• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi menurut Rogers (1983: 5) merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan untuk tercapainya suatu tujuan komunikasi. Sedangkan yang dimaksud saluran komunikasi adalah sarana atau perantara yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Biasanya saluran komunikasi ini berupa media atau alat untuk penyampaian pesan.

Secara konseptual, ada tiga macam saluran komunikasi yaitu saluran antar pribadi, media massa dan forum media yang dimaksudkan untuk menggabungkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh saluran antar pribadi dan media massa (Mardikanto, 2010: 127).

Berdasarkan hasil penelitian difusi inovasi program Pemicuan Stop Jentik hanya menggunakan saluran komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. BHT (Bersihkan lingkungan, Hindari gigitan nyamuk, dan Tingkatkan daya tahan tubuh), pengembangan dari 3M Plus yang

commit to user

merupakan program baru dari Dinas Kesehatan yang juga ingin disampaikan ke masyarakat pun juga baru hanya disampaikan melalui Pemicuan Stop Jentik ini, belum sampai dikomunikasikan melalui media massa. Namun untuk khusus BHT, sudah dikomunikasikan juga melalui media nirmassa yakni spnduk dan poster.

a. Saluran antar pribadi dan Kelompok

Komunikasi antar pribadi menurut Deddy Mulyana (2010: 81) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara vebal maupun nonverbal. Singkatnya, komunikasi antar pribadi yang dimaksud adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara bertatap muka. Menurut sifatnya, komunikasi antar pribadi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil. Komunikasi diadik adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Biasanya dapat dilakukan melalui tiga bentuk yaitu percakapan, dialog, dan wawancara. Sedangkan komunikasi kelompok kecil adalah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, dan anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lain.

Saluran komunikasi antar pribadi dalam pendifusian program Pemicuan Stop Jentik adalah melalui kedua jenis saluran komunikasi

commit to user

antar pribadi di atas, yakni saluran komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil.

i. Komunikasi Diadik

Pendifusian program Pemicuan Stop Jentik dilakukan secara bertahap dari innovator bisa sampai ke adopter. Dan tidak semua warga mengikuti berlangsungnya acara Pemicuan Stop Jentik, maka untuk bisa sampai hasil dari program Pemicuan Stop Jentik ini bisa disepakati bersama dan mau diadopsi oleh masyarakat lain, perlu adanya komunikasi secara nonformal. Hal ini dilakukan secara personal, biasanya dengan cara seorang tokoh masyarakat atau kader berkunjung ke rumah warga, kemudian membicarakan soal apa yang harus dilakukan dan menanyakan apa permasalahan yang dialami berkaitan tentang kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dalam program Pemicuan Stop Jentik. Seperti yang telah diungkapkan oleh kader kesehatan di RW 33 sebagai berikut :

“Lha iya kalau saya mungkin seperti ini tadi nggih, saya nglenthong (berkunjung) kesini, terus bicara seperti ini-ini-ini. Jadi lebih enak seperti itu ngajaknya di masyarakat. Mungkin dua periode nggih saya itu jadi ketua PKK RT, jadi mungkin warga juga sudah tahu nggih karakter saya, saya sudah tahu semua warga RT saya, orangnya harus diajaknya seperti ini, seperti ini nggak usah yang terlalu ngoyo-ngoyo seperti itu, bisa diajak bercanda, jadi mudah. Jadi nggak ada perbedaan saya di situ nggak ada, saya nggak mengatasnamakan ketua PKK itu enggak. Yaudah bicara saja apa adanya, jadi dia bicara juga enak, nggak ada yang merasa riskan itu enggak nggih, seperti teman aja, karena ya mungkin karena seringnya bergaul dengan mereka itu nggih, jadi biasa.” (Hasil wawancara Sunarti, kader pendukung RW 33, 22 Januari 2016)

commit to user

“Sing biasane nggak mau bersih-bersih, dibilangi sambil ngobrol-ngobrol, rekae dolan lah, pura-pura e dolan, „mbok iki dingenekke wae nek ra kanggo, apa disimpen‟, atau „mbok iki nek ra kanggo mbok banyune dibuang wae mbah?‟, saya gitu, dadine ora langsung nyuruh gitu enggak, alon-alon.” (Hasil wawancara Marini, kader utama RW 33, 20 Januari 2016)

Senada juga yang dijelaskan oleh kader kesehatan RW 14, Rahyuni, yang juga menggunakan komunikasi diadik dengan cara nonformal, yakni berkunjung ke rumah warga yang ingin diberi informasi atau ditanya mengenai suatu hal tentang kesepakatan program demi kesehatan warga.

“....saya ke rumahnya kan sudah tahu, jadi tanggapannya kan baik, yang penting kita baik kan dia juga baik. Sebenarnya kita dilihat itu dari ngomong dek. Kalau kita cara ngomongnya enak didengar, orang pasti mau.” (Hasil wawancara Rahyuni, kader utama RW 14, 7 Januari 2016) Komunikasi diadik yang tergolong dalam komunikasi antar pribadi atau interpersonal ini memang lebih efektif untuk mempengaruhi audiens. Hal itu juga yang dikatakan oleh Rogers dalam Hanafi (1987: 120) yang menyatakan bahwa saluran interpersonal lebih penting peranannya pada tahap persuasi. Itulah sebabnya komunikasi antar pribadi ini dipilih untuk salah satu saran pendifusian program Pemicuan Stop Jentik karena dirasa lebih tepat mempengaruhi audiens atau calon adopter.

ii. Komunikasi Kelompok Kecil

Komunikasi kelompok kecil ini oleh Deddy Mulyana (20110: 82) disebut sebagai komunikasi kelompok, yang merujuk pada small

commit to user

group communication, dan bersiat tatap muka. Dan umpan balik dari

seorang peserta dalam komunikasi kelompok masih bisa diidentifikasi dan ditanggapi langsung oleh peserta lainnya.

Komunikasi kelompok kecil ini dilakukan baik secara formal maupun nonformal. Komunikasi kelompok kecil formal dilakukan ketika pengenalan Pemicuan Stop Jentik yang diikuti oleh perwakilan bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan pihak Puskesmas sebagai fasilitator dan warga setempat yang menjadi pendengar, namun keduanya saling berinteraksi. Seperti yang diungkapkan oleh

“Ya otomatis itu kelompok. Mereka kan hanya sekelompok orang yang memang kita lakukan suatu proses pembelajaran yang intensif, dan kita semuanya saling memberikan pendapat, saling interaksi lah istilahnya.” (Hasil wawancara Endah Wisnu Wardhani, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, 7 Oktober 2015)

Selain itu, komunikasi kelompok juga dilakukan pada saat keberjalanan kesepakatan program di masyarakat. Komunikasi kelompok ini kemudian dilanjutkan pada saat pertemuan-pertemuan di Kelurahan, PKK, RT, RW, maupun Dawis. Sedangkan komunikasi kelompok kecil nonformal dilakukan dengan cara menyelipkan pembahasan mengenai kesepakatan program Pemicuan Stop Jentik di sela-sela perbincangan santai dengan tetangga-tetangga sekitar. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa narasumber berikut :

commit to user

“Pertemuan RW itu kan terdiri dari bapak RT-RT dan pengurus termasuk bendahara dan sekretarisnya. Ya mestinya kan disampaikan ke waktu pertemuan PKK Bapak-Bapak RT masing-masing. Ya tetep disampaikan, mestinya tetep disampaikan. Bahkan saya pun kalau di PKK RW, ibu-ibu kan juga ada sendiri. Itu juga disampaikan. Bahwa kita ada acara ini, ini, ini. Tolong kita sebagai RT, selain RT kita juga sebagai kader, ya tetep harus menganjurkan itu.” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader utama RW 14, 7 Januari 2016)

“Kita ada setiap pertemuan RW, kita melakukan semacam evaluasi, evaluasi itu baik dari kita secara pribadi, atau mungkin himbauan dari kota.... Atau juga setiap satu bulan sekali kita ada pertemuan di kelurahan. Nah pertemuan-pertemuan itu kan membahas permasalahan-permasalahan apa yang perlu disampaikan ke masyarakat, termasuk masalah kesehatan, DB mungkin, pendidikan dan lain-lain juga. Nah dari situ kita juga membahas bagaimana-bagaimananya emm kesepakatan di pemicuan itu berjalan atau enggaknya.” (Hasil wawancara Priyadi, Ketua RW 33, 22 Januari 2016)

“....kalau saya ke Dawis nggih, di Dawis itu ada pertemuan, ya kita bicara di situ. Yang enak-enak saja, nggak usah terlalu formal, tapi kalau memang harus penting, harus ada yang perlu distop di situ ya kita bicaranya juga harus bener-bener tegas.” (Hasil wawancara Sunarti, Kader pendukung RW 33, 22 Januari 2016)

Dari semua kutipan wawancara di atas bisa disimpulkan bahwa komunikasi kelompok terjadi tidak hanya sekali, namun dilakukan secara berkala dan kontinyu setiap ada pertemuan.

b. Media Massa

Untuk saluran komunikasi media massa, yang digunakan dalam pendifusian program Pemicuan Stop Jentik tidak dilakukan. Namun BHT (Bersihkan lingkungan, Hindari gigitan nyamuk, dan Tingkatkan daya tahan tubuh) yang merupakan pokok utama yang juga

commit to user

disampaikan pada saat acara Pemicuan Stop Jentik berlangsung sebagai pedoman pelaksanaan program kesepakatan, dipasang dan ditulis dalam spanduk yang dalam pemasangannya pun melibatkan tim pemicu untuk sebagai bahan pertimbangan. Seperti yang diungkapkan drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) berikut :

“....sebelum masang spanduk itu kan saya mau merencanakan spanduknya seperti ini, apa perlu ndak pakai spanduk? Dipasang di wilayahnya itu perlu ndak?” (Hasil wawancara drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2 Oktober 2015)

Bisa dikatakan bahwa pihak P2PL Dinas Kesehatan Surakarta bagus dalam pelibatan masyarakat tim pemicu, khususnya dalam hal ini adalah pelibatan dalam pertimbangan pemilihan saluran komunikasi. 3. Jangka Waktu

Jangka waktu merupakan proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui, sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu.

Rogers dalam Hanafi (1987: 30) mengatakan bahwa untuk mengukur dimensi waktu dalam difusi inovasi adalah tempo kecepatan adopsi, yaitu kecepatan relatif penerimaan inovasi oleh sistem sosial. Kecepatan adopsi biasanya diukur berapa lamanya jangka waktu yang dibutuhkan oleh sekian persen anggota masyarakat untuk mengadopsi inovasi.

commit to user

Maka indikator yang digunakan peneliti untuk mengukur jangka waktu dalam Program Pemicuan Stop Jentik adalah pada tahap pengambilan keputusan (decision) atau masa pelaksanaan, yaitu lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menerapkan kesepakatan program yang disepakati bersama pada launching Program Pemicuan Stop Jentik dalam sistem sosial, sejak sosialisasi atau launching program Pemicuan Stop Jentik.

Program Pemicuan Stop Jentik mulai di-launching dan diperkenalkan kepada masyarakat pada bulan Juli, seperti dalam kutipan wawancara berikut :

“Baru kemarin bulan Juli kita coba memperkenalkan ke masyarakat.” (Hasil wawancara Endah Wisnu Wardhani, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, 7 Oktober 2015).

Pada bulan Juli tersebut juga masyarakat menentukan kesepakatan program yang akan mereka lakukan sebagai wujud dari keberlanjutan program Pemicuan Stop Jentik. Namun masyarakat tidak saat itu juga mulai menerapkan kesepakatan yang mereka buat. Masing-masing kelompok masyarakat, yakni warga RW 14 ddan RW 33 memiliki jangka waktu yang berbeda untuk sampai pada tahap pengambilan keputusan yang ditandai dengna mulai diterapkannya kesepakatan program sejak dimulainya acara Pemicuan Stop Jentik.

Secara keseluruhan, program Pemicuan Stop Jentik sudah berjalan selama enam bulan semenjak diperkenalkannya program Pemicuan Stop Jentik sampai peneliti melakukan penelitian di masyarakat. Berikut adalah

commit to user

perbedaan jangka waktu yang diperlukan untuk pengadopsian program Pemicuan Stop Jentik antara warga RW 14 dengan RW 33.

RW 14

Warga RW 33 secara umum menerima program Pemicuan Stop Jentik, dan jangka wkatu untuk menjalankan kesepakatan program adalah dua minggu. Sejak diadakannya pemicuan pada tanggal 14 Juni untuk di RW 14, warga mulai menjalankan kesepakatan program adalah di minggu pertama bulan Juli. Hal ini ditandai dengan mulainya melakukan pemeriksaan jentik lebih intens, sebulan dua kali dan rekapan laporannya pun menjadi 3 laporan, yakni laporan pemeriksaan jentik dwi mingguan sebanyak dua laporan (minggu I+II dan minggu III+IV) dan laporan global untuk yang satu bulan sekali. Seperti yang diungkapkan oleh kader utama RW 14, Rahyuni berikut :

“Sebelum Pemicuan itu bulan...Juni, iya bener Juni. Kan ini sejak ada Pemicuan saya bikinnya 3 laporan, ini yang dua mingguan, ini yang sebulan sekali.” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader utama RW 14, 7 Januari 2016)

Namun demikian hanya beberapa program yang bisa dilaksanakan pada jangka waktu tersebut. Karena dari empat kesepakatan program yang dibuat, ada satu yang belum dilaksanakan hingga penelitian ini dilakukan. Seperti yang diungkapkan oleh kader pendukung, Sih Dwi Rahayu berikut:

commit to user

“Ini nih, setiap pertemuan misale rapat RT, RW, PKK itu digalakkan atau didengungkan terus tentang PSN. Terus kerja bakti dua minggu sekali, terus PJB kader dua minggu sekali, terus pemberian abate. Kesepakatannya itu. Kalau untuk kerja bakti sih rata-rata emang nggak. Tapi Kerja bakti itu adanya kalau mau ada event apa gitu biasanya baru ada. Berarti itu kan untuk warganya semua, untuk dua minggu sekali kayaknya angel banget.” (Hasil wawancara Sih Dwi Rahayu, Kader pendukung RW 14, 15 Januari 2016)

Bisa dikatakan bahwa Program Pemicuan Stop Jentik diterima di masyarakat RW 14 dalam jangka waktu yang tiddak terlalu lama, hanya dua minggu. Namun demikian ada satu program yang belum bisa terlaksana hingga penelitian ini dilakukan, yakni pelaksanaan kerja bakti dua minggu sekali.

RW 33

Untuk jangka waktu pengadopsian program Pemicuan Stop Jentik di RW 33 yang ditandai dengan pengambilan keputusan dimulainya menjalankan kesepakatan program, RW 33 sedikit berbeda dengan jangka waktu yang dialami oleh warga RW 14.

Jangka waktu pengadopsian program Pemicuan Stop Jentik di kelompok masyarakat RW 33 sedikit lebih cepat, berkisar waktu satu minggu sejak dilaksanakannya pemicuan.

“Langsung kok mbak. Ya paling satu mingguan lah, pas habis ada pemicuan itu kan kader langsung menginformasikan ke pertemuan-pertemuan yang ada. Ya terus satu minggu kemudian mulai lah itu dilakukan. Yang kerja baktinya itu malah semangat yang datang mbak, kita kan bergantian tempatnya.” (Hasil wawancara Priyadi, ketua RW 33, 22 Januari 2016)

“....rencanane kerja bakti itu sebulan sekali minggu pertama oleh semua warga, PJB dua minggu sekali oleh kader per RT, tapi saya melaksanakannya per minggu, wis ben do sregep

resik-commit to user

resik, terus jika ada salah satu warga yang sering ada jentiknya, kader lapor ke Pak RT. Lha Pak RT itu biar menunggui warga yang bersangkutan untuk membersihkan. Begitu, kemarin Rencana Tindak Lanjutnya itu. Ya Alhamdulillah nggak sampai kejadian, yang ini lho, jika ada salah satu warga yang sering atau tiga kali berturut-turut ada jentiknya dikuras ditungguin Pak RT, itu sampai sekarang belum ada, ya mudah-mudahan saja nggak ada, begitu. Kalau yang PJB, itu sudah berjalan, kerja bakti juga sudah berjalan.” (Hasil wawancara Marini, Kader utama RW 33, 20 Januari 2016)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa jangka waktu yang dibutuhkan oleh warga dalam pengambilan keputusan pengadopsian program Pemicuan Stop Jentik hanya satu minggu dan semua rencana tindak lanjut atau kesepakatan yang dibuat sudah terlaksana.

Dari hasil wawacancara di atas, dapat disimpulkan bahwa jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengadopsian di kedua RW, antara RW 14 dan RW 33 tidak sama. Terkait dengan tahap pengambilan keputusan, semua warga yang diwawancarai mengatakan setuju dengan adanya program Pemicuan Stop Jentik, namun demikian dalam penerimaannya berbeda-beda, ada yang langsung menerima dan ada yang acuh terlebih dahulu dan banyak pertimbangan. Hal tersebut dikarenakan ada hambatan bagi pihak yang belum melaksanakan program Pemicuan Stop Jentik dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pendukung dan faktor penghambat seperti dalam uraian berikut:

a. Faktor Pendukung

Faktor pendukung merupakan semua hal yang memperlancar jalannya arus difusi dari komunikator kepada masyarakat dan pengadopsiannya. Faktor pendukung tersebut bisa dari intern

commit to user

komunikator dan komunikan maupun faktor ekstern dari keduanya. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa faktor pendukung, diantaranya :

1. Bahasa yang digunakan oleh petugas dalam menjelaskan materi mudah untuk dimengerti karena mereka sebagian besar menggunakan bahasa Jawa yang merupakan bahasa sehari-hari penduduk setempat.

2. Adanya dukungan dari Kepala Dinas Kesehatan, pihak kelurahan, serta dari Puskesmas dan kader.

3. Keingintahuan masyarakat menganai program baru tentang Demam Berdarah karena merasa daerahnya endemis DB.

4. Peran tokoh masyarakat dan kader yang mampu mempengaruhi sikap dan perilaku warga.

Masyarakat sudah mulai sadar bahwa kebersihan merupakan modal utama dari terciptanya kesehatan terutama bebas Demam Berdarah. Hal ini juga yang menjadi pendukung pendifusian dan pengadopsian program Pemicuan Stop Jentik. Seperti dalam kutipan wawancara berikut :

“Faktor pendorong ya..kesadaran masyarakat akan takutnya DB. Makanya masyarakat sendiri antusias sekali jaga kebersihan, di samping itu ujung tombak dari terdepan itu saya kira ibu-ibu kader PKK Posyandu itu nomor satu. Karena yang usul kan kemarin sebulan jentik e wis mabur, lha kalau dua minggu kan jentiknya belum. Lha, tapi ya ini terimakasih ternyata sudah jalan dua minggu.” (Hasil wawancara Andreas Sunarimo, tokoh masyarakat RW 33, 27 Januari 2016)

commit to user

“Faktor pendukung ya itu, kalau daerah endemis kan banyak kasus, kan kalau banyak kasus berarti masyarakat ingintahunya itu juga tinggi. Itu, terus kalau dari sisi bahasa, ada persamaan bahasa, audiens dengan yang menyampaikan sama-sama orang Jawa, itu kan pemahamannya akan lebih mudah. Coba kalau yang menyampaikan orang luar Jawa, yang sama sekali tidak tahu bahasa Jawa dan tidak tahu tata krama bahasa Jawa, itu akan ada pengaruh juga. Kebetulan ini kemarin yang teribat orang Jawa semua. Kalau dari sisi mekanis, ada dukungan dari Kepala Dinas Kesehatan, ada dukungan dari pihak kelurahan, serta dari Puskesmas dan kader juga. Jadi kader itu juga mendukung.” (Hasil wawancara drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2 Oktober 2015)

“Ya apa ya mbak…ya ternyata DB itu memang benar-benar suatu penyakit yang…eh apa iku jenenge, hmm penyakit yang menakutkan. Malah bapak Puskesmas itu bilang kalau DB itu malah melebihi AIDS gitu. Soale nek AIDS kana ada jangka waktunya untuk meninggal, lha nek DB kan sewaktu-waktu kan bisa, dalam waktu 3 hari, 7 hari belum sembuh kan bisa saja meninggal. Makanya itu kebersihan lingkungan sangat-sangat dijaga untuk itu.” (Hasil wawancara Sri Maryani, warga RW 33, 26 Januari 2016)

”....karena warga juga tau, mudah membersihkan rasah dioyak-oyak, oh ki wis anu ngoten kan dah terbiasa, dah sadar” (Hasil wawancara Sri Winarsih, warga RW 33, 26 Januari 2016) “Supados ngerti, ngertos ngoten. Ohh demam berdarah nek ngeten iki ngeten iki ngoten iku ben mboten terkena pripun.” (Hasil wawancara Daryani, warga RW 33, 26 Januari 2016) Peneliti menemukan beberapa faktor pendukung dalam pengadopsian program Pemicuan Stop Jentik pada warga RW 33, beberapa warga RW 33 mampu mengungkapkan faktor yang mendukung pengadopsian mereka sebagai warga RW 33 seperti pada beberapa kutipan wawancara di atas. Namun untuk warga RW 14, peneliti tidak mendapatkan data faktor pendukung yang mampu diungkapkan oleh warga RW 14. Hanya ketua RW 14 saja dan kader

commit to user

utama RW 14 saja, Rahyuni yang mampu memberikan data faktor pendukung pengadopsian program Pemicuan Stop Jentik, seperti dalam kutipan berikut:

“Faktor pendorongnya ya kerja keras dari tiap kader itu saja, Grenteh e kader-kader itu aja untuk membina masyarakatnya. Itu aja. Memang kalau tidak selalu diberikan ya..yang namanya orang ya lali. Tapi karena kader-kadernya itu ya..mau setiap saat ngelingke, nah itu kan menjadikan berhasil.” (Hasil wawancara Suparmo, Ketua RW 14, 20 Januari 2016)

“Ya kerjasama antar kader, kerjasama antar warga, kerjasma antara kader dan warga maksudnya, yang penting itu, sama kesadaran. Yang penting itu kesadaran individu, kalau nggak ada kesadaran ya nggak bisa.” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader utama RW 14, 7 Januari 2016)

Menurut data yang diperoleh peneliti, warga RW 14 dan kader-kader kesehatan RW 14 yang lainnya lebih mudah ketika diminta memberikan keterangan mengenai faktor penghambat atau kendala daripada memberikan keterangan perihal faktor pendukung. Selanjutnya akan dibahas pada sub topik berikutnya.

b. Faktor Penghambat

Dalam setiap proses difusi inovasi pastilah ada faktor penghambat yang membuat proses difusi dan adopsi suatu inovasi menjadi berjangka waktu cukup lama. Inovasi akan lebih lama diadopsi oleh masyarakat apabila banyak faktor penghambat. Dalam proses adopsi program Pemicuan Stop Jentik, ada beberapa penghambat yang dianggap cukup membuat adopsi terhadap program Pemicuan Stop Jentik lebih lama dan terganggu.

commit to user

Sama seperti faktor pendukung, faktor penghambat pun bisa dari intern komunikator dan komunikan maupun faktor ekstern dari keduanya. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa faktor penghambat dalam pendifusian dan pengadopsian Program Pemicuan Stop Jentik, diantaranya :

1. Fasilitator yang kurang berkompeten untuk memicu masyarakat. 2. Belum kompaknya antara pihak-pihak internal dari innovator untuk

mendifusikan program Pemicuan Stop Jentik.

Faktor-faktor di atas adalah penghambat yang berasal dari internal komunikator atau innovator. Seperti dalam kutipan wawancara berikut :

“Hanya kendalanya, pemicuan ini memang ada di fasilitator... Lalu ya karena belum semua orang memahami di internal

Dokumen terkait