Sistem sosial menurut Rogers dalam Hanafi (1987: 30) adalah suatu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk pemecahan masalah dalam rangka mencapai tujuan tertentu yang menjadi suatu tujuan bersama. Atau dengan kata lain kumpulan individu atau warga masyarakat tertentu yang memiliki peran masing-masing untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan bersama.
Jika dikaitkan dalam penelitian ini, anggota sistem sosial berkumpul dan bekerja sama dalam keberhasilan pendifusian program Pemicuan Stop Jentik. Dalam penelitian ini, anggota sistem sosial yang dimaksud adalah warga masyarakat RW 14 dan RW 33 Kelurahan Kadipiro yang terlibat dalam proses difusi dan adopsi inovasi Program Pemicuan Stop Jentik.
commit to user B. Proses Adopsi Program Pemicuan Stop Jentik
Proses pengambilan keputusan inovasi bukanlah sesuatu yang instan, tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa melalu beberapa tahapan. Tahapan yang diteliti dalam penelitian difusi dan adopsi inovasi Program Pemicuan Stop Jentik di RW 14 dan RW 33 Kelurahan Kadipiro, yaitu mulai dari tahapan pengetahuan, bujukan, putusan, implementasi, dan pemastian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan adopsi inovasi yang dipaparkan oleh Rogers, (1983: 164).
Adopsi merupakan penerimaan masyarakat RW 14 dan RW 33 Kelurahan Kadipiro terhadap Program Pemicuan Stop Jentik dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Dalam proses pengambilan keputusan inovasi ini tentunya tidak serta merta masyarakat langsung menerima atau menolak, tetapi mengalami beberapa proses dan tahap, apalagi program ini merupakan terobosan dari pemerintah.
Namun proses difusi dan adopsi inovasi ini sangat erat kaitannya dengan kondisi awal masyarakat sebelum datangnya inovasi. Rogers menyebutnya dengan prior conditions, yang terdiri dari prefious practice (kebiasaan sebelum kedatangan inovasi), felt needs/problems (masalah yang dihadapi berkaitan dengan kebutuhan), innovativeness (tingkat keterbukaan terhadap inovasi), dan norms of social systems (norma sosial). Kedua wilayah yang diteliti oleh peneliti berikut inipun memiliki kondisi awal yang sedikit berbeda.
commit to user RW 14
Prefious practice (kebiasaan sebelum datangnya inovasi) yang
dilakukan oleh RW 14 bisa dikatakan masih sedikit lebih buruk daripada sejak datangnya inovasi program Pemicuan Stop Jentik. Sebelumnya, RW 14 Kelurahan Kadipiro ini banyak warga yang belum mengerti arti penting kebersihan. PSN (Pemeriksaan Sarang Nyamuk) yang dilakukan oleh para kader kesehatan RW 14 sering menemui masalah tentang susahnya masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan rumahnya sendiri terkait terbebasnya dari sarang nyamuk penyebab demam berdarah. Masih sering ditemui bak-bak mandi yang terdapat jentik nyamuk di dalamnya, juga masih banyak ditemui pakaian-pakaian setengah pakai yang digantung. Kedua hal ini jelas menjadikan tempat bersarangnya nyamuk. Namun perihal kebersihan bak mandi ini sudah mulai berkurang sejak adanya program Pemicuan Stop Jentik. Namun untuk kebiasaan lainnya seperti adanya pakaian yang banyak bergantungan dan kekompakan antar warga dalam menjaga kebersihan masih belum berubah dari kebiasaan warga RW 14 Kelurahan Kadipiro, sehingga adanya kesepakatan kerja bakti yang menuntut kekompakan itupun tidak dapat terlaksana. Hal ini seperti tercantum dari hasil wawancara berikut:
“Ya berkurang tuh anunya. Misalnya, kita sebagai kader kan dua minggu sekali mengadakan PSN ya, ee..pembersihan sarang nyamuk. Itu sekarang sudah agak berkurang lah. Ibaratnya dulu misalnya 100 KK satu RW itu mungkin sampai ada 67 KK yang ada jentik-jentik nyamuknya, sekarang juga banyak berkurang.” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader Kesehatan RW 14, 7 Januari 2016)
commit to user
“Ya itu, kalau dulu waktu cuma lewat suara-suara itu yang kamar mandinya penuh jentik itu banyak, tapi sekarang sudah nggak ada. Kalau seperti sekarang saya sering teriak-teriak "Ayo, kamar mandine ojo lali diresiki, sesuk diperiksa", itu sekarang sudah nggak ada. Jarang. Ya sudah pada sadar, kalau untuk di kamar mandinya sendiri-sendiri lho.” (Hasil wawancara Dewi Mardikaningsih, Kader Kesehatan RW 14, 16 Januari 2016)
Sementara itu, dari wawancara di atas juga terlihat bahwa permasalahan
(problems) yang dialami oleh warga RW 14 adalah sedikitnya kesadaran
dalam menjaga kebersihan demi terjaganya kesehatan. Ini artinya, mereka membutuhkan sesuatu yang baru (felt needs), suatu inovasi yang mampu memicu kesadaran mereka, agar timbul keinginan dari dalam dirinya sendiri untuk menjaga kebersihan agar terhindar dari bahaya demam berdarah. Seperti yang diungkapkan oleh Rahyuni sebagai Kader Kesehatan RW 14 sebagai berikut:
“...Karena kalau menurut saya kalau ada Pemicuan Stop Jentik, kelihatannya ini kesadaran masyarakat itu memang tersentuh lah ibaratnya. „Oh iya ya, kae kok ana Demam Berdarah seperti ini‟. Sekarang kan mbayangke gini dek, ya saya ceritakan, kalau di rumah sakit memang nggak mbayar, tapi repotnya lah, yang
nunggu lah. Belum kalau punya anak sijine, sing gurusi sekolah ini
lah...” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader Kesehatan RW 14, 7 Januari 2016)
Dari hasil wawancara di atas bisa ditangkap bahwa sebenarnya program Pemicuan Stop Jentik merupakan inovasi yang dibutuhkan oleh warga RW 14 untuk memicu kesadaran menjaga kebersihan.
Selanjutnya yang berkaitan dengan prior conditions kondisi awal masyarakat sebelum kedatangan inovasi menurut Rogers adalah
innovativeness. Innovativeness di sini yang dimaksud adalah tingkat
commit to user
yang baru. Warga RW 14 memiliki keterbukaan terhadap inovasi yang cukup rendah. Mereka bersikap tak acuh terhadap kehadiran inovasi, dan menganggap sesuatu yang baru itu adalah hal biasa yang tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka dan tidak akan mengubah kebiasaan mereka. Seperti yang tercantum dari kutipan wawancara berikut:
“....Apalagi kalau yang nyuruh perempuan. Di sini RT nya perempuan juga. Susah-susah orangnya, padahal masih banyak kebun-kebun, belakang itu kebunnya luas banget.” (Hasil wawancara Dewi Mardikaningsih, Kader Kesehatan RW 14, 16 Januari 2016)
“Sini itu agak susah mbak orange, ya nek ada apa gitu lak nggak begitu digagas.” (Hasil wawancara Sih Dwi Rahayu, Kader Kesehatan RW 14, 15 Januari 2016)
Sedangan untuk sistem norma sosial yang terdapat di masyarakat RW 14 berkaitan dengan difusi dan adopsi inovasi ini seperti pada norma sosial masyarakat pada umunya, yakni terdapat norma sosial formal dan nonformal. Untuk norma sosial formal, yang terdapat pada masyarakat RW 14 adalah PKK. Sedangkan untuk norma sosial nonformal yang ada pada masyarakat RW 14 adalah perkumpulan RT dan RW. Seperti dalam kutipan wawancara berikut ini:
“...itu bapak-bapak pengurus PKK RW, itu setiap tanggal 21 kan ada rapat pertemuan tho, nah itu disampaikan di situ. Jadi bahwa ada Pemicuan di tempat kita, karena di tempat kita banyak KLB (Kejadian Luar Biasa)-nya, dengan kesepakatan harus mengerjakan ini-ini-ini. Nah itu disampaikan, wong itu Pak RW juga rawuh, jadi memang disampaikan... Pertemuan RW itu kan terdiri dari bapak RT-RT dan pengurus termasuk bendahara dan sekretarisnya. Bahkan saya pun kalau di PKK RW, ibu-ibu kan juga ada sendiri. Itu juga disampaikan. Bahwa kita ada acara ini, ini, ini. Tolong kita sebagai RT, selain RT kita juga sebagai kader, ya tetep harus menganjurkan itu.” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader Kesehatan RW 14, 7 Januari 2016)
commit to user
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa masyarakat RW 14 memiliki norma sosial formal berupa PKK, dikatakan formal karena PKK memiliki aturan resmi dari pemerintah pusat yang seragam. Sedangkan untuk norma sosial nonformal, mereka biasa bersistem pada perkumpulan RT dan RW. Mereka sebagai warga RW 14 diharapkan mengikuti norma yang ada di atas berkaitan dengan studi difusi dan adopsi inovasi ini. Sehingga sebenarnya tidak ada masalah dalam sistem norma sosial yang terjadi pada masyarakat RW 14. Program Pemicuan Stop Jentik juga sesuai dan tidak bertentangan dengan norma sosial apapun yang ada di RW 14.
“Ya sesuai sekali, wong kebersihan kok, dikasih penyuluhan tentang kebersihan mosok arep nolak, kan nggak mungkin. Kok
seneng lara?” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader Kesehatan RW
14, 7 Januari 2016)
“Ya sesuai mbak. Iya, wong itu dibutuhkan oleh masyarakat, seluruh warga masyarakat kan. Kan itu tidak bertentangan dengan kepentingan apa-apa, agama, dan sebagainya kan nggak ada kaitannya. Ya saya rasa semua bisa menerima.” (Hasil wawancara dengan Suparmo, ketua RW 14, 20 Januari 2016)
Kesesuaian dengan norma sosial setempat diungkapkan oleh kader kesehatan Rahyuni dan Ketua RW Suparmo seperti dalam kutipan wawancara di atas.
RW 33
Tidak jauh berbeda dengan masyarakat RW 14, prefious practice yang dilakukan oleh RW 33 juga melakukan kebiasaan yang hampir sama sebelum datangnya inovasi. Mereka masih melakukan kebiasaan hampir sama yang dilakukan oleh masyarakat RW 33, yakni menggantung pakaian
commit to user
bekas pakai dan masih banyak dijumpai jentik nyamuk di bak-bak mandi dan dispenser. Namun perbedaannya, kondisi kekompakan mereka cukup baik dibandingkan dengan masyarakat RW 14. Masyarakat mereka lebih terbuka dan lebih sering saling berinteraksi. Jadi sejak datangnya inovasi program Pemicuan Stop Jentik, mereka tidak terlalu sulit dan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk memperbaiki kebiasaan mereka.
“Sekarang kita itu mudah masyarakat kita itu, tidak seperti dulu, ndadak ngoyak-ngoyak itu enggak. Sekarang bersih-bersih mau di kamar mandi, baju-baju ting slampir itu ya sudah nggak ada, kalau setiap kami PSN itu sekarang ada kemajuan, itu di dispenser-dispenser, dulu kan anu mbak, jarang ditengok mbak. Itu kan ada tendon e, itu mesti ada jentik e, tapi sekarang ya Alhamdulillah nggak ada. Sekarang mudah untuk anu masyarakat. Kerja bakti itu juga wah mudah benget seperti yang saya bilang tadi.” (Hasil wawancara Marini, Kader Kesehatan RW 33, 7 Januari 2016) Dengan munculnya perubahan semenjak datangnya inovasi program Pemicuan Stop Jentik, bisa diambil kesimpulan bahwa mereka berarti membutuhkan sesuatu yang bisa memicu kesadaran mereka. Dalam hal ini, berarti inovasi program Pemicuan Stop Jentik bisa menjawab felt needs mereka. Seperti yang diungkapkan oleh informan berikut ini:
“Jadi pemicuan ini kan tujuannya biar masyarakat sadar. Kalau menurut saya ya sudah sesuai. Ya sesuai. Lha kalau ternyata bisa berubah itu kan artinya sesuai tho?” (Hasil wawancara Sunarti, Kader Kesehatan RW 33, 22 Januari 2016)
“Ya apa ya mbak…ya ternyata DB itu memang benar-benar suatu penyakit yang…eh apa iku jenenge, hmm penyakit yang menakutkan. Malah bapak Puskesmas itu bilang kalau DB itu malah melebihi AIDS gitu.Soale nek AIDS kana ada jangka waktunya untuk meninggal, lha nek DB kan sewaktu-waktu kan bisa, dalam waktu 3 hari, 7 hari belum sembuh kan bisa saja meninggal. Makanya itu kebersihan lingkungan sangat-sangat
commit to user
dijaga untuk itu.” (Hasil wawancara Sri Maryani, Warga RW 33, 26 Januari 2016)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa ternyata inovasi program Pemicuan Stop Jentik mampu menjawab apa yang dibutuhkan (felt
needs) oleh masyarakat RW 33. Program Pemicuan Stop Jentik berhasil
menjadi suatu inovasi yang mampu memicu kesadaran mereka, dan menimbulkan keinginan dari dalam dirinya sendiri untuk menjaga kebersihan agar terhindar dari bahaya demam berdarah.
Sedangkan untuk prior conditions yang mempengaruhi proses difusi-adopsi inovasi selanjutnya adalah innovativeness. Untuk tingkat keterbukaan warga 33 terhadap inovasi ini bisa dikatakan baik. Mereka merespon dengan baik terhadap sesuatu hal yang baru, dalam hal ini adalah inovasi program Pemicuan Stop Jentik. Seperti yang tertulis dalam kutipan wawancara berikut:
“Mau, sini mudah orang-orangnya. Ya kalau ada apa-apa gitu dilihat dulu bagaimana caranya....ya mau saja kalau itu bagus. Termasuknya gampang lah sini itu kalau diajak koordinasi.” (Hasil wawancara Marini, Kader Kesehatan RW 33, 7 Januari 2016) Tingkat keterbukaan masyarakat RW 33 terhadap suatu inovasi ini juga berhubungan dengan sistem norma sosial yang berlaku di dalamnya. Mereka memiliki norma sosial yang cukup mendukung, mereka memiliki norma kebiasaan untuk saling berinteraksi satu sama lain. Untuk norma sosial formal mereka memiliki PKK, dan untuk norma sosial nonformal mereka tidak hanya terlibat dalam perkumpulan rutin seperti perkumpulan Dawis, RT dan RW, namun juga mereka sering berkumpul dan bersosialisasi antar
commit to user
warga terutama ibu-ibu. Sehingga ketika mereka membuat kesepakatan untuk pelaksanaan kerja bakti setiap satu bulan sekali secara rutin, mereka dengan mudah benar-benar melaksanakan, karena mereka menganggap hal itu juga menjadi salah satu ajang mereka untuk berkumpul dan bersosialisasi satu sama lain.
“Dari kesehatan kota ada informasi seperti apa, disampaikan ke masing-masing RT, pada pertemuan biasanya tanggal 21. Tiap selikur kita pertemuan RW, seperti nanti malam kita pertemuan. Tapi tetep kita nggak bosen-bosen e nyampaikan ke ketua RT itu, termasuk nanti dari ketua RT itu sendiri ke masyarakat yang istilahnya yang berkecimpung di masalah itu, tetep dia sama-sama nggak bosen-bosen menyampaikan.... masyarakat termasuk dari tingkat Dawis, ada kelompok kecil yang namaya Dawis, ataupun PKK yang ikut Dawis itu melakukan rumusan kerja bakti kebersihan.... Kalau menurut saya kerja bakti itu kan selain tujuan utamanya bersi-bersih, kita juga bisa berkumpul saling ngobrol kan? Itu bisa jadi satu poin penting dibalik adanya kerja bakti, karena kerja bakti kan esensinya nggak hanya bersih-bersih saja, pas selesai itu kan biasanya ada makan-makan dan minum-minum sambil bicara santai....” (Hasil wawancara Priyadi, Ketua RW 33, 22 Januari 2016)
Dari hasil wawancara di atas bisa diketahui bahwa memiliki norma sosial kebiasaan yang lebih dari masyarakat RW 14, khususnya pada norma sosial nonformal berupa kebiasaan untuk bersosialisasi di luar rutinitas perkumpulan yang bersifat wajib.
Setelah mengetahui prior conditions masing-masing wilayah yang akan diteliti yakni RW 14 dan RW 33 Kelurahan Kadipiro, selanjutnya diteruskan pada tahapan yang terjadi dalam proses difusi-adopsi inovasi Program Pemicuan Stop Jentik pada kedua daerah tersebut, mulai dari tahap
knowledge hingga confirmation. Peneliti akan membahas satu per satu
commit to user
tepatnya RW 14 dan RW 33 berdasarkan paradigma proses keputusan inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (1986: 163). Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai empat tahapan adopsi inovasi yang ada dalam sistem sosial masyarakat Kelurahan Kadipiro, yakni RW 14 dan RW 33 yang keduanya akan dipisah dalam pengelompokan proses keputusan inovasinya. 1. Tahap Pengetahuan
Pada tahap ini masyarakat baru mengetahui Program Pemicuan Stop Jentik dengan sedikit informasi yang didapat. Ada yang langsung mendengar arahan dari petugas, ada pula yang hanya mendengar sekilas dari tetangganya.
Di tahap ini adopter mulai sadar tentang keberadaan inovasi yang ditawarkan oleh innovator. Kesadaran tersebut tentunya berkaitan dengan pengetahuan mengenai inovasi dan manfaat apa yang diterima jika ia mengadopsinya. Untuk pengetahuan, masing-masing warga mempunyai kadar pengetahuan yang berbeda-beda, tergantung dari siapa ia mendapat informasi tersebut. Namun secara keseluruhan, warga mengetahui manfaat yang diperoleh jika mengadopsi program Pemicuan Stop Jentik.
RW 14
Untuk di wilayah RW 14, mayoritas warga kurang memahami pengetahuan tentang apa yang menjadi unggulan dan perbedaan antara program Pemicuan Stop Jentik dengan program yang sebelum-sebelumnya. Namun dibalik itu mereka memahami manfaat yang akan
commit to user
dicapai jika mengadopsi program Pemicuan Stop Jentik. Seperti yang dingkapkan oleh narasumber berikut :
“Nggak ikut.... Ya cara pemberantasan nyamuk, ngono mbak.... Ya podo wae jane. Mung nek penyuluhan sing biasane kui kayak nganggo LCD ngono lho mbak. Penyuluhan kan palingo pas ning nggon PKK, nek ra dijipuk wong 10, biasane sok ngono kui, gur wong 10 opo wong pira ngono kui.” (Hasil wawancara Purwaningsih, Warga RW 14, 13 Januari 2016) “Dereng. Nggih ngertose sing penting kon resik-resik. Paling nek pas kumpulan bapak-bapak nggih paling PSN, ngoten. Paling ngoten niku.” (Hasil wawancara Sarimo, Warga RW 14, 15 Januari 2016)
“Saking ibu-ibu pengajian nggih, saking ibu-ibu arisan kelompok RW RT nggih sampun, nggih mung mirengke lho mbak. Nek perkara pribadi carane pripun nggih kula mboten ngerti wong dasare kula niki wonge bodho, wonge goblok, mboten ngerti upo bengkong tur wis tuwek.” (Hasil wawancara Wiryo, Warga RW 14, 8 Januari 2016)
Ketiga warga RW 14 di atas, Purwaningsih, Sarimo, dan Wiryo sama-sama tidak mengikuti acara pengenalan program Pemicuan Stop Jentik, sehingga mereka hanya mengetahui inti program secara umum, hanya sebatas tahu bahwa program Pemicuan Stop Jentik merupakan program yang bertujuan untuk pemberantasan nyamuk, dan berkaitan dengan bersih-bersih sarang nyamuk. Hal tersebut mereka dengar dari tetangga-tetangga mereka. Namun mereka tidak mengetahui esensi dan perbedaan program Pemicuan Stop Jentik dibandingkan dengan program yang berkaitan dengan DB yang sebelumnya.
Berbeda dengan beberapa warga ini yang mengikuti langsung kegiatan Pemicuan Stop Jentik, sehingga mereka lebih memahami
commit to user
detail dari apa yang disampaikan yang terkandung dalam program Pemicuan Stop Jentik.
“Program Pemicuan Stop Jentik, yaitu penanggulangan untuk mengurangi jumlah penderita DB, ya salah satunya dengan cara PSN, pembersihan lingkungan.... Ya peserta datang, terus diberi pengarahan. Ya enggak pengarahan dink. Sebenarnya Pemicuan itu bukan pengarahan kok dek. Sebenarnya kayak sharing, jadi "ini lho Bu, saya bisa terkena seperti ini, apa mungkin karena tempat saya seperti ini?", wong saya juga menjadi pendengar. Terus yang dari Dinas juga tidak menerangkan, tapi memberi solusi, ya seperti. Jadi bukannya "Ini harusnya seperti ini, seperti ini", nah cara pemecahannya biar untuk mengurangi hal seperti itu, kesanggupannya sini apa? Yang disebut kesepakatan-kesepakatan itu, nah itu tugasnya ke Pak RT masing-masing.... Dengan persetujuan bapak RW dan kader-kadernya, otomatis. Nah seperti itu, sebenarnya bukan penyuluhan itu, memang kayak sharing itu tadi. Lha terus carane piye tho biar nggak kayak gini? Gitu, kalau penyuluhan kan menerangkan, ini lho Demam Berdarah, caranya itu seperti ini, nah kan lain tho? Begitu, itulah Pemicuan, bukan penyuluhan.” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader Kesehatan RW 14, 7 Januari 2016)
“Apa ya? Ya mengurangi pengembangan nyamuk kan tujuannya, dengan cara kesepakatan-kesepakatan yang kemarin dibikin itu di antaranya.” (Hasil wawancara Taryani, Warga RW 14, 9 Januari 2016)
Dari semua kutipan wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa warga RW 14 sudah mulai menyadari kehadiran program Pemicuan Stop Jentik, jadi tahap pengetahuan sudah dilalui oleh warga RW 14, meski kadar pengetahuan dan pemahaman mereka berbeda-beda.
Perlu diteliti juga bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya keberjalanan tahap pengetahuan ini. Faktor-faktor tersebut yang berpengaruh menurut Rogers (1983: 165) adalah
commit to user
variables (sifat pribadi), dan communication behavior (perilaku
komunikasi).
Untuk karakter sosial ekonomi masyarakat RW 14 rata-rata adalah memiliki tingkat ekonomi yang menengah kebawah, serta memiliki hubungan sosial yang kurang baik antar mayarkat yang lain. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara berikut:
“...Sini itu kayaknya kampungnya apa ya..wis gitu itu, cuek lah. Pada hidup sendiri-sendiri yang penting kerja. Bermasyarakat itu kayaknya nggak perlu banget. Kayaknya kerukunannya juga kurang. Nggak tahu apa masalahnya kok bisa begini ini saya nggak tahu. Apa mungkin karena faktor ekonomine, apa faktor apa nggak tahu. Pokoknya kayaknya individual banget, kayak Perumahan tapi kan orangnya juga menengah ke bawah. Kerukunannya, sosialnya itu nggak ada.” (Hasil wawancara Dewi Mardikaningsih, Kader Kesehatan RW 14, 16 Januari 2016)
Mereka sebagian besar berprofesi sebagai buruh, sehingga mereka lebih disibukkan pada pekerjaan mereka, dan kurang ada waktu untuk memperhatikan hal-hal di luar pekerjaan mereka sendiri.
“Masalahe do glidhik kui lho mbak. Ndek mbiyen penyuluhan e kan esuk. Nah kan terbentur dengan jadwal kerja tho.” (Hasil wawancara Purwaningsih,Warga dan opinion leader RW 14, 13 Januari 2016)
Selain sebagian warga yang dipenuhi dengan kesibukan sebagai buruh, mereka memiliki behavior communication yang tidak mudah dengan percaya dengan apa yang diucapkan oleh tokoh masyarakat mereka sendiri. Sedikit membutuhkan kerja keras yang lebih untuk membuat warga RW 14 percaya, yakni perlu menghadirkan seseorang yang lebih dianggap berkompeten di bidangnya. Tidak mudah untuk
commit to user
meyakinkan warga RW 14 melalui komunikasi biasa, membutuhkan kerja keras yang lebih.
“Faktore itu kesibukan itu lho mbak..jadinya full gitu. Mungkin kalau misale dari Dinas apa gitu yang ngasih penyuluhan gitu agak manut, lha kalau hanya saya yan ngomong itu ketoke „Ah, sopo tho kowe ngomong‟, kayake angel gitu lho. (Hasil wawancara Sih Dwi Rahayu, Kader Kesehatan RW 14, 15 Januari 2016)
“Ya kan kita tahu sendiri lah kalau masyarakat ekonomi menengah bawah itu agak sulit kalau diomongi, ya yang