• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antara Kehendak Tuhan dan Manusia

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 139-146)

C. Free Will dan Predestination

1. Antara Kehendak Tuhan dan Manusia

Pada masa di mana Abū an fah hidup terdapat dua paham yang saling ber-tentangan dalam memberikan porsi terhadap kehendak mutlak Tuhan dan manusia.

Di satu sisi ada kelompok Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak

mempunyai kehendak mutlak semutlak-mutlaknya karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Di sisi lain ada kelompok Jabariyyah yang berpendapat Tuhan bersifat mutlak sehingga manusia tidak mempunyai daya dan kekuasaan sama sekali.85

84

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 33. 85 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 118-9.

Dalam menyikapi persoalan di atas Abū an fah memberikan kontribusi besar dalam menyelesaikan persoalan tersebut dengan mengambil jalan tengah (wasa). Di mana ia mempertahankan kehendak mutlak Tuhan tetapi tidak sebanyak yang diberikan oleh kelompok Jabariyyah dan memberikan daya dan kekuasaan

kepada manusia tetapi tidak sebanyak yang diberikan kelompok Mu‘tazilah. Abū an fah memberikan uraian yang sangat baik terkait dengan pembahas-an kehendak mutlak Tuhpembahas-an di dalam al-Fiqh al-Absa , di mana Tuhan dipandang-nya sebagai Dz t Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Di samping itu manusia juga memiliki daya yang dapat merealisasikan perbuatannya tersebut. Dalam dialog dengan Abū

Mu ‘ al-Balkh , ia menulis sebagai berikut:86

Abū an fah ditanya; bagaimana pendapatmu jika All h menghendaki untuk menciptakan semua makhluk menjadi taat seperti Malaikat, apakah All h mampu berbuat demikian?87

Jika anda mengatakan ‘tidak’, berarti Ẓandaẓ telah menyifatkan All h dengan sesuatu yang tidak disifatkan untuk diri-Nya, sementara All h berfirman (Dan Dia-lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya: Qs. al-An‘ m[6]:18ẓ, dan

(Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu: Qs. al-An‘ m[6]:65). Ya, All h mampu (berbuat demikian), jawab Abū an fah

Bagaimana pendapatmu jika All h menghendaki Iblis menjadi taat seperti Jibril. Apakah All h mampu berbuat demikian?

86Abū an fah, al-Fiqh al-Absa (Kairo: al-Anw r, 1368 Hẓ, h. 55.

Jika anda mengatakan ‘tidak’, berarti anda tidak percaya dengan firman-Nya dan telah menyifatkan All h dengan sifat yang tidak semestinya.

Ya, All h mampu (berbuat demikian), jawab Abū an fah

Lantas, apakah orang yang berzina, meminum arak, atau menuduh berzina itu semua atas kehendak All h?

Ya, atas kehendak All h, jawab Abū an fah

Mengapa orang tersebut terkena hukuman?

Karena ia tidak meninggalkan apa yang All h perintahkan (untuk meninggal-kan hal tersebut).88

(Ia membuat permisalan) seandainya seorang membunuh budaknya yang itu merupakan atas kehendak All h, maka (atas dasar orang tersebut membunuh) selu-ruh manusia akan mencelanya. Sementara jika ia membebaskan budaknya, maka seluruh manusia akan memujinya. Kedua hal tersebut terjadi atas kehendak All h. Seorang berbuat atas kehendak All h tetapi dari segi ia melakukan perbuatan mak-siat, All h tidak meri ai perbuatan tersebut. Karena jika All h melakukan hal tersebut maka All h bersifat tidak adil.89

Adapun pertanyaan mengapa seorang tersebut terkena hukuman adalah pertanyaan yang cacat lantaran mereka tidak meyakini akan kehendak All h dalam perbuatan maksiat. Tidaklah hukuman diberikan kecuali kepada orang yang mela-kukannya seperti meminum arak dan semua orang melakukan perbuatan tersebut atas kehendak All h.90

88

Abū an fah, al-Fiqh al-Absa, h. 55. 89Abū an fah, al-Fiqh al-Absa, h. 55. 90Abū an fah, al-Fiqh al-Absa, h. 55.

Dalam banyak kasus sebagaimana disebut di atas nampak bahwa kehendak mutlak Tuhan mendominasi sistem teologi Abū an fah, di mana ia meyakini bah-wa segala apa yang All h kehendaki itu pasti ada (bisa) dan apa yang tidak All h

kehendaki maka tidak akan ada. Kekuasaan dan kehendak mutlak All h seperti yang digambarkan di atas juga dapat dilihat dari pendapatnya tentang pelaku dosa besar. Dalam kasus pelaku dosa besar ia mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar meninggal dunia sebelum bertaubat maka nasibnya ditentukan oleh kehendak mutlak All h. Jika All h mengendaki maka akan di masukkan ke dalam neraka begitu juga jika All h menghendaki maka akan dimasukkan ke dalam surga.91

Pada dasarnya semua yang ada di alam ini berjalan atas kekuasaan All h dan kehendak-Nya. Atas dasar ini pula Abū an fah mendefinisikan keadilan Tuhan se-bagai Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan tidak ada yang berkuasa selain-Nya. Sedangkan ke liman didefinisikan apabila hak-hak manusia sebagai hamba diabaikan oleh All h.92

Persoalan selanjutnya adalah jika dikatakan bahwa menurutnya segala yang ada di alam ini atas kehendak mutlak All h, mengapa orang yang melakukan perbu-atan maksiat akan disiksa di neraka? Bukankah manusia berbuat demikian atas kehendak-Nya? Apakah All h juga menciptakan sekaligus menghendaki kafir dan beriman pada diri manusia? Jika demikian mengapa All h mencela dan memasuk-kan orang kafir ke dalam neraka. Bumemasuk-kankah hal demikian atas kehendak-Nya?

Dalam pandangan Abū an fah, walaupun semuanya terjadi atas kehendak All h tetapi perbuatan yang dilakukan oleh manusia tersebut tidak disukai atau

91

Penjelasan tentang pelaku dosa besar sudah penulis paparkan secara panjang lebar pada bab sebelumnya.

diri ai oleh All h Swt. Karena menentang ri a All h, tidaklah dikatakan bahwa

All h bersifat tidak adil kalau memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.93

Lalu apakah dalam hal ini sistem pemikiran teologinya, Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak semutlak-mutlaknya sebagaimana yang dikatakan oleh Jahm bin afw n sehingga manusia tidak mempunyai daya sama sekali?94 Sehingga

muncul anggapan bahwa All h sudah menciptakan kekafiran pada diri seseorang pada zaman azalī sebagaimana All h juga menciptakan orang yang beriman pada zama azalī? Posisi mana yang diambil Abū an fah dalam menjawab diskursus

tentang iman dan kafir. Apakah iman berasal dari All h yang diberikan kepada

manusia atau berasal dari manusia itu sendiri atau bahkan setengah dari All h dan setengah dari usaha manusia?

Pertanyaan di atas dijawab oleh Abū an fah dengan mengatakan bahwa

All h menciptakan semua makhluk terbebas dari kesan kafir dan beriman, sampai datanglah khi b berupa perintah (amr) dan larangan (nahy). Kemudian berimanlah orang yang beriman dan kafirlah orang yang kafir. Orang kafir disebabkan oleh perbuatan, keingkaran, dan penentangannya sendiri dengan kehinaan yang ditimpa-kan All h. Sedangkan orang beriman disebabkan oleh perbuatan, penetapan, dan pembenarannya sendiri dengan taufiq dan pertolongan-Nya.95 Kedua sifat ini (iman dan kafir) adalah upaya yang dilakukan manusia di dunia.96

93

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 127.

94‘Al Mu af al-Ghur b ,T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah Wa Nasy’at ‘Ilm al-Kal m ‘Ind

al-Muslimīn (Kairo: Maktabah Mu ammad ‘Al ab h wa Awl duhu, t.t), h. 21. 95

‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 72-3.

96‘Al S m al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī (Kairo: D r al-Ma‘ rif, 1977), Jld. 1, h. 239.

Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Abū an fah, Maymūn bin

Mu ammad al-Nasaf Ẓw.508 H), pengikut al-Matur diyyah, dalam Ba r al-Kal m mengatakan bahwa iman adalah hasil perbuatan manusia dengan bantuan hidayah

All h. Perkenalan Ẓta‘rīfẓ iman sendiri dari All h, sedangkan mengetahui dan usaha

untuk mengenal (ta‘arrufẓ berasal dari manusia. Hidayah dari All h, sedangkan mencari hidayah dari manusia. Tawfīq dari All h, sedangkan mengharapkan tawfīq dari manusia.97

Al-Nasaf memberikan konklusi atas pandangan Abū an fah di atas dengan

mengatakan bahwa iman dan kafir tidak mungkin diciptakan oleh manusia itu sendiri, karena akan menjurus pada pandangan Qadariyyah yang menganggap manusia sanggup untuk mewujudkan segala perbuatannya sendiri bahkan jauh sebelum perbuatan itu dikerjakan (qabl al-fi‘l) dan tidak membutuhkan kepada kekuatan dan pertolongan All h Swt. Iman juga bukan berasal dari All h yang

diberikan kepada manusia, karena akan menjurus pada pandangan Jabariyyah yang menganggap manusia dalam keterpaksaan (majb r) menerima iman dan kafir. Dan iman juga bukan hasil ciptaan perpaduan antara Tuhan dan manusia, karena akan dipersepsikan akan ada dua pencipta yang berarti musyrik dan ini tidak dapat dibenarkan di dalam agama.98

Selanjutnya untuk memperkuat argumentasinya tersebut Abū an fah

mengembangkan pemikirannya tentang iman dan kafir atas upaya yang dilakukan oleh diri manusia itu sendiri dengan menyebut surat al-A‘raf [7] ayat 172:

97

Al-Nasaf , Ba r al-Kal m, h. 66-7. 98

هريُكِ َرخياه ُبخر ََّثهريي خي ُفرنَثه َ َىهريُ َ َ خردَثَههريُ َهخضِ ُذهريي ي رخُ ُظهرنخيمهََّلته ييخَاهرنيمهَك َ هَذَ َثهرذيإَه ه ه َ خَاهارُّ خَق هَيي رّاهَّررَيهارُّرُ َ هرنَثه َنر ي َد هَنيقيك ََهاَذَ هرنَعه هُكه ني هيةَم .

Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan All h mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya

berfirmanẓ: ‘Bukanlah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul ẒEng

-kau Tuhan kamiẓ, kami menjadi saksi’. ẒKami melakukan yang demikian ituẓ agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami Ẓbani

Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan All hẓ’.

Ayat di atas mengandung pengertian bahwa pada awalnya arwah-arwah manusia menghadap All h kemudian diperintahkan untuk beriman kepada-Nya dan melarang mereka kafir, maka mereka menetapkan akan ketuhanan All h. Pada saat itu mereka semua beriman. Sebagian mereka ada yang dilahirkan menurut fitrah akan tetapi mereka lalai dengan janji ini pada alam dunia sekarang. Sebagian mereka ada yang sadar akan fitrahnya, dan sebagian lain tidak sadar akan fitrahnya dan berlaku kafir. Jadi mereka mengubah keimanan secara fitrah dengan usaha (ikhtiar) dan perbuatannya.99

Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Abū an fah di atas terkait dengan hubungan antara kehendak Tuhan dan manusia terutama dalam menjawab problem seputar penciptaan sifat iman dan kafir dalam diri manusia menjadi angin segar bagi

masyarakat ‘Ir q pada masa itu dalam mengetengahkan pendapat Qadariyyah dan Jabariyyah yang keduanya tidak memberikan proporsi yang berimbang (mīz n al

-mu‘tadil) antara kehendak Tuhan dan kehendak manusia.

Menurut kelompok Jabariyyah All h sudah menciptakan Ẓkhalaqa) orang mukmin sebagai mukmin semenjak awal penciptaan, begitu juga menciptakan orang kafir sebagai kafir semenjak awal penciptaan. Ibl s sudah tercipta dalam

99

keadaan kafir, seperti Abū Bakar al- idd q dan ‘Umar bin Kha b sudah tercipta

mukmin sebelum Islam. Para nabi, menurut kelompok Jabariyyah, sudah menjadi Nabi bahkan sebelum diberikan wahyu, karena menurut mereka orang kafir terpaksa atas kehendak All h supaya menjadi kafir dan bermaksiat dan mereka akan disiksa. Begitu juga orang mukmin terpaksa menjadi orang mukmin atas kehendak mutlak All h supaya berlaku taat dan beriman.100

Padahal seandainya kita melihat dengan hati terbuka dan pikiran jernih maka kita akan mengatakan bahwa setiap individu (al-‘abd) memiliki daya untuk memilih (mukhayyar) yang sanggup menciptakan atau merealisasikan perbuatan taat dan maksiat, bukan terpaksa (majb r) atas kehendak mutlak All h. Dalam hal ini, Abū an fah tampil dalam garda terdepan menentang pendapat yang menurutnya menyimpang tersebut dan menunjukkan pendapat yang menurutnya lebih moderat yaitu bahwa orang kafir disebabkan oleh perbuatan, keingkaran, dan

penentangannya sendiri dengan kehinaan yang ditimpakan All h. Sedangkan orang beriman disebabkan oleh perbuatan, penetapan, dan pembenarannya sendiri dengan taufiq dan pertolongan-Nya.101

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 139-146)

Dokumen terkait