PERJANJIAN GIYANTI TAHUN 1755
D. Dualisme Pemerintah Hindia Belanda atas Orang-Orang Tionghoa di Jawa
Dalam tahun 1830-1870, pemerintah Hindia Belanda melahirkan sebuah
sistem yang dikenal dengan nama Sistem Tanam Paksa. Sistem ini merupakan
sistem dalam pemilikan perkebunan di Jawa yang dalam prakteknya mampu
meningkatkan pundi-pundi perekonomian kolonial. Akan tetapi konsekuensinya
adalah sebagian besar petani yang tinggal di daerah perkebunan diharuskan
menjadi buruh. Oleh karenanya Belanda menganggap petani di Jawa adalah
potensi buruh yang perlu dilindungi terutama dalam kepentingan sistem tanam
paksa itu sendiri. Sedangkan orang-orang Tionghoa dalam masa ini mulai
dipertanyakan oleh pemerintah Hindia Belanda mengenai seberapa
membahayakannya orang-orang Tionghoa dalam kaitannya dengan persaingan
ekonomi di Hindia Belanda. Menurut Onghokham, sering orang-orang Tionghoa
dianggap sebagai kelompok yang merusak harga pasar.22 Walaupun demikian,
orang-orang Tionghoa banyak berjasa dalam membangun perekonomian Belanda
melalui perdagangan. Keadaan ini melahirkan sikap dualisme Belanda terhadap
orang-orang Tionghoa. Hal ini juga menjadi alasan Pemerintah Hindia Belanda
untuk melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi ruang gerak orang-orang
Tionghoa di Hindia Belanda khususnya di Jawa.
Peraturan-peraturan bagi orang-orang Tionghoa yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda mulai diberlakukan sejak tahun 1863. Sejak tahun
22 Onghokham. Rakyat dan Negara. 1983. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 37-38
tersebut orang-orang Tionghoa secara resmi dipaksa untuk tinggal dalam tempat
yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi
kepentingan-kepentingan pemerintah kolonial jugalah yang pada akhirnya membuat peraturan
ini tidak dijalankan secara tegas. Pejabat setempat biasanya hanya melakukan
teguran bagi orang Tionghoa yang melanggarnya. Hukuman yang dianggap ringan
juga menjadi alasan orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah yang telah
ditentukan pemerintah Hindia Belanda untuk tidak terlalu menghiraukan peraturan
tersebut.
Di sisi lain, kondisi dimana orang-orang Tionghoa harus tinggal di satu
wilayah tertentu dengan komunitas yang homogen, justru membuat masyarakat
Tionghoa dapat terus mempertahankan eksistensi budaya Tionghoa. Hal ini
terbukti dari adanya simbol-simbol kebudayaan yang ada pada setiap rumah di
Pecinan, atau banyak ditemukannya makam-makam khas orang-orang Tionghoa.
Peraturan tersebut berhasil menjaga kebudayaan Tionghoa dalam eksistensinya di
tengah kehidupan masyarakat di wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Selain peraturan tentang tempat tinggal, pemerintah Hindia Belanda juga
membuat peraturan tentang surat jalan. Pertaturan ini, pada dasarnya sangat
membatasi gerak orang-orang Tionghoa di wilayah pedalaman Jawa. Peraturan
ini, mengharuskan setiap orang Tionghoa yang hendak pergi dari luar daerah
pecinan harus memiliki surat jalan untuk bepergian. Surat-surat itu di dapat atas
permohonan yang diajukan pada pemerintah Belanda. Praktis peraturan tersebut
merupakan sebuah hambatan bagi orang-orang Tionghoa terutama yang bermata
hingga daerah pelosok di desa-desa Jawa. Tiap kali orang ingin berpergian,
mereka harus mengajukan permohonan dengan para pegawai pemerintah Hindia
Belanda. Sehingga cukup jelas kiranya bagaimana surat jalan menjadi masalah
bagi orang-orang Tionghoa di Jawa, terutama di kota-kota besar. Akan tetapi,
banyak juga yang mengabaikan peraturan semacam ini. Hal ini terlebih dilakukan
bagi orang-orang yang hendak melakukan perjalanan yang cenderung pendek atau
hanya menempuh jarak di daerah yang dekat pecinan. Petugas-petugas yang
berwenang yang mengetahui pelanggaran tersebut, dalam prakteknya juga banyak
melakukan pembiaran tindakan tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
berjalan atau tidaknya sistem surat jalan yang dikeluarkan pihak Belanda sangat
bergantung pada pegawai-pegawai yang bekerja di wilayah setempat. Jika dilihat
dari pemerintah Belanda di Hindia Belanda, tentu mereka menginginkan adanya
peraturan yang ketat. Akan tetapi, mereka hanya bisa mengingatkan kepada para
pegawai setempat untuk mengawasi peraturan ini secara ketat.
Sikap dualisme yang dimiliki pemerintah Belanda ataupun perusahaan
dagang swasta Belanda terhadap orang-orang Tionghoa, menjadikan peraturan
yang dibuat untuk membatasi ruang gerak orang-orang Tionghoa menjadi tidak
efektif. Artinya, keinginan Belanda untuk membatasi ruang gerak etnis Tionghoa
dapat dikatakan hampir tidak terjadi. Menurut Onghokham, semua itu
dikarenakan adanya kepentingan bisnis yang menguntungkan bagi orang-orang
Belanda. Sebagaimana dapat terlihat, disaat yang sama Pemerintah Belanda
perahu tambang, serta pajak pasar kepada orang-orang Tionghoa.23 Oleh karena
orang-orang Tionghoa mempunyai potensi dapat membawa keuntungan untuk
orang Belanda, maka orang Belanda juga berpendapat bahwa
orang-orang Tionghoa harus di berikan ruang gerak seluas-luasnya.
E. Kedekatan Orang-orang Tionghoa dengan Kraton
Setelah kedatangan orang-orang Tionghoa ke Yogyakarta untuk pertama
kalinya, terutama setelah Kasultanan Yogyakarta berdiri pada tahun 1756, jumlah
orang-orang Tionghoa yang tinggal menetap di Yogyakarta setiap tahunnya terus
saja meningkat. Dalam data yang menunjukkan jumlah penduduk Tionghoa di
Yogyakarta pada tahun-tahun akhir jabatan Sri Sultan Hamengku Buwana VII
yaitu tahun 1906-1910 memperlihatkan jumlah penduduk di wilayah Yogyakarta
sebanyak 79. 567 jiwa. Di atara keseluruhan jumlah tersebut, penduduk Tionghoa
ada sebanyak 5. 266 jiwa, atau 6,61% dari keseluruhan jumlah penduduk.24
Jumlah ini cukup untuk mengindikasikan adanya keberagaman penduduk di
dalam wilayah Kasultanan Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan keadaan di
Kasunanan Surakarta, yang nota bene adalah kerajaan yang lebih tua dari
Kasultanan Yogyakarta serta memiliki sejarah yang berhubungan dengan etnis
Tionghoa lebih awal, dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial antar etnis di
23
Ibid., Hal. 39
24 Melly. G. Tan, ed. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. 1981. Jakarta: Gramedia. Hal. Xiii
wilayah Yogyakarta lebih beragam.25 Dalam tahun yang sama di Surakarta
terdapat persentase jumlah penduduk total yang lebih kecil dari pada yang ada di
wilayah Yogyakarta yakni 5, 51%.26
Bahkan menurut Peter Carey, pada permulaan abad ke-19 hubungan baik
menjadi ciri yang menyelimuti segala urusan yang melibatkan orang-orang Jawa
dan orang-orang Tionghoa.27 Akan tetapi, sebelumnya yaitu pada masa-masa awal
Kasultanan, kerjasama atau hubungan baik yang dilakukan orang-orang Jawa
dengan orang-orang Tionghoa jarang terjadi. Justru rasa saling curigalah yang
muncul mereka. Dalam periode dimana banyak terjadi perang, memunculkan
kondisi yang meletakkan kelompok orang Tionghoa dan juga orang Jawa dalam
suasana yang membuat saling tidak mempercayai. Hal ini bahkan dituliskan oleh
Diponegoro dalam Serat Babad Dipanagaran, 2 : 26: XXXIII (Maskumambang)
yang berbunyi:
71. ………
China ing Lasem sedaya
72. mapan sampun sumeja manjing Agami
Den Sasradilaga
Dadya supe weling Aji Anjamahi Nyonyah China
73. pan punika ingkang dadi mar ganeki
Apes juritira
……….28
25
G. Moedjanto, op. cit., Hal 104-107
26
Melly. G. Tan, loc. cit
27
Hubungan kurang harmonis antara orang Jawa dan Tionghoa yang terjadi
pada masa kolonialisme itu dapat terlihat dari potongan babad tersebut. Hal
tersebut terjadi terutama karena banyak dari para elite Jawa mulai terpengaruh
dominasi pemerintah Belanda memunculkan anggapan tentang kurang
bermanfaatnya menjalin hubungan dengan orang-orang Tionghoa.
Ketidakharmonisan hubungan Jawa-Tionghoa ini memang tidak terjadi serentak
di seluruh wilayah Jawa, akan tetapi yang pasti gelombang perpecahan terjadi di
kalangan elit Jawa dengan Tionghoa. Hal tersebut juga karena banyak di atara
para priyayi Jawa adalah kalangan yang memilih suatu kondisi yang
menempatkan mereka dalam status quo dimana mereka tetap dapat merasakan
kenyamanan jabatan mereka. Menurut Kuntowijoyo, priyayi bukanlah
semata-mata sebuah pekerjaan, akan tetapi juga berarti sebuah kehorsemata-matan, dan mereka
akan menjaga itu bahkan dengan cara mempertegas stratifikasi yang ada melalui
berbagai macam cara.29
Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai:
71.………..
China yang di lasem semuanya 72.karena sudah sanggup dan bersedia Untuk memeluk satu agama
Dan sebagai panglima perang
Ternyata telah dilupakan dan melanggar pantangan yaitu menggauli Nyonya China 73.Hal itulah yang menjadi penyebab Kekalahan perang
………..
29
Lihat makalah Kuntowijoyo dalam Kongres Nasional Sejarah VIII, pada tanggal 28-31 Oktober 2001 di Jakarta, dengan judul Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasultanan Surakarata , 1900-1915.
Di Yogyakarta, hubungan yang terjadi antara Kasultanan dengan orang
Tionghoa lebih dari sekedar hubungan yang berlatar belakang urusan perdagangan
belaka. Sultan Yogyakarta banyak mempercayakan urusan-urusan tertentu di luar
urusan perdagangan kepada orang-orang Tionghoa. Sultan Hamengku Buwana II
misalnya, mempercayakan kesehataannya dengan mengangkat seorang Tionghoa
sebagai dokter pribadinya yang tidak lain adalah ahli obat tradisional atau
jamu-jamuan.30 Menurut Abdurrachman Surjomiharjo, salah satu ciri dari corak
dinamika sejarah di Yogyakarta adalah terjadinya interaksi antara sistem
stratifikasi tradisional dengan sistem stratifikasi yang tercipta karena kehadiran
kolonial.31 Sehingga kolonial menjadi pihak yang telah membawa banyak
pembaharuan dalam dinamika sejarah di Yogyakarta. Setelah berakhirnya perang
Diponegoro dimana pemerintah Belanda mulai melakukan pengawasan lebih ketat
di wilayah Jawa, proses plruralisasi sosial di berbagai bidang justu tampak di
Yogyakarta. Hal tersebut dapat diketahui dari mulai munculnya orang-orang
Tionghoa yang menduduki jabatan atau bekerja pada bidang yang penting di
Yogyakarta.
30
Peter Carey, op. cit., Hal. 41
31 Abddurachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta 1880-1930, Sejarah Perkembangan Sosial. 2000. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. Hal. 54