Tahap persuasi ini ditandai dengan mulai tertarik dan giatnya seseorang dalam mencari keterangan mengenai ide baru tersebut. Kepribadiannya juga norma-norma sistem sosialnya mempengaruhi di mana ia harus mencari informasi, pesan apa saja yang tidak ia terima, dan bagaimana seseorang tersebut menafsir keterangan yang ia peroleh itu. Pada tahap persuasi atau bujukan inilah persepsi umum terhadap inovasi dibentuk. Ciri-ciri inovasi yang tampak, seperti keuntungan relatif, kompatibilitas dan kerumitan atau kesederhanaannya sangat penting artinya pada tahap ini. (Rogers dalam Hanafi, 1987: 45)
Pada tahap bujukan atau persuasi ini seseorang membentuk persepsinya terhadap inovasi dari saluran yang lebih dekat dan antar pribadi. (Rogers dalam Hanafi, 1987: 45). Pada tahap ini masyarakat yang baru mendapat sedikit informasi akan mempunyai rasa ingin tahu
commit to user
dan penasaran di benak mereka, apa yang dimaksud program Pemicuan Stop Jentik itu dan bagaimana program itu berlangsung nantinya. Rasa keingintahuan tersebut yang membuat masyarakat termotivasi untuk mencari informasi lebih lanjut. Rasa keingintahuan tersebut timbul karena adanya rasa tertarik terhadap suatu inovasi tersebut.
Pada masyarakat Kelurahan Kadipiro, rasa tertarik muncul ketika mereka dalam situasi komunikasi tatap muka di mana petugas dari Dinas Kesehatan, Puskesmas, kader, atau kepala desa sebagai pemuka pendapat mengajak dan membimbing mereka untuk hidup bersih dan menerapkan kesepakatan program serta BHT. Selain itu, adanya ajakan dari saudara ataupun tetangga juga ikut andil dalam mempengaruhi pengambilan keputusan. Selain karena pengaruh keluarga dan kerabat, ketertarikan warga Kelurahan Kadipiro juga muncul karena Program Pemicuan Stop Jentik merupakan inovasi yang cocok dan tidak melanggar norma-norma yang berkembang di sistem sosial Kelurahan Kadipiro, khususnya RW 14 dan RW 33.
Akan tetapi, rasa tertarik bisa saja hilang ketika individu mendapat terpaan dari berbagai faktor. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa masih ada satu warga dari RW 14 dan satu warga lagi dari RW 33 yang kurang peduli dengan kebersihan dan kesepakatan program, dengan alasan rasa lelah, malas, dan merasa belum pernah ada anggota keluarga yang terkena Demam Berdarah.
commit to user
Efi Setyawati Pertiwi sebagai innovator dari program Pemicuan Stop Jentik, berusaha menciptakan sesuatu yang berbeda untuk menumbuhkan daya tarik masyarakat terhadap program Pemicuan Stop Jentik. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan games dan masyarakat dituntut untuk mandiri dengan cara mengenali lingkungannya sendiri melalui observasi lingkungan yang mereka lakukan.
“...Bagi fasilitator maupun bagi tim pemicu harus membekali diri untuk bisa menumbuhkan kesadaran. Itu kan juga perlu taktik. Jadi ya memang tidak gampang sih saya akui juga tidak
gampang. Cuma mereka tertarik sih karena beda kan, beda
dengan yang sudah ada. Jadi ada games-nya, keliling juga untuk observasi. Itu akan bagus sekali sebetulnya, jadi tidak monoton. Materinya sebenarnya sama, tapi cara penyampaiannya yang berbeda, sehingga kesannya menarik.” (Hasil wawancara drg. Efi Setyawati Pertiwi, Kepala Bidang P2PL, 2 Oktober 2015)” Usaha yang dilakukan oleh innovator dalam mengenalkan dan membuat tertarik warga dalam program Pemicuan Stop Jentik sudah membuahkan hasil. Masyarakat khususnya Kelurahan Kadipiro RW 14 dan 33 mulai proaktif mencari tahu informasi mengenai program Pemicuan Stop Jentik. Ini artinya setelah melewati tahap pengenalan,
adopter mulai memasuki tahap bujukan yang ditandai dengan
ketertarikannya mencari informasi lebih lanjut menganai program Pemicuan Stop jentik. Berikut ini adalah uraian dan penjelasan mengenai tahapan bujukan yang dilalui oleh kelompok warga RW 14 dan RW 33. RW 14
Warga RW 14 agaknya mayoritas tidak mengalami tahap persuasi ini. Hanya satu orang dari 13 warga RW 14 yang menjadi informan
commit to user
selain kader dan opninon leader, yang berinisiatif untuk bertanya menganai Program Pemicuan Stop Jentik.
“Saya paling tanyanya itu mbak Yuni itu mbak. Waktu itu kan ada rame-rame di rumahe bu Taryani itu deket Posyandu, ya saya tanya lah ke mbak Yuni itu ada acara apa, kan ada tulisan gedhe terpampang gitu juga, kayak poster acara gitu. Terus ibu-ibu kan pada muter pas itu. Terus saya ya sedikit penasaran”. (Hasil wawancara Sri Lestari, Warga RW 14, 8 Januari 2016)”
Sedangkan untuk warga RW 14 yang lainnya cenderung lebih apatis dan hanya sekedanya menerima apa yang didengar, tanpa mencari tahu lebih lanjut. Seperti yang dikatakan oleh Dewi Mardikaningsih sebagai kader kesehatan berikut.
“Orangnya susah-susah. Memang kalau kamar mandi itu bersih, tapi yang lain-lainnya ya itu. Susah, ngaruhnya juga...apa ya? Nggak ada kayaknya, masih gitu-gitu saja. Lha kok apa lagi mau mencari informasi mbak, nggak ada. Wong dibilangi aja suka susah kok apalagi nyari-nyari informasi”. (Hasil wawancara Dewi Mardikaningsih, Kader kesehatan RW 14, 16 Januari 2016)”
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa warga RW 14 cenderung kurang aktif untuk mencari tahu mengenai informasi program Pemicuan Stop Jentik, sehingga bisa dikatakan warga RW 14 mayoritas tidak mengalami tahap persuasi ini. Karena pada dasarnya tidak setiap tahap harus dilewati oleh seseorang dalam pengadopsian suatu inovasi. Seperti yang dikatakan oleh Rogers dalam Hanafi (1987: 37) yang menyatakan bahwa kelima tahap dalam proses pengambilan keputusan tentang penerimaan atau penolakannnya suatu inovasi tidak
commit to user
selalu terjadi pada hal-hal tertentu dan mungkin beberapa di antaranya dilewatkan.
RW 33
Untuk warga RW 33, ada sedikit perbedaan dengan yang dialami oleh warga RW 14. Warga RW 33 lebih memiliki karakter positif untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai informasi yang telah didengar atau diperoleh baik dari sumber Dinas Kesehatan atau Puskesmas langsung maupun dari warga lain yang mengikuti program Pemicuan Stop Jentik. Seperti yang dilakukan oleh beberapa warga RW 33 berikut yang berusaha mencari tahu lebih lanjut mengenai program Pemicuan Stop Jentik kepada seseorang yang dianggapnya lebih tahu mengenai inovasi dan kesepakatan program tersebut.
“Ya saya tanya lagi gimana-gimananya kan kader Posyandu mbak biasane yang lebih update lah istilahe. Kan ada mbak di sini, termasuk Bu Marini juga.” (Hasil wawancara Sri Maryani, Warga RW 33, 26 Januari 2016)
“Ketua ne mbak sing tak takoni, lha nek ana apa-apa kan ketua Posyandu biasane sing luwih paham, sering berhubungan karo Pusekesmas kan. Lha nek termasuk program Pemicuan iki kan ya mestine piyambake luwih paham”. (Hasil wawancara Siyam, Warga RW 33, 26 Januari 2016)
“Paling ya anu niku kadang kan kula kempal kaliyan sinten niku, kader kadang nggih tanggi-tanggi sing luwih paham.Lha nek kula niki soale kan jarang teng dalem tho mbak. Dadi ya nek wonten pengumuman-penguman napa niku sok ketinggalan. Mulane kula tanglet nek ra ning Bu Marini nggih sinten tanggi sing cedhak kemawon menawane ngerti.” (Hasil wawancara Sularmi, Warga RW 33, 26 Januari 2016)
“Kula jarang sih nggih ngoten niku njarak takon mrono-mrene tapi biasane anak kula sing tukang tanglet ngoten-ngoten niku, mangke dismpekke teng kula. Wis tua masalahe nggih mbak
commit to user
nggih”. (Hasil wawancara Titik Haryani, Warga RW 33, 26 Januari 2016)
“Awale aku ki ya rada males i mbak. Ya sungkan wae, teka ning penyuluhan-penyuluhan ngono iku. Tapi kok ternyata ya lumayan emm menarik lah, ora mboseni….anu, seru mbak. Ya iso ono guyon e lah, menghibur, karo keliling gitu juga kan, jadi kita yang ikut kan enjoy.” (Hasil wawancara Saryani, Warga RW 33, 26 Januari 2016)
Bisa dikatakan bahwa warga RW 33 mengalami tahap bujukan atau tahap persuasi ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketertarikan yang dimiliki oleh warga RW 33 yang mendapatkan sosialisasi program Pemicuan Stop Jentik cukup tinggi, yang salah satu faktor pendukungnya adalah variasi kegiatan yang cukup kreatif dan tidak membosankan.