• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bertambah dan berkurangnya iman

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 127-137)

A. Konsep Iman dan Kafir

3. Bertambah dan berkurangnya iman

Salah satu pokok pemikiran kalam yang membedakan antara pemikiran Abū an fah dan pemikiran ulama terdahulu (al-salaf al- li īn) dari kalangan ahl al-adts dan ahl al-fiqh dalam masalah iman adalah mayoritas ulama mengatakan ke-imanan seorang hamba dapat bertambah dan berkurang (al-īm n yazīd wa yanqu ). Tetapi tidak demikian menurut Abū an fah, di mana ia mengatakan bahwa iman tidak bertambah dan berkurang (al-īm n l yazīd wa l yanqu ). Tentang hal ini ia mengatakan di dalam al-Wa iyyah sebagai berikut:

ه ن خخل نه رخخلهياه خختن هوه هخخيهاهه خخض ياهن خخمي،ا ه خخعل ض،ه رخخلهياههرخخفكّاهقل خخض اها

اركنهه همؤوهق كاههةّ كهأه كارّاهه شّاهنركيهنثه،رجهفيكهه.رفكّاهن ل هاا .

46

Iman tidak bertambah dan berkurang. Ini karena berkurangnya iman tidak dapat dikonsepsikan kecuali dengan bertambahnya kekafiran dan bertambah-nya iman kecuali dengan berkurangbertambah-nya kekafiran. Bagaimana mungkin pada satu waktu seorang bisa mukmin sekaligus kafir.

Pernyataan yang dikemukakan oleh Abū an fah di atas tidak terlepas dari konsepsi tentang hakikat iman yang menurutnya adalah pengejawantahan dari

ta dīq seorang hamba yang esensinya tidak dapat bertambah dengan sendirinya.

Hal ini karena dilihat dari segi keimanan seorang hamba kepada All h adalah sama,

yaitu sama-sama mengimani keesaan, ketuhanan dan kekuasaan All h Swt. Seorang yang mengimani All h dan rasul-Nya dan mengimani semua hal yang mesti diimani olehnya maka ia termasuk orang mukmin. Begitu juga seorang yang hanya

mengimani sebagian hal yang mesti diimani seperti percaya kepada All h dan rasul -Nya tetapi tidak mengimani hari akhir, maka ia termasuk orang kafir. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang mengimani sebagian hal yang mesti diimani

dan orang yang kafir, yang tidak mengimani semua hal yang mesti diimani sama sekali.47

Abū an fah tidak mengatakan iman bisa bertambah dan berkurang dengan melalui sebuah pertimbangan yang matang. Menurutnya Seandainya iman dapat bertambah dan berkurang niscaya akan menyebabkan saling tukar posisi antara iman dan kafir dalam diri setiap individu. Bersatunya dua hal yang saling bertentangan tersebut adalah hal yang mustahil. Orang yang beriman, mengimani

All h secara benar tanpa ada rasa ragu Ẓsyak), begitu juga orang kafir yang ingkar

kepada All h tanpa ada rasa ragu Ẓsyak).48 Oleh karena itu, Abū an fah

berpendapat bahwa iman tidak bertambah dengan melakukan ketaatan dan tidak berkurang dengan melakukan kemaksiatan.49 Hal ini sejalan dengan anggapannya bahwa perbuatan bukan termasuk dari iman (al-‘amal laysa juz’an min al-īm n).

Lantas bagaimana dengan na al-Qur’ n dan ad ts yang secara eksplisit menyebutkan bahwa iman dapat bertambah dan berkurang seperti ayat-ayat berikut:

.... ن َميي هريُ ر َلاَ، .

50

ه Bertambah iman mereka (karena dibacakan ayat-ayat-Nya)

.... هريي ين َميي هَ َمه ًن َميي هاهُلاَلر ََيّ .

51

Supaya iman mereka bertambah di samping iman mereka (yang sudah ada) هٌ لاهن مي،ا ه هًةه دهنر هحه . 52 47

Al-M tur d , Syar al-Fiqh al-Akbar (Qatar: al-Syu’ūn al-D niyyah, t.tẓ, h. 149-50. 48

Kasus ini sama dengan yang dialami oleh nabi Ibr h m sebagai mana tertulis di dalam ayat

هَقه يَِم رطَ ييهرنيكََّهه َ َاه َ َقهرنيمرؤُعهريََّهَثه َ َقه ََررَمرّاهي رُْعه َفريَكه يِي َثه ِفَ هُييي اَرراي هَ َقهرذيإَه

ه يبرق bahwa martabat ‘ayn al-yaqīn lebih tinggi daripada martabat ‘ilm al-yaqīn.

49

Akm l al-D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 64. 50

Qs. al-Anf l [8]: 2.

51

Qs. al-Fat [48]: 4. 52

Muslim bin al- ajj j, a ī MuslimẒBeirut: D r al-J l, t.tẓ, Jld. 1, h. 46., Mu ammad bin

ibb n, a ī Ibn ibb n Bi Tartīb Ibn Balb n (Beirut: Muassasah al-Ris lah, t.tẓ, Jld. 1, h. 420.,

Iman ada tujuh puluh tiga cabang

Perihal ayat-ayat di atas, para pendukung dan pengikut manhaj pemikiran

Abū an fah memberikan keterangan bahwa yang dimaksud dengan bertambahnya iman pada ayat di atas adalah bertambahnya keyakinan di dalam diri setiap hamba, bukan esensi dari iman itu sendiri,53 karena jika esensi iman bisa bertambah dan

berkurang maka akan bergabung dua unsur yang saling bertentangan di dalam diri setiap individu yaitu iman dan kafir dan ini tidak mungkin. Hal ini karena dilihat

dari segi keimanan seorang hamba kepada All h adalah sama, tetapi tidak dari segi

keyakinan setiap individu yang berbeda antara satu dan yang lainnya.54

Beranjak dari pendapatnya bahwa iman tidak bertambah dan berkurang inilah kemudian ia mengatakaniman manusia sama dengan iman Malaikat dan Rasul. Hal ini karena kita membenarkan keesaan, ketuhanan, dan kekuasaan All h sebagai-mana para Malaikat dan Rasul pun melakukan demikian.55 Akan tetapi yang membedakan adalah dalam hal ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan setiap apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Dalam ungkapan lain disebut-kan bahwa persamaan iman antara manusia dan Malaikat atau Rasul tidaklah dari semua aspek tetapi dilihat dari esensi ta dīq yang sama-sama membenarkan akan

keesaan All h. Ada orang yang diberikan cahaya keimanan oleh All h di dalam

hatinya bagaikan matahari, ada yang bagaikan rembulan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perbedaan antara keimanan manusia dan makhluk lainnya terletak pada

53

Al-Nasaf , Ba r al-Kal m, h. 158. 54

Al-M tur d , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 149. 55Abū an fah, al- lim Wa al-Muta‘allim, h. 14.

pancaran cahaya keimanan yang ada di dalam hati yang direalisasikan dengan melakukan perbuatan baik dengan anggota badan.56

Ini juga menunjukkan bahwa perbuatan (‘amal) bukan termasuk bagian dari iman, karena perbuatan (‘amal) bisa bertambah dan berkurang sedangkan keimanan seorang hamba tidak bertambah dan berkurang. Al-M tur d menjelaskan dengan

sebuah alegori; sebagian orang salat wajib lima waktu sedangkan sebagian yang lain tidak mengerjakan secara penuh. Orang yang tidak salat secara penuh, salatnya tersebut dapat diterima ( a ī ) dan ia masih dianggap mukmin. Begitu juga orang yang tidak puasa rama an secara penuh, puasanya dapat diterima ( a ī ) dan masih dianggap sebagai mukmin. Sementara dalam kasus keimanan tidak bisa disamakan dengan kasus di atas. Karena hanya mengimani sebagian hal yang mesti diimani bukan dinamakan sebagai mukmin tetapi dinamakan sebagai kafir.57

Jika dari ungkapan di atas disebutkan bahwa iman manusia sama dengan Rasul, apakah pahala yang diberikan kepada manusia sama dengan pahala mereka? Jika sama lantas apa kelebihan mereka dari kita? Jika tidak, bukankah ini termasuk

lim?

Menurut Abū an fah, pahala yang diberikan kepada Rasul lebih banyak dari

pada manusia karena All h telah memilih mereka atas manusia berupa risalah kenabian (al-nubuwwah). All h juga tidak dikatakan ẓ lim karena yang dinamakan

ẓ lim adalah jika hak-hak kita diabaikan oleh All h. Adapun jika All h

memberi-kan keutamaan pahala kepada mereka sementara segala hak kita dipenuhi dan kita ri a kepada-Nya maka ini bukan ẓ lim namanya.58

56

Ibn Ab al-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah, h. 240. 57

Al-M tur d , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 150-1. 58Abū an fah, al- lim Wa al-Muta‘allim, h. 16.

B.Pelaku dosa besar

Setelah menjelaskan persoalan siapa yang disebut beriman dan siapa yang

disebut kafir, Abū an fah beranjak pada persoalan status pelaku dosa besar (murtakib al-kabīrah). Ia mengatakan di dalam al-Fiqh al-Akbar sebagai berikut:

هُناه هيخخح ه خخه هلخخض نهاهه ق هخخ يهيخخّهاذ هقْخخهكهبخخنَهنإههفرخخنياهنخخمهبنذخخاه مقخخ وهرخخفك ه يم نهه.ن مي،ا مؤو ركَهْغه ح كه همؤوهنركيهنثه،رجههوة ي كه ه . 59

Kami tidak menyebut kafir kepada Muslim yang melakukan dosa walaupun dosa besar selama tidak menghalalkan perbuatan tersebut dan imannya juga tidak hilang darinya. Kami tetap menyebutnya mukmin hakiki atau bisa juga disebut mukmin fasik, tapi bukan kafir.

Dari ucapan di atas ada tiga poin penting terkait konsepsi Abū anfah tentang pelaku dosa besar. Pertama, pelaku dosa besar masih sebagai mukmin bukan kafir. Kedua, iman tidak hilang karena melakukan dosa besar. Ketiga, standardisasi pengafiran didasarkan atas sikap menghalalkan terhadap perbuatan maksiat.

1. Pelaku dosa besar bukan kafir

Abū an fah mengategorikan pelaku dosa besar masih sebagai mukmin karena adanya ta dīq di dalam hati. Menurutnya iman adalah membenarkan (ta dīq) dan kafir adalah mendustakan (takdzīb),60 maka selama masih ada secercah

keiman-an di dalam hati para pelaku dosa besar, selama itu pula mereka masih dikategorikkeiman-an sebagai mukmin bukan kafir. Pada dasarnya konsepsi tentang pelaku dosa besar

yang dikemukakan oleh Abū an fah adalah reaksi atas adanya paham dari

kelompok Khaw rij dan Mu‘tazilah.

59‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 102-3. 60

Kelompok Khaw rij yang pada masa itu dinamakan dengan aurūr ’61

ber-pendapat pelaku dosa besar adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya.62 Mereka berpegang pada surat al-Nis ’ [4] ayat 14;

ه يهر َيهرنَمَه هَ ا ه هرقي ر ُيهُهَلهُ ُكه َ َهَضَههُ رُحَ َهَ َ يي هاً يَ َ هاً َنهُ .

Siapa yang berlaku maksiat kepada All h dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya maka akan dimasukkan ke neraka selamanya.

Di lain pihak ada kelompok Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa

besar imannya telah gugur di dalam dirinya sehingga bukan lagi sebagai mukmin

tetapi tidak sampai masuk pada taraf kafir. Dalam hal ini pemuka mereka W il bin

‘A ’ mengatakan bahwa pelaku dosa besar menempati posisi di antara iman dan

kafir (manzilah bayn manzilatayn) yang dinamakan fasik. Menurutnya mereka akan kekal di dalam neraka,63 dan apabila meninggal sebelum bertaubat, maka All h

tidak boleh memaafkannya dan tidak memasukkannya ke dalam surga.64 Akan tetapi siksa yang akan mereka terima lebih ringan daripada siksa orang kafir.65

Abū an fah tidak sependapat dengan kelompok Khaw rij dan Mu‘tazilah

yang memvonis pelaku dosa besar akan masuk neraka selamanya. Menurutnya

61

Sebuah desa di pinggiran kota Kūfah. Y qūt bin ‘Abdillah al- amaw , Mu‘jam al-Buld n

ẒBeirut: D r al-Fikr, t.th), Jld. 3, h. 256. 62

Al-Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah, h. 277-8. 63

Menurut al-Baghd d pendapat W il tentang pelaku dosa besar sama dengan pendapat

Khaw rij di mana mereka akan kekal di dalam neraka. Al-Baghd d , al-Farq Bayn al-Firaq, h. 98. 64

Al- Isfir yin , al-Tab īr Fī al-Dīn, h. 40. 65

Al-Syahrast n , al-Milal Wa al-Ni al, h. 33.

Analisis yang sangat baik dilakukan oleh ‘Al Mu af ’ al-Ghur b ketika menelusuri jej

ak-jejak pendapat W il di dalam berbagai macam referensi. Di mana ia berkesimpulan bahwa W il tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar akan kekal di dalam neraka. Pendapat yang mengatakan demikian hanya ditemukan di dalam kitab-kitab karangan kaum Asy‘ariyyah seperti Al-Syahrast n

di dalam al-Milal Wa al-Ni al, al-Baghd d di dalam al-Farq Bayn al-Firaq, al-Isfir yin di dalam

al-Tab īr Fī al-Dīn dan kitab kaum Asy‘ariyyah lainnya, sementara di luar kitab-kitab yang berafiliasi dengan paham Asy‘ariyyah, tidak ditemukan pendapat W il mengatakan pelaku dosa besar akan kekal di dalam neraka. Al-Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyīn, h. 91-2.

pelaku dosa besar tidak mustahil masuk ke dalam surga karena masih dianggap mukmin dan terkadang melakukan perbuatan baik.66 Sesuai dengan firman All h:

هً

اُ ُنه يسرهَلرريفرّاه ُك هَجهريُ َّه ربَن ََه يك َ ي لّاهارُقيمَ َههارُهَمتهَنييياهني .

67

Sesungguhnya orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik bagi mereka surga firdaus sebagai tempat tinggal.

Abū an fah menyerahkan status pelaku dosa besar kepada kehendak All h

(masyī’at All h), di mana ia mengatakan orang yang berbuat maksiat (‘ ī) jika

meninggal sebelum bertaubat maka nasibnya tergantung kehendak All h (ta ta

masyī’at All h). Apabila All h menghendaki maka Dia akan mengampuninya dan

memasukkannya ke dalam surga dengan keistimewaan dan kemuliaan-Nya atau dengan berkah iman dan ketaatan yang ada di dalam dirinya. Apabila All h

menghendaki maka Dia akan menyiksanya berdasarkan kadar dosa yang dilakukan dan memasukkannya ke dalam neraka tetapi tidak kekal (mukhallad) di dalamnya.68

Ia memperkuat argumentasinya tersebut dengan mendatangkan na al-Qur’ n

yang secara eksplisit tidak mengafirkan pelaku dosa besar, di antaranya;69

هرذي هينرخخناهاَذَه ه ه َبخخرنَثهاي هَ ي هَ اهرنَ َثه يك خخَمُق ّاه يأهدَل خخَهَ هي خخريَقَ هَ ي خخر َنهرنخخَّهرنَثهنخخَ َ ه ًهخخ يص َغُمه َبخخَ َذ هَنيميّ ّاه َنيمه ُبرهُكه ِِي هَكَن َ رهُح . 70

Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempit (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan gelap, bahwa

66Akm l al-D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 73. 67

Qs. al-Kahfi [18]: 107. 68

Abū an fah, Al-Fiqh al-Absa (Kairo: al-Anw r, 1368 H), h. 47., Akm l al-D n al-B bart ,

Syar al-Wa iyyah, h. 70. Atas pendapatnya ini ia digolongkan oleh al-Asy‘ar sebagai penganut paham Murji’ah. Al-Asy‘ar , Maq l t al-Isl miyyīn, Jld. 1, h. 202-3. Ia sendiri tidak setuju digolong-kan sebagai Murji’ah karena ada beberapa prinsip yang membedakan pendapatnya dengan kelompok Murji’ah. Murji’ah meyakini bahwa dosa tidak akan membahayakan iman seperti ketaatan tidak memberikan manfaat pada kekafiran. Jelas Abū an fah berbeda dengan paham

Murji’ah. Walaupun terpaksa digolongkan ke dalam penganut paham Murji’ah maka ia—seperti yang dikatakan oleh al-Syahrast n —adalah Murji’ah Sunnah yang berarti tidak dapat disalahkan. Al-Syahrast n, al-Milal Wa al-Ni al, h. 140.

69Abū an fah, al-Fiqh al-Absa, h. 55-6. 70

tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sungguh aku adalah termasuk orang yang lim.

نيئيط َ ه هُكه ني ه َهَ رُنُذه َ َنهرريفرغَهرحاه َن َاَثه َي .

71

Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sungguh kami adalah orang-orang yang bersalah.

ه َكَّهَريفرغَ يي ا ه هَر َأَعه َمَهه َكيهرنَذهرنيمهَّ َ َ ه َم . 72

Supaya All h memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.

Pelaku dosa besar sebagaimana disebutkan pada ayat di atas dinamakan sebagai orang yang ẓ lim, orang yang bersalah (mukhi‘), dan orang yang berdosa (mudznib), bukan orang kafir.73 Dalil inilah yang memantapkan hati Abū anfah

untuk tidak menganggap atau menyebut pelaku dosa besar dengan sebutan kafir tetapi masih sebagai mukmin.

Adapun ayat al-Qur’ n yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaku dosa

besar akan dimasukkan ke dalam neraka selamanya seperti terdapat di dalam surat al-Nis ’ [4] ayat 14, menurut pendapat Fakhr al-Dn al-R z Ẓw.606 Hẓ di dalam

Maf al-Ghayb bersifat khusus bagi orang kafir saja yang tidak ri a dengan

aturan yang ditetapkan oleh All h Swt. bukan bersifat umum bagi seluruh manusia, terlebih bagi orang Islam yang melakukan perbuatan dosa besar.74 Dari ungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa orang kafir akan masuk ke dalam neraka untuk selamanya (mukhallad) sedangkan orang Islam yang melakukan dosa besar tetap

71Qs. Yūsuf [12]: 97.

72Qs. al-Fat [48]: 2. 73

Abū an fah, Ris lah Il ’ ‘Utsm n al-Battī, h. 36. 74

Fakhr al-D n al-R z telah menafsirkan surat al-Nis ’ [4] ayat 14 secara panjang lebar

dengan melihat korelasi antar ayat (mun sabah al-ay t) yang satu dengan yang lain sampai pada kesimpulan bahwa ayat tersebut bukan bersifat umum kepada seluruh manusia seperti anggapan dari

kelompok Khaw rij dan Mu‘tazilah, tetapi bersifat khusus bagi orang kafir yang tidak ri a dengan

pembagian harta waris yang ditetapkan oleh All h Swt. Fakhr al-D n al-R z, Maf tī al-Ghayb

dianggap mukmin, jika meninggal belum sempat bertaubat nasibnya ditentukan

oleh kehendak mutlak All h. Jika All h menghendaki maka akan diampuni dan dimasukkan di surga dan jika All h menghendaki maka akan dimasukkan ke dalam

neraka tetapi tidak kekal selamanya.

2. Iman tidak hilang karena melakukan dosa besar

Sebagaimana telah diketahui bahwa hakikat iman menurut Abū an fah

adalah iqr r dan ta dīq, sedangkan perbuatan (‘amal) berada di luar iman.75 Oleh karenanya pelaku dosa besar masih tetap dianggap mukmin yang sempurna iman-nya dan kadar keimanan tidak akan hilang atau keluar dari diriiman-nya. Hal ini disebab-kan melakudisebab-kan perbuatan dosa tidak adisebab-kan menegasidisebab-kan keimanan yang ada di dalam diri setiap orang. Antara iman dan perbuatan tidak mempunyai hubungan kausalitas sehingga melakukan perbuatan dosa tidak akan menyebabkan hilangnya sifat iman. Di antara keduanya mempunyai tempat yang berbeda. Iman bertempat di dalam hati sedangkan perbuatan ada di badan dan di antara keduanya tidak ada saling keterpengaruhan. Dengan demikian, orang yang melakukan dosa besar (murtakib al-kabīrah) masih dianggap sebagai mukmin karena masih terdapat iman di dalam hatinya.76

Pendapat ini juga sebagai tanggapan atas pendapat kelompok Mu‘tazilah

yang menganggap sifat keimanan bagi pelaku dosa besar telah gugur atau hilang yang membawa mereka pada sifat kefasikan dan akan masuk ke dalam neraka selamanya. Sedangkan menurut Abū anfah, orang yang berlaku fasik dan

75

Akm l al-D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 74. 76

Mu ammad bin Bah ’ al-D n, al-Qawl al-Fa l Syar al-Fiqh al-Akbar (Istanbul: Hakikat Kitabevi, 1990), h. 306.

kukan perbuatan maksiat imannya tidak akan hilang dari dalam tubuh sehingga masih dinamakan mukmin bukan kafir.

Wahb Sulaym n menambahkan bahwa selama seorang tidak melakukan perbuatan yang secara jelas menunjukkan kekafiran bagi yang melakukan seperti menganggap bahwa yang dimaksud dengan salat far u adalah hanya berdoa bukan salat yang dikenal selama ini (ma‘h dah), atau mengatakan bahwa Malaikat Jibr l

telah salah dalam menyampaikan wahyu kepada nabi Mu ammad yang seharusnya

menerima wahyu tersebut adalah ‘Al , dan lain-lain, maka tidak boleh menganggap-nya kafir karena di dalam dirimenganggap-nya masih terdapat iman dan imanmenganggap-nya tidak akan hilang sebab melakukan perbuatan dosa besar (murtakib al-kabīrah).77 Adapun orang yang melakukan perbuatan yang secara jelas menunjukkan kekafirannya seperti contoh di atas maka ia termasuk kafir karena ia telah mendustakan (takdzīb)

terhadap All h swt. karena perbuatan tersebut telah disepakati oleh para ulama

(ijm ‘) akan kemutawatirannya dan yang tidak mempercayainya telah ingkar akan

ketentuan All h.78

Lalu bagaimana dengan sabda Nabi Saw. yang secara eksplisit menyatakan bahwa pelaku dosa besar imannya telah hilang dan jika bertobat maka imannya kembali lagi di dalam dirinya, seperti yang diriwayatkan oleh al- kim di dalam

Mustadrak; حث هنمههيم ّاهن ن،اه قخه مكهن مي،اه همه اهع نهرم اهفرههى،هنم . 79 ه 77

Lihat pendapat Wahb Sulaym n dalam ta‘līqkitab ‘Al al-Q r ,Mina al-Raw al-Azhar Fī Syar al-Fiqh al-Akbar (t.tp: D r al-Basy ’ir al-Isl miyyah, 1998ẓ, h. 212.

78

Hal ini sejalan dengan definisi Abū an fah tentang kafir sebagai sifat mengingkari akan

All h. Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 19. 79

Mu ammad bin Abdull h al- kim al-Nays būr , al-Mustadrak ‘Al al- a ī ayn (Kairo:

D r al- aramayn, 1997), Jld. 1, h. 66., al-Kawtsar telah mentakhrij ad ts di atas dan mempunyai

kesimpulan bahwa di dalam transmisi (sanad) ad ts tersebut terdapat ‘Abdull h bin al-Wal d yang

Siapa yang berzina dan meminum arak maka All h telah melepas iman dari dirinya seperti manusia melepas baju dari kepala (badan)nya.

Abū anfah jelas mempercayai segala apa yang disampaikan oleh Nabi Saw. tetapi tidak lantas mempercayai kepada orang yang mengatakan atas nama Nabi Saw. Abū an fah tidak mempercayai ad ts di atas karena tidak percaya dengan

rawi yang meriwayatkan ad ts tersebut. Karena menurutnya hadis tersebut

bertentangan dengan al-Qur’ n yang secara jelas tidak menganggap pelaku dosa

besar telah hilang imannya seperti dalam surat al-Nūr [24] ayat 2; ِا ّاههةينا ّا di

mana All h tidak menegasikan iman di dalam diri pelaku dosa besar. Dalam kasus di atas, Abū an fah menolak periwayat yang mengatasnamakan Nabi yang bertentangan dengan al-Qur’ n, bukan mendustakan perkataan Nabi itu sendiri.80

Dalam dokumen Pemikiran kalam Abu Hanifah (Halaman 127-137)

Dokumen terkait