• Tidak ada hasil yang ditemukan

dayaan itu harusnya dikembangkan, harus dikembangkan oleh semua generasi di tiap jamannya. Kalo tidak, kita nggak bikin apa apa kan berarti? Jadi sebuah pertunjukan tahun 2013 pasti akan lain dengan 2020 ha- rus lebih gitu. Kalo kita cuma mengikuti tra- disi saja berarti kita hanya mengikuti tahun- nya. Buat saya, itu selalu harus maju, harus dikembangkan walaupun akarnya kita ambil cerita-cerita rakyat. Sehingga akhirnya su- paya orang, anak muda, generasi muda itu mau menggarap tradisi tapi dengan kekini- an. (menunjukkan gambar dari laptop) Nah ini, kayak ini kan? Kayak lampunya jadi sim- bol rumah, karena waktu itu adegan kayak

rumah. Jadi pencahayaan itu ada konigur- asi kenapa nggak di langit? Orang biasanya selalu cuma kepanggung begitu aja. Saya

mau bikin konigurasi ini sampai ke langit. OA : Waktu saya lihat pertama kali pang- gungnya, kok terkesan futuristik seperti modern, tapi terasa menyatu dengan cer- itanya?

JS : Iya memang bentuknya sangat asim- etris, sangat tidak tradisi. Tapi sebenernya saya desain untuk itu tadi. Untuk saya bisa gambar video mapping pergantian adegan. Terus saya mau menciptakan sesuatu yang baru. Bukan kayak opera yang adegan di ru- mah tiba-tiba ada kursi dan meja. Saya lebih bermain sama ini, karena skala ini tadi. Dan

ini pun diatur, dikoreograi, ini dulu yang

keluar baru ini, nanti baru terakhir ada yang ini. Jadi orang fokusnya ke tiap bagiannya dulu baru dia lihat keseluruhan. Karena san- gat besar, kita harus mengatur orang untuk

melihat yang mana. Nah itu kita mainkan dengan visual, itu dipasang di mana, terus pencahayaan itu ada di mana.

OA : Katanya ini adalah panggung terbe- sar di Indonesia ?

JS : Iya katanya, tapi saya nggak tahu benar apa tidaknya. Tapi kalau sebagai panggung tari iya. Karena panggung tari yang saya tahu yang kayak di Prambanan itu tidak ada yang sebesar ini. (menunjukkan gambar dari laptop) nah ini baru keluar yang di bawah,

jadi konigurasi lampu kalo di outdoor itu kita bisa dapat medium yang lain, ini bisa jadi seperti kanvas yang istilahnya bisa kita lukis dengan sinar-sinar.

OA : Tapi kalo segi feminisnya itu artistik berperan sejauh apa mas?

JS : Kalo feminisnya di cerita ada perem- puan yang mau dilecehkan, itukan berarti hak-hak wanita. Jadi ini lebih menggambar- kan bahwa perempuan punya hak. Tapi kalo menerjemahkan ke panggungnya saya kira itukan metafor saja. Tidak bisa terus saya bikin gambar perempuan ya tidak lah. Tapi saya lebih mengakomodir jalan ceritanya dengan pengadeganan. Karena sutradaran- ya kan bukan saya, jadi saya hanya mengi- kuti apa yang dia inginkan. Misalnya, ini di rumahnya, yah sudah jadi saya buat kayak

gini. Yang nggak haraiah sebagai rumah.

Terus dia mau adegan apa gitu, jadi kalo saya bilang, saya mengikuti saja alur cerit- anya.

OA : Kalau diliat dari motivasinya, kenapa panggungnya dibikin asimetris ?

JS : Jadi sudut-sudut ini sebenarnya saya dapeat dari – (Jay meminta kertas pada pelayan untuk menggambar) nah ini tujuan dari miring ini juga gini, saya mau karena penari banyak, saya mau mereka mem-

buat konigurasi yang lain. Biasanya orang

nggak pernah lihat. Nih ada 3 level, kan? Jadi mereka akan jalan tanpa ada bentuk tangga. Tanpa ada orang tahu ini, mereka masuk ke mana, sebenarnya kan mereka masuk di belakang ini ada pintu. Kan kalo ada pintu, ada tangga kan jelek? Makanya semua saya bikin miring, semua tertutup. (Jay menggambar) ini kalo peta Jakarta seperti ini, ini lapangan Monas bentukn- ya seperti ini, dulu titik nol Jakarta zaman Belanda ini di Sunda Kelapa, sekarang ada menara Syah Bandar itu.

Nah sekarang Bung Karno bikin titik nol Ja- karta ini di Monas. Nah ini saya tarik gar- is-garis yang semua bersentuhan sama si Monas ini. Nah dari sini, tiba-tiba saya dap- at kemiringan-kemiringan ini. Nah ini mas- ing-masing ada yang 15 derajat, ada yang 20, 30. Nah kemiringan ini yang saya pakai di sini. Terus kalo kita lihat, arahnya kenapa ke situ? Karena ke sini ini, ke Barat Laut ini ada Istiqlal, ada Katedral, jadi sebenarnya ini sudah sempurna. Ada tempat kita iba- dah, di sini ada Museum Nasional, di sini ada Istana, di sini ada balai kota, bahkan di sini ada Mahkamah Agung. Jadi sebe- narnya Bung Karno udah merancang inilah pusat kota, pusat pemerintahan, pusat ke-

Majalah AKSI | 34 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

budayaan, dan juga pusat di mana toleran- si beragama harus berjalan. Akhirnya saya keluar dengan bentuk seperti ini karena ini titik Nol yang ditentukan oleh Bung Karno sebagai titik nol Jakarta. Makanya sekarang ini namanya Jakarta Pusat di atas Jakarta Utara, Jakarta Selatan. Jadi dapat sudut- sudut seperti itu karena saya tahu ini titik nol sekarang, kenapa ya? Apa yah yang bisa ada hubungannya sama ini?

OA : Butuh berapa lama untuk memper- siapkan ini mas?

JS : Nah sayangnya waktunya itu pendek, karena pak Jokowi baru dilantik 8 bulan yang lalu. Jadi persiapannya baru dari bu- lan Januari. Dari Januari terus kita sampai bulan Juni, jadi kira-kira hanya 6 bulan. Nah tapi itu terlalu pendek untuk pertunjukkan dalam skala besar seperti ini.

OA : Kalau kita menonton dari samping,

menurut Mas Jay Bagaimana?

JS : Iya kalau dari samping malah kita lihat perspektifnya. Kalau dari samping kita bisa lihat kedalamannya, nah kalau dari tengah ini kita nggak tahu ini lebarnya sampai mana. Jadi memang saya buat dari semua sudut. Mereka dapat kelebihan-kelebihan yang lain, kalau dari pinggir mereka akan li- hat, bahwa wah ternyata ini terjal sekali, kalo langsung dari depan kan tidak. Tapi tetap saya buat batas. jadi tidak saya buat sampai ujung, karena yang paling ujung pasti tidak enak menontonnya. Tapi saat pas dia dapat perspektif kemiringan ini, dia bisa lihat per- mainan cahaya itu. Dan dia masih bisa lihat gambar-gambar yang di sini.

Jadi ini harus dilihat dari kejauhan bukan dari dekat. Kan berbeda nonton bioskop sama nonton teater. Kalau nonton bioskop lebih enak dari belakang. Nonton teater, kalau yang indoor yah lebih enak di de- pan. Tapi kalau ini enggak, karena ini jadi keseluruhan dari semuanya. Saya tidak mau orang kalau terlalu deket, ini akan kepo- tong. Dia nggak lihat bahwa Monas ini bagi- an dari panggung. Bagian dari pertunjukan.

OA : Kalau warna-warna di setiap babak itu maksudnya lebih mengikuti cerita atau bagaimana?

JS : Iya jadi, kayak waktu penjahat Cinanya datang, itu lebih warna merah, waktu ade- gan berantem, itu lebih oranye dan merah. Terus kalau dia lagi jatuh cinta lebih yang biru, lebih yang ungu. Memang disesuai-

kan sama moodnya. Ini juga video map- pingnya banyak yang saya gabung dengan pencahayaannya. Jadi supaya ada war- na-warna dari pencahayaan. Jadi tidak se- lalu dibagi-bagi, kalau ada mapping, tidak ada pencahayaan, tapi banyak yang saya gabung. Ini ada mapping tapi saya minta ada lampu dari bawah. Ini juga saya mau bikin garis-garis banyak.

OA: Ini pertama kali untuk 6 bulan mem- buat yang seperti ini, atau ?

JS : Kalau dalam skala sebesar ini pertama kali, tapi kalau Matah Ati dulu persiapan- nya dua tahun, saya bikin juga itu ada in- door dan outdoor, tapi bikin outdoor-nya di Solo. Tapi tidak sebesar ini, ini 72 meter. Kalau yang di Solo itu 35 meter jadi seten- gahnya. Tapi di luar gitu.

OA : Kalau konsep api itu maksudnya apa mas?

JS : Konsep api itu kan, tahun 1870 ada pemberontakan di Tambun di Jakarta, jadi itu yang memotivasi dia juga, kenapa dia mau belajar silat. Karena dia tahu Beta- wi saat itu dijajah Belanda, dan kita harus mempertahankan diri. Terus banyak penja-

hat-penjahat, banyak centeng, nah itu ada pemberontakan Tambun di mana Belanda merampas tanah-tanah para petani. Jadi untuk menggambarkan peperangan, meng- gambarkan ada keributan.

OA : Jumlah kru untuk pementasan ini be- rapa mas ?

JS : Untuk panggung, tata cahaya dan proyektor, kira-kira, 150 orang. Dan pang- gung ini dibuat dari tanggal 1 Juni sampai 12 Juni. Kita pakai orkestra juga 120 orang, penarinya 150 orang.

OA : Terus untuk Ariah kemarin apa kesu- litannya mas?

JS : Ada, kesulitannya yang pertama adalah tidak ada perusahaan yang mau mendanai pertunjukan kesenian kayak gini. Susah se- kali dapat dananya, karena kita harus men- cari sponsor sendiri dan nggak dibiayai oleh APBD DKI jadi harus cari sendiri. Kedua adalah cuaca karena di luar, karena begitu hujan sedikit saya pasti berhenti, karena penari saya pasti jatuh karena ininya miring. Waktu gladi resik itu sempat hujan, jadi saya tahu bahwa ini tidak mungkin diteruskan ka- lau ada hujan. Dan kita sudah antisipasinya PHOTOS COUR

ARIAH - JAY SUBIAKTO

ARIAH - JAY SUBIAKTO

bikin karet yang gampang di pel, dan kita juga sudah pikirin penutup-penutup untuk lampu kalau ada hujan. Terus penutup un- tuk orkestra karena banyak listrik. Tapi un- tungnya dalam 3 hari itu ternyata tidak hu- jan walaupun sekarang bulan Juni tapi kok masih banyak hujan.

Kendalanya itu, kalau yang lain nggak, kita dibantu oleh DKI seperti izin, kebersi- han, terus keamanan juga dijaga oleh DKI. Tapi yang penting itu, kalau saya bilang, pertunjukan ini bisa karena didukung oleh DKI, untung mereka punya concern bah- wa pertunjukkan seni ini harus besar, harus kolosal, harus bisa ditonton oleh orang se- banyak-banyaknya. Nah itu kan jarang da- lam beberapa puluh tahun yang lalu tidak pernah ada gubernur yang gitu. Dan untuk kepentingan rakyat yah, sepertinya har- us gratis. Kayak IKJ sendiri kan dulu yang menggagas kan Ali Sadikin, tapi habis itu nggak pernah dirawat.

OA : Setelah Ariah ini, mungkin mas Jay ada proyek lagi?

JS : Belum sih, sekarang mau istirahat dulu.

OA : Tapi menurut mas Jay kemarin kolab- orasi dengan sutradara,musik bagaimana?

JS : Oke sih kalau saya bilang, karena kal- au sama Atila ini kerja sama kedua dengan dia. Terus kalau dengan musik, bareng Er- win Gutawa sudah sering banget. Karena dia kan dulu teman kuliah saya di arsitek- tur. Terus pertama kali saya bikin konser juga sama dia, konser Chrisye tahun 1994, terus ada banyak lagi. Ada 3 diva, ada kon- ser Krisdayanti. Jadi memang kita sudah kenal banget. Bahkan penari-penarinya yang sebagian besar dari Solo kita sudah kenal banyak, karena waktu saya ikut dalam Matah Ati. Kan prosesnya hampir 2 tahun, jadi memang mereka sudah terbiasa sekali dengan bidang-bidang miring. Jadi itu yang sangat membantu.

OA : Mas Jay sendiri, dengan pertunjuk-

kan Ariah sudah puas atau masih ada yang kurang?

JS : Ya saya masih belum puas 100%. Kare- na menurut saya, masih banyak yang bisa kita maksimalkan karena ada beberapa, seperti proyektor banyak yang dikurangi, tata cahaya juga. Jadi memang karena itu, Biaya itu tadi yah, jadi sebenarnya lampun- ya harus lebih banyak. Proyektornya harus- nya lebih banyak. Terus kayak apinya juga harusnya lebih banyak. Itu saja, kebanyakan

karena teknis jumlah. Terus juga menurut saya, penarinya kurang banyak untuk skala panggung seperti ini harusnya ditambah 100 lagi, baru itu orang bisa lihat bahwa seluruh panggung ini bisa digunakan. Pal- ing itu aja sih, masalah-masalah kayak itu aja. Dan harusnya ini bisa jadi panggung permanen. Kan bagus, Jokowi maunya pu- sat kebudayaan kesenian yang outdoor di

Monas. Sebenarnya panggung ini leksibel,

buat Band bisa, buat pagelaran lain bisa, karena besar dan sangat lapang. Kemudian bisa dilihat dari berbagai sudut dan sebe- narnya tidak mubazir. Misalkan dalam sebu- lan tapi pertunjukannya ganti-ganti itu bisa aja. Karena sayang sudah kayak gini, tapi cuma dipakai 3 hari.

OA: Dokumentasi acara ini nanti akan

ditayangkan atau bagaimana mas?

JS : Nggak sih, buat kita saja. Hehe.... ka- rena menurut saya ini memang lebih enak ditonton secara LIVE, karena begitu di TV nanti ada close up jadi sayang karena pen- galamannya berbeda. Karena kalau di TV orang jadi berpikir, apa sih ini? Karena skal- anya sudah lain. Sementara kalau di sini pe- nonton bisa bagi, dia mau lihat yang mana dulu tapi mereka bisa merasakan keseluru-

Majalah AKSI | 36 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

hannya, kalau di TV kan nanti ada close up

dan macam-macam. Jadi memang meran- cang pertunjukan untuk TV dan untuk LIVE itu sangat berbeda. Sama seperti membuat

ilm dan teater. Karena kalau di ilm kan ada close up, tapi kalau di teater kita harus yang mendidik penonton untuk mengarahkan pandangan mereka. (menunjukkan gambar dari laptop) nih kalau dari pinggir, ini akan jadi lebih besar. Kalau dari sini kita juga bisa melihat, lebar kemiringannya dan perspek- tifnya.

OA : Kalau dari segi kostum sendiri yang mau ditunjukkan itu apa mas?

JS : Kostumnya memang kalau kita lihat kebudayaan Betawi dengan banyak seka- li campuran dari Cina, Arab. Bahkan ada yang terpengaruh dari Meksiko, seper- ti topi terus ada bulet bulet bola kayak pengantin Cina. Ini saya serahkan kepada perancang kostumnya, bahwa saya bilang akan dilihat dari jauh dan kalau bisa dibikin kelompok-kelompok warna saat menari, jadi warnanya harus warna-warna yang sig-

niikan sama baju tradisional Betawi tapi

dibagi dalam grup jadi orang gak lihat itu serabutan. jadi kita bisa lihat, yang menari beriring-iringan. Itu ada kelompok-kelom-

pok, harus dibikin warna yang spesiik dulu

karena begitu mereka menyatu baru kita li- hat ada permainan warna dan kostum. Dan warna-warna itu kita ambil memang dari ko-

stum asli Betawi yang penuh dengan mer- ah, hijau, ungu, kuning. Juga kita gabung dengan yang sekarang pakai sarung, unsur kotak-kotak. Itu juga banyak kita pakai di kostumnya. Dan untuk penjahat Cina harus lebih Grande, sehingga kita pakaikan jubah panjang 3 meter terus disulam sampai ada gambar naga.

OA : Kalau dari segi musik, kan ada saat

di mana mas Erwin itu duduk dan hanya musik Betawi yang bermain, itu kenapa dipisah dengan orkesnya?

JS : Jadi memang, waktu kita dengar musik Betawi yang ada di Betawi itu kebanyakan di kunci D. Hampir semua di kunci D, jadi kayak denger lagu Samba Brazil, lagu per- tama sampai 20 sama terus. Itu kalau kita dengar terus nggak enak banget. Jadi pen- dekatan Erwin dia hanya ambil nuansa tem- po music Betawi tapi dalam format Simfoni Barat jadi pakai orkestra. Nah waktu yang itu, perkusi sangat dinamis jadi tidak bisa digabung sama Simfoni Barat, nanti bisa rusak. Makanya itu utuh bagian perkusinya saja. Jadi saya bilang, seperti membuat ilus-

trasi di ilm saja.

MajalahAKSI | 36 Edisi .2 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COUR

TESY OF ORIZON ASTONIA

ORIZON ASTONIA

JAY SUBIAKTO Bersama para pemain dan kru

Kalinyamat Riuh

Dokumen terkait