MASYARAKAT TIONGHOA DI ANTARA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN
A. Hubungan Baik yang Terjalin
2. Stabilitas Ekonomi dalam Perdagangan
Setelah berakhirnya kebijakan sistem tanam paksa Belanda, sektor
perokonomian dalam ranah bisnis perdagangan menjadi penting bagi Belanda. Hal
tersebut menyebabkan Belanda membutuhkan distributor yang mampu
menyalurkan barang-barang impornya hingga ke pelosok pedesaan. Sehingga
dalam hal ini, Belanda masih sangat menggantungkan pada orang-orang Tionghoa
yang banyak menjadi pedagang pengecer. Akan tetapi kebijakan yang dikeluarkan
Belanda dalam rangka menciptakan sebuah sistem pemukiman yang tersendiri
8
bagi kelompok etnis tertentu, khususnya dalam hal ini orang Tionghoa, telah
menimbulkan tekanan dan kerugian-kerugian bagi orang-orang Tionghoa.
Orang-orang Tionghoa akhirnya harus bekerja dalam tekanan kepentingan dari pihak
Belanda. Walaupun demikian, dalam perkembangannya orang-orang Tionghoa
banyak yang berhasil meleburkan diri bersama masyarakat setempat, dan
mencapai titik keberhasilan dalam pekerjaan mereka, terutama dalam hal
perdagangan.
Di Yogyakarta arus pedagang yang masuk seiring berdirinya kota
Yogyakarta turut membantu dalam mengembangkan dinamika perekonomian
setempat. Keberhasilan mereka dalam bidang perdagangan dapat dilihat dengan
kian banyak orang Tionghoa yang berhasil dan sukses di Yogyakarta. Hal tersebut
juga dikarenakan keberhasilan orang-orang Tionghoa yang berada di bidang
perdagangan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, budaya, dan
sistem ekonomi setempat.
Jumlah penduduk Tionghoa yang kian hari kian meningkat, menjadi
indikasi lain bagaimana Yogyakarta menjadi tempat yang nyaman bagi mereka.
Tahun 1905 tercatat penduduk golongan Tionghoa di Yogyakarta sebanyak 4.200
jiwa, sedangkan pada tahun 1920 mengalami peningkatan menjadi 7.200 jiwa.9
Selain itu, pada dasarnya keberhasilan perdagangan orang-orang Tionghoa
terutama karena mereka telah dapat mengisi peran ekonomi yang tidak diisi
Belanda. Dalam kata lain, pemilihan mitra dagang Belanda dengan orang
9
Abdurrachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal. 53
Tionghoa, dalam distribusi barang ke daerah, telah membukakan pintu kesuksesan
bagi orang-orang Tionghoa.
Bukti dari pada kesuksesan dan kemakmuran orang-orang Tionghoa di
Yogyakarta dapat dilihat dari kerugian yang di dapat ketika terjadi bencana alam
gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 1876. Gempa bumi yang terjadi pada 10
Juni 1998 tersebut adalah gempa bumi yang telah mengakibatkan kerugian yang
besar bagi masyarakat yang tinggal di Yogyakarta.
Melalui korban-korban gempa bumi pada tahun 1867 dapat dilihat
bagaimana kekayaan yang dimiliki seseorang. Dalam gempa bumi itu,
orang-orang Tionghoa yang meninggal sebanyak 46 jiwa, sedang yang luka-luka
sebanyak 13 orang. Sedangkan orang Jawa terdapat 262 korban jiwa dan 376
luka-luka. Dengan mempertimbangkan bahwa kelompok masyarakat Tionghoa di
Yogyakarta merupakan minoritas, maka dapat dibayangkan bagaimana
keberhasilan dalam bidang ekonomi masyarakat Tionghoa jika kerugian yang
diderita masyarakat Tionghoa jauh lebih besar di banding dengan masyarakat
Jawa. Hal tersebut dapat dilihat melalui:
Tabel I
Jumlah Kerugian Harta Benda Akibat Gempa Bumi di Yogyakarta Tanggal 10 Juni 1867
Bangsa Jumlah Orang Barang tidak bergerak Alat rumah tangga Barang Bergerak Eropa 161 f. 533.600,00 f. 82.888,00 f. 671.897,00 Tionghoa 101 f. 484.840,00 f. 81.645,00 - Jawa Timur 372 f. 135.059,00 f. 111.126,00 - Asing 5 f. 10.700,00 f. 50,00 - Jumlah 639 f. 2424.199,00 f. 275.709,00 f. 671.897,00 Sumber tabel I dari Mailr. 45, 9.11.67 dan Mailr. 95, 7.11.67. yang dikutip dari
Dari tabel di atas dapat di lihat perbandingan jumlah kerugian yang sangat
besar antara kelompok Tionghoa dengan orang-orang Jawa. Orang-orang
Tionghoa bahkan tercatat menderita kerugian pada barang tidak bergerak
sejumlah f. 484.840,00 dan melebihi jumlah kerugian yang di derita oleh
kelompok masyarakat Jawa. Masyarakat Tionghoa yang menjadi korban memang
tidak sebanyak orang-orang Jawa Yogyakarta. Hal tersebut juga selain karena
memang masyarakat Tionghoa adalah kelompok minoritas juga kerena mereka
menduduki wilayah yang cenderung terpusat dan tidak tersebar di seluruh pelosok
kota Yogyakarta.
Salah satu dampak lain dari gempa bumi yang menimpa Yogyakarta pada
tanggal 10 Juni 1867 tersebut adalah mulai menyebarnya pemukiman kelompok
etnis Tionghoa ke daerah ibu kota, tepatnya di daerah Ketandan, Gandekan,
Ngabean, Adiwinatan dan Suranatan. Hal tersebut juga membuktikan bagaimana
pihak Belanda tidak tegas dalam melaksanakan kebijakan politiknya perihal
pemukiman etnis Tionghoa. Penyebaran ini tentu tidak dapat terjadi jika tidak
dibarengi dengan adanya suatu proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial
serta kebudayaan setempat.
Walaupun data di atas menyebutkan besarnya kerugian yang dialami
orang-orang Tionghoa, akan tetapi hal itu bukan berarti terdapat kesenjangan
perekonomian yang besar antara orang Jawa setempat dengan orang Tionghoa. Di
Yogyakarta keadaan ekonomi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat
mitra dagang antara kedua kelompok masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat di
sepanjang jalan Malioboro dimana beberapa pemilik toko orang Tionghoa
memperbolehkan pedagang kaki lima berjualan diemperan tokonya secara
bersamaan dengan toko tersebut.10
3. Pendidikan
Sebelum abad ke-19 anak-anak Tionghoa tidak mendapatkan perhatian
pemerintah Belanda terutama dalam bidang pendidikan. Setelah dikeluarkannya
undang-undang tahun 1854 ada kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam
bangku pendidikan. Namun, peraturan itu diperuntukkan bagi penduduk setempat,
sedangkan bagi anak-anak Tionghoa masih sangat susah untuk dapat masuk ke
jenjang pendidikan. Akan tetapi dalam perkembangannya anak-anak Tionghoa
diperbolehkan memasuki pendidikan Belanda, dengan syarat harus mengerti
bahasa Belanda, dan membayar biaya yang tinggi, itupun dengan catatan jika ada
lowongan yang dibuka.11
Memasuki abad ke-19, pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan
politik etis dan juga modernisasi ekonomi. Hal inilah yang kemudian memberikan
kesempatan lebih bagi penduduk Hindia Belanda untuk melakukan mobilisasi
sosial dan politik terutama melalui ranah pendidikan. Pada masa ini pemerintah
Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah Tionghoa Belanda. Pendirian sekolah
10
Budi Susanto, op. cit., Hal. 83
11
Puspa Vasanty. Kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat, ed. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hal. 353
ini pada dasarnya dipengaruhi juga tindakan dari kelompok pedagang-pedagang
Tionghoa di Jakarta yang tergabung dalam organisasi Siang Hwee yang
mendukung didirikannya sekolah bagi anak- anak Tionghoa di Hindia Belanda.
Pedagang-pedagang Tionghoa itu kemudian mendirikan sekolah bernama Tiong
Hoa Hwee Koan. Sekolah tersebut sebenarnya banyak terpengaruh sistem
pendidikan China pada masa itu. Sekolah tersebut didirikan dengan tujuan untuk
kembali memperlihatkan kembali adat istiadat sejarah kebudayaan dan pandangan
hidup China pada orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, bahkan dalam tahun
1911 telah dibuka sebanyak 93 cabanganya di seluruh Hindia Belanda.12 Di
Yogyakarta sendiri telah di buka cabangnya pada tahun 1907 oleh seorang kapten
Tionghoa bernama Yap Hong Sing di daerah Poncowinatan.13 Oleh karena itu,
pemerintah Belanda merasa cemas dan kemudian mengambil langkah untuk
mendirikan sekolah Tionghoa Belanda atau Hollandsch Chineeschen Schoole.
Setelah munculnya Tiong Hoa Hwee Koan pada tahun 1990 penduduk Tionghoa
mulai memiliki kesadaran baru tentang identitas mereka. Berhubung Tiong Hoa
Hwee Koan berorientasi ke China, maka orang-orang Tionghoa perantauan
cenderung mulai memperdebatkan penggunaan kata Tionghoa atau Cina.
Pendirian sekolah-sekolah Tionghoa Belanda tersebut kemudian memberi
kesempatan bagi anak-anak Tionghoa untuk dapat menikmati jenjang pendidikan.
Sekolah tersebut khusus didirikan untuk anak-anak Tionghoa. Sekolah ini adalah
sekolah berbahasa Belanda setingkat sekolah dasar. Walaupun tetap saja tidak
12
Ibid., Hal. 369
13
bisa semua anak-anak Tionghoa dapat masuk di pendidikan ini karena alasan
Belanda hanya memperbolehkan anak-anak Tionghoa yang berasal dari tingkat
kedudukan sosial tertentu, akan tetapi dalam perkembangannya kian banyak
orang-orang Tionghoa yang dapat mengenyam pendidikan.
Jumlah pelajar Tionghoa kian lama kian banyak. Hal ini kemudian terasa
dari out put dari pendidikan-pendidikan tersebut. Organisasi kemasyarakatan
mulai banyak ditemui, organisasi-organisasi yang lahir juga makin bervariasi, dari
organisasi dengan latar belakang perdagangan hingga sebuah organisasi sosial dan
politik sekalipun. Di Yogyakarta sendiri pada tahun 1924 telah tercatat adanya
Hollandsch Chineeschen Schoole di Godean, sekolah Tiong Hwa Hwee Kwan di
Poncowinatan, Chineesch-Maleische School di Pajeksan, serta Met de Bijbel di
Gemblakan.14
Munculnya lembaga pendidikan di Yogyakarta baik yang didirikan oleh
kelompok masyarakat setempat, pemerintah Belanda, ataupun lembaga
pendidikan yang bercorak keagamaan, telah berperan dalam menciptakan suatu
kemajemukan dalam dinamika di Yogyakarta. Dengan pendidikan maka muncul
intelektual-intelektual yang banyak menyumbang perubahan kota Yogyakarta,
namun banyak pula masyarakat yang tidak dapat merasakan bangku pendidikan.
Keadaan tersebut telah menciptakan variasi lapangan pekerjaan pula.
Bagi kelompok Tionghoa di Yogyakarta, mengenyam bangku pendidikan
adalah sesuatu yang susah. Bahkan pada tahun 1925 saja tidak ditemukan adanya
murit Tionghoa, namun menariknya sudah ada tujuh orang yang telah berprofesi
14
sebagai guru.15 Dalam perkembangannya ranah pendidikan menjadi sektor yang
penting dalam semangat pergerakan yang melingkupi awal abd ke-20. Di mana
masyarakat mulai menekankan pada semangat kebersamaan melawan
imperialisme dan kolonialisme.
4. Pers
Kemunculan intelektual yang banyak dilahirkan oleh penyelenggarakan
sisitem pendidikan modern, telah mendorong lahirnya pers. Pers kemudian
menjadi alat bagi pemersatu dan sekaligus penggerak bagi masyarakat. Kelahiran
pers di Hindia Belanda atau daerah yang setelah 17 Agustus 1945 menjadi
Indonesia, sangat ditentukan oleh keadaan dari lingkungan sosial ekonomi,
kebudayaan, serta politik masyarakatnya. Oleh karenanya pers yang dapat
ditemukan di Indonesia memiliki banyak variasinya, dari variasi bahasa hingga
kepentingan yang dibawa. Pada umumnya pers di Hindia Belanda pertama kali
dibuat untuk mendukung kepentingan-kepentingan orang-orang Belanda.
Sehingga pers itu selalu mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak
Belanda.
Pers pada hakikatnya merupakan sebuah media komunikasi. Di dalamnya
pers memuat informasi-informasi yang secara sengaja disajikan dalam rangka
memenuhi kepentingan tertentu. Dalam awal abad ke-20, pers mengambil sebuah
peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan mendorong kebangkitan
15
pergerakan Nasional. Pers telah mengambil peranan penting dalam rangka
membangun sebuah kesadaran akan persatuan kolektif.
Lahirnya pers di Hindia Belanda tidak bisa terlepaskan dari lahirnya kaum
intelektual. Pers Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan nama pers
Melayu-Tionghoa Indonesia juga lahir karena mulai meningkatnya jumlah intelektual
Tionghoa di Hindia Belanda. Pers Melayu-Tionghoa Indonesia pada mulanya
lahir karena adanya kesadaran Nasional yang dipengaruhi oleh daratan China. Di
waktu itu ada pengaruh revolusi China pada tahun 1911 oleh Dr. Sun Yat Sen.
Walaupun dalam perkembangannya pers ini justru banyak menyumbang bagi
pergerakan Nasional Indonesia, setelah konsep Indonesia dilahirkan oleh kaum
intelektual Nasional Indonesia. Selain itu pers ini dilahirkan dalam rangka
mendukung kegiatan perdagangan orang-orang Tionghoa dengan sarana
periklanan.16
Golongan Tionghoa yang pada umumnya pedagang tentu membutuhkan
sebuah sarana bagi kegiatan perdagangan mereka. Oleh karenanya pers yang di isi
oleh informasi di bidang periklanan menjadi sarana penting bagi golongan
perdagang serta menjadi tulang punggung pers itu sendiri. Salah satu pers yang
memuat iklan adalah Li po dan juga Kabar Perniagaan. Akan tetapi dalam
masa-masa setelahnya, mulai bermunculan juga pers yang tidak hanya memuat
iklan-iklan saja, namun juga berita yang kritis dan bahkan menyumbang banyak dalam
pergerakan Nasional Indonesia. Pers Melayu-Tionghoa Indonesia seperti namanya
16
Abdurrachman Surjomihardjo. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. 2002. Jakarta: Kompas. Hal. 47-48
telah menggunakan bahasa Melayu Tionghoa. Mereka tidak lagi menggunakan
bahasa China karena kebanyakan dari orang-orang Tionghoa di Jawa tidak lagi
bisa berbahasa China. Sehingga dalam dunia pers mereka menggunakan bahasa
yang paling mereka kenal yakni bahasa Melayu yang juga telah banyak
dipengaruhi oleh bahasa Hokkian.17
Abdurrachman Surjomihardjo mengatakan bahwa secara umum pers
Melayu Tionghoa memiliki umur yang relatif lebih panjang dari pada pers
bumiputra.18 Hal inilah yang kemudian membuat pers Melayu-Tionghoa
Indonesia menjadi alat komunikasi yang lebih efektif. Douwes dekker pada tahun
1909 menilai bahwa peran serta fungsi dari pers dengan bahasa daerah atau
bahasa Melayu adalah pers yang lebih penting jika dibandingkan dengan pers
Belanda yang berbahasa Belanda tentunya.19 Hal tersebut terutama dikarenakan
pers yang menggunakan bahasa daerah ataupun bahasa Melayu cenderung disukai
oleh pembaca-pembaca setempat. Pers yang lahir di Yogyakarta sendiri dalam
masa itu adalah Mataram, Darmowarsito dan Retnodhomilah.20 Pers
Melayu-Tionghoa Indonesia yang lahir di Yogyakarta tidak ditemukan.
Pers Melayu-Tionghoa turut mengambil bagian dari terciptanya proses
integrasi di antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat. Kebutuhan
17
Ibid., Hal. 49
18
Abdurrachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. 2008. op. cit., Hal. 181-182
19
Ibid., 183-184
20
masyarakat akan informasi dapat terpenuhi melalui keberadaan pers. Pers
Melayu-Tionghoa yang berbahasa Melayu tentu menjadi alternatif ketika masyarakat tidak
bisa berbahasa Belanda. Sehingga pers Melayu-Tionghoa mampu mengkontruksi
masyarakat menuju titik integral masyarakat. Sebab bagaimanapun juga sejarah
pers Tionghoa menjadi bagian dari pers Nasional Indonesia. Hal yang menarik
adalah tahun 1909 di negeri Belanda orang-orang Hindia Belanda yang belajar di
sana, telah mulai berinisiatif untuk memulai memunculkan pers yang bermuatan
politis. Dalam sebuah artikel dalam Bandera Wolanda yang berjudul Aan de
Jong-Indiers en Jong-Chineezen in Nederlandsch Oost-Indie atau Kepada Pemuda
Hindia dan Tionghoa di Hindia Timur Belanda.21 Dalam tulisan tersebut
orang-orang Hindia Belanda yang belajar ke Belanda merasa tergugah hatinya untuk
menjadi sebuah organ politik bagi orang Hindia Belanda dan juga
orang-orang Tionghoa. hal tersebut dimungkinkan mengingat di negeri Belanda terdapat
kebebasan pers yang tidak di jumpai di Hindia Belanda kala itu. Mereka
bersepakat membentuk sebuah majalah dengan nama Politik Orgaan Voor Loyale
Jong-Indiers en Jong-Chineezen (Organ Politik bagi pemuda Hindia dan
Tionghoa yang Loyal). Hal ini cukup menggambarkan bagaimana semangat
kebersamaan di kalangan intelektual. Perbedaan ras tidak lagi menjadi suatu
pemisah yang tegas.
21
Harry A. Poeze. Di Negeri Penjajah; Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. 2008. Jakarta: Gramedia. Hal. 69