• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penelitian ini, warga masyarakat atau anggota sistem sosial dapat digolongkan sesuai dengan kecepatan penerimaannya. Peneliti memilih sebanyak 31 orang sebagai narasumber atau informan yang dianggap memiliki informasi dan dapat mewakili masyarakat Kelurahan Kadipiro, khususnya RW 14 dan RW 33 sebagai suatu sistem sosial. Dari 31 narasumber yang telah diwawancara, maka dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan sebagai berikut sesuai dengan tingkat keinovatifannya. Pengelompokan tersebut disusun berdasarkan sikap dan masing-masing

commit to user

individu warga masyarakat terhadap pelaksanaan program Pemicuan Stop Jentik, selain itu juga didasarkan pada proses adopsi yang berlangsung.

Tabel 3.2 Kategori Adopter

NO Kelompok Informan

1.

Innovators

- drg. Efi Setyawati Pertiwi (Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan DinasKesehatan Surakarta) - Endah Wisnu Wardhani, B.Sc. (Kepala Seksi

Penyehatan Lingkungan)

2.

Early Adopters

- Tutut Ristiawan (Koordinator Program DBD Puskesmas Gambirsari)

- Rusnawati (Higien Sanitasi / Sanitarian Puskesmas Gambirsari)

- Hj. Sri Nurhandayani, BA (Ketua Pokja IV Kelurahan Kadipiro, Ketua Kelurahan Siaga) - Suparmo (Ketua RW 14)

- Rahyuni (Kader kesehatan utama RW 14) - Sih Dwi Rahayu (Kader Kesehatan pendukung

RW 14)

- Dewi Mardikaningsih (Kader Kesehatan pendukung RW 14)

commit to user

- Marini (Kader Kesehatan utama RW 33) - Sunarti (Kader Kesehatan pendukung RW 33) - Ngatiyem (Kader Kesehatan pendukung RW

33)

3.

Early Majority

- Purwaningsih (Warga RW 14) - Sri Lestari (Warga RW 14) - Taryani (Warga RW 14) - Sisilia (Warga RW 14)

- Andreas Sunarima (Warga RW 33) - Sri Maryani (Warga RW 33) - Titik Harini (Warga RW 33) - Sueni (Warga RW 33) - Sularmi (Warga RW 33) - Saryani (Warga RW 33) 4. Late Majority - Sikem (Warga RW 14) - Sarimo (Warga RW 14) - Samirah (Warga RW 14) - Mulyono (Warga RW 14) - Sri Winarsih (Warga RW 33) - Siyam (Warga RW 33)

5.

Laggards

- Daryani (Warga RW 14) - Wiryo (Warga RW 33)

commit to user a. Innovators

Berdasarkan pada hasil penelitian yang sudah dilakukan di lapangan, terdapat 2 narasumber yang dapat digolongkan ke dalam kategori innovators, yaitu drg. Efi Setyawati Pertiwi sebagai Kepala Bidang Pengendalian penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Surakarta dan Endah Wisnu Wardhani, B.Sc. sebagai Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan adalah pihak yang menjadi

innovator dalam program Pemicuan Stop Jentik.

Kedua narasumber digolongkan sebagai innovator karena sesuai dengan perannya yang merupakan penemu dan pencoba ide baru dan berperan utama dalam persebaran informasi mengenai program Pemicuan Stop Jentik. Seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1983: 248) bahwa innovator selalu mencoba hal baru. Hal inipun sesuai dengan kedua narasumber ini yang juga mencoba hal baru demi terciptanya kemajuan masyarakat. Mereka juga sudah melakukan upaya untuk memberikan sosialisasi melalui kerjasama dengan pihak-pihak pendukung.

“...ya memang karena kita mencoba. Selama ini pendekatan dengan yang lain kan belum berhasil. Lha kita mencari kan model, lha ini model yang kita coba kembangkan ini. ee..kita akan mencoba memberdayakan masyarakat, supaya mereka mampu mengatasi masalahnya sendiri. Kemudian ee..pelibatan lebih banyak sektor, kan ada 4 unsur atau sektor tadi. Kemudian ya kegiatan ini memang lebih ke kegiatan partisipatif, baik dari tim pemicu, ya mulai dari tingkat kota lah, tingkat Puskesmas, sampai di masyarakat. Ini kan memang modelnya partisipatif, semua orang memang harus berapartisipasi aktif. Proses itu kalau kita pasif ya gak jalan. Ya itu tadi, proses belajar yang partisipatif. Lalu juga kita

commit to user

mencoba kan memberikan sesuatu yang mudah diingat, yaitu BHT, Bersihkan lingkungan dengan PSN Plus, terus Hindari gigitan, nah dengan apa tadi terserah. T nya, Tingkatkan daya tahan tubuh. Nah itu kan upaya-upaya praktis.” (Hasil wawancara Endah Wisnu Wardhani, B.Sc., Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, 7 Oktober 2015)

“....Karena inovasi itu muncul dari kita. Kita mencoba alternatif lain dari yang biasanya. (Hasil wawancara drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2 Oktober 2015)

Selain itu, menurut Rogers (1983: 248) juga disebutkan bahwa

innovators memiliki kemampuan daya pikir yang cerdas untuk dapat

menerapkan dan memahami tehnik yang rumit. Dalam penelitian ini,

innovators juga memiliki kriteria tersebut di atas untuk melihat kondisi

warga dan lingkungan yang berada di wilayahnya, khususnya dalam hal ini Kelurahan Kadipiro RW 14 dan RW 33 saat ini dan memiliki pengetahuan yang luas untuk memberikan pengenalan dan pemanduan Program Pemicuan Stop Jentik kepada warga RW 14 dan RW 33 Kelurahan Kadipiro sehingga warga mau mengupayakan kebersihan lingkungan demi terciptanya lingkungan yang sehat bebas Demam Berdarah, bahkan diarapkan lebih dari itu sebagai kembangan dari manfaat selanjutnya.

“Sebetulnya ini untuk menyadarkan masyarakat. Maka dari itu dinamakan „pemicuan‟, itu maksudnya memicu diri kita masing-masing sebagai anggota masyarakat tentang keadaan di wilayah nya, berkaitan dengan penyakit Demam Berdarah. Jadi agar warga itu mengenal, ohh sebetulnya di lingkungan saya itu seperti apa tho kondisinya sehingga terjadi banyak kasus Demam Berdarah atau selalu ada kasus Demam Berdarah atau selalu ada orang yang menderita penyakit Demam Berdarah? Keadaannya seperti apa tho, lha kalau di Pemicuan itu nanti kan dikenalkan, prosesnya dari awal itu nanti kan dikenalkan,

commit to user

setelah mengenal diri keadaannya, lha baru nanti mengatasinya bagaimana, jadi memicu kesadaran. Jadi sebetulnya itu bisa saja tidak hanya menekan Demam Berdarah. Memang kata-katanya „Pemicuan Stop Jentik‟, tapi sebetulnya rangkaian kegiatannya adalah perubahan perilaku, di mana perubahan perilaku itu dari kesadaran warga, bukan kita yang minta. Makanya di tim pemicunya itu kan juga terdiri dari warga juga. Dari Dinas, Puskesmas, itu kan cuma fasilitator, yang fungsinya mengarahkan tapi tidak mengharuskan harus begini. Jadi grand design nya itu tetap Pemicuan Stop Jentik, tapi bentuknya nanti akan beda-beda. Caranya mereka itu yang paling pas yang bagaimana.” (Hasil wawancara drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2 Oktober 2015)

“...terutama tahun ini, kasus demam berdarah itu meledak. Sehingga kita kan berfikir, ee...bagaimana ya caranya mendorong masyarakat agar mereka betul care, betul-betul terpicu untuk mengeluarkan kemampuannya. Memicu di sini, kita berharap masyarakat itu kita dorong, kita picu, bahwa masyarakat itu nantinya tumbuh rasa takut sakit, rasa jijik, dan rasa malu. Kita melakukan pemberdayaan, jadi masyarakat itu diberdayakan. Masyarakat itu bukan tidak memiliki kemampuan, tapi memiliki. Nah kemampuan ini lho yang kita picu, kita dorong agar dia berbuat. Lha untuk apa? Nah ini, kalau kali ini pemicuannya untuk stop jentik. Pakai pendekatan partisipatoris. Memberdayakan kan? Agar masyarakat berpartisipasi aktif. Kalau penyuluhan, kegiatannya itu kan bersifat informatif. Nah itu bedanya dengan program tentang Penanggulangan Demam Berdarah yang sebelum-sebelumnya. Nah program pemicuan itu seperti apa? Itu kegiatan di masyarakat ketika kita melakukan, kegiatannya pentahapannya kan banyak sekali ya. Tapi yang secara singkat, ketika kita sudah on air kegiatan pemicuan, kan sebelumnya ada persiapan-persiapan, ada tim pemicu, ada orientasi tim pemicu, pasti ada tim pemicunya, nah itu kita melakukan ke sasaran. Nah di sana sudah ada masyarakat ee...kurang lebih 30 orang, dengan berbagai latar belakang pendidikan, pokoknya heterogen. Lha tim pemicu ini sudah dibekali, ada tata caranya tidak langsung bilang dari Puskesmas, terus mau melihat jentik, gitu tidak. Pelan-pelan pendekatan, bilang di depan kalau mau menyampaikan dan belajar bersama. Kita ya tidak serta merta, kita perkenalan, jangan sampai ada gap. Kalau ada gap itu sangat sulit dia bisa menyatu ketika proses belajar berlangsung.” (Hasil wawancara Endah Wisnu Wardhani, B.Sc., Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, 7 Oktober 2015)

commit to user

Dari kutipan wawancara di atas, jelas bahwa innovator memiliki dasar yang kuat dan pemikiran yang luas dan cerdas untuk menerapkan program Pemicuan Stop Jentik kepada sasaran, dan disertai tahapan perencanaan yang mendalam.

Sebagai seorang innovator, mereka berupaya memberikan sosialisasi dan mengajak masyarakat untuk mengadopsi inovasi yang dikenalkannya yaitu program Pemicuan Stop Jentik.

“Program pemicuan ini kan bukan milik Puskesmas, tapi tanggungjawab semua orang kan? Makanya melibatkan itu tadi ada PKK, unsur kelurahan setempat, unsur kader sanitasi itu PKK tingkat kecamatan. Nah jadi kita memang mengajak bahwa sebanyak mungkin orang merasa tergerak untuk menyelesaikan problem Demam Berdarah itu, termasuk di antaranya Puskesmas. Jadi mendidik masyarakat juga bahwa ini bukan tanggungjawab Puskesmas, tapi tanggungjawab kita bersama. Ayo. Karena tidak ada hasilnya kalau ini tumpuannya di Puskesmas. Di sini memang Puskesmas menjadi istilahnya

leading-nya, jadi koordinatornya lah.” (Hasil wawancara

Endah Wisnu Wardhani, B.Sc., Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, 7 Oktober 2015)

“Jadi kita dari Dinas sebagai fasilitator, ee...sebagai tangan panjang dari pihak Dinas Kesehatan, Puskesmas juga. Ya nanti kalau misalnya tim pemicunya yang dari kader misalnya kurang pas sithik dalam menyampaikan sesuatu, nah ini yang dari Puskesmas bisa meluruskan. Nah di kader ini informasi akan terus menerun didengungkan ke yang lain. Jadi harapannya informasi dan rencana tindak lanjut mereka tidak akan putus.” (Hasil wawancara drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2 Oktober 2015)

Sebagai innovator, drg. Efi Setyawati Pertiwi juga mengungkapkan perbedaan antara program Pemicuan Stop Jentik dibandingkan program sejenis yang sebelumnya.

commit to user

“Kita kalau Pemicuan sistemnya program pemberdayaan masyarakat. Selain itu juga berbeda dari cara penyampaiannya, kemudian berbeda dalam bentuk sosialisasinya, seperti BHT yang juga dimasukkan pas Pemicuan, itu kan juga hal baru juga, itu kan selama ini belum ada seperti itu. Dan itu belum mengenal.” (Hasil wawancara drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2 Oktober 2015)

Dalam penelitian ini, innovator yang berjumlah 2 orang merupakan orang yang pertama kali menciptakan dan memperkenalkan Program Pemicuan Stop Jentik. Sesuai dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat dikatakan bahwa innovator dalam program Pemicuan Stop Jentik ini merupakan orang-orang yang berkompeten dan mempunyai pengetahuan yang luas di bidang penanggulangan penyakit dan kesehatan, dalam hal ini khususnya Demam Berdarah. Innovators merupakan sumber yang pertama kali untuk melakukan penyebaran sehingga dalam program Pemicuan Stop Jentik innovator mempunyai peran penting untuk melakukan pendekatan dan sosialisasi baik menjalin kerja sama dengan instansi maupun dengan warga langsung. b. Early Adopter

Dalam penelitian ini, dari 29 orang narasumber yang dapat digolongkan sebagai early adopters sebanyak 11 orang, yaitu 2 orang dari pihak Puskesmas, 1 dari Pokja IV Kelurahan, 4 orang dari RW 14 dan 4 orang lagi dari RW 33 seperti yag telah tercantum di dalam tabel di atas.

Dalam pelaksanaannya, early adopter memiliki cara sendiri untuk menyampaikan apa yang terkandung tentang program Pemicuan Stop

commit to user

jentik kepada masyarakat, sesuai peran dan wewenang mereka masing-masing. Untuk pihak Puskesmas, peran dan tugasnya adalah untuk mengingatkan perwakilan masyarakat ketika evaluasi diadakan, agar mereka tetap menjalankan dan juga mendorong anggota masyarakat yang lain untuk juga menjalankan kesepakatan atau rencana tindak lanjut yang mereka buat.

“Kita sebagai fasilitator. Segala keputusan, segala kesepakatan itu mereka sendiri. Kita hanya intinya nanti terus evaluasinya seperti apa, House Index-nya seperti apa, terus kasusnya ada penurunan atau enggak, gitu itu, kita hanya meng-anu-nya itu. Kita juga nenti untuk mengingatkan gitu kalau ternyata belum ada peningkatan waktu evaluasi. Mengingatkan untuk tidak bosan-bosan melakukan dan mengingatkan warga yang lain untuk tetap menjalankan renana tindak lanjut yang mereka bikin.” (Hasil wawancara Rusnawati, Higien Sanitasi / Sanitarian Puskesmas Gambirsari, 12 November 2015)

Hal ini juga didukung oleh Tutut Ristiawan, Koordinator Program DBD Puskesmas Gambirsari

“...melalui monitoring-nya, setelah kita lakukan Pemicuan Stop Jentik, nanti kita evaluasi ee..sebulan lagi. Nanti kita koordinasi dengan ibu-ibu kader setempat untuk melakukan pemeriksaan jentik berkala. Setelah itu kita undang beliau-beliau terlibat dalam melakukan evaluasi untuk perencanaan tindak lanjutnya apa. Kemarin ada masalah dan kendalanya apa, terus nanti sebulan kemudian kita evaluasi kemarin yang ditemukan masalah itu sudah ditindaklanjuti belum. Ya kita

crosscchek prgram aja. Crosschek dari RTL aja, RTL itu kan

isinya kesepkatan-kesepakatan warga. Lha kalau ditemukan masalah ya dievaluasi itu. Ya tidak lupa ya semacam reminder juga lah buat warga selain itu juga, istilahnya biar warga tetap ingat dan tidak hilang motivasi untuk melakukan kesepakatannya itu.” (Hasil wawancara Tutut Ristiawan, Koordinator Program DBD Puskesmas Gambirsari, 11 November 2015)

commit to user

Early adopter selanjutnya adalah Hj.Sri Nurhandayani, yang juga

melakukan tugas dan perannya sebagai sebagai Ketua Pokja IV, ia menyampaikan perihal program Pemicuan Stop Jentik baik pada saat pertemuan formal seperti pertemuan PKK, pertemuan kelurahan siaga, pertemuan SKD dan untuk tidak henti-hentinya menyampaikan pada kader untuk terus menginformasikan dan menindaklanjuti di wilayahnya masing-masing yang dalam hal ini kader RW 14 dan RW 33. Selain itu ia juga menyampaikan dengan cara nonformal yang ia lakukan pada saat petemuan pengajian. Seperti pada kutipan wawancara berikut :

“Diadakan pertemuan mbak. Pertemuan lewat kader-kader, di samping itu nanti lewatnya PKK. Lewat pertemuan PKK, lewat pertemuan kelurahan siaga, lewat pertemuan SKD. Itu saya ingatkan terus mbak, pertemuan kelurahan siaga, petemuan SKD, pertemuan PKK, itu terus menerus, Saya ingatkan, saya berikan himbauan di situ. Ya pengarahan-pengarahan ke kader-kader, dan kader-kader itu saya himbau untuk segera menginformasikan, menindaklanjuti di wilayah-wilayahnya tersebut. Harus JOT namanya. JOT itu Juweh,

Open, Telaten, itu wis kudu dijalankan mbak hal yang seperti

itu. Kalau yang tidak resminya, saya misalkan pengajian ya

mbak, itu kan kalau belum dimulai gitu tak ajak ngomong „Bu, nggen tanggi-tanggine panjenengan perlu kesehatan apa ya Bu

yang sekirane kita nanti bisa matur di kelompok Ibu?‟, misalkan di Dawis, atau pertemuan RT, kan kalau pertemuan RT saya tidak bisa rutin, karena bersamaan dengan RT sendiri, RW sendiri, nanti ditanya lagi, „Bu, bisa meluangkan waktu kapan? Saya tak rawuh. Ndak usah banyak-banyak. Lha nanti ditularkan ke yang lain, bisa enggak‟. Ya Alhamdulillah bisa ditanggapi. „Iya Bu, besok ini ya Bu? Tanggal ini, hari ini‟,

gitu bisa. Beliau-beliau itu bisa.” (Hasil wawancara Hj.Sri

Nurhandayani, Ketua Pokja IV dan Ketua Kelurahan Siaga Kelurahan Kadipiro, 15 Desember 2015)

commit to user

Lain jabatan dan wewenang, lain pula peran untuk mensosialisasikan tentang program Pemicuan Stop Jentik kepaa masyarakat. Yang dilakukan oleh petinggi desa seperti Ketua RW dan Kader-kader kesehatan berbeda dengan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dan Pokja IV Kelurahan. Seperti yang dilakukan oleh Suparmo sebagai ketua RW 14 yang melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada nasyarakat dengan cara ikut aktif dalam setiap kesempatan rapat atau pertemuan di masyarakat untuk mendorong masyarakat serta tidak lupa memberi teladan kepada masyarakat.

“Oh ya kalau itu, kita ikut aktif di dalam kesempatan-kesempatan ada rapat-rapat kader gitu kita mesti ikut, untuk mendorong mereka. Dan selalu kita juga ada kalanya ikut aktif terjun ke masyarakat. Gitu, dan kita sendiri yang baikya memberi contoh, gitu aja.” (Hasil wawancara Suparmo, Ketua RW 14, 20 Januari 2016)

Sedikit berbeda dengan yang dilakukan Ketua RW 33, Priyadi, ia hanya melakukan sosialisasi dan mengingatkan perihal rencana tindak lanjut melalui Ketua RT masing-masing di wilayahnya, selebihnya diserakan oleh ketua RT dan masyarakatnya ingin melaksanakan dengan cara bagaimana, ia juga jarang melakukan pendekatan secara langsung kepada masyarakat.

“Nek aku dhewe kui sebenernya kon ngeluruhi kui angel i mbak ya, jadi aku mung menginformasi disampaikan ke RT-RT pada waktu pertemuan. Lha RT-RT-RT-RT sing tak kon ngerangkul, nek langsung ke warga kabeh aku ra iso. Jadi dalam arti, sumonggo masyarakat yang melaksanakan. Kalau memang itu informasi perlu diambil, dimanfaatkan, silakan. Itu, jadi aku kalau maksa kudu nurut seperti ini, itu saya nggak bisa.” (Hasil wawancara Priyadi, Ketua RW 33, 22 Januari 2016)

commit to user

Selain Ketua RW, yang berperan sebagai early adopter untuk menyampaikan ke warga selajutnya adalah kader kesehatan. Kader kesehatan lebih langsung tertuju dan berhubungan langsung dengan warga-warga yang lain. Mereka saling berinteraksi lebih intens agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal, karena dirasa jika sudah terbiasa menjalin komunikasi dengan warga, lebih mudah untuk mengatakan segala maam hal, termasuk mengingatkan perihal rencana tindak lanjut dari program Pemicuan Stop Jentik. Seperti yang diungkapkan oleh Rahyuni dan Sih Dwi Rahayu, kader kesehatan RW 14 sebagai berikut :

“Kan terus setiap PKK kan kita ingatkan..saya sendiri kan memang pas PSN itu kan ke rumah-rumah, itu juga sekalian mengingatkan, pemeriksaan jentik itu, kan 2 minggu sekali. Otomatis mereka tahu lah.” (Hasil wawancara Rahyuni, Kader Kesehatan RW 14, 7 Januari 2016)

“Pas PSN mbak, sekalian jalan aja. Mumpung lagi ketemu orangnya, ya sekaligus mengingatkan. Sudah begitu saja. Kalau yang di pertemuan PKK itu mah biasanya Bu Yuni yang ngomong.” (Hasil wawancara Sih Dwi Rahayu, Kader Kesehatan RW 14, 15 Januari 2016)

Jika Rahyuni dan Sih Dwi Rahayu lebih mengingatkan ketika ada pertemuan PKK dan saat PSN, yang dilakukan oleh kader kesehatan pendukung RW 14 yang lainnya, berbeda dengan yang dilakukan oleh Dewi Mardikanti. Ia lebih terbiasa melakukan pendekatan dan mengingatkan kepada warga dengan cara nonformal, yakni berkunjung ke rumah untuk berbicara santai.

commit to user

“Ya biasanya saya itu suka keluyuran, kemana-kemana-kemana, ya cerita-cerita ya begitu-begitu itu. Nongkrong di sana, nanti kalau ada apa-apa cerita-cerita, terus nanti saya sampaikan ke sana, Puskesmas. Nggak pernah ngumpulin orang-orang gitu nggak pernah, cuma cerita-cerita iki kalen e piye, ini ini dibersihin, ya cuma duduk-duduk, ya cuma gitu-gitu aja.” (Hasil wawancara Dewi Mardikanti, Kader Kesehatan RW 14, 16 Januari 2016)

Hampir sama dengan kader kesehatan RW 14, kader RW 33 lebih banyak memanfaatkan metode nonformal dengan cara berkunjung ke rumah warga yang lain untuk pendekatan dan mensosialisasikan kesepakatan program Pemicuan Stop Jentik, selain ada juga yang menyampaikan di PKK dan Dawis.

“Untuk mengingatkan..ya kita mendekati, pelan-pelan, tidak langsung „Bu, kowe kudu ngene, ngene, ngene‟, enggak. Tapi kita ya cuma…ya pura-pura cuma ngobrol dulu, tapi kan kita sambil ngarahke. Gimana carane orang itu mau berubah, gitu lho maksud saya. Sing biasane nggak mau bersih-bersih, dibilangi sambil ngobrol-ngobrol, rekae dolan lah, pura-pura e dolan, „mbok iki dingenekke wae nek ra kanggo, apa disimpen‟, atau „mbok iki nek ra kanggo mbok banyune dibuang wae mbah?‟, saya gitu, dadine ora langsung nyuruh gitu enggak, alon-alon. Mengingatkan pun juga gitu, „nika lho mbok, kesepakatan e kae kan ngene-ngene-ngene, ojo lali‟, gitu. Kader itu kerjanya kan kaya menyuruh ya enggak, ngandani ya enggak.” (Hasil wawancara Marini, Kader Kesehatan RW 33, 20 Januari 2016)

“...kalau saya ya sudah kita deketi, seperti teman, biasa nggih, jadi kalau kita ngomong-ngomong ya nggak usah saya RT, situ warga begitu nggih. Sama saja, kita buat sama. Jadi kita di situ nggak ada perasaan dan masalah seperti itu, nggak ada kesenjangan nggih.... seperti ini tadi nggih, saya nglenthong kesini, mungkin bicara seperti ini, nanti secara tidak langsung kita pendekatan, silaturahmi. Sama saya ke Dawis nggih, di Dawis itu ada pertemuan, ya kita bicara di situ. Yang enak-enak saja, nggak usah terlalu formal, tapi kalau memang harus penting, harus ada yang perlu distop di situ ya kita bicaranya juga harus bener-bener tegas. Tapi kalau enggak yaudah biasa seperti teman-teman aja, ngobrol biasa aja gitu. Jadi lebih enak

commit to user

seperti itu ngajaknya di masyarakat.” (Hasil wawancara Sunarti, Kader Kesehatan RW 33, 22 Januari 2016)

“Kan dari PKK, dari Dawis itu puncaknya di situ nggih.” (Hasil wawancara Ngatiyem, Kader Kesehatan RW 33, 22 Januari 2016)

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa apa yang dilakukan oleh kader kesehatan untuk menyebarluaskan dan tetap selalu mengingatkan masyarakat perihal kesepakatan dalam program Pemiccuan Stop jentik, ternyata tidak jauh berbeda antara RW 14 maupun RW 33.

c. Early Majority

Setelah dilakukan penelitian, dari 30 orang narasumber yang dapat digolongkan menjadi early majority sebanyak 10 orang, yaitu 6 orang warga RW 14 dan 4 orang lainnya adalah 6 orang warga RW 33. Mereka yang termasuk early majority dalam warga RW 14 adalah Purwaningsih, Sri Lestari, Taryani, dan Sisilia. Sedangkan Andreas Sunarima, Sri Maryani, Titik Harini, Sueni, Sularmi, dan Saryani adalah warga-warga yang termasuk dalam golongan early majority di RW 33.

Dilihat dari sisi pertimbangannya, setiap early majority dalam Program Pemicuan Stop Jentik ini memiliki pertimbangan yang

Dokumen terkait