• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stabilitas Ekonomi dalam Perdagangan

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 77-88)

MASYARAKAT TIONGHOA DI ANTARA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN

A. Hubungan Baik yang Terjalin

2. Stabilitas Ekonomi dalam Perdagangan

Setelah berakhirnya kebijakan sistem tanam paksa Belanda, sektor

perokonomian dalam ranah bisnis perdagangan menjadi penting bagi Belanda. Hal

tersebut menyebabkan Belanda membutuhkan distributor yang mampu

menyalurkan barang-barang impornya hingga ke pelosok pedesaan. Sehingga

dalam hal ini, Belanda masih sangat menggantungkan pada orang-orang Tionghoa

yang banyak menjadi pedagang pengecer. Akan tetapi kebijakan yang dikeluarkan

Belanda dalam rangka menciptakan sebuah sistem pemukiman yang tersendiri

       8

bagi kelompok etnis tertentu, khususnya dalam hal ini orang Tionghoa, telah

menimbulkan tekanan dan kerugian-kerugian bagi orang-orang Tionghoa.

Orang-orang Tionghoa akhirnya harus bekerja dalam tekanan kepentingan dari pihak

Belanda. Walaupun demikian, dalam perkembangannya orang-orang Tionghoa

banyak yang berhasil meleburkan diri bersama masyarakat setempat, dan

mencapai titik keberhasilan dalam pekerjaan mereka, terutama dalam hal

perdagangan.

Di Yogyakarta arus pedagang yang masuk seiring berdirinya kota

Yogyakarta turut membantu dalam mengembangkan dinamika perekonomian

setempat. Keberhasilan mereka dalam bidang perdagangan dapat dilihat dengan

kian banyak orang Tionghoa yang berhasil dan sukses di Yogyakarta. Hal tersebut

juga dikarenakan keberhasilan orang-orang Tionghoa yang berada di bidang

perdagangan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, budaya, dan

sistem ekonomi setempat.

Jumlah penduduk Tionghoa yang kian hari kian meningkat, menjadi

indikasi lain bagaimana Yogyakarta menjadi tempat yang nyaman bagi mereka.

Tahun 1905 tercatat penduduk golongan Tionghoa di Yogyakarta sebanyak 4.200

jiwa, sedangkan pada tahun 1920 mengalami peningkatan menjadi 7.200 jiwa.9

Selain itu, pada dasarnya keberhasilan perdagangan orang-orang Tionghoa

terutama karena mereka telah dapat mengisi peran ekonomi yang tidak diisi

Belanda. Dalam kata lain, pemilihan mitra dagang Belanda dengan orang

       9

Abdurrachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal. 53

Tionghoa, dalam distribusi barang ke daerah, telah membukakan pintu kesuksesan

bagi orang-orang Tionghoa.

Bukti dari pada kesuksesan dan kemakmuran orang-orang Tionghoa di

Yogyakarta dapat dilihat dari kerugian yang di dapat ketika terjadi bencana alam

gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 1876. Gempa bumi yang terjadi pada 10

Juni 1998 tersebut adalah gempa bumi yang telah mengakibatkan kerugian yang

besar bagi masyarakat yang tinggal di Yogyakarta.

Melalui korban-korban gempa bumi pada tahun 1867 dapat dilihat

bagaimana kekayaan yang dimiliki seseorang. Dalam gempa bumi itu,

orang-orang Tionghoa yang meninggal sebanyak 46 jiwa, sedang yang luka-luka

sebanyak 13 orang. Sedangkan orang Jawa terdapat 262 korban jiwa dan 376

luka-luka. Dengan mempertimbangkan bahwa kelompok masyarakat Tionghoa di

Yogyakarta merupakan minoritas, maka dapat dibayangkan bagaimana

keberhasilan dalam bidang ekonomi masyarakat Tionghoa jika kerugian yang

diderita masyarakat Tionghoa jauh lebih besar di banding dengan masyarakat

Jawa. Hal tersebut dapat dilihat melalui:

Tabel I

Jumlah Kerugian Harta Benda Akibat Gempa Bumi di Yogyakarta Tanggal 10 Juni 1867

Bangsa Jumlah Orang Barang tidak bergerak Alat rumah tangga Barang Bergerak Eropa 161 f. 533.600,00 f. 82.888,00 f. 671.897,00 Tionghoa 101 f. 484.840,00 f. 81.645,00 - Jawa Timur 372 f. 135.059,00 f. 111.126,00 - Asing 5 f. 10.700,00 f. 50,00 - Jumlah 639 f. 2424.199,00 f. 275.709,00 f. 671.897,00 Sumber tabel I dari Mailr. 45, 9.11.67 dan Mailr. 95, 7.11.67. yang dikutip dari

Dari tabel di atas dapat di lihat perbandingan jumlah kerugian yang sangat

besar antara kelompok Tionghoa dengan orang-orang Jawa. Orang-orang

Tionghoa bahkan tercatat menderita kerugian pada barang tidak bergerak

sejumlah f. 484.840,00 dan melebihi jumlah kerugian yang di derita oleh

kelompok masyarakat Jawa. Masyarakat Tionghoa yang menjadi korban memang

tidak sebanyak orang-orang Jawa Yogyakarta. Hal tersebut juga selain karena

memang masyarakat Tionghoa adalah kelompok minoritas juga kerena mereka

menduduki wilayah yang cenderung terpusat dan tidak tersebar di seluruh pelosok

kota Yogyakarta.

Salah satu dampak lain dari gempa bumi yang menimpa Yogyakarta pada

tanggal 10 Juni 1867 tersebut adalah mulai menyebarnya pemukiman kelompok

etnis Tionghoa ke daerah ibu kota, tepatnya di daerah Ketandan, Gandekan,

Ngabean, Adiwinatan dan Suranatan. Hal tersebut juga membuktikan bagaimana

pihak Belanda tidak tegas dalam melaksanakan kebijakan politiknya perihal

pemukiman etnis Tionghoa. Penyebaran ini tentu tidak dapat terjadi jika tidak

dibarengi dengan adanya suatu proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial

serta kebudayaan setempat.

Walaupun data di atas menyebutkan besarnya kerugian yang dialami

orang-orang Tionghoa, akan tetapi hal itu bukan berarti terdapat kesenjangan

perekonomian yang besar antara orang Jawa setempat dengan orang Tionghoa. Di

Yogyakarta keadaan ekonomi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat

mitra dagang antara kedua kelompok masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat di

sepanjang jalan Malioboro dimana beberapa pemilik toko orang Tionghoa

memperbolehkan pedagang kaki lima berjualan diemperan tokonya secara

bersamaan dengan toko tersebut.10

3. Pendidikan

Sebelum abad ke-19 anak-anak Tionghoa tidak mendapatkan perhatian

pemerintah Belanda terutama dalam bidang pendidikan. Setelah dikeluarkannya

undang-undang tahun 1854 ada kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam

bangku pendidikan. Namun, peraturan itu diperuntukkan bagi penduduk setempat,

sedangkan bagi anak-anak Tionghoa masih sangat susah untuk dapat masuk ke

jenjang pendidikan. Akan tetapi dalam perkembangannya anak-anak Tionghoa

diperbolehkan memasuki pendidikan Belanda, dengan syarat harus mengerti

bahasa Belanda, dan membayar biaya yang tinggi, itupun dengan catatan jika ada

lowongan yang dibuka.11

Memasuki abad ke-19, pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan

politik etis dan juga modernisasi ekonomi. Hal inilah yang kemudian memberikan

kesempatan lebih bagi penduduk Hindia Belanda untuk melakukan mobilisasi

sosial dan politik terutama melalui ranah pendidikan. Pada masa ini pemerintah

Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah Tionghoa Belanda. Pendirian sekolah

       10

Budi Susanto, op. cit., Hal. 83

11

Puspa Vasanty. Kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat, ed. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hal. 353

ini pada dasarnya dipengaruhi juga tindakan dari kelompok pedagang-pedagang

Tionghoa di Jakarta yang tergabung dalam organisasi Siang Hwee yang

mendukung didirikannya sekolah bagi anak- anak Tionghoa di Hindia Belanda.

Pedagang-pedagang Tionghoa itu kemudian mendirikan sekolah bernama Tiong

Hoa Hwee Koan. Sekolah tersebut sebenarnya banyak terpengaruh sistem

pendidikan China pada masa itu. Sekolah tersebut didirikan dengan tujuan untuk

kembali memperlihatkan kembali adat istiadat sejarah kebudayaan dan pandangan

hidup China pada orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, bahkan dalam tahun

1911 telah dibuka sebanyak 93 cabanganya di seluruh Hindia Belanda.12 Di

Yogyakarta sendiri telah di buka cabangnya pada tahun 1907 oleh seorang kapten

Tionghoa bernama Yap Hong Sing di daerah Poncowinatan.13 Oleh karena itu,

pemerintah Belanda merasa cemas dan kemudian mengambil langkah untuk

mendirikan sekolah Tionghoa Belanda atau Hollandsch Chineeschen Schoole.

Setelah munculnya Tiong Hoa Hwee Koan pada tahun 1990 penduduk Tionghoa

mulai memiliki kesadaran baru tentang identitas mereka. Berhubung Tiong Hoa

Hwee Koan berorientasi ke China, maka orang-orang Tionghoa perantauan

cenderung mulai memperdebatkan penggunaan kata Tionghoa atau Cina.

Pendirian sekolah-sekolah Tionghoa Belanda tersebut kemudian memberi

kesempatan bagi anak-anak Tionghoa untuk dapat menikmati jenjang pendidikan.

Sekolah tersebut khusus didirikan untuk anak-anak Tionghoa. Sekolah ini adalah

sekolah berbahasa Belanda setingkat sekolah dasar. Walaupun tetap saja tidak

       12

Ibid., Hal. 369

13

bisa semua anak-anak Tionghoa dapat masuk di pendidikan ini karena alasan

Belanda hanya memperbolehkan anak-anak Tionghoa yang berasal dari tingkat

kedudukan sosial tertentu, akan tetapi dalam perkembangannya kian banyak

orang-orang Tionghoa yang dapat mengenyam pendidikan.

Jumlah pelajar Tionghoa kian lama kian banyak. Hal ini kemudian terasa

dari out put dari pendidikan-pendidikan tersebut. Organisasi kemasyarakatan

mulai banyak ditemui, organisasi-organisasi yang lahir juga makin bervariasi, dari

organisasi dengan latar belakang perdagangan hingga sebuah organisasi sosial dan

politik sekalipun. Di Yogyakarta sendiri pada tahun 1924 telah tercatat adanya

Hollandsch Chineeschen Schoole di Godean, sekolah Tiong Hwa Hwee Kwan di

Poncowinatan, Chineesch-Maleische School di Pajeksan, serta Met de Bijbel di

Gemblakan.14

Munculnya lembaga pendidikan di Yogyakarta baik yang didirikan oleh

kelompok masyarakat setempat, pemerintah Belanda, ataupun lembaga

pendidikan yang bercorak keagamaan, telah berperan dalam menciptakan suatu

kemajemukan dalam dinamika di Yogyakarta. Dengan pendidikan maka muncul

intelektual-intelektual yang banyak menyumbang perubahan kota Yogyakarta,

namun banyak pula masyarakat yang tidak dapat merasakan bangku pendidikan.

Keadaan tersebut telah menciptakan variasi lapangan pekerjaan pula.

Bagi kelompok Tionghoa di Yogyakarta, mengenyam bangku pendidikan

adalah sesuatu yang susah. Bahkan pada tahun 1925 saja tidak ditemukan adanya

murit Tionghoa, namun menariknya sudah ada tujuh orang yang telah berprofesi

       14

sebagai guru.15 Dalam perkembangannya ranah pendidikan menjadi sektor yang

penting dalam semangat pergerakan yang melingkupi awal abd ke-20. Di mana

masyarakat mulai menekankan pada semangat kebersamaan melawan

imperialisme dan kolonialisme.

4. Pers

Kemunculan intelektual yang banyak dilahirkan oleh penyelenggarakan

sisitem pendidikan modern, telah mendorong lahirnya pers. Pers kemudian

menjadi alat bagi pemersatu dan sekaligus penggerak bagi masyarakat. Kelahiran

pers di Hindia Belanda atau daerah yang setelah 17 Agustus 1945 menjadi

Indonesia, sangat ditentukan oleh keadaan dari lingkungan sosial ekonomi,

kebudayaan, serta politik masyarakatnya. Oleh karenanya pers yang dapat

ditemukan di Indonesia memiliki banyak variasinya, dari variasi bahasa hingga

kepentingan yang dibawa. Pada umumnya pers di Hindia Belanda pertama kali

dibuat untuk mendukung kepentingan-kepentingan orang-orang Belanda.

Sehingga pers itu selalu mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak

Belanda.

Pers pada hakikatnya merupakan sebuah media komunikasi. Di dalamnya

pers memuat informasi-informasi yang secara sengaja disajikan dalam rangka

memenuhi kepentingan tertentu. Dalam awal abad ke-20, pers mengambil sebuah

peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan mendorong kebangkitan

       15

pergerakan Nasional. Pers telah mengambil peranan penting dalam rangka

membangun sebuah kesadaran akan persatuan kolektif.

Lahirnya pers di Hindia Belanda tidak bisa terlepaskan dari lahirnya kaum

intelektual. Pers Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan nama pers

Melayu-Tionghoa Indonesia juga lahir karena mulai meningkatnya jumlah intelektual

Tionghoa di Hindia Belanda. Pers Melayu-Tionghoa Indonesia pada mulanya

lahir karena adanya kesadaran Nasional yang dipengaruhi oleh daratan China. Di

waktu itu ada pengaruh revolusi China pada tahun 1911 oleh Dr. Sun Yat Sen.

Walaupun dalam perkembangannya pers ini justru banyak menyumbang bagi

pergerakan Nasional Indonesia, setelah konsep Indonesia dilahirkan oleh kaum

intelektual Nasional Indonesia. Selain itu pers ini dilahirkan dalam rangka

mendukung kegiatan perdagangan orang-orang Tionghoa dengan sarana

periklanan.16

Golongan Tionghoa yang pada umumnya pedagang tentu membutuhkan

sebuah sarana bagi kegiatan perdagangan mereka. Oleh karenanya pers yang di isi

oleh informasi di bidang periklanan menjadi sarana penting bagi golongan

perdagang serta menjadi tulang punggung pers itu sendiri. Salah satu pers yang

memuat iklan adalah Li po dan juga Kabar Perniagaan. Akan tetapi dalam

masa-masa setelahnya, mulai bermunculan juga pers yang tidak hanya memuat

iklan-iklan saja, namun juga berita yang kritis dan bahkan menyumbang banyak dalam

pergerakan Nasional Indonesia. Pers Melayu-Tionghoa Indonesia seperti namanya

       16

Abdurrachman Surjomihardjo. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. 2002. Jakarta: Kompas. Hal. 47-48

telah menggunakan bahasa Melayu Tionghoa. Mereka tidak lagi menggunakan

bahasa China karena kebanyakan dari orang-orang Tionghoa di Jawa tidak lagi

bisa berbahasa China. Sehingga dalam dunia pers mereka menggunakan bahasa

yang paling mereka kenal yakni bahasa Melayu yang juga telah banyak

dipengaruhi oleh bahasa Hokkian.17

Abdurrachman Surjomihardjo mengatakan bahwa secara umum pers

Melayu Tionghoa memiliki umur yang relatif lebih panjang dari pada pers

bumiputra.18 Hal inilah yang kemudian membuat pers Melayu-Tionghoa

Indonesia menjadi alat komunikasi yang lebih efektif. Douwes dekker pada tahun

1909 menilai bahwa peran serta fungsi dari pers dengan bahasa daerah atau

bahasa Melayu adalah pers yang lebih penting jika dibandingkan dengan pers

Belanda yang berbahasa Belanda tentunya.19 Hal tersebut terutama dikarenakan

pers yang menggunakan bahasa daerah ataupun bahasa Melayu cenderung disukai

oleh pembaca-pembaca setempat. Pers yang lahir di Yogyakarta sendiri dalam

masa itu adalah Mataram, Darmowarsito dan Retnodhomilah.20 Pers

Melayu-Tionghoa Indonesia yang lahir di Yogyakarta tidak ditemukan.

Pers Melayu-Tionghoa turut mengambil bagian dari terciptanya proses

integrasi di antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat. Kebutuhan

       17

Ibid., Hal. 49

18

Abdurrachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. 2008. op. cit., Hal. 181-182 

19

Ibid., 183-184

20

masyarakat akan informasi dapat terpenuhi melalui keberadaan pers. Pers

Melayu-Tionghoa yang berbahasa Melayu tentu menjadi alternatif ketika masyarakat tidak

bisa berbahasa Belanda. Sehingga pers Melayu-Tionghoa mampu mengkontruksi

masyarakat menuju titik integral masyarakat. Sebab bagaimanapun juga sejarah

pers Tionghoa menjadi bagian dari pers Nasional Indonesia. Hal yang menarik

adalah tahun 1909 di negeri Belanda orang-orang Hindia Belanda yang belajar di

sana, telah mulai berinisiatif untuk memulai memunculkan pers yang bermuatan

politis. Dalam sebuah artikel dalam Bandera Wolanda yang berjudul Aan de

Jong-Indiers en Jong-Chineezen in Nederlandsch Oost-Indie atau Kepada Pemuda

Hindia dan Tionghoa di Hindia Timur Belanda.21 Dalam tulisan tersebut

orang-orang Hindia Belanda yang belajar ke Belanda merasa tergugah hatinya untuk

menjadi sebuah organ politik bagi orang Hindia Belanda dan juga

orang-orang Tionghoa. hal tersebut dimungkinkan mengingat di negeri Belanda terdapat

kebebasan pers yang tidak di jumpai di Hindia Belanda kala itu. Mereka

bersepakat membentuk sebuah majalah dengan nama Politik Orgaan Voor Loyale

Jong-Indiers en Jong-Chineezen (Organ Politik bagi pemuda Hindia dan

Tionghoa yang Loyal). Hal ini cukup menggambarkan bagaimana semangat

kebersamaan di kalangan intelektual. Perbedaan ras tidak lagi menjadi suatu

pemisah yang tegas.

       21

Harry A. Poeze. Di Negeri Penjajah; Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. 2008. Jakarta: Gramedia. Hal. 69

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 77-88)

Dokumen terkait