• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PROGRAM BANTUAN HUKUM DI INSTITUSI

2. Anggaran Bantuan Hukum di APBN: Tidak Efektif

Sebagian besar institusi penegak hukum menerima dana dari APBN, bahkan beberapa institusi juga menerima dana dari APBD dan mengambil dana bantuan hukum dari dana taktis di internal masing-masing sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.

menyediakan layanan pendampingan hukum di proses litigasi dan konsultasi hukum. Bentuk layanan yang paling jarang tersedia adalah penelitian hukum dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 46

Bentuk Layanan Bantuan Hukum di Institusi Penegak Hukum (Frekuensi kegiatan)

Jakarta Padang Surabaya Makassar Papua

Pendampingan Hukum (litigasi) 6 6 3 6 3

Penyuluhan Hukum 6 4 2 3 3 Konsultasi Hukum 7 5 5 5 5 Penelitian Hukum 1 5 0 1 0 Forum Koordinasi 2 2 1 1 3 Mediasi 4 6 3 5 3 Negosiasi 2 4 2 3 3 Pemberdayaan Masyarakat 2 1 1 1 2

Drafting Dokumen Hukum 7 1 3 3 2

Merujuk Pada Advokat 2 2 2 3 0

Lain-lain 0 0 0 0 0

Bentuk layanan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh institusi penegak hukum tersebut, berupa konsultasi hukum dan pendampingan hukum (litigasi) dilaksanakan dalam tahapan penanganan perkara yaitu:

Tabel 47

Pemberian Bantuan Hukum di Tahapan Proses Hukum (Jumlah Responden Menjawab)

Jakarta Padang Surabaya Makassar Papua

Pidana Penyelidikan 0 2 1 2 2 Penyidikan 3 3 2 2 3 Sidang di Tingkat 1 4 4 2 3 4 Banding 3 4 1 3 2 Kasasi 3 4 1 2 2 PK 2 4 1 2 1 Pemasyarakatan 0 2 1 1 0 Non Litigasi 2 0 1 2 0 Perdata Mediasi 3 7 3 5 2 Sidang di Tingkat 1 5 7 4 6 2 Banding 4 7 3 6 2 Kasasi 4 7 2 5 2 PK 3 6 2 5 2 Non Litigasi 3 4 2 5 2 PTUN Pemeriksaan Pendahuluan 4 4 2 3 2 Sidang di tingkat 1 4 4 2 3 2 Banding 4 4 2 3 2 Kasasi 4 4 2 3 2 PK 4 4 2 3 2 Non Litigasi 3 2 2 3 2

Sebagian besar program bantuan hukum memberikan layanan di setiap tahap penanganan perkara, mulai dari tahap pra sidang, persidangan bahkan hingga tahap paling akhir dalam sistem peradilan di semua jenis perkara (Pidana, Perdata, PTUN). Namun dalam perkara Pidana, hanya sedikit yang memberikan layanan bantuan hukum dalam penanganan secara non litigasi. Intensitas penanganannya pun jauh di bawah intensitas penanganan yang biasa dilakukan OBH. Misalnya untuk menangani satu perkara pidana, OBH di Jakarta melakukan konsultasi sebanyak 12 kali (lihat tabel 23).

2. Anggaran Bantuan Hukum di APBN: Tidak Efektif

Sebagian besar institusi penegak hukum menerima dana dari APBN, bahkan beberapa institusi juga menerima dana dari APBD dan mengambil dana bantuan hukum dari dana taktis di internal masing-masing sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 48

Perolehan Pendanaan Penyelenggaraan Layanan Bantuan Hukum Pada Institusi Penegak Hukum (Jumlah Responden Menjawab)

Jakarta Padang Surabaya Makassar Papua

Mendapatkan Dana Bankum Ya 7 4 5 5 4 Tidak 2 3 2 2 2 Sumber Dana APBN 7 2 3 4 3 APBD 7 0 0 0 0

Dana Internal (Dana

Taktis) 7 1 2 1 2

Lain-Lain 0 0 0 0 0

Dengan kata lain, pengelolaan dana bantuan hukum oleh pemerintah, khususnya institusi penegak hukum memiliki sumber dana yang memadai baik dari APBN, APBD maupun alokasi untuk kebutuhan lain dari DIPA APBN di institusi masing-masing. Pemerintah Daerah kebanyakan daerah mengelola sendiri dana bantuan hukum, kecuali pemerintah DKI Jakarta yang juga menyalurkan dana bantuan hukum kepada institusi penegak hukum.

Mekanisme penyaluran dana bantuan hukum ke institusi penegak hukum kebayakan dengan cara memberikan bantuan langsung (grant), kedua terbanyak dengan sistem penggantian (reimbursement) yang berarti pengeluaran ditalangi terlebih dahulu oleh penegak hukum, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 49

Sistem Penyaluran Dana Layanan Bantuan Hukum Pada Lembaga APH (Jumlah Responden Menjawab)

Jakarta Padang Surabaya Makassar Papua

Sistem Penggantian (Reimbursment)

2 0 3 0 2

Sistem Bantuan Langsung (grant)

5 0 1 2 0

Sistem Penyaluran Dana Bertahap

0 0 0 2 2

Lain-Lain 0 0 0 0 0

Tidak Menjawab 0 1 0 0 0

Dalam prakteknya, alokasi dana bantuan hukum hanya dibatasi oleh plafon yang ada di dalam DIPA APBN dan DIPA APBD karena tidak ada standar penggunaan anggaran. Sehingga besarnya alokasi dana tidak berbanding lurus dengan banyaknya kasus yang ditangani dengan program bantuan hukum. Apalagi pengelolaan dilakukan secara tidak transparan, dengan hanya ditentukan secara diskresioner pejabat setempat, tidak ada mekanisme pengawasan eksternal dan pelaporan kepada publik.

Gambaran mekanisme penyelenggaraan program bantuan hukum di institusi penegak hukum menyatakan beberapa hal penting. Pertama, pengerahan sumber daya Pemerintah untuk bantuan hukum sedemikian besar dan merata. Program bantuan hukum dijadikan alasan untuk mengakses anggaran negara dan penugasan aparat seolah-olah untuk tugas tambahan, padahal sebenarnya penugasan berkaitan dengan tupoksi dan kerja rutin aparat tersebut (seperti untuk gelar pekara di Kepolisian). Program bantuan hukum kenyataannya juga tidak diorientasikan untuk pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1, 2 dan 3 UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum yaitu:

a. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.

b. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

c. Pemberi Bantuan Hukum adalah LBH atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan undang-undang ini.

Kedua, pengerahan aparat untuk pelaksanaan program bantuan hukum di sejumlah institusi tidak efektif. Aparat yang dikerahkan kerap memiliki konflik kepentingan (misalnya kejaksaan memberikan konsultasi kepada masyarakat yang sedang berperkara pidana), tidak dapat diakses karena mekanisme yang tidak jelas dan keberadaan tempat pelayanan di dalam gedung pemerintahan yang tidak diketahui masyarakat umum. Ketiga, pengelolaan anggaran cenderung koruptif, yang diindikasikan dengan tidak adanya standar penggunaan anggaran, ketiadaan mekanisme pengawasan, peruntukan dana untuk kepentingan

Tabel 48

Perolehan Pendanaan Penyelenggaraan Layanan Bantuan Hukum Pada Institusi Penegak Hukum (Jumlah Responden Menjawab)

Jakarta Padang Surabaya Makassar Papua

Mendapatkan Dana Bankum Ya 7 4 5 5 4 Tidak 2 3 2 2 2 Sumber Dana APBN 7 2 3 4 3 APBD 7 0 0 0 0

Dana Internal (Dana

Taktis) 7 1 2 1 2

Lain-Lain 0 0 0 0 0

Dengan kata lain, pengelolaan dana bantuan hukum oleh pemerintah, khususnya institusi penegak hukum memiliki sumber dana yang memadai baik dari APBN, APBD maupun alokasi untuk kebutuhan lain dari DIPA APBN di institusi masing-masing. Pemerintah Daerah kebanyakan daerah mengelola sendiri dana bantuan hukum, kecuali pemerintah DKI Jakarta yang juga menyalurkan dana bantuan hukum kepada institusi penegak hukum.

Mekanisme penyaluran dana bantuan hukum ke institusi penegak hukum kebayakan dengan cara memberikan bantuan langsung (grant), kedua terbanyak dengan sistem penggantian (reimbursement) yang berarti pengeluaran ditalangi terlebih dahulu oleh penegak hukum, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 49

Sistem Penyaluran Dana Layanan Bantuan Hukum Pada Lembaga APH (Jumlah Responden Menjawab)

Jakarta Padang Surabaya Makassar Papua

Sistem Penggantian (Reimbursment)

2 0 3 0 2

Sistem Bantuan Langsung (grant)

5 0 1 2 0

Sistem Penyaluran Dana Bertahap

0 0 0 2 2

Lain-Lain 0 0 0 0 0

Tidak Menjawab 0 1 0 0 0

Dalam prakteknya, alokasi dana bantuan hukum hanya dibatasi oleh plafon yang ada di dalam DIPA APBN dan DIPA APBD karena tidak ada standar penggunaan anggaran. Sehingga besarnya alokasi dana tidak berbanding lurus dengan banyaknya kasus yang ditangani dengan program bantuan hukum. Apalagi pengelolaan dilakukan secara tidak transparan, dengan hanya ditentukan secara diskresioner pejabat setempat, tidak ada mekanisme pengawasan eksternal dan pelaporan kepada publik.

Gambaran mekanisme penyelenggaraan program bantuan hukum di institusi penegak hukum menyatakan beberapa hal penting. Pertama, pengerahan sumber daya Pemerintah untuk bantuan hukum sedemikian besar dan merata. Program bantuan hukum dijadikan alasan untuk mengakses anggaran negara dan penugasan aparat seolah-olah untuk tugas tambahan, padahal sebenarnya penugasan berkaitan dengan tupoksi dan kerja rutin aparat tersebut (seperti untuk gelar pekara di Kepolisian). Program bantuan hukum kenyataannya juga tidak diorientasikan untuk pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1, 2 dan 3 UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum yaitu:

a. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.

b. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

c. Pemberi Bantuan Hukum adalah LBH atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan undang-undang ini.

Kedua, pengerahan aparat untuk pelaksanaan program bantuan hukum di sejumlah institusi tidak efektif. Aparat yang dikerahkan kerap memiliki konflik kepentingan (misalnya kejaksaan memberikan konsultasi kepada masyarakat yang sedang berperkara pidana), tidak dapat diakses karena mekanisme yang tidak jelas dan keberadaan tempat pelayanan di dalam gedung pemerintahan yang tidak diketahui masyarakat umum. Ketiga, pengelolaan anggaran cenderung koruptif, yang diindikasikan dengan tidak adanya standar penggunaan anggaran, ketiadaan mekanisme pengawasan, peruntukan dana untuk kepentingan

internal yang dananya mengalir kembali ke institusi dan pelaksanaannya ditentukan berdasarkan diskresi pejabat setempat. Dengan permasalahan tersebut, ke depan program bantuan hukum dilepaskan dari institusi pemerintah dan diberikan kepada OBH yang dikelola oleh masyarakat.