• Tidak ada hasil yang ditemukan

D alam rangka menyambut perayaan ke-40 ASEAN-J apan Friendship and Cooperation dan 55 tahun perayaan hubungan

diplomatik Indonesia – Jepang. Untuk pertama kalinya akan

dipentaskan sebuah pertunjukan teater boneka tradisional

Bunraku dari Jepang di Indonesia. Acara berlangsung pada tanggal 2

dan 3 Juli 2013 di Gedung Kesenian Jakarta. Selain itu banyak pula acara

lainnya yang akan mengikuti pertunjukan tersebut. Rangkaian kegiatan

ini sekaligus untuk mengenalkan budaya Jepang kepada masyarakat

Indonesia. Salah satu acara besar yang akan diselenggarakan adalah

Turnamen Sumo pada tanggal 24 dan 25 Agustus di Jakarta. Sekitar 40

pesumo langsung dari Jepang akan datang ke Jakarta memeriahkan

turnamen ini. Acara lainnya adalah Jak Japan Matsuri kelima, Orkestra

musik tradisional Jepang, dan tarian kontemporer.

TULISAN DAN FOTOGRAFI OLEH DEVINA SOFIYANTI KARIN SENTOSA, LEONTIUS TITO

Majalah AKSI | 42 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Sejarah Bunraku

Sejarah Pertunjukan Boneka

Pertunjukan boneka memiliki sejarah / cer- ita yang panjang di Jepang. Pada awal abad ke-8, dalang pertunjukan boneka tersebut mengembara dari semenanjung Korea menuju daerah pedalaman yang disebut juga sebagai Kugutsumawashi. Setelah tersebar di berbagai area beberapa abad kemudian, pertunjukan boneka memiliki simbol perdamaian dalam tempat-tempat suci / kuil lokal. Di mana para dalang per- tunjukan boneka berkeliling / melakukan tur sebagai utusan dari kuil. Pada akhir abad ke-16, seni penceritaan Joruri dengan per- tunjukan boneka yang terpisah, pada akh- irnya menciptakan suatu gaya atau bentuk baru, yang bernama Ningyo Joruri (yang pada akhirnya dikenal sebagai Bunraku) dan juga mengubah tempat pertunjukan. Sebel- umnya pertunjukan Joruri dan pertunjukan boneka dilakukan di tempat terbuka, kemu- dian Ningyo Joruri dipertontonkan dalam gedung pertunjukan / teater.

Dalam teater Takemoto-za, boneka-boneka yang dipertunjukan memiliki bentuk yang kecil dan hanya dioperasikan oleh satu dalang. Kemudian pada tahun 1734, mun- cul inovasi dalam mengoperasikan sebuah boneka di mana terdapat tiga orang dalang dalam menggerakan satu boneka Yokambei dalam kisah The White Fox of Shinoda. Dua tahun kemudian, teater yang merupa- kan saingan dari Takemoto-za, yaitu Toyota- ka-za, menampilkan kisah The Giant Wom- an dengan menggunakan boneka yang berukuran dua kali lebih besar.

Kemudian sekitar pertengahan tahun 1700- an, dimensi akan panggung pertunjukan pun diperlihatkan kepada penonton.

Asal-muasal nama Bunraku

Pada awal abad ke-19, seorang produs- er dari Uemura Bunrakuken (yang berasal dari pulau Awaji, di mana seni pertunjukan boneka sudah tersebar) datang ke Osaka. Ia membangun suatu gedung pertunjukan yang dekat dengan lokasi Gedung Pertun- jukan Nasional Bunraku saat ini di Osaka, yang juga berdekatan dengan lokasi teater Takemoto-za dan Toyotake-za di masa lalu. Pada tahun 1872, saat gedung pertunjukan tersebut di relokasi dan diresmikan oleh pe- merintah, nama gedung pertunjukan terse- but diubah menjadi ‘Bunraku-za’.

Bunraku

Permainan Bunraku ini mirip dengan wayang golek di Indonesia. Namun yang membedakan adalah wayang golek dimain- kan oleh satu dalang, sedangkan dalam Bunraku, setiap boneka dimainkan oleh tiga orang. Selain orang yang memainkan bone- ka, Bunraku dimainkan oleh seorang nara- tor, dan satu atau lebih shamisen. Narator adalah orang yang bertugas menyampaikan cerita Bunraku dan menjaga agar emosi, motivasi, dan karakter tokoh dapat sampai kepada audiens. Alur cerita yang disampai- kan narator sudah termasuk kapan narator akan menciptakan suasana tegang atau- pun santai sehingga penonton menangkap perjalanan cerita lebih dinamis. Narator ini akan ditemani dengan shamisen dan duduk di sebelah panggung. Shamisen adalah pe- main musik tradisional yang akan mengirin- gi pertunjukan Bunraku. Sama seperti seo- rang narator, shamisen juga menjaga emosi dan feel pada alur cerita Bunraku. Ia akan memainkan musik sesuai dengan karakter tokoh. Sedangkan untuk para pemain bone- ka Bunraku, mereka akan berkerja sama menggerakan boneka. Tiga orang tersebut akan dipimpin oleh satu orang yang paling senior. Ia akan menggerakan badan, kepa- la, dan tangan kanan boneka. Orang kedua bertugas menggerakan tangan kiri boneka dan menyimpan beberapa properti. Sedan- gkan orang yang paling junior akan meng- gerakan kedua kaki boneka. Oleh karena itu ketiga pemain Bunraku ini menjalani latihan yang serius agar dapat menyeimbangkan gerak boneka sehingga terlihat hidup. Pem-

impin mereka akan mengenakan pakaian khusus dan mengenakan geta, sedangkan kedua juniornya akan mengunakan pakaian hitam menutupi kepala mereka.

Tarian Sambaso

Asal mula tarian ini adalah Drama Noh

“Okina.” Ada beberapa versi tarian yang

sama dalam Kabuki, namun baik dalam

Kabuki maupun Bunraku, tokoh “Okina”

(orang yang tua) sebagai tokoh utama da- lam versi mulanya, telah diadaptasi, diubah

menjadi “Sambaso”, tokoh yang dulunya

hanya merupakan tambahan belaka. Dalam

drama Bunraku, “Sambaso” sendiri bergan-

da menjadi dua, dan adanya dua “Samba-

so” merupakan bagian utama dari apa yang

lebih pantas disebut tarian daripada drama. Tarian ini bersifat lincah, penuh humor, di-

tarikan oleh dua “Sambaso”, dengan irin- gan suara dari lonceng tangan yang mereka bawa-bawa. Bagian ini merupakan sebuah hiburan ringan yang cocok untuk peristiwa atau perayaan gembira, dimainkan pada ke- sempatan seperti pembukaan musim teater atau datangnya Tahun Baru.

Keajaiban Kuil Tsubosaka-Rumah Sawaichi

dan Pegunungan Kuil Tsubosaka

Sawaichi, seorang pria buta, mempunyai istri yang cantik bernama Osato. Sawaichi mengetahui bahwa setiap pagi menjelang fajar menyingsing, Osato selalu diam-diam keluar rumah. Maka timbullah rasa curigan- ya jangan-jangan Osato mempunyai kekasih rahasia di suatu tempat. Dia bertanya den- gan mendesak kepada istrinya agar mem-

BUNRAKU

beritahukan hal yang sebenarnya. Osato sendiri malah terkejut dengan tuduhan yang dilontarkan terhadapnya. Perempuan itu menjelaskan bahwa dia memang terus keluar rumah. Namun tujuannya adalah un- tuk mengajukan doa permohonan kepada Kanzeon, Dewi Welas-Asih yang bertempat di kuil Tsubosaka, agar penglihatan sua- minya dipulihkan. Sawaichi akhirnya malah terharu akan pengabdian istrinya dan setuju untuk pergi dengannya ke kuil Tsubosaka untuk menjalani pertobatan.

Sawaichi tiba di kuil dengan bimbingan Osato, yang lalu meninggalkan suamin- ya di sana agar dia berpuasa selama tiga hari. Diingatkannya agar suaminya itu tidak bergerak-gerak karena bisa jatuh ke bawah ke lembah yang berbahaya. Namun, Sawa- ichi yang diam-diam telah bertekad untuk bunuh diri guna membebaskan Osato dari berbagai kekuatiran dan kesusahan, malah menerjunkan diri ke dalam lembah. Osato merasakan ada sesuatu yang tidak beres dan menakutkan telah terjadi pada suamin- ya. Bergegas dia kembali ke titik di mana dia meninggalkan suaminya sebelumnya. Lalu mengarahkan pandangannya ke bawah lembah di mana terlihat olehnya tubuh suaminya terbujur di bawah, sudah tewas. Dalam keputusasaan, Osato pun meloncat terjun juga hingga tewas.

Kanzeon merasa begitu senang dengan ke- setiaan pasangan tersebut serta pengabdi- an mereka. Sehingga dengan penuh kasih sayang berkenan menghidupkan mere- ka kembali dan memulihkan penglihatan Sawaichi.

Pemain Bunraku

Pemimpin pemain boneka Osato adalah Yoshida Kazuo. Ia lahir tahun 1947 dan ia berumur 20 ketika ia dilatih oleh Yoshida Bunjyaku. Setahun kemudian ia sudah me- mainkan debut pertamanya di Osaka. Pada pertunjukan Bunraku ini, Yoshida Kazuo akan memainkan peran wanita Osato. Na- mun biasanya ia memainkan peran laki-laki yang gagah dan berani.

Pemain boneka yang memainkan tokoh Sawaichi adalah Yoshida Tamame. Ia lahir pada tahun 1953 dan sejak tahun 1968 ia berada dibawah bimbingan Yoshida Tamao dan mendapat nama Tamame. Ia memulai debutnya setahun kemudian di teater Asa- hi, Osaka. Yoshida Tamame ingin menjadi pemain Bunraku, ketika ia sedang bekerja paruh waktu di sebuah pementasan Bunra- ku. Saat itu ia masih berada di sekolah me- nengah.

Workshop Bunraku

Sebelum mengadakan pertunjukkan di Ge- dung Kesenian Jakarta, para pemain Bunra- ku juga mengadakan workshop di Gedung Rektorat Institut Kesenian Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh para dosen, maha- siswa dari Institut Kesenian Jakarta, dan beberapa tamu undangan. Acara tersebut dibuka dengan narator dan pemain shamis- en yang menjelaskan apa fungsi mereka da- lam Bunraku dan apa saja alat yang mereka mainkan. Di sini juga diajarkan bagaimana karakteristik setiap suara, mulai dari anak- anak, pria remaja, wanita remaja, pria dewa- sa, wanita dewasa, kakek dan nenek. Selain itu untuk setiap tokoh yang berbeda, suara

yang dihasilkan oleh shamisen pun berbe- da-beda.

Setelah itu, diadakan workshop untuk para dalang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dalang dalam pertunjukkan Bunraku ada 3 orang. Pertama-tama mere- ka menunjukkan jenis boneka Bunraku dan fungsi bagian-bagian dalam tubuh bone- ka Bunraku. Dan mereka pun menjelaskan bagaimana menggerakkan boneka terse- but. Cara menggerakkan boneka Bunraku, sebenarnya sangat sulit karena dibutuhkan kekompakan dari ketiga dalangnya. Dan ternyata, untuk menjadi seorang peng- gerak kaki dibutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun, sebelum ia menjadi penggerak tangan. Dan waktu yang dibutuhkan untuk seorang penggerak tangan menjadi dalang penggerak wajah, badan, dan tangan kanan adalah 15 tahun. Setelah menjadi dalang/ penggerak senior, ia akan menjadi dalang bunraku seumur hidupnya.

Setelah itu, diadakan sesi tanya jawab. Sesi tanya jawab pun tampak hidup, karena orang-orang pun sangat penasaran den- gan pekerjaan seumur hidup yang dijalani oleh para pemain Bunraku dan bagaimana mereka pertama kali tertarik untuk terjun ke dunia Bunraku. Kebanyakan menjawab bahwa menjadi bagian dari Bunraku adalah panggilan jiwa dan karena Bunraku adalah salah satu kesenian tertua di Jepang yang masih eksis hingga masa sekarang. Acara workshop ini pun ditutup dengan pemba- gian cendera mata dari Kedutaan Jepang.

Majalah AKSI | 44 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Lensa yang digunakan dalam kamera ini berkemampuan untuk melakukan 8x per- besaran optis dengan aperture f.2 secara konstan. Di dalam kamera ini juga terdapat Microlens array yang digabungkan bersa- ma sensor digital untuk menangkap war- na, intensitas, dan arah cahaya. Dengan teknologi ini, Lytro Camera diklaim mampu menangkap 11 juta berkas cahaya. Seluruh berkas cahaya tersebut kemudian di pros- es pada Light-Field Engine lalu ditampilkan pada touchscreen.

Lytro Camera menyediakan 2 mode pengambilan gambar yang berbeda fungsi satu dengan lainnya. Mode pertama adalah Everyday Mode. Pada mode ini, pengam- bilan gambar dapat dilakukan secara instan dengan menekan tombol shutter untuk dengan cepat mengabadikan momen. Ka- rena kamera ini tidak memerlukan penga- turan fokus sebelum pengambilan gambar, maka objek apapun yang dipilih bisa tetap tajam, karena dapat difokus ulang kemudi- an setelah gambar diambil.

Pernahkah kalian mengalami kegagalan

mengabadikan sebuah momen yang ha- nya berlangung sekejap dan semua itu disebabkan hanya karena miss focus atau

gambar tidak fokus? Semoga saja tidak pernah, namun bagi yang pernah mengala- minya, kali ini AKSI akan sedikit membahas sebuah kamera compact dengan teknologi revolusioner yang dapat membantu menga- tasi hal tersebut.

Lytro Camera merupakan kamera dengan teknologi yang memiliki kemampuan un- tuk mengubah fokus gambar, setelah gam- bar diambil. Berlawanan dengan cara kerja kamera pada umumnya, dimana pengguna perlu mengatur fokus lensa terlebih dahulu sebelum mengambil gambar. Keunggulan ini membuat pengguna Lytro Camera tidak perlu takut momen yang hanya berlangsung sekejap mata gagal diabadikan. Ambil saja dahulu gambar sebanyak-banyaknya, baru kemudian atur bagian mana yang akan di- fokuskan. Bagaimana cara kamera ini mel- akukannya?

LIGHTFIELD CAMERA

Lytro Camera menggunakan teknologi lensa dan sensor khusus yang mampu menangkap seluruh bidang cahaya didalam suatu scene, lalu menyimpannya sebagai data yang dapat diatur setelah proses pengambilan gambar.

CHANGE FOCUS

Memungkinkan mengubah fokus setelah pengambilan gambar

Mode lainnya ialah Creative Mode. Mode pengambilan gambar ini memberikan ke- mampuan kepada penggunanya untuk mengendalikan blur secara spesiik pada

gambar, dengan menyentuh preview gam- bar pada bidang touchscreen atau me-re- fokus kembali gambar yang baru saja kita abadikan.

Lytro Camera juga memililki kemampuan untuk menangkap gambar dengan mini- mum shutter speed 1/250 dan jarak ISO mulai dari 80-3200. Selain itu, Lytro Camera memberikan fasilitas interactive ilter yang mempermudah pengguna dalam menggu-

nakan ilter efek untuk mempercantik gam- bar.

Meskipun kamera ini merupakan kamera foto namun dalam perkembangannya tidak menutup kemungkinan kamera video dap- at mengadopsi teknologi serupa dimasa mendatang. Namun sudah siapkah kita menerima teknologi ini? karena ketika te- knologi ini sudah semakin disempurnakan dan dapat diterapkan pada kamera vid- eo, tentunya akan memberikan dampak

pula dalam sebuah produksi ilm, misalkan

saja pada peran seorang asisten kamera satu. Teknologi akan selalu berkembang dan berusaha sebaik mungkin memberi- kan kenyamanan kepada kita. Untuk dapat mengimbanginya, maka cara berpikir dan

kreatiitas kita haruslah selangkah atau bah- kan 7 langkah lebih maju lagi dari perkem- bangan teknologi itu sendiri.

O L E H R I Z K Y I C H R A M S Y A H

PHOTOS COUR

TESY OF L

TEKNO

Semenjak munculnya era digital pada fotograi, makin banyak orang yang ber- kreasi dengan memanfaatkan kemudahan kamera digital. Kegiatan memotret pun menjadi relatif lebih mudah dilakukan oleh siapa saja, bahkan dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat telepon genggam untuk mengabadikan momen sehari-hari. Perkembangan teknologi smartphone dan tren jejaring sosial, membuat orang semak- in menyukai kegiatan memotret. Dengan berbagai software aplikasi yang disediakan oleh smartphone setiap orang berusaha menghasilkan foto dengan kualitas yang baik agar dapat di share pada jejaring so- sial. Saat ini semakin banyak orang yang mengandalkan smartphone sebagai kamera utama mereka.

Tren tersebut direspon oleh pabrikan den- gan berlomba-lomba menciptakan smart- phone dengan teknologi kamera yang maksimal. Salah satunya ialah teknologi Ul- trapixel yang diusung oleh pabrikan smart- phone HTC.

Seperti apa teknologi Ultrapixel?

Hasil foto yang terdapat pada layar smart- phone sebenarnya merupakan hasil pen- angkapan cahaya oleh sebuah alat yang dinamakan image sensor. Sebuah image sensor terdiri dari sejumlah photosite (pho- ton sensing site) yang berfungsi untung ‘menampung’ foton-foton cahaya dan men- gubahnya menjadi sinyal-sinyal listrik, untuk kemudian diproses dan disimpan sebagai data digital 0 dan 1. Satu bagian dari pho- tosite akan diterjemahkan kedalam satu bagian elemen gambar (picture element = pixel) dalam sebuah foto digital. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah gambar yang dihasilkan dari kamera 1 Meg- apixel tersusun dari 1 juta titik-titik pixel. Semakin tinggi Megapixel-nya, semakin banyak jumlah photosite yang dijejalkan kedalam image sensor.

TEKNOlOGI

Ultrapixel

Disaat kamera-kamera smartphone pada umumnya meninggikan Megapixel, pabri- kan smartphone HTC memperkenalkan teknologi dengan pendekatan baru yaitu Ultrapixel. Alih-alih memperbanyak jumlah pixel, teknologi Ultrapixel mencoba men- ingkatkan kualitas gambar dengan mem-

perbesar ukuran isik tiap pixel didalam image sensor.

Dalam dunia fotograi digital, sudah umum

dipahami bahwa semakin besar image sen- sor-nya, semakin baik kualitas foto yang di- hasilkan, dalam artian dari sisi gambar mau- pun warna yang ditangkap.

Seperti telah dijelaskan sedikit diatas, kon- sep dasar dari teknologi Ultrapixel yang diperkenalkan oleh HTC terletak pada im- age sensor-nya yang memiliki ukuran yang lebih luas pada tiap-tiap pixel-nya. Ukuran pixel disini merupakan ukuran isik ses- ungguhnya dari komponen photosite atau ‘penampung’ foton cahaya.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat per- bandingannya pada gambar berikut. Stan- dar kamera smartphone pada umumnya memiliki ukuran tiap pixel sebesar 1,1 mi- crometer x 1,1 micrometer atau seluas 1,21 micrometer persegi. Bandingkan dengan kamera Ultrapixel yang memiliki ukuran tiap pixel sebesar 2 micrometer x 2 micrometer, atau seluas 4 micrometer persegi.

Apa yang diharapkan dengan meningkat- kan luas tiap pixel pada teknologi Ultrapix- el? Secara sederhana dapat diibaratkan, cahaya yang ditangkap kamera sebagai ‘hujan’ foton dan pixel pada image sensor adalah sebuah ‘ember’. Tentu saja ‘ember’ dengan ukuran besar mampu menampung ‘air hujan’ lebih banyak dalam kurun wak- tu yang sama. Dalam kamera, ini berarti informasi cahaya (warna, intensitas, dan sebagainya) dapat ditampung lebih banyak didalam satu pixel image sensor.

Penggunaan image sensor dengan permu- kaan pixel yang jauh lebih luas, diklaim HTC mampu meningkatkan kualitas gambar, ka- rena dapat menerima 300% cahaya lebih banyak dibanding sensor kamera standar yang terdapat dalam telepon genggam pada umumnya. Hasilnya, dapat memberi-

kan kontribusi signiikan pada gambar yang

lebih kaya warna maupun lebih baik dalam merekam objek dengan kondisi penca- hayaan kurang (low light).

Kemampuan teknologi Ultrapixel ini sendiri memang masih belum lama teruji. Namun pendekatan baru dalam menghasilkan foto dengan kualitas gambar maksimal dengan menggunaan perangkat yang semakin ke- cil dan tipis seperti teknologi Ultrapixel ini dapat memberikan harapan untuk pengem- bangan teknologi kamera smartphone dimasa mendatang.

Dokumen terkait