Orang Tionghoa mulai ada di Yogyakarta setelah Keraton Yogyakarta
berdiri, yaitu pasca perjanjian Giyanti. Dwi Naga Rasa Tunggal adalah sengkala
memet yang ada di bagian Selatan keraton Yogyakarta, merupakan lambang yang
menunjukkan berdirinya keraton, yaitu pada bulan September 1755.1 Denys
Lombard mengatakan bahwa sengkala memet yang terdapat di kraton Kasultanan
mempunyai pemikiran yang mendalam bahwa pendirian Yogyakarta merupakan
sebuah tindakan ganda yang bersifat politis namun juga spiritual sekaligus.2
Bagi sebuah kerajaan yang baru saja berdiri, pembangunan pada bidang
ekonomi menjadi bagian yang penting untuk menggerakkan roda pemerintahan.
Berdirinya pasar dekat kraton selain mempunyai fungsi secara simbolis terhadap
sistem pemerintahan kraton juga berfungsi untuk memicu para pedagang dari luar
daerah untuk datang ke Yogyakarta. Masyarakat Tionghoa adalah salah satu dari
kelompok etnis yang datang untuk berdagang dan pada akhirnya menetap di
Yogyakarta.
Berdirinya Kasultanan Yogyakarta merupakan awal keberadaan
Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Sejak itu, jumlah masyarakat Tionghoa di
1
G. Moedjanto. Suksesi dalam Sejarah Jawa. 2002. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Hal. 121-122
2
Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 3; Warisan Kerajan-kerajaan Konsentris. 2008. Jakarta: Gramedia. Hal. 102
Yogyakarta terus berkembang seiring perubahan waktu. Setiap generasi baru
masyarakat Tionghoa tumbuh dalam konstruksi identitas sosial dari lingkungan
sekitar. Melalui konstruksi budaya Jawa serta konstruksi identitas sosial
masyarakat Yogyakata, tiap generasi yang lahir dileburkan dalam satu ruang,
yakni masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Hal inilah yang membawa etnis
Tionghoa di Yogyakarta bergabung dalam sebuah komunitas terbayang bersama
dengan kejawaan di Yogyakarta.3
Dalam konteks menjadi bagian dari sebuah komunitas yang terbayang,
setiap orang yang menjadi bagian dari komunitas tersebut atas dasar
kesetiakawanan akhirnya rela mengorbankan orang lain atau bahkan dirinya
sendiri.4 Proses inilah yang membentuk dinamika sosial masyarakat dalam
pencarian identitas kolektif rela bahkan menempuh jalur konflik atau kekerasan.
Dalam kaitannya dengan orang-orang Tionghoa di Yogyakarta, proses pencarian
identitas seperti itu akhirnya membawa mereka pada sebuah perputaran roda
kehidupan antara harmonisasi dan disharmonisasi sosial.
Posisi kelompok masyarakat Tionghoa di Yogyakarta sendiri, tidak dapat
dipisahkan dari latar belakang sosial dan budaya Jawa di Yogyakarta, serta posisi
Sultan sebagai figur yang berada pada puncak struktur kosmologis dan sistem
3
Konsep ini dibuat oleh Benedict Anderson dalam: Benedict Anderson.
Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. 2002. Yogyakarta: Insist. Hal. 11
4
sosial di Yogyakarta.5 Sultan sebagai raja mengambil peran dalam menaungi masa
rakyatnya. Oleh karenanya, Sultan mengambil posisi yang cukup penting di dalam
seluruh dinamika masyarakat di Yogyakarta. Dalam kaitannya dengan etnis
Tionghoa di Yogyakarta, Sultan turut berperan atas keadaan masyarakat Tionghoa
di Yogyakarta. Hal tersebut terutama mengenai sikap orang-orang Yogyakarta
untuk dapat saling memahami serta menghormati.
Y. B. Mangunwijaya mengatakan bahwa dalam citra manusia tradisional
Jawa, pada hakikatnya adalah citra wayang belaka dalam kelir jagad cilik atau
yang dinamakan mikrokosmos. Di mana dalam kehidupan dipahami sebagai
sesuatu yang tidak sejati, bayangan, yang di gerakkan oleh Ki Dalang, dalam alam
penentu sejati.6 Pemahaman ini melahirkan sebuah upaya penyadaran posisi serta
kewajiban manusia muda dalam tatanan kehidupan yang dimuat di sebuah
piramida hirarkis. Sehingga, penyadaran posisi manusia melahirkan etika yang
mencoba memainkankan peran dalam kehidupan bersama. Sedangkan konflik
muncul sebagai benturan dari kepentingan-kepentingan manusia. Konflik selalu
muncul dalam kehidupan sebagai bagian dari dinamika sosial kehidupan manusia.
Dari sudut inilah muncul dualisme antara penerimaan dan penolakan masyarakat
Tionghoa oleh masyarakat sekitar. Penerimaan dan penolakan ini akan dilihat dari
beberapa bidang kehidupan yang terus berputar dan membentuk arus hubungan
yang harmonis dan disharmonis.
5 Budi Susanto, S. J., ed. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. 2003. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 71
6
Sindhunata, Ed. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. 2001. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 156-157
Kasultanan Yogyakarta yang merupakan sebuah kerajaan, tentu memiliki
sebuah sisitem sosial yang dibangun di masyarakatnya dalam rangka penyadaran
posisi setiap individunya dalam sebuah tataran hierarkis secara vertikal.
Srtatifikasi sosial seperti ini lahir tidak semata-mata untuk mengkotak-kotakkan
masyarakatnya, akan tetapi untuk menyadari bagaimana posisi di antara manusia
dengan sesamanya yang memiliki hak, kewajiban, serta tanggungjawab yang
berbeda. Hal ini tergambar melalui hasil kebudayaan Jawa yakni wayang. Frans
Magnis Suseno mengatakan bahwa golongan dewa, brahmana, satria, punakawan,
dan lain-lain mempunyai norma-normanya sendiri, bahkan setiap individu
memiliki tugas, peran, untuk mempertahankan keselarasan dengan alam dan
masyarakat.7 Wayang sebagai hasil kebudayaan Jawa, lahir dengan nafas
kebudayaan yang benar-benar hidup di masyarakat Jawa. Wayang bukanlah
semata sebuah angan atau cita-cita bentuk ideal seorang manusia Jawa. Dalam
bahasa Jawa kata wayang berarti bayangan, dan memiliki filosofi yang bermakna
pencerminan dari sifat-sifat yang ada di dalam diri masusia seperti kebajikan,
angkara murka, dan lain-lain.8
Sistem sosial secara hierarkis vertikal yang ada di masyarakat Yogyakarta
tersebut hidup dan dihidupi oleh seluruh masyarakat yang ada di Yogyakarta.
Oleh karena itu, hal ini berarti juga bahwa kelompok masyarakat Tionghoa dan
kelompok etnis lainnya yang tinggal di Yogyakarta tidak bisa untuk mengabaikan
7
Franz Magnis Suseno. Wayang dan Panggilan Manusia. 1991. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 29
8
Lihat http://www.wacananusantara.org/99/356/Wayang diunduh pada tanggal 12-7-2010 pada pukul 12.54 Am
sistem sosial tersebut. Sebuah sistem sosial di mana Sultan menduduki puncak
teratas dalam piramida yang tersusun secara hierarkis. Dalam prosesnya, hal inilah
yang menjadi sarana bagai orang-orang Tionghoa di Yogyakarta untuk
berintegrasi dengan masyarakat setempat. Walaupun Kasultanan Yogyakarta
merupakan sebuah kerajaan yang cenderung lebih tertutup terutama jika
dibandingkan dengan Kasunanan di Surakarta akan tetapi bukanlah hal yang
benar-benar mustahil bagi kelompok etnis seperti etnis Tionghoa untuk bisa
masuk dan diterima sebagai bagian dari Kasultanan. Masuknya orang-orang
Tionghoa di dalam Kraton memperlihatkan sebuah proses dimana ada upaya baik
secara kultural, sosial bahkan politis untuk melebur bersama dengan masyarakat
Yogyakarta yang lain. Sebuah integrasi yang terjadi baik secara sadar atau pun
tidak, secara sengaja ataupun tidak, telah menempatkan masyarakat Tionghoa di
Yogyakarta dalam dinamika kehidupan yang lebih harmonis jika dibanding
dengan daerah lain di Nusantara. Sehingga masuknya orang-orang Tionghoa ke
dalam hierarki sosial masyarakat Yogyakarta adalah sebuah langkah yang
berpengaruh dalam hubungannya dengan penerimaan masyarakat Yogyakarta atas
masyarakat Tionghoa. Walaupun demikian Sultan tetaplah merupakan seorang
Raja yang menjadi kunci utama dalam keseluruhan dinamika masyarakat
Tionghoa di Yogyakarta.
Dinamika integrasi antara kelompok masyarakat Tionghoa dengan
masyarakat Jawa Yogyakarta terlihat dengan penerimaan masyarakat umum pada
posisi orang-orang Tionghoa yang menduduki posisi berpengaruh dalam segi-segi
karena adanya penerimaan satu golangan masyarakat kepada golongan yang lain
yang terjadi tanpa maksud tertentu atau latar belakang politis di dalamnya, tetapi
juga dapat terjadi karena proses integrasi menjadi jalan yang harus ditempuh
untuk menjaga eksistensi sebuah kelompok. Sehingga Integrasi menjadi alat
politis dalam mempertahankan kelompok. Integrasi di Yogyakarta kemudian
terlihat dengan keberadaan atas posisi orang-orang Tionghoa yang secara
hierarkis dalam struktur masyarakat Yogyakarta dapat memasuki posisi yang
cukup tinggi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Bahkan dapat dilihat
bagaimana orang-orang Tionghoa berhasil masuk dalam bagian dari Kraton, atau
juga melalui gelar kebangsawanan, serta menjadi elit masyarakat dalam
memperjuangkan aspek sosial kebudayaan yang ada di masyarakat Yogyakarta.
A. Menjadi Bagian dari Kraton
Bangsawan adalah keturunan darah biru, atau ningrat. Dalam sistem
pemerintahan Kerajaan, semua keturunan Raja atau orang yang diangkat menjadi
saudara Raja kemudian memiliki gelar bangsawan. Para bangsawan itu
menambahkan nama yang tidak bisa dimiliki oleh orang biasa. Kasultanan
Yogyakarta sendiri memiliki raja dengan gelar Sultan. Sultan merupakan sebuah
istilah yang diambil dari bahasa Arab dengan makna raja.9
Menurut konsep dari kekuasaan Jawa, seorang Raja memiliki kekuasaan
yang mutlak terhadap wilayah kekuasaannya. Oleh karenanya, maka dikenal itilah
9
G. moedjanto. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. 1987. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 122
gung binathara bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemeliharaan
hukum dan penguasa dunia), maka dari itu dalam negerinya seorang raja Jawa
memegang kekuasaan tertinggi.10 Akan tetapi, apa yang didapatkan seorang raja
tersebut harus diimbangi dengan kewajiban yang besar pula yakni menjaga
keteraturan serta keamanan rakyatnya. Sehingga tidak terjadi seorang raja
memerintah secara tirani atas rakyatnya. Dengan demikian seorang Raja menjadi
figur yang penting dalam kaitannya dengan seluruh dinamika yang ada di
masyarakatnya. Hal tersebut juga berarti proses integrasi antar etnis yang tinggal
di wilayah Yogyakarta dipengaruhi pula sikap kraton dengan Sultan Hamengku
Buwono sebagai rajanya.
Dalam susunan hierarki sosial di masyarakat, seorang Raja menduduki
puncak tertinggi dalam stratifikasi tersebut. Dalam kehidupan nyata hal tersebut
ditunjukkan dari bagaimana bahasa yang dipilih untuk menyebut atau berbicara
dengan seorang Raja. Sosok Raja sebagai sosok yang dihormati dan dipatuhi
menjadi lebih kuat karena hidup kepercayaan bahwa sabda pandita-ratu tan kena
wola-wali yang berarti bahwa perkataan seorang pendeta dan Raja tidak boleh
mencla-mencle.11 Hal itu lah yang terus menjaga kewibawaan raja dalam
masyarakat.
Sejarah yang berhubungan dengan etnis Tionghoa dalam kerajaan Islam di
Jawa pada dasarnya sudah berlangsung sejak lama. Hal tersebut bahkan
ditunjuukan pada kerajaan islam pertama di Jawa yaitu kerajaan Demak. Kerajaan
10
Ibid., Hal. 122-123
11
Demak telah berhubungan dengan orang-orang Tionghoa dari Palembang.12 Raja
Majapahit yang bernama Brawijaya memiliki selir seorang Tionghoa. Selir itu
kemudian melahirkan anak yang kemudian di beri nama Raden Patah. Raden
Patah memiliki nama lain Cek Ko Po.13 Ketika Raden Patah masih dalam
kandungan, terjadi malasah internal istana Majapahit. Keadaan itu kemudian
membuat Raja Brawijaya menitipkan perempuan Tionghoa, ibu dari Raden Patah
kepada seorang adipati di Palembang yang bernama Arya Damar. Arya Damar
sendiri juga merupakan seorang keturunan Tionghoa. Ia adalah putra dari
Wikramawardhana, seorang raja Majapahit dengan seorang putri Tionghoa dari
Cangki, Majakerta.14 Perkawinan antara Arya Damar dengan ibu dari Raden Patah
juga membuahkan seorang anak bernama Raden Kusen. Raden Patah kemudian
berjuang membangun kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, yakni kerajaan
Demak, setelah sebelumnya ia belajar dari Sunan Ngampel, setelah Sunan
Ngampel mengangkatnya menjadi cucu menantunya. Jika dilihat dari garis
keturunannya maka seluruh Raja yang memerintah di Demak serta keturunannya
adalah keturunan etnis Tionghoa. Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan
etnis Tionghoa di Jawa telah berintegrasi bahkan sejak sebelum Belanda datang
ke Nusantara. Seorang Raja keturunan Tionghoa pun dapat diterima sebagai mana
layaknya seorang Raja pada umumnya. Masyarakat tidak menilai dari apa yang
12 Rustopo. Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998. 2007. Yogyakarta: Ombak. Hal. 55
13
Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2; Jaringan Asia. 2008. Jakarta: Gramedia. Hal. 14 dan 47
14
terlihat diluarnya saja, tetapi lebih pada bagaimana seorang Raja mampu untuk
memimpin dan mengayomi rakyatnya.
Bangsawan pada dasarnya merupakan kelompok kecil dari keseluruhan
masyarakat. Namun, karena mereka adalah keturunan raja mereka memiliki
kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Posisi demikian memberikan
Bangsawan sebagai seorang yang dihormati oleh masyarakat. Menjadi Bangsawan
selain karena memiliki kesamaan atau kedekatan secara genetis dari Raja, tetapi
juga menjadi bangsawan dapat pula dengan melalui proses pengangkatan.
Bukanlah orang sembarangan yang dapat diangkat menjadi bagian dari kraton.
Mereka harus memiliki kompetensi tertentu dan telah dianggap berjasa bagi
kraton, selain itu juga mereka harus mengabdi pada Kraton. Tan Jing Sing adalah
seorang dari etnis Tionghoa Yogyakarat yang diangkat menjadi bagian dari
Kraton dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.
Tan Jing Sing menjadi sosok yang penting dalam hubungan baik yang
terjalin antara kelompok masyarakat Tionghoa dengan kesultanan serta
masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Tan Jing Sing dinilai telah berjasa bagi
Kasultanan. Ia telah berhasil masuk dalam pengangkatan putra mahkota, yang
kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwana III. Tan Jing Sing telah menjadi
diplomat yang membuat penguasa Inggris mendukung pengangkatan sang putra
mahkota itu. Hubungan pribadi Tan Jing Sing dengan Sri Sultan Hamengku
dikarenakan Tan Jing Sing telah menjadi seorang penterjemah, asisten, dan teman
bagi Sultan.15
Tan Jing Sing memperlihatkan keberhasilah seorang etnis Tionghoa untuk
dapat diterima di dalam Kraton dan mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung.
Oleh Kraton, Tan Jing Sing ditugaskan menjadi seorang Bupati. Jabatan yang
diterima oleh Tan Jing Sing ini membuat ia bertugas dalam wilayah Negara
Agung. Wilayah ini juga merupakan inti dari kerajaan.16 Hal tersebut telah
mempengaruhi bagaimana pola integrasi di kalangan masyarakat bawah. Tan Jing
Sing sendiri telah menunjukkan keberhasilan berintegrasi ke dalam kraton dengan
serangkaian tindakannya yang akhirnya membawa putra mahkota naik tahta
menjadi Sultan Hamengku Buwana III.
Hingga pada tahun 1877, di waktu Sultan Hamengku Buwana VI menjadi
Raja yang memerintah Yogyakarta, tidak tercatat seorang keturunan etnis
Tiongghoa yang menyamai prestasi Tan Jing Sing. Walaupun demikian keturunan
Tan Jing Sing tetap diakui sebagai bagian dari Kraton Kasultanan. Bahkan hingga
akhir abad ke-20 keturunan Tan Jing Sing membentuk suatu perkumpulan
keluarga Secodiningrat.
Hamengku Buwana VI meninggal dunia tanpa meninggalkan putra. Akan
tetapi, setelah Hamengku Buwana VI menyadari bahwa prameswari tidak
15
Budi Susanto, op. cit., Hal. 74
16
Pejabat tinggi yang bertugas mengurus administrasi pemerintahan Negara Agung secara berturut-turut adalah: Patih Jawi, Wedana Jawi, Bupati beserta pejabat-pejabatnya, dan Demang atau Kyai Lurah. Lihat, Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. 1978. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 12-13.
melahirkan putra, ia kemudian mengangkat seorang selirnya yakni ibu dari Gusti
Hangabehi, seorang putri dari desa Payak, menjadi seorang prameswari.17 Dengan
demikian setelah Sultan Hamengku Buwana VI meninggal dunia, Hangabehi
kemudian diangkat menjadi Hamengkubu Buwana VII.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII, di
Yogyakarta terdapat 17 pabrik gula. Pendirian pabrik-pabrik gula ini sangat
menguntungkan pihak Kraton Yogyakarta sebagai pemilik tanah. Hal ini
kemudian memberikan pemasukkan ke Kraton yang sangat besar, bahkan karena
kekayaan yang didapatkan itu Sultan Hamengku Buwana VII dijuluki sebagai
sultan Sugih (kaya). Pendirian pabrik-pabrik gula di Yogyakarta tersebut juga
menjadi penanda dimulainya politik kolonial liberal, dimana swasta diberi
kesempatan untuk membuka kesempatan dalam bidang usaha seluas-luasnya. Hal
tersebut juga menutup era Tanam Paksa yang telah dihapus pada tahun 1882.
Pihak Belanda sering mempercayakan pengurusan pabriknya pada orang-orang
Tionghoa.
Sri Sultan Hamengku Buwana VII membawa Yogyakarta pada
modernisasi Yogyakarta. Dalam masa pemerintahannya dinamika pergerakan
masyarakat Yogyakarta mengalami gerak dalam frekuensi yang tinggi. Hal
tersebut dapat dilihat dengan lahirnya organisasi-organisasi di Yogyakarta. Sri
Sultan Hamengku Buwana VII dikenal telah terbuka pada hal-hal yang baru. Para
elit Yogyakarta telah sadar bahwa perjuangan dengan menggunakan senjata sudah
17
G. Moedjaonto. Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman. 1994. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 21
tidak lagi cukup, maka mereka berjuang melalui sektor pendidikan dan sosial
kebudayaan.
B. Elite Masyarakat
George Simmel mengatakan bahwa interaksi sosial dari sejumlah individu
ataupun kelompok pada akhirnya memiliki fungsi sebagai pembentuk kesatuan.18
Melalui hubungan atau interaksi sosial di masyarakat memungkinkan terjadi
sebuah penyatuan dalam masyarakat. Hal tersebut terutama dapat terjadi karena
adanya komunikasi dalam setiap interaksi tersebut. Sehingga masyarakat sendiri
akhirnya menjadi sebuah kumpulan dari tiap interaksi-interaksi manusia. Melalui
komunikasi setiap individu dapat memahami apa yang dibutuhkan dalam rangka
mewujudkan sebuah kepentingan yang pada dasarnya merujuk pada eksistensi
manusia. Dari sinilah sebuah pertumbuhan atau perkembangan masyarakat terjadi.
Sejalan dengan diberlakukannya politik etis Belanda di Yogyakarta,
perubahan demi perubahan terjadi di wilayah ini. Politik etis merupakan sebuah
konsep politik yang menghendaki sebuah perubahan politik kolonial di daerah
jajahan dengan mengutamakan kesejahteraan terhadap masyarakatnya. Politik ini
dilahirkan karena perubahan haluan politik di negeri Belanda. Pada waktu itu
Belanda mulai menjalankan politik liberal. Apa yang terjadi di negeri Belanda
tersebut kemudian berdampak terhadap kebijakan di wilayah Hindia Belanda.
Sehingga mulai dari sini imperialisme Belanda menemukan wujud barunya
18
AB. Widyanta. Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan George Simmel. 2004. Yogyakarta: Cindelaras. Hal. 85
melalui piolitik etis atau yang juga di kenal dengan nama politik balas budi.
Kebijakan Belanda ini memberikan kesempatan pada interaksi sosial masyarakat
terpelajar yang kemudian melahirkan elite-elite yang menjadi penggerak dalam
titik-titik perubahan di Hindia Belanda.
Melalui politik etis yang diterapkan di Yogyakarta ini, lahirlah elite
masyarakat yang sangat berperan penting dalam setiap dinamika sosial budaya
terutama dalam periode yang dinamakan periode kebangkitan Nasional. Elite
masyarakat merupakan kelompok kecil dari masyarakat. Mereka adalah kelompok
minoritas dominan. Dikatakan demikaian karena mereka secara kwantitatif adalah
kelompok minoritas atau kecil, akan tetapi keberadaan mereka mempengaruhi
kelompok masyarakat lain. Hal tersebut dikarenakan melalui golongan inilah
perubahan-perubahan terjadi. Namun akses untuk menjadi seorang elite
masyarakat tentu terbatas, mengingat istilah elite sendiri yang digunakan hanya
untuk orang-orang terbaik saja.
Gagasan dari politik etis pada pada dasarnya mencangkup empat hal
yakni: perubahan sisitem pemerintahan, politik desentralisasi, otonomi Hindia
Belanda, dan pemisahan anggaran belanja negeri Belanda dengan Hindia
Belanda.19 Gagasan itulah yang kemudian membuat adanya perbaikan masalah
pendidikan di Hindia Belanda. Sehingga pada awal tahun 1900-an
sekolah-sekolah banyak berdiri di Yogyakarta. Akan tetapi, walaupun banyak sekolah-sekolah
yang berdiri, biaya pendidikan tetap saja sangat mahal. Sehingga hanya
orang- 19
Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, op. cit., Hal. 41
orang tertentu saja yang dapat merasakan pendidikan. Sekolah-sekolah Belanda
itu menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolahan mereka.
Dengan demikian setiap anak yang hendak masuk ke sekolah harus bisa berbahasa
Belanda.
Kelompok terpelajar yang dapat menikmati pendidikan Barat tersebut
banyak yang secara langsung terjun ke masyarakat untuk membantu masyarakat
kecil yang berkekurangan. Seperti melalui jalur kesehatan. Organisasi-organisasi
masyarakat mulai lahir sebagai bentuk dari aspirasi masyarakat atas semangat
kebersamaan. Hal tersebebut terlihat dari sikap Wahidin Soedirohoesodo. Ia
adalah seorang priyayi rendah. Wahidin Soedirohoesodo juga adalah generasi
bumiputra pertama yang mendapatkan pendidikan Belanda. Wahidin menjadi
seorang dokter yang sangat populer di daerah Yogyakarta. Selain menjadi seorang
dokter ia juga aktif dalam pemikiran tentang kemajuan bangsanya. Ia dekat
dengan banyak orang dan juga kelompok masyarakat Tionghoa. Kedekatannya
dengan kelompok masyarakat Tionghoa secara tidak sadar sebenarnya telah
membuat sebuah konstruksi bagi masyarakat lain untuk tidak membeda-bedakan.
Dengan perubahan-perubahan yang terjadi di negeri Belanda, Hindia
Belanda turut merasakan dampaknya. Melalui pendidikan yang berkembang pesat
terutama karena adanya polik etis Belanda, membawa pemikiran Modern pada
golongan terpelajar di Hindia Belanda. Awal tahun 1900-an adalah masa dimana
rakyat di Hindia Belanda, khususnya Jawa menemukan sebuah bentuk perlawanan
kolonialisme dan imperialisme melalui pergerakan-pergerakan baik di bidang
tetap saja bukan sesuatu yang dapat dengan mudah diakses bagi setiap masyarakat
di Hindia Belanda, namun hal demikian bukanlah berarti pendidikan bagi generasi
muda bukanlah hal yang mustahil. Dengan melaui pendidikan lahirlah elite
masyarakat dari kelompok etnis Tionghoa di Yogyakarta. Banyak di antara elite
itu ikut berperan dalam perjuangan masyarakat Yogyakarta. Hal tersebut terutama
dalam bidang sosial kebudayaan.
Dengan melalui pendidikan seorang mempunyai kesempatan dalam
menyerap ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam kerangka kehidupan
bersama. Pada periode awal masa politik etis atau pada awal abad ke-19, salah
satu bidang studi yang menjadi perhatian kelompok masyarakat yang mampu atau
dapat mengakses dunia pendidikan adalah bidang kesehatan. Di Yogyakarta
sendiri muncul dokter-dokter yang lahir dari pendidikan Barat. Berdirinya sebuah
rumah sakit mata di mana Sultan Hamengku Buwono VIII sendiri yang
meletakkan batu pertamanya pada tanggal 12 November 1922, merupakan bukti