• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dualisme Pemerintah Hindia Belanda atas Orang-Orang Tionghoa di Jawa

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 46-53)

PERJANJIAN GIYANTI TAHUN 1755

D. Dualisme Pemerintah Hindia Belanda atas Orang-Orang Tionghoa di Jawa

Dalam tahun 1830-1870, pemerintah Hindia Belanda melahirkan sebuah

sistem yang dikenal dengan nama Sistem Tanam Paksa. Sistem ini merupakan

sistem dalam pemilikan perkebunan di Jawa yang dalam prakteknya mampu

meningkatkan pundi-pundi perekonomian kolonial. Akan tetapi konsekuensinya

adalah sebagian besar petani yang tinggal di daerah perkebunan diharuskan

menjadi buruh. Oleh karenanya Belanda menganggap petani di Jawa adalah

potensi buruh yang perlu dilindungi terutama dalam kepentingan sistem tanam

paksa itu sendiri. Sedangkan orang-orang Tionghoa dalam masa ini mulai

dipertanyakan oleh pemerintah Hindia Belanda mengenai seberapa

membahayakannya orang-orang Tionghoa dalam kaitannya dengan persaingan

ekonomi di Hindia Belanda. Menurut Onghokham, sering orang-orang Tionghoa

dianggap sebagai kelompok yang merusak harga pasar.22 Walaupun demikian,

orang-orang Tionghoa banyak berjasa dalam membangun perekonomian Belanda

melalui perdagangan. Keadaan ini melahirkan sikap dualisme Belanda terhadap

orang-orang Tionghoa. Hal ini juga menjadi alasan Pemerintah Hindia Belanda

untuk melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi ruang gerak orang-orang

Tionghoa di Hindia Belanda khususnya di Jawa.

Peraturan-peraturan bagi orang-orang Tionghoa yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Hindia Belanda mulai diberlakukan sejak tahun 1863. Sejak tahun

      

22 Onghokham. Rakyat dan Negara. 1983. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 37-38

tersebut orang-orang Tionghoa secara resmi dipaksa untuk tinggal dalam tempat

yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi

kepentingan-kepentingan pemerintah kolonial jugalah yang pada akhirnya membuat peraturan

ini tidak dijalankan secara tegas. Pejabat setempat biasanya hanya melakukan

teguran bagi orang Tionghoa yang melanggarnya. Hukuman yang dianggap ringan

juga menjadi alasan orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah yang telah

ditentukan pemerintah Hindia Belanda untuk tidak terlalu menghiraukan peraturan

tersebut.

Di sisi lain, kondisi dimana orang-orang Tionghoa harus tinggal di satu

wilayah tertentu dengan komunitas yang homogen, justru membuat masyarakat

Tionghoa dapat terus mempertahankan eksistensi budaya Tionghoa. Hal ini

terbukti dari adanya simbol-simbol kebudayaan yang ada pada setiap rumah di

Pecinan, atau banyak ditemukannya makam-makam khas orang-orang Tionghoa.

Peraturan tersebut berhasil menjaga kebudayaan Tionghoa dalam eksistensinya di

tengah kehidupan masyarakat di wilayah Kasultanan Yogyakarta.

Selain peraturan tentang tempat tinggal, pemerintah Hindia Belanda juga

membuat peraturan tentang surat jalan. Pertaturan ini, pada dasarnya sangat

membatasi gerak orang-orang Tionghoa di wilayah pedalaman Jawa. Peraturan

ini, mengharuskan setiap orang Tionghoa yang hendak pergi dari luar daerah

pecinan harus memiliki surat jalan untuk bepergian. Surat-surat itu di dapat atas

permohonan yang diajukan pada pemerintah Belanda. Praktis peraturan tersebut

merupakan sebuah hambatan bagi orang-orang Tionghoa terutama yang bermata

hingga daerah pelosok di desa-desa Jawa. Tiap kali orang ingin berpergian,

mereka harus mengajukan permohonan dengan para pegawai pemerintah Hindia

Belanda. Sehingga cukup jelas kiranya bagaimana surat jalan menjadi masalah

bagi orang-orang Tionghoa di Jawa, terutama di kota-kota besar. Akan tetapi,

banyak juga yang mengabaikan peraturan semacam ini. Hal ini terlebih dilakukan

bagi orang-orang yang hendak melakukan perjalanan yang cenderung pendek atau

hanya menempuh jarak di daerah yang dekat pecinan. Petugas-petugas yang

berwenang yang mengetahui pelanggaran tersebut, dalam prakteknya juga banyak

melakukan pembiaran tindakan tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

berjalan atau tidaknya sistem surat jalan yang dikeluarkan pihak Belanda sangat

bergantung pada pegawai-pegawai yang bekerja di wilayah setempat. Jika dilihat

dari pemerintah Belanda di Hindia Belanda, tentu mereka menginginkan adanya

peraturan yang ketat. Akan tetapi, mereka hanya bisa mengingatkan kepada para

pegawai setempat untuk mengawasi peraturan ini secara ketat.

Sikap dualisme yang dimiliki pemerintah Belanda ataupun perusahaan

dagang swasta Belanda terhadap orang-orang Tionghoa, menjadikan peraturan

yang dibuat untuk membatasi ruang gerak orang-orang Tionghoa menjadi tidak

efektif. Artinya, keinginan Belanda untuk membatasi ruang gerak etnis Tionghoa

dapat dikatakan hampir tidak terjadi. Menurut Onghokham, semua itu

dikarenakan adanya kepentingan bisnis yang menguntungkan bagi orang-orang

Belanda. Sebagaimana dapat terlihat, disaat yang sama Pemerintah Belanda

perahu tambang, serta pajak pasar kepada orang-orang Tionghoa.23 Oleh karena

orang-orang Tionghoa mempunyai potensi dapat membawa keuntungan untuk

orang Belanda, maka orang Belanda juga berpendapat bahwa

orang-orang Tionghoa harus di berikan ruang gerak seluas-luasnya.

E. Kedekatan Orang-orang Tionghoa dengan Kraton

Setelah kedatangan orang-orang Tionghoa ke Yogyakarta untuk pertama

kalinya, terutama setelah Kasultanan Yogyakarta berdiri pada tahun 1756, jumlah

orang-orang Tionghoa yang tinggal menetap di Yogyakarta setiap tahunnya terus

saja meningkat. Dalam data yang menunjukkan jumlah penduduk Tionghoa di

Yogyakarta pada tahun-tahun akhir jabatan Sri Sultan Hamengku Buwana VII

yaitu tahun 1906-1910 memperlihatkan jumlah penduduk di wilayah Yogyakarta

sebanyak 79. 567 jiwa. Di atara keseluruhan jumlah tersebut, penduduk Tionghoa

ada sebanyak 5. 266 jiwa, atau 6,61% dari keseluruhan jumlah penduduk.24

Jumlah ini cukup untuk mengindikasikan adanya keberagaman penduduk di

dalam wilayah Kasultanan Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan keadaan di

Kasunanan Surakarta, yang nota bene adalah kerajaan yang lebih tua dari

Kasultanan Yogyakarta serta memiliki sejarah yang berhubungan dengan etnis

Tionghoa lebih awal, dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial antar etnis di

       23

Ibid., Hal. 39

24 Melly. G. Tan, ed. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. 1981. Jakarta: Gramedia. Hal. Xiii

wilayah Yogyakarta lebih beragam.25 Dalam tahun yang sama di Surakarta

terdapat persentase jumlah penduduk total yang lebih kecil dari pada yang ada di

wilayah Yogyakarta yakni 5, 51%.26

Bahkan menurut Peter Carey, pada permulaan abad ke-19 hubungan baik

menjadi ciri yang menyelimuti segala urusan yang melibatkan orang-orang Jawa

dan orang-orang Tionghoa.27 Akan tetapi, sebelumnya yaitu pada masa-masa awal

Kasultanan, kerjasama atau hubungan baik yang dilakukan orang-orang Jawa

dengan orang-orang Tionghoa jarang terjadi. Justru rasa saling curigalah yang

muncul mereka. Dalam periode dimana banyak terjadi perang, memunculkan

kondisi yang meletakkan kelompok orang Tionghoa dan juga orang Jawa dalam

suasana yang membuat saling tidak mempercayai. Hal ini bahkan dituliskan oleh

Diponegoro dalam Serat Babad Dipanagaran, 2 : 26: XXXIII (Maskumambang)

yang berbunyi:

71. ………

China ing Lasem sedaya

72. mapan sampun sumeja manjing Agami

Den Sasradilaga

Dadya supe weling Aji Anjamahi Nyonyah China

73. pan punika ingkang dadi mar ganeki

Apes juritira

……….28

       25

G. Moedjanto, op. cit., Hal 104-107

26

Melly. G. Tan, loc. cit

27

Hubungan kurang harmonis antara orang Jawa dan Tionghoa yang terjadi

pada masa kolonialisme itu dapat terlihat dari potongan babad tersebut. Hal

tersebut terjadi terutama karena banyak dari para elite Jawa mulai terpengaruh

dominasi pemerintah Belanda memunculkan anggapan tentang kurang

bermanfaatnya menjalin hubungan dengan orang-orang Tionghoa.

Ketidakharmonisan hubungan Jawa-Tionghoa ini memang tidak terjadi serentak

di seluruh wilayah Jawa, akan tetapi yang pasti gelombang perpecahan terjadi di

kalangan elit Jawa dengan Tionghoa. Hal tersebut juga karena banyak di atara

para priyayi Jawa adalah kalangan yang memilih suatu kondisi yang

menempatkan mereka dalam status quo dimana mereka tetap dapat merasakan

kenyamanan jabatan mereka. Menurut Kuntowijoyo, priyayi bukanlah

semata-mata sebuah pekerjaan, akan tetapi juga berarti sebuah kehorsemata-matan, dan mereka

akan menjaga itu bahkan dengan cara mempertegas stratifikasi yang ada melalui

berbagai macam cara.29

       

Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai:

71.………..

China yang di lasem semuanya 72.karena sudah sanggup dan bersedia Untuk memeluk satu agama

Dan sebagai panglima perang

Ternyata telah dilupakan dan melanggar pantangan yaitu menggauli Nyonya China 73.Hal itulah yang menjadi penyebab Kekalahan perang

………..

29

Lihat makalah Kuntowijoyo dalam Kongres Nasional Sejarah VIII, pada tanggal 28-31 Oktober 2001 di Jakarta, dengan judul Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasultanan Surakarata , 1900-1915.

Di Yogyakarta, hubungan yang terjadi antara Kasultanan dengan orang

Tionghoa lebih dari sekedar hubungan yang berlatar belakang urusan perdagangan

belaka. Sultan Yogyakarta banyak mempercayakan urusan-urusan tertentu di luar

urusan perdagangan kepada orang-orang Tionghoa. Sultan Hamengku Buwana II

misalnya, mempercayakan kesehataannya dengan mengangkat seorang Tionghoa

sebagai dokter pribadinya yang tidak lain adalah ahli obat tradisional atau

jamu-jamuan.30 Menurut Abdurrachman Surjomiharjo, salah satu ciri dari corak

dinamika sejarah di Yogyakarta adalah terjadinya interaksi antara sistem

stratifikasi tradisional dengan sistem stratifikasi yang tercipta karena kehadiran

kolonial.31 Sehingga kolonial menjadi pihak yang telah membawa banyak

pembaharuan dalam dinamika sejarah di Yogyakarta. Setelah berakhirnya perang

Diponegoro dimana pemerintah Belanda mulai melakukan pengawasan lebih ketat

di wilayah Jawa, proses plruralisasi sosial di berbagai bidang justu tampak di

Yogyakarta. Hal tersebut dapat diketahui dari mulai munculnya orang-orang

Tionghoa yang menduduki jabatan atau bekerja pada bidang yang penting di

Yogyakarta.

       30

Peter Carey, op. cit., Hal. 41

31 Abddurachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta 1880-1930, Sejarah Perkembangan Sosial. 2000. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. Hal. 54

BAB III

Dalam dokumen MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920 (Halaman 46-53)

Dokumen terkait