel mengangkatnya menjadi cucu menantunya. Jika dilihat dari garis

keturunannya maka seluruh Raja yang memerintah di Demak serta keturunannya

adalah keturunan etnis Tionghoa. Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan

etnis Tionghoa di Jawa telah berintegrasi bahkan sejak sebelum Belanda datang

ke Nusantara. Seorang Raja keturunan Tionghoa pun dapat diterima sebagai mana

layaknya seorang Raja pada umumnya. Masyarakat tidak menilai dari apa yang

      

12 Rustopo. Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998. 2007. Yogyakarta: Ombak. Hal. 55

13

Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2; Jaringan Asia. 2008. Jakarta: Gramedia. Hal. 14 dan 47

14

terlihat diluarnya saja, tetapi lebih pada bagaimana seorang Raja mampu untuk

memimpin dan mengayomi rakyatnya.

Bangsawan pada dasarnya merupakan kelompok kecil dari keseluruhan

masyarakat. Namun, karena mereka adalah keturunan raja mereka memiliki

kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Posisi demikian memberikan

Bangsawan sebagai seorang yang dihormati oleh masyarakat. Menjadi Bangsawan

selain karena memiliki kesamaan atau kedekatan secara genetis dari Raja, tetapi

juga menjadi bangsawan dapat pula dengan melalui proses pengangkatan.

Bukanlah orang sembarangan yang dapat diangkat menjadi bagian dari kraton.

Mereka harus memiliki kompetensi tertentu dan telah dianggap berjasa bagi

kraton, selain itu juga mereka harus mengabdi pada Kraton. Tan Jing Sing adalah

seorang dari etnis Tionghoa Yogyakarat yang diangkat menjadi bagian dari

Kraton dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.

Tan Jing Sing menjadi sosok yang penting dalam hubungan baik yang

terjalin antara kelompok masyarakat Tionghoa dengan kesultanan serta

masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Tan Jing Sing dinilai telah berjasa bagi

Kasultanan. Ia telah berhasil masuk dalam pengangkatan putra mahkota, yang

kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwana III. Tan Jing Sing telah menjadi

diplomat yang membuat penguasa Inggris mendukung pengangkatan sang putra

mahkota itu. Hubungan pribadi Tan Jing Sing dengan Sri Sultan Hamengku

dikarenakan Tan Jing Sing telah menjadi seorang penterjemah, asisten, dan teman

bagi Sultan.15

Tan Jing Sing memperlihatkan keberhasilah seorang etnis Tionghoa untuk

dapat diterima di dalam Kraton dan mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung.

Oleh Kraton, Tan Jing Sing ditugaskan menjadi seorang Bupati. Jabatan yang

diterima oleh Tan Jing Sing ini membuat ia bertugas dalam wilayah Negara

Agung. Wilayah ini juga merupakan inti dari kerajaan.16 Hal tersebut telah

mempengaruhi bagaimana pola integrasi di kalangan masyarakat bawah. Tan Jing

Sing sendiri telah menunjukkan keberhasilan berintegrasi ke dalam kraton dengan

serangkaian tindakannya yang akhirnya membawa putra mahkota naik tahta

menjadi Sultan Hamengku Buwana III.

Hingga pada tahun 1877, di waktu Sultan Hamengku Buwana VI menjadi

Raja yang memerintah Yogyakarta, tidak tercatat seorang keturunan etnis

Tiongghoa yang menyamai prestasi Tan Jing Sing. Walaupun demikian keturunan

Tan Jing Sing tetap diakui sebagai bagian dari Kraton Kasultanan. Bahkan hingga

akhir abad ke-20 keturunan Tan Jing Sing membentuk suatu perkumpulan

keluarga Secodiningrat.

Hamengku Buwana VI meninggal dunia tanpa meninggalkan putra. Akan

tetapi, setelah Hamengku Buwana VI menyadari bahwa prameswari tidak

       15

Budi Susanto, op. cit., Hal. 74

16

Pejabat tinggi yang bertugas mengurus administrasi pemerintahan Negara Agung secara berturut-turut adalah: Patih Jawi, Wedana Jawi, Bupati beserta pejabat-pejabatnya, dan Demang atau Kyai Lurah. Lihat, Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. 1978. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 12-13.

melahirkan putra, ia kemudian mengangkat seorang selirnya yakni ibu dari Gusti

Hangabehi, seorang putri dari desa Payak, menjadi seorang prameswari.17 Dengan

demikian setelah Sultan Hamengku Buwana VI meninggal dunia, Hangabehi

kemudian diangkat menjadi Hamengkubu Buwana VII.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII, di

Yogyakarta terdapat 17 pabrik gula. Pendirian pabrik-pabrik gula ini sangat

menguntungkan pihak Kraton Yogyakarta sebagai pemilik tanah. Hal ini

kemudian memberikan pemasukkan ke Kraton yang sangat besar, bahkan karena

kekayaan yang didapatkan itu Sultan Hamengku Buwana VII dijuluki sebagai

sultan Sugih (kaya). Pendirian pabrik-pabrik gula di Yogyakarta tersebut juga

menjadi penanda dimulainya politik kolonial liberal, dimana swasta diberi

kesempatan untuk membuka kesempatan dalam bidang usaha seluas-luasnya. Hal

tersebut juga menutup era Tanam Paksa yang telah dihapus pada tahun 1882.

Pihak Belanda sering mempercayakan pengurusan pabriknya pada orang-orang

Tionghoa.

Sri Sultan Hamengku Buwana VII membawa Yogyakarta pada

modernisasi Yogyakarta. Dalam masa pemerintahannya dinamika pergerakan

masyarakat Yogyakarta mengalami gerak dalam frekuensi yang tinggi. Hal

tersebut dapat dilihat dengan lahirnya organisasi-organisasi di Yogyakarta. Sri

Sultan Hamengku Buwana VII dikenal telah terbuka pada hal-hal yang baru. Para

elit Yogyakarta telah sadar bahwa perjuangan dengan menggunakan senjata sudah

       17

G. Moedjaonto. Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman. 1994. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 21

tidak lagi cukup, maka mereka berjuang melalui sektor pendidikan dan sosial

kebudayaan.

B. Elite Masyarakat

George Simmel mengatakan bahwa interaksi sosial dari sejumlah individu

ataupun kelompok pada akhirnya memiliki fungsi sebagai pembentuk kesatuan.18

Melalui hubungan atau interaksi sosial di masyarakat memungkinkan terjadi

sebuah penyatuan dalam masyarakat. Hal tersebut terutama dapat terjadi karena

adanya komunikasi dalam setiap interaksi tersebut. Sehingga masyarakat sendiri

akhirnya menjadi sebuah kumpulan dari tiap interaksi-interaksi manusia. Melalui

komunikasi setiap individu dapat memahami apa yang dibutuhkan dalam rangka

mewujudkan sebuah kepentingan yang pada dasarnya merujuk pada eksistensi

manusia. Dari sinilah sebuah pertumbuhan atau perkembangan masyarakat terjadi.

Sejalan dengan diberlakukannya politik etis Belanda di Yogyakarta,

perubahan demi perubahan terjadi di wilayah ini. Politik etis merupakan sebuah

konsep politik yang menghendaki sebuah perubahan politik kolonial di daerah

jajahan dengan mengutamakan kesejahteraan terhadap masyarakatnya. Politik ini

dilahirkan karena perubahan haluan politik di negeri Belanda. Pada waktu itu

Belanda mulai menjalankan politik liberal. Apa yang terjadi di negeri Belanda

tersebut kemudian berdampak terhadap kebijakan di wilayah Hindia Belanda.

Sehingga mulai dari sini imperialisme Belanda menemukan wujud barunya

       18

AB. Widyanta. Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan George Simmel. 2004. Yogyakarta: Cindelaras. Hal. 85

melalui piolitik etis atau yang juga di kenal dengan nama politik balas budi.

Kebijakan Belanda ini memberikan kesempatan pada interaksi sosial masyarakat

terpelajar yang kemudian melahirkan elite-elite yang menjadi penggerak dalam

titik-titik perubahan di Hindia Belanda.

Melalui politik etis yang diterapkan di Yogyakarta ini, lahirlah elite

masyarakat yang sangat berperan penting dalam setiap dinamika sosial budaya

terutama dalam periode yang dinamakan periode kebangkitan Nasional. Elite

masyarakat merupakan kelompok kecil dari masyarakat. Mereka adalah kelompok

minoritas dominan. Dikatakan demikaian karena mereka secara kwantitatif adalah

kelompok minoritas atau kecil, akan tetapi keberadaan mereka mempengaruhi

kelompok masyarakat lain. Hal tersebut dikarenakan melalui golongan inilah

perubahan-perubahan terjadi. Namun akses untuk menjadi seorang elite

masyarakat tentu terbatas, mengingat istilah elite sendiri yang digunakan hanya

untuk orang-orang terbaik saja.

Gagasan dari politik etis pada pada dasarnya mencangkup empat hal

yakni: perubahan sisitem pemerintahan, politik desentralisasi, otonomi Hindia

Belanda, dan pemisahan anggaran belanja negeri Belanda dengan Hindia

Belanda.19 Gagasan itulah yang kemudian membuat adanya perbaikan masalah

pendidikan di Hindia Belanda. Sehingga pada awal tahun 1900-an

sekolah-sekolah banyak berdiri di Yogyakarta. Akan tetapi, walaupun banyak sekolah-sekolah

yang berdiri, biaya pendidikan tetap saja sangat mahal. Sehingga hanya

orang-       19

Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, op. cit., Hal. 41

orang tertentu saja yang dapat merasakan pendidikan. Sekolah-sekolah Belanda

itu menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolahan mereka.

Dengan demikian setiap anak yang hendak masuk ke sekolah harus bisa berbahasa

Belanda.

Kelompok terpelajar yang dapat menikmati pendidikan Barat tersebut

banyak yang secara langsung terjun ke masyarakat untuk membantu masyarakat

kecil yang berkekurangan. Seperti melalui jalur kesehatan. Organisasi-organisasi

masyarakat mulai lahir sebagai bentuk dari aspirasi masyarakat atas semangat

kebersamaan. Hal tersebebut terlihat dari sikap Wahidin Soedirohoesodo. Ia

adalah seorang priyayi rendah. Wahidin Soedirohoesodo juga adalah generasi

bumiputra pertama yang mendapatkan pendidikan Belanda. Wahidin menjadi

seorang dokter yang sangat populer di daerah Yogyakarta. Selain menjadi seorang

dokter ia juga aktif dalam pemikiran tentang kemajuan bangsanya. Ia dekat

dengan banyak orang dan juga kelompok masyarakat Tionghoa. Kedekatannya

dengan kelompok masyarakat Tionghoa secara tidak sadar sebenarnya telah

membuat sebuah konstruksi bagi masyarakat lain untuk tidak membeda-bedakan.

Dengan perubahan-perubahan yang terjadi di negeri Belanda, Hindia

Belanda turut merasakan dampaknya. Melalui pendidikan yang berkembang pesat

terutama karena adanya polik etis Belanda, membawa pemikiran Modern pada

golongan terpelajar di Hindia Belanda. Awal tahun 1900-an adalah masa dimana

rakyat di Hindia Belanda, khususnya Jawa menemukan sebuah bentuk perlawanan

kolonialisme dan imperialisme melalui pergerakan-pergerakan baik di bidang

tetap saja bukan sesuatu yang dapat dengan mudah diakses bagi setiap masyarakat

di Hindia Belanda, namun hal demikian bukanlah berarti pendidikan bagi generasi

muda bukanlah hal yang mustahil. Dengan melaui pendidikan lahirlah elite

masyarakat dari kelompok etnis Tionghoa di Yogyakarta. Banyak di antara elite

itu ikut berperan dalam perjuangan masyarakat Yogyakarta. Hal tersebut terutama

dalam bidang sosial kebudayaan.

Dengan melalui pendidikan seorang mempunyai kesempatan dalam

menyerap ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam kerangka kehidupan

bersama. Pada periode awal masa politik etis atau pada awal abad ke-19, salah

satu bidang studi yang menjadi perhatian kelompok masyarakat yang mampu atau

dapat mengakses dunia pendidikan adalah bidang kesehatan. Di Yogyakarta

sendiri muncul dokter-dokter yang lahir dari pendidikan Barat. Berdirinya sebuah

rumah sakit mata di mana Sultan Hamengku Buwono VIII sendiri yang

meletakkan batu pertamanya pada tanggal 12 November 1922, merupakan bukti

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 53-72)

Dokumen terkait