• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasb ; Sebuah Alternatif Penyelesaian

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 146-154)

C. Free Will dan Predestination

2. Kasb ; Sebuah Alternatif Penyelesaian

Dalam pandangan Abū an fah, manusia tidaklah dipaksa (majb r) oleh kehendak mutlak Tuhan dalam melakukan perbuatan-perbuatannya sebagaimana dikatakan oleh Jahm bin afw n.102 Manusia menurutnya memiliki daya perolehan

100

Al-Nasaf , Ba r al-Kal m, h. 77.

101‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 72-3. 102

(kasb) untuk melakukan perbuatan-perbuatannya.103 Ia mengatakan teori kasb di

dalam al-Fiqh al-Akbar sebagai berikut:

هوارخخكَهاهه خخهمؤوه خخ ق اههون خخمي،اهىهاههرخخفكّاهىه خخ ق هنخخمها خخكثهغخخجهيخخّه هنخخكّه يخق ضههل خه ّاهلخ كهرفكّاههن ميااههو ئ دثهي ق ه هوارخكَههرخف ه خكهأهرخفكيهنخمهّ خ عه ا هاذ خك هل خه ّاه خ كثه خي هه. هفخئهه خمق هْخغهيهنثهْخغهنخمه خهكثههو خن مي ه خكهأه خهمؤوه مق هكّذه اهنمت ه ه خخلقهه خخمق هه هئيخخشماه خخ نهوههو خخ ّ هّ خخ عه اههوةخخ ي اهىهي هخخ كهكرمخخ ّاههةخخكر اهنخخم أخخاهةخخهجاههبخخنَه خخ نهكا خخطّاهه.ه خخقه ه ه خخلقهه هئيخخشوهه خخمق هه ه خخصر هه خخهه م ههّ خخ عه اهرو هئيشوهههري عهه ه لقهه مق اه نهي اههوهري عه ه .هروأاهاهه ه صراهاهه هه ماها 104 ه

Seorang dari makhluk-Nya tidak dipaksa menjadi kafir dan beriman. Tidak pula diciptakan beriman dan kafir akan tetapi diciptakan sebagai individu-individu (yang suci). Sementara iman dan kafir adalah usaha seorang hamba.

All h mengetahui seorang kafir pada saat dia kafir. Ketika dia beriman setelah kafir maka All h mengetahui dia mukmin disaat dia beriman. All h mencin-tainya tanpa berubah ilmu dan sifat-Nya. Semua perbuatan hamba berupa gerak dan diam pada hakikatnya merekalah yang melakukan tetapi All h yang menciptakan. Semuanya atas kehendak, ilmu, qa ’, dan qadar-Nya. Ketaat-an itu wajib berdasarkKetaat-an perintah, cinta, ri a, ilmu, kehendak, qa ’, dan

qadar-Nya. Sedangkan kemaksiatan atas ilmu, qa ’, qadar, dan kehendak-Nya, tetapi bukan berdasarkan cinta, ri a dan perintah-Nya.

Dari ucapan di atas ada dua poin penting terkait dengan konsepsi Abū an fah

tentang teori kasb. Pertama, segala perbuatan dan aktivitas yang dilakukan oleh manusia di dunia ini adalah ciptaan All h yang diupayakan oleh manusia.105 Hal ini

103

Teori kasb yang digadang-gadang merupakan rumusan asli dari Abū asan al-Asy‘ar

(w.324 H) sebenarnya kurang tepat penisbatannya. Karena teori ini sudah dicetuskan oleh para pemikir kalam bahkan jauh sebelum al-Asy‘ar . asan al-Ba r Ẓw.110 Hẓ juga pernah menyebut

teori kasb walaupun belum cukup matang dalam sistem pemikirannya. Baru kemudian teori ini dikembangkan dan disempurnakan oleh Abū an fah Ẓw.150 Hẓ untuk membantah pandangan

kelompok Jabariyyah yang dimotori oleh Jahm bin afw n. Jika demikian adanya maka pencetus

teori kasb yang pertama adalah Abū an fah. Al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 239. 104‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 77-84.

105

Di dalam al-Fiqh Akbar ada penjelasan tentang perdebatan Abū an fah dengan ‘Amr bin ‘Ubayd bahwa All h adalah pencipta segala pencipta sementara manusia mengupayakan perbuatan-nya. ‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 79.

menjadikan manusia mempunyai daya untuk mewujudkan segala perbuatan-per-buatannya termasuk iman dan kafir.

Dari poin pertama Abū an fah menyebut ada dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan ma-nusia. Dalam kaitannya dengan permasalahan ini adalah bahwa untuk terwujudnya suatu perbuatan diperlukan kehendak baru terealisasi perbuatan tersebut. Lantas yang menjadi pertanyaan kehendak siapakah ini, Tuhan atau manusia? Jelas menurutnya adalah kehendak Tuhan. Di lain sisi daya yang diciptakan oleh Tuhan dalam konsepsi kasb Abū an fah apakah daya Tuhan juga atau daya manusia? Karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya sendiri kalau bukan ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu maka daya tersebut mesti daya manusia itu sendiri.106

Oleh karena itu menurut Abū an fah daya untuk mewujudkan suatu perbuat-an berjalperbuat-an beriringperbuat-an ketika mperbuat-anusia melakukperbuat-an suatu perbuatperbuat-an yperbuat-ang bersperbuat-angkut- bersangkut-an. Karena kalau tidak, maka ada dua kemungkinan; daya ada pada diri manusia sebelum melakukan perbuatan atau daya ada pada diri manusia setelah melakukan

perbuatan. Menurut Abū an fah kedua kemungkinan tersebut mustahil adanya.107

Dalam hal ini ia mengatakan:

106

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 113.

107Pendapat Abū an fah tentang daya yang terdapat pada manusia tidak terlepas dari pernyataan kelompok Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta Ẓkh liq) perbuatan-perbuatannya. Jadi menurut mereka daya untuk berbuat terdapat dalam diri manusia

sebelum diwujudkannya perbuatan yang bersangkutan. Pendapat ini jelas ditolak oleh Abū an fah

لخ فّاه خ ااههلخ فّاهلخهقاهلخ فّاه خمهة طهح،اه تنأاهتر ن لخ فّاهلخهقهنَهرخّه ختن هو ه ه خه ّاهناخّ (هّ خخ عه رخخ ّه تهخخناهيخخككهآاخخ هاذخخ ههوةخخج اهبخخقههّ خخ عه اهنخخ ه يهغهخخ و اه ه هُيُهخخرنَثَهه ييخخَغرّا هُءاَرَ ُفرّا ةق طاههة طهحااه رلكه تن هو اهنمهناّهل فّاه اهنَهرّههو) . 108

Kami meyakini bahwa kemampuan (daya) ada bersamaan dengan perbuatan, bukan sebelum atau sesudah perbuatan. Seandainya (daya) ada sebelum perbuatan maka mesti hamba tidak butuh kepada All h dikala ia butuh, tentu ini bertentangan dengan al-Qur’ n. All h berfirman; ‘Dan All h maha kaya sedangkan kalian membutuhkan-Nya’. Selain itu tidak mungkin (daya) ada setelah perbuatan karena perbuatan bisa ada lantaran ada daya dan kekuatan. Jadi dalam pandangan Abū an fah perbuatan manusia adalah perbuatannya sendiri ( aqīqī), bukan perbuatan Tuhan yang mewujud pada perbuatan manusia

(maj zī). Di dalam kitab al-Fiqh al-Absa, ia mengemukakan argumentasi rasional

terkait persoalan di atas sebagai berikut: jika seorang membunuh maka ia akan di-benci oleh masyarakat sedangkan jika tidak membunuh, bahkan sebaliknya (berbuat baik, membebaskan budak, mengasihi dan lain-lain), maka masyarakat akan menyanjungnya.109 Seandainya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan

maka konsekuensi logis dari perbuatan tersebut adalah manusia akan bersikap

legowo terhadap perbuatan membunuh—yang itu merupakan perbuatan buruk—

sebagai perbuatan Tuhan dan tidak mempermasalahkan atau mengambil langkah hukum jika ada seorang yang membunuh orang lain atau bahkan menganggap biasa orang yang membebaskan budak—yang itu merupakan perbuatan mulia—tanpa

ada sikap ‘kagum’ terhadap orang yang melakukan perbuatan baik tersebut.

Poin kedua yang dapat diambil kesimpulan dari teori kasb di atas adalah, Tuhan memberikan hukuman kepada manusia berdasarkan perbuatan mereka sendiri yang dilakukan ketika masih hidup di dunia berupa berbuat baik atau buruk.

108

Akm l al-D n al-B bart, Syar al-Wa iyyah, h. 112. 109Abū an fah, al-Fiqh al-Absa, h. 55.

Satu hal yang perlu dicatat dalam poin ini adalah bahwa persoalan kasb sangat erat kaitannya dengan kehendak Tuhan. Karena dalam pandangan Abū an fah

Tuhan mempunyai kehendak mutlak maka sesungguhnya kehendak manusia adalah kehendak Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Hal ini mengandung arti paksaan atau fatalisme.110 Ketika manusia melakukan suatu perbuatan baik atau

buruk yang itu merupakan atas aktualitas daya yang diciptakan oleh All h dalam dirinya dalam arti yang sebenarnya ( aqīqī) sehingga berkonsekuensi apa yang yang dilakukan manusia akan dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri, maka ada permasalahan dilematik paradoksial yang diperhadapkan dalam pemikiran kasb

Abū an fah di mana kehendak berbuat baik dan buruk yang sudah diaktualkan secara aqīqī tidak lebih dari kehendak mutlak yang diturunkan All h kepada makhluk-Nya. Jika seperti itu apakah pantas bagi Tuhan menghukum hambanya yang melakukan perbuatan buruk dan memberi pahala kepada hambanya yang melakukan perbuatan baik, padahal kedua perbuatan itu berasal dari kehendak mutlak-Nya.

Jalan tengah yang dikembangkan dalam pemikiran kalam Abū an fah dalam menjawab permasalahan di atas adalah dengan dibentuk formulasi atau teori tentang cinta (ma abbah), ri a (ri ) dan perintah (amr).111 Ia mengatakan bahwa manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaan

110

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 114. 111‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 77-84.

hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan.112 Dari formulasi yang dibentuk oleh Abū an fah

dapat ditarik kesimpulan betapa mendalam penguasaannya terhadap isu-isu teologis dengan ditunjang penggunaan nalar yang tajam sehingga tidak mengherankan jika signifikansi pemikiran kalam Abū an fah dalam menjawab berbagai persoalan kalam yang berkembang pada masa silam adalah representatif corak pemikiran rasional awal dalam sejarah perkembangan pemikiran kalam dalam Islam.

Pendapat Abū an fah tentang kasb sebagaimana disebutkan di atas

meru-pakan sintesis dari pendapat Qadariyyah ẒMu‘tazilahẓ dan Jabariyyah yang berbeda secara diametral. Kelompok Qadariyyah yang dikemukakan oleh Ma‘bad al-Juhan

(w.80 H) mengatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi per-buatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam paham ini manu-sia merdeka dalam tingkah lakunya.113 Sementara pendapat yang berbeda dikemukakan oleh kelompok Jabariyyah yang dipimpin oleh Jahm bin afw n. Ia

mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai daya untuk berbuat sama sekali dan tidak mempunyai pilihan, tidak ada kekuatan untuk berbuat dan semuanya adalah dipaksa. Daya berbuat bagi manusia semuanya merupakan kiasan (maj z) bukan dalam arti sebenarnya ( aqīqī) seperti seorang anak tumbuh besar dan rambut memutih.114

112

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 114. 113

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 35. 114

Sejauh pendapat-pendapat yang ada tentang teori kasb yang dikemukakan oleh para pemikir klasik, Abū an fah adalah orang pertama yang meletakkan

paham kasb dalam sejarah awal pemikiran Islam yang menjelaskannya secara komprehensif. Paham ini berusaha menemukan titik temu atau sebagai jalan tengah antara paham Qadariyyah dan Jabariyyah. Atas jasanya yang sangat besarini maka tidak heran jika banyak pemikir setelahnya yang mengikuti dan mengembangkan paham kasbdari Abū an fah. Di antara pemikir tersebut adalah al- a w Ẓw.321 H), al-M tur d (w.333 H) dan al-Asy‘ar Ẓw.324 Hẓ.

Abū Ja‘far al- a w , bahkan di dalam kitabnya al-‘Aqīdah al- a wiyyah

secara khusus memuat bab berjudul ل ه ّاه نمه ب كهه اه اق ه ل ه ّاه كث ‘Perbuatan

manusia diciptakan oleh All hyang diupayakan manusia’ dan ه اهةئيشماه رجهءيه ه

ه قهه ه لقهه مق ه ‘Segala sesuatu berjalan berdasarkan kehendak, ilmu, qa ’, dan

qadar-Nya’.115 Pendapat al- a w di atas merupakan estafet pemikiran kalam yang

sudah dikembangkan oleh Abū an fah dan tidak ada perbedaan di antara kedua -nya karena memang sedari awal, al- a w sudah membangun doktrin kalamnya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abū an fah.116

Hal senada juga dikemukakan oleh Abū Man ūr al-M tur d yang menjelas-kan panjang lebar tentang teori kasb ini di dalam Kit b al-Taw īd di mana ia mengatakan bahwa tidak dapat disangkal manusia mempunyai daya untuk mereali-sasikan segala perbuatannya berdasarkan dalil skriptual (sama‘) dan dalil rasional (‘aql). Secara na adanya perintah dan larangan, janji dan ancaman, menunjukkan

115Ibn Ab al-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah, h. 331 dan 339. 116Ibn Ab al-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah, h. 6.

bahwa manusia mempunyai daya. Dalam hal ini ada dua macam perbuatan yaitu

perbuatan All h dan manusia. Perbuatan All h mengambil bentuk penciptaan awal atau menjadikan perbuatan itu ada setelah sebelumnya tidak ada. Sedangkan manusia mengupayakan untuk melakukan perbuatan tersebut.117

Pemikir lainnya yang mengikuti paham Abū an fah adalah Abū asan

al-Asy‘ar. Ia mengatakan di dalam al-Luma‘ bahwa manusia mempunyai daya perolehan untuk melakukan segala perbuatannya. Namun demikian segala perbuat-an yperbuat-ang diupayakan manusia pada hakikatnya adalah ciptaan All h Ẓann aks b al

-‘ib d makhl qah li All h), karena pada hakikatnya tidak ada pencipta segala

perbuatan kecuali All h Ẓl f ‘il lahu ‘al aqīqatihi ill All h).118

Daya (is i ‘ah) yang diberikan kepada manusia dalam pandangan al-Asy‘ari

tidak menampakkan keefektifannya sebagaimana pendapat al- a w dan al

-M tur d . Karena menurut al-Asy‘ar yang dimaksud dengan mengupayakan segala sesuatu (iktasaba al-sya’y) bagi manusia adalah terjadi sesuatu dengan kekuatan yang baru datang (quwwah mu datsah) yang berarti perbuatan manusia adalah

perbuatan All h.119

---o0o---

117

Untuk lebih jelas mengenai pendapat al-M tur d tentang teori kasb. Lih. Abū Man ūr al

-M tur d, Kit b al-Taw īd, h. 305-49.

118Abū al- asan al-Asy‘ar , Kit b al-Luma‘ Fī al-Radd ‘Al ’ Ahl al-Ziyagh Wa al-Bida‘

ẒKairo: Syirkah Mus hamah, 1955ẓ, h. 69-70. 119

Al-Asy‘ar , Kit b al-Luma‘, h. 74., sebagai referensi awal untuk mengetahui teori kasb

al-Asy‘ar . Lih. Nukman Abbas, al-Asy‘arī; Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan (Jakarta: Erlangga, t.tn)

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 146-154)

Dokumen terkait