• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakikat iman

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 119-127)

A. Konsep Iman dan Kafir

2. Hakikat iman

2. Hakikat Iman

Para ahli kalam (mutakallimīn) berbeda pendapat dalam mendefinisikan iman dan hakikatnya. Salah satu definisi yang terkenal pada masa itu adalah definisi yang dikemukakan oleh Jahm bin afw n di mana ia mengatakan bahwa iman adalah mengetahui All h dengan hati (ma‘rifat bi al-qalb). Menurutnya seseorang dapat dikatakan beriman apabila membenarkan bahwa All h itu Ada sebagaimana tercan-tum di dalam na . Sementara kafir didefinisikan oleh Jahm sebagai ketidaktahuan akan Tuhan (al-jahl bi al-rabb). Maka tidak heran jika ia menganggap Iblis sebagai mukmin yang sempurna imannya karena mengetahui eksistensi Tuhan.25

Hal ini berbeda dengan kelompok Kar miyyah yang beranggapan bahwa

iman hanya cukup mengucapkan dengan lisan. Oleh karenanya orang munafik me-nurut mereka adalah mukmin yang sempurna imannya.26

Di sisi lain ada kelompok Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa iman tidak

cukup hanya ta diq atau ma‘rifat saja melainkan harus disertai dengan perbuatan

24

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 91. 25

Ibn Ab al-‘Iz al- anaf , Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah (Beirut: al-Maktabah al-Islam ,

2006), h. 238.

(‘amal). Menurut ‘Abd al-Jabb r, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepada -Nya, bukan orang mukmin.27Pendapat Mu‘tazilah ini sekaligus menolak pendapat kelompok Jahmiyyah dan Kar miyyah yang mendefinisikan iman sebagai ma‘rifat

dan iqr r saja tanpa ada manifestasi dan konsekuensi dari kata beriman itu sendiri

yang mereka sebut dengan ‘amal.

Dengan adanya definisi iman yang berbeda-beda seperti disebut di atas

mem-buat Abū an fah mengajukan definisi baru dengan mengompromikan antara pen-dapat kelompok Jahmiyyah dan Kar miyyah sekaligus mengklarifikasikan penda

-pat Mu‘tazilah bahwa ‘amal bukan termasuk ke dalam bagian iman. Ia mengatakan di dalam al-Fiqh al-Akbar dan al-Wa iyyah sebagai berikut:

ن هج اهاي لعههن قّ اه ارق هن مي،ا .

28

Iman adalah mengucapkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Arti dari ucapan di atas adalah bahwa menurut Abū an fah iman tersusun

atas dua unsur yaitu iqr r dan ta diq.29 Seorang yang hanya mengucapkan dengan lisannya saja tetapi tidak membenarkan dengan hatinya, tidak disebut beriman. Begitu juga seorang yang hanya membenarkan dengan hati atau mengetahui Tuhan saja tetapi tidak mengucapkan dengan lisannya, tidak disebut beriman.

Abū an fah menyebutkan di dalam al-‘ lim Wa al-Muta‘allim bahwa manusia dalam hal ta diq terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama,orang yang membenar-kan All h dengan hati dan lisannya. Kedua, orang yang membenarkan dengan

27

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 147. 28

Al-Mull ‘Al al- Q r, Syar al-Fiqh al-Akbar Li al-Im m Abī anīfah (Beirut: D r al -Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), h. 124., Akm l al-D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 50.

29

Adapun penyebutan iqr r mendahului ta diq karenaiqr r sebagai tanda pengenal pertama seorang dikatakan beriman, walaupun pada hakikatnya ta diqlah yang pertama. ‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 124., selain itu dengan iqr r kita dapat menghukumi secara lahir seorang seba-gai mukmin atau kafir sementara ta diq,yang itu ada di dalam hati, kita tidak dapat menghukuminya sebagai mukmin atau kafir.

nya tetapi hatinya berdusta. Ketiga, ada orang yang membenarkan dengan hati tetapi lisannya berdusta.30

Kelompok pertama yang membenarkan All h dengan hati dan lisannya diang-gap mukmin oleh All h dan manusia. Sementara kelompok kedua yang hanya membenarkan dengan lisannya tetapi hatinya berdusta dianggap mukmin oleh ma-nusia tetapi kafir di hadapan All h. Sedangkan kelompok ketiga yang membenar-kan dengan hati tetapi lisannya berdusta dianggap mukmin oleh All h dan kafir di hadapan manusia. Pembagian tersebut lantaran manusia tidak mengetahui apa yang ada di dalam hati dan All hlah yang mengetahui semuanya.

Oleh karenanya seorang dikatakan mukmin dengan pengakuan yang tampak diucapkan dengan lisannya (iqr r) dan mereka tidak ada kewajiban mengetahui apa yang ada di dalam hati. Sementara kafir dikatakan sebagai sifat mengingkari (

ing-k r, ju d), dan mendustakan (takdzīb) kepada All h.31 Adapun orang yang

diang-gap kafir oleh manusia tetapi mukmin di hadapan All h karena bisa jadi seorang beriman kepada All h tetapi menampakkan kekafirannya dalam kondisi menyem-bunyikan keimanannya (taqiyyah) dan ia tetap dianggap mukmin.32

Namun perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan ta dīq oleh Abū anfah merupakan pengejawantahan dari ma‘rifah (mengetahui secara pasti ten-tang apa yang diyakini) yang dihasilkan melalui penjelasan-penjelasan rasional bukan sebatas penjelasan yang didapat melalui pendengaran (sama‘) semata. Penjelasan ini dapat dilihat ketika ia mendefinisikan iman di dalam karyanya

30

Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 13. 31Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 19. 32Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 13.

‘ lim Wa al-Muta‘allim di mana disebutkan kata ma‘rifah dalam formulasi tentang iman yang dibentuknya. Ia mengatakan:

ههةكر اههاي ل اهر هن مي،ا ارق،اههن يا ه اح،اه م. 33

Iman adalah membenarkan dalam hati, ma‘rifat, yakin, mengucapkan dengan lisan, dan Islam.

Al-M tur d Ẓw.333 Hẓ, salah satu pengikut setia Abū anfah memperkuat argumentasi di atas dengan mendatangkan dalil naqliyah surat al-Baqarah ayat 260:

هَقه يَِم رطَ ييهرنيكََّهه َ َاه َ َقهرنيمرؤُعهريََّهَثه َ َقه ََررَمرّاهي رُْعه َفريَكه يِي َثه ِفَ هُييي اَرراي هَ َقهرذيإَه ه يبرق

.

Ketika Ibr h m berkata: Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati’. All h berfirman: ‘Apakah kamu belum

percaya?’Aku percaya, tetapi supaya hatiku mantap. Jawab Ibr h m.

Menurut Al-M tur d, ayat di atas mengandung pengertian bahwa nabi

Ibr h m meminta Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan nabi Ibr h m tersebut tidak berarti bahwa ia belum beriman. Tetapi yang dimaksud oleh nabi Ibr h m adalah supaya iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma‘rifah.34

Hal ini menjadikan konsepsi tentang ta diq yang dikemukakan Abū an fah

berbeda dengan konsepsi ta diq yang dikemukakan Jahm bin afw n yang hanya

berdasarkan pada pembenaran akan eksistensi All h lewat pengetahuan batin

(ma‘rifat bi al-qalb). Sementara konsepsi ta diq yang dikemukakan Abū an fah

lebih berdasarkan pada hasil olah pikir yang mendalam (al-ta’ammul wa al-naẓar)

33Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 13. Definisi yang disebutkan Abū an fah

tersebut merupakan terusan sekaligus rincian (taf īl) dari definisi iman yang telah disebutkan sebelumnya di dalam kitab al-Fiqh al-Akbar dan al-Wa iyyah dengan kalimat هن قّ اه ارق هن مي،ا ن هج اهاي لعه. Al-Mull ‘Al al- Q r, Syar al-Fiqh al-Akbar Li al-Im m Abī anīfah (Beirut: D r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), h. 124., Akm l al-D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 50. 34Abū Man ūr al-M tur d , Kit b al-Taw īd ẒBeirut: D r dir, t.t), h. 381.

yang dibangun atas argumentasi rasional filosofis akan wujud keberadaan All h

bukan hanya percaya berdasarkan argumentasi skriptual semata.

Setelah percaya akan keesaan All h dengan hati berdasarkan olah pikir yang mendalam barulah setiap individu diwajibkan mengucapkan dengan lisan tentang apa yang dipercayai di dalam hati. Perpaduan antara iqr r dan ta diq inilah yang menurut Abū an fah dikatakan sebagai iman dan pelakunya disebut sebagai mukmin.

Secara umum, dari keterangan yang telah disampaikan di atas dapat disimpul-kan bahwa menurut Abū an fah antara iqr r dan ta diq harus berjalan beriringan satu dengan lainnya. Di mana iqr r digunakan oleh manusia untuk menetapkan secara lahiriyah apakah ia beriman atau tidak. Sementara ta diq sebagai bukti ba iniyah keimanan seorang kepada All h Swt. Abū an fah menyebutkan bahwa

ta diq merupakan rukun iman sedangkan iqr r merupakan syarat iman. Karena

ta diq adalah perkara batin (amr b inī), maka iqr r adalah sebagai bukti konkret dari apa yang terdapat di dalam hati.

Hal ini supaya membedakan antara keimanan umat nabi Mu ammad dengan orang munafik dan ahli kitab, karena jika antara iqr r dan ta diq tidak beriringan maka orang munafik dan ahli kitab dapat dikatakan sebagai mukmin. Tentang hal ini ia mengatakan di dalam al-Wa iyyah sebagai berikut:

مؤخخوهيخخ نهنر ك خخه اهناخخّه خخن مي هننرخخّه خختن ه خخن مي هنرخخكياهه خخكهه ارخخق،ا نه هةخخكر اهكّذخخكههو ي تنهف همّاهل ثهناّه ن مي هبننرّه تن ه ن مي هنركعاه كه ه نهمؤو . 35

Hanya dengan iqr r, tidaklah seorang dikatakan beriman. Karena kalau begi-tu, maka orang-orang munafik semuanya beriman. Begitu juga hanya dengan mengetahui All h, tidaklah dikatakan beriman. Karena kalau begitu, maka

ahl al-kitab semuanya beriman.

Adapun hanya iqr r dengan lisan tidak menjadikan seorang menjadi mukmin

berdasarkan firman All h pada surat al-Mun fiqūn [63] ayat 1;36 yang secara jelas

menyebut orang munafik sebagai pendusta, padahal lisan mereka menetapkan akan

beriman kepada All h tetapi sesungguhnya hatinya ingkar.37 Dari sini menjadi jelas bahwa tempat iman ada di dalam hati bukan di lisan.

Adapun hanya ma‘rifat saja tidak menjadikan seorang menjadi mukmin

berdasarkan firman All h pada surat al-Baqarah [2] ayat 20;38 di mana disebutkan bahwa ahl al-kitab pada hakikatnya mengetahui nabi Mu ammad dengan melalui sifat-sifatnya, perihal diutusnya ke bumi, sampai pada namanya yang terdapat di dalam kitab mereka dengan pengetahuan yang jelas dan pasti, seperti mengetahui atau mengenal anak-anak mereka sendiri dari anak-anak yang lain. Akan tetapi mereka tidak meyakini dengan mengucapkan dengan lisan tentang kebenaran kejadian tersebut. Oleh sebab itu mereka tidak dinamakan mukmin.39

Definisi iman yang hanya terdiri atas dua unsur iqr r dan ta diq ini juga

seba-gai bantahan kepada kelompok Mu‘tazilah yang menyertakan unsur perbuatan

(‘amal) ke dalam formulasi iman. Menurut Abū an fah amal tidaklah termasuk ke

dalam unsur iman karena di antara keduanya (‘amaldan iman) mempunyai penger-tian yang berbeda. Ia mengatakan:

هنخخ هلخخم ّاه خخفعريهك خخقه اهنخخمهاْخخيكهتنثهلي خخاهولخخم ّاهْخخغهن خخمي،اههن خخمي،اهْخخغهلخخم ّا هنثه،رخخجاههقاخخلّاه خخ ه هّ خخ عه اه خخك هضه خخ اهتن خخكهون خخمي،اه خخه ه خخفع اه: خخ يهنثه،رخخجاهه.نمؤخخ ا ه ك ه: ي ن مي،اهكراه روثههن مي،اه ه . 40 36

Teks al-Qur’ nnya sebagai berikut;هَنرُايذ َاَّهَني يك َهُمرّاهني هُ َ رشَيه اه 37

Al-M tur d , Kit b al-Taw īd, h. 472. 38

Teks al-Qur’ nnya sebagai berikut; هريُ َء َهربَثهَنرُكيرر َيه َمَكهُ َنرُكيرر َيه َف َهيمرّاهُيُ َهريَعتهَنيييا 39Akm l al-D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 61.

Perbuatan bukan iman dan iman bukan perbuatan, karena banyak waktu yang dapat menghilangkan perbuatan dari seorang mukmin. Ini tidak boleh dikata-kan imannya hilang. All h tidak (mewajibkan) orang ay untuk salat. Ini tidak boleh dikatakan imannya hilang dan (All h) menyuruhnya untuk meninggalkan iman.

Menurutnya, jika amal merupakan bagian dari iman mestilah ada konsekuensi logis dari mengerjakan atau tidak mengerjakan suatu perbuatan. Tentu ini akan ber-implikasi langsung pada iman itu sendiri. Jika seorang melakukan suatu perbuatan seperti salat atau puasa maka ia dikatakan sebagai mukmin. Sebaliknya jika seorang tidak melakukan suatu perbuatan seperti zakat, haji dan lainnya, maka ia tidak dikatakan sebagai mukmin. Tentu ini pendapat yang tidak benar karena akan ber-implikasi pada banyaknya orang di dunia yang tidak beriman karena tidak melaku-kan perbuatan seperti disebut di atas seperti dalam kasus orang ay yang tidak salat dan orang miskin yang tidak zakat. Oleh karenanya seorang dikatakan sebagai mukmin apabila mengucapkan dengan lisan (iqr r) bahwa ia mukmin dan meyakini dalam hati (ta diq) terhadap apa yang ia iqr rkan. Sedangkan amal bukan termasuk dalam unsur iman.ههه

Argumentasi lain untuk mengatakan bahwa perbuatan bukan termasuk bagian iman juga berdasarkan argumentasi skriptual ayat al-Qur’ n surat Ibr h m [14] ayat 31,41 dan surat al-M ’idah [5] ayat 6;42di mana All h menyebut hambanya sebagai

mukmin sebelum mereka mendirikan salat dan menjadikan iman terpisah dari perbuatan melaksanakan salat. Argumentasi di atas menunjukkan bahwa seandai-nya seseorang sudah beriman (dalam artian ta diq dan iqr r) sebelum melakukan perbuatan baik sama sekali maka ia termasuk ahli surga. Seandainya perbuatan

41

...هَقه َالّاهارُميي ُيهارُهَمتهَنييياه َ يل َهي يّه رلُق 42

(‘amal) termasuk bagian dari iman maka orang tersebut bukan termasuk ahli surga karena belum atau tidak melakukan perbuatan apapun.43

Pendapat Abū an fah tentang formulasi iman yang hanya tersusun atas

ta diq dan iqr r tanpa memasukkan unsur perbuatan (‘amal) di dalamnya menjadi-kan pemikirannya tersebut berbeda dengan mayoritas ulama pada umumnya seperti al-Sy fi‘ (w.204 H), A mad bin ambal (w.241 H), al-Awz ‘ (w.157 H), Is q

bin Ruhawayh (w.238 H), dan sebagainya yang menyertakan unsur perbuatan

(‘amal) dalam formulasi iman.44

Namun demikian, perbedaan antara Abū an fah dan pemikir lainnya hanya sebatas perbedaan lafa yang tidak berdampak pada keabsurdan akidah (fas d i‘tiq d) yang mereka yakini. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan di antara para

ulama bahwa All h menghendaki setiap hambanya untuk membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengejawantahkan perbuatan baik dengan anggota badan. Perbedaan mulai muncul ketika mendefinisikan tentang hakikat

iman seorang hamba kepada All h, apakah cukup ta diq saja, atau cukup iqr r saja, atau ta diq dan iqr r, atau ta diq, iqr r, dan ‘amal. Dalam hal ini menurut Abū an fahyang dinamakan iman adalah ta diq dan iqr r. Di samping itu di kalangan para ulama juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa seorang yang membenarkan dengan hati (ta diq) dan mengucapkan dengan lisan (iqr r) bahwa ia beriman

kepada All h, tetapi tidak melakukan perbuatan baik dengan anggota badan, maka ia dinamakan dengan ‘ ī Ẓpelaku maksiatẓ kepada All h.45

43Maymūn bin Mu ammad al-Nasaf , Ba r al-Kal mẒt.t: Maktabah D r al-Farfūr, 2000ẓ, h.

152-3. (Selanjutnya disebut al-Nasaf , Ba r al-Kal m) 44Ibn Ab al-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah, h. 238. 45Ibn Ab al-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah, h. 239.

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 119-127)

Dokumen terkait