• Tidak ada hasil yang ditemukan

img src=" images banners Aksi.0102_s.jpg" border="0" width="170" height="230" style="float: left;"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "img src=" images banners Aksi.0102_s.jpg" border="0" width="170" height="230" style="float: left;""

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Majalah AKSI | 2 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

VIDEO HOME SYSTEM

Jika anda bertanya tentang kepanjangan dari VHS

ILLUSTRA

(3)

Catatan Kecil Tentang Kizuna

// Oleh: Bawuk Respati

A Little Piece From Japan

// Oleh: Karin Sentosa

Kampus IKJ

// Oleh: Sischa Monalisa

Andini Januarty

Cemara Chrisalit

Alice Guy-Blaché

// Oleh: Bawuk Respati

Ariah

// Oleh: Orizon Astonia

Ziarah Gerhana

// Oleh: Orizon Astonia

Sischa Monalisa

Bunraku

// Oleh: Devina Sofiyanti

Karin Sentosa

Leontius Tito

LYTRO

// Oleh: Rizky Ichramsyah

Ultrapixel

// Oleh: Leontius Tito

Jalan-Jalan ke Gunung Kidul

// Oleh: Supriyanta

Kemacetan Jakarta

// Oleh: Febi Nandia Anisa

Tokoh FFTV

// Oleh: Devina Sofiyanti

Kenduri Seni

// Oleh: Rini Dwi Artini

Salam dari Sendal IKJ

Kritik Seni

// Oleh: German G Mintapradja

Kajian ?

// Oleh: Fira Budiman

Kembalinya

Four Horsemen

// Oleh: Rifqi Pramesworo

IKAFI

In Memoriam IKJ “Lama”

// Oleh: Arda Muhlisiun

Comic Strip

// Oleh: Shela HP, Badrus Zeman

Edisi 1 No.2

2013

9

12

14

22

30

37

40

44

45

46

52

60

62

65

67

69

71

74

76

79

KAMPUS BARU

Ini kampus IKJ di Matraman, bukan Yayasan, maupun Sd

SENDAL IKJ

Senangnya, seperti lulus Mata Seni

DEMI METALLICA

(4)

Majalah AKSI | 4 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Penasihat Umum RB. Armantono Penasihat Teknis Ki. Hartanto Sam Sarumpaet Bambang Supriadi Pemimpin Redaksi German G. Mintapradja Wakil Pemimpin Redaksi Arda Muhlisiun

Sekretaris Redaksi Bawuk Respati Sischa Monalisa Reporter Andrie Sasono

Devina Soiyanti

Karin Sentosa Leontius Tito Orizon Astonia

Raphael Wregas Bhanutedja Rini Dwi Artini

Rizky Ichramsyah Kolumnis Fira Budiman

Koordinator Fotograi

Asaf Kharisma Putra Utama Fotografer

Fransisca Engeline

Desain Grais

Anies Wildani Ilustrator Shela HP Ratna Muthya Editor M. Ariansah

Tungga Buana Dharma Divisi E-Publication

Agni Putri Raraswulan

Majalah AKSI diterbitkan oleh Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Majalah ini bertujuan untuk membangun semangat seluruh anggota Fakultas Film dan Televisi dalam dunia menulis, serta menjadi sarana komunikasi, tidak hanya dalam Fakultas Film dan Televisi sendiri,

tapi juga dengan dua fakultas lain, Fakultas Seni Rupa dan Fakultas Seni Pertunjukan AKSI 1979

(5)

SELAMAT PAGI TEMAN AKSI

Assalamu’alaikum Wr, Wb.

Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua pembaca setia majalah AKSI, utamanya sivitas akademika Fakultas Film dan Televisi - Institut Kesenian Jakarta.

Sejujurnya pada edisi perdana, edisi 1, No. 1, 2013, kami menemukan beberapa kesalahan tata letak dan aturan penulisan yang tidak sesuai dengan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) serta Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hal ini berdampak pada kalimat menjadi bermakna ganda, bahkan bermakna lain atau tidak sesuai dari apa yang dimaksud penulisnya. Untuk itu kami, Pemred dan seluruh redaksi majalah AKSI, memohon maaf yang sebe-sar-besarnya. Ke depan kami akan lebih teliti dalam tata letak dan aturan penulisan dengan mengacu pada pedoman EYD dan KBBI.

Sebagai mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta –yang notabene generasi penerus yang

berke-cimpung di dunia perilman– adalah wajib hukumnya membaca dan menulis ilm. Karena dengan membaca dan menulis ilm kita akan lebih mengenal, mengetahui dan memahami ilm.

Film adalah anugrah seni tinggi dan seni terbesar yang pernah dimiliki oleh umat manusia. Sebagai seni termuda di antara seni murni dan seni-seni lainnya yang terlebih dahulu lahir dan tercipta sekaligus sebagai fenomena maha karya cipta adi luhung dari sejarah umat manusia.

Sebagai seni pandang-dengar, ilm juga sudah beradaptasi melewati beberapa dekade kurun waktu. Sejak kelahi -rannya pada Era Analog lalu ber-trans-morphosis ke Era Digital dan setelah berkutat panjang lebar pada Era

Digi-tal Migran serta seiring jalannya perubahan-perubahan yang semakin signiikan pada unsur-unsur seni lainnya juga pengayaan yang terus menerus, maka ilm bukan lagi sekedar hiburan massa (seni populer –Kitsch), namun menjadi perwujudan Seni Tinggi (avant-garde –istilah yang digunakan oleh Clement Greenberg)

Bersyukur kita akan semua hal itu, terima kasih pada teknologi, penciptaan- penciptaan yang luar biasa serta kemu-dahan dalam segala hal pada Era Digital. Tetapi jangan sampai kita dibutakan oleh hal itu semata dan menjadikan kita hanya sebatas pengguna.

Ke depan free market sudah akan terlaksana, senang atau tidak senang kita harus menjalaninya. Oleh karena itu, kini saatnya untuk kembali berAKSI dan menuliskan kembali semua hal dengan kreatif.

Selamat membaca dan selamat menulis, salam AKSI.

Wassalam,

German G.Mintapradja Pemimpin Redaksi

German G. Mintapradja, lelaki yang tidak asing lagi di kalangan insan perilman dan

akrab disapa Pak Haji dari Bekasi, dikenal sebagai pribadi yang mempunyai segudang pengalaman dan prestasi baik nasional maupun internasional. Ia dikenal sebagai Pembuat Dokumenter di: BBC-NHU (Natural History Unit), BBC-Fast Track, Discovery Channel dan Nat Geo Television. Sebagai Cameraman News as Video Journalist (VJ) di CNN (Cable News Network); ESPN (Entertainment and Sport Programming Network); EBU (European Broadcasting Union); APTN (Associate Press Television). Prestasi yang diraih antara lain: Best Cameraman, judul ilm “Mencari Pelangi”; Oscar Nominated for foreign ilm – judul

ilm “Ca Bau Kan”; Best Documentary Film For National Geographic in Brazil International Film FestivalIndonesian Beyond The Reefas Cameraman; Best Documentary Film in Pyong Yang–Seoul, South Korea “Ngu Yen Face The Future” as Director and Cameraman;

(6)

Majalah AKSI | 6 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PROFIL

KONTRIBUTOR

Rini Dwi Artini

Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Produksi. Karin Sentosa

Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Penyutradaraan. Ia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti student exchange JENESYS 2.0 Batch 2 yang diadakan dari tanggal 25 Mei 2013 sampai 2 Juni 2012 oleh pemerintah Jepang. Pengalamannya di Jepang adalah pen-galaman yang takkan terlupakan dan ia siap berbagi penpen-galamannya untuk membangun Indonesia. (karinaire@gmail.com) (@karinaire)

Bawuk Respati

Mahasiswi FFTV-IKJ 2011, mayor Kajian Sinema. Suka semua hal yang berhubungan den-gan Frankenstein, Fred Astaire dan Ginger Rogers, dan Old Hollywood. Akhir Juni 2013 lalu, berpartisipasi dalam JENESYS 2.0 Batch 3 dan jalan-jalan di Jepang selama seminggu.

Devina Soiyanti

Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Penulisan Skenario.

Sischa Monalisa

Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Produksi.

Andini Januarty - Reporter baru, selamat datang !

Mahasiswi peminatan Editing FFTV-IKJ 2010 yang gemar mencoba hal baru. Keinginannya saat ini ialah "belajar menikmati hidup".

Cemara Chrisalit - Reporter baru, selamat datang !

(7)

Rizky Ichramsyah

Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Kamera. Orizon Astonia

Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Penyutradaraan.

Leontius Tito

Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Kamera.

Fira Budiman

Mahasiswi FFTV-IKJ 2011, mayor Kajian Sinema.

Suprianta

Kontributor Fotograi.

Febi Nandia Anisa

Kontributor Fotograi.

(8)

Majalah AKSI | 8 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Don't get left behind!! Theory isn't enough to survive in today's technologically run industry. From CG animation to Audio Mixing, Digital Video Broadcasting to Motion Capture and Virtual Production, EVERYTHING from Pre to post production!

Join the exhibition and you will meet ilmmaker like yourselves. Producers, distributors,

production and animation houses from Europe, USA, Korea, China, India, Philippines and Singapore!

Do not miss out on this golDen

opportunity to be a part of this

rewarDing traDe experience!

be part of asia’s most integrateD

broaDcasting, Digital multimeDia

anD entertainment event!

tripDuration: 4 Days, 3 nights

totalapproximatecost: rp. 4.000.000,-theamountabovealreaDyincluDes:

- two-wayflightticket (+ airporttax) - loDging

- mrt carD

[make a plan to save atleast rp. 500.000/

month or 15.000/Day. keepin minD that the experiencewillbeworthit.]

formoreinformationemail: mas german

german

_

freelancer

@

yahoo

.

com

organizing committee

aksi

.

redaksi

@

gmail

.

com

(9)

Di sebuah Sabtu di bulan Juni lalu, tiga puluh enam mahasiswa terpilih dari se-antero Indonesia berkumpul di Gedung Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Mereka terlihat gugup dan excited. Kebanyakan dari mereka belum mengenal satu sama lain, namun mereka tidak sungkan untuk mulai bertukar kata-kata kecil satu dengan yang lain, berusaha mengakrabkan diri dengan sekitarnya. Malam itu, mereka akan berangkat ke negeri matahari dan memulai program JENESYS 2.0, yaitu sebuah youth exchange programme yang mengundang sejumlah mahasiswa dari seluruh penjuru ASEAN untuk berkunjung ke Jepang se-lama seminggu. Malam itu, mereka akan memasuki sebuah petualangan yang tidak terlupakan. Malam itu, saya adalah salah satu diantara mereka.

program tersebut.

Seperti batch sebelumnya, seluruh peserta dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yai-tu: Kelompok Sains, Kelompok Ilmu Sosial, dan Kelompok Seni dan Budaya. Lalu, ket-iga kelompok besar ini dibagi kembali ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan prefektur yang akan dikunjungi. Kelompok Seni dan Budaya sendiri dibagi menjadi empat kelompok—dua akan mengunjungi Kyoto dan sisanya akan mengunjungi Nara. Tentunya, sebagai mahasiswa perwakilan dari IKJ, saya berada dalam Kelompok Seni dan Budaya dan akan mengunjungi prefek-tur Nara, bersama grup Nara H.

Sebelum berangkat ke Nara, seluruh pe-serta menghabiskan sehari dan semalam di ibu kota Tokyo. Jauh sebelum berang-kat ke Jepang, saya sudah membayang-*Didedikasikan untuk grup Nara H,

from your Indonesian friend, B

22 Juni 2013, pukul 21.55 WIB, sebuah mesin terbang modern lepas landas dan melayang ke utara. Di dalamnya, kami, pe-serta JENESYS 2.0 Batch 3 dari Indonesia, berusaha mempersiapkan diri untuk men-yambut Jepang di tengah rasa gugup dan excitement. Sekitar delapan jam kemudi-an, ditemani rasa lelah karena kurang tidur, kami malah disambut duluan oleh pagi per-tama kami di tanah Jepang.

Kami memang bukan sekelompok orang Indonesia pertama yang menjejakkan kaki di Jepang, maupun sekelompok mahasis-wa pertama yang diundang untuk mengi-kuti program JENESYS 2.0 itu. Sudah ada dua batch sebelum kami yang, jika ceritan-ya bisa dipercaceritan-ya, mendapatkan pengala-man yang sangat tidak terlupakan selama berada di Jepang. Tentu saja, kami semua sangat tidak sabar untuk segera memulai

(10)

Majalah AKSI | 10 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

kan bagaimana rasanya memandang To-kyo. Sebagai ibu kota, bisa dibilang Tokyo adalah ikon Jepang yang paling terkenal. Meskipun begitu, pengetahuan saya men-genai Tokyo masih cukup minim dan saya sungguh penasaran mengenai apa saja yang bisa saya temukan di sana. Maklum, pengetahuan saya mengenai Jepang masih sebatas menonton anime dan membaca manga semasa kecil dulu. Lucunya, berada di Tokyo tidak begitu terasa seperti bera-da di tempat yang baru pertama kali saya kunjungi. Lewat tempat duduk dekat jen-dela di dalam bis, saya mengamati Tokyo dan merasa seperti sudah pernah berada di situ sebelumnya. Ada semacam sense of familiarity yang saya rasakan selama berada di Tokyo. Sebagai sebuah kota metropoli-tan, suasana hingar-bingarnya sebenarnya tidak jauh seperti apa yang saya hadapi se-hari-hari di Jakarta. Hanya saja, Tokyo jauh lebih bersih, lebih rapi, dan yang paling membuat berbeda, tidak berpolusi. Kebet-ulan, saat itu sedang awal musim panas, jadi pada siang hari, Tokyo bisa terasa sangat panas, namun karena tidak banyak meng-hirup asap kendaraan, saya tidak begitu terganggu.

Tokyo baru terasa berbeda di malam hari, apalagi di daerah Shibuya yang saya kun-jungi dengan beberapa peserta lain. Begi-tu banyak orang yang berlalu-lalang, entah baru pulang sekolah, kerja, atau memang hanya sedang berusaha bersenang-senang seperti kami para turis. Right there, Tokyo

was alive. Begitu pula dengan persahabat-an dipersahabat-antara peserta JENESYS 2.0. Hampir seluruh peserta pergi keluar untuk mengek-splorasi Tokyo malam itu dan hal ini menja-di titik awal dari ikatan kuat menja-diantara kami. Turis-turis muda asal sepuluh negara ASE-AN tersebut berbondong-bondong beru-saha memanfaatkan satu malam di Tokyo sebaik-baiknya. Hampir semuanya kembali ke hotel dengan cerita-cerita seru menge-nai pengalaman Tokyo mereka, meskipun malam sudah cukup larut.

Keesokan harinya, petualangan baru dimu-lai. Kelompok Seni dan Budaya berangkat ke Kyoto dengan menggunakan kereta Shinkansen. Ini sungguh pengalaman berk-ereta yang tidak terlupakan. Shinkansen adalah salah satu bukti seberapa jauh Jepang telah berkembang dalam ranah te-knologi. Perjalanan ke Kyoto itu merupakan perjalanan kereta paling nyaman yang per-nah saya alami. Lalu sesampainya di tujuan,

dua grup tinggal di Kyoto, sementara dua yang lain melanjutkan perjalanan ke Nara. Nara sungguh jauh berbeda dari Tokyo yang bising. Lebih sepi, lebih damai. Kegi-rangan para peserta seakan menyesuaikan diri dengan lokasi baru yang kami kunjungi dan menjadi sedikit lebih tenang. Saat itu, banyak diantara kami sudah menemukan teman-teman yang klop. Perjalanan sudah tidak terasa seperti sesuatu yang asing, melainkan sebuah petualangan bersama sahabat-sahabat baru. Sesampainya di Nara, kami langsung disambut hangat oleh pemerintah setempat dan langsung diajak berkeliling di sekitar Nara City. Kami akan menghabiskan sekitar empat hari di bagian Jepang yang satu ini. Saya kira kami semua sangat menyukai sambutan Nara pada sore hari itu.

Aktivitas kami selama di Nara kebanyakan adalah berkunjung ke beberapa kuil dan tempat wisata lain. Secara keseluruhan,

JENESYS REPORT

KUIL GANGO-JI, NARA

SEMALAM DI SHIBUYA, TOKYO

PHOTOS COUR

(11)

kami mengunjungi empat kuil, yaitu Gan-go-Ji Temple, Hotokuji Temple, dan Todaiji Temple, yang merupakan kuil Buddha, serta Kasuga Taisha Shrine—sebuah kuil agama Shinto. Setiap kuil menyimpan pesona dan rahasianya masing-masing, namun semuan-ya punsemuan-ya satu hal semuan-yang sama. Kuil-kuil ini adalah bukti betapa seriusnya Jepang dan penduduknya dalam melestarikan hal-hal yang bersifat tradisional dan turun-te-murun. Merupakan kontras yang menarik jika kita membandingkan kereta Shinkansen dengan kuil-kuil ini. Dua hal yang berasal dari dua spektrum waktu yang berbeda, namun keduanya masih dapat ditemukan di Jepang saat ini juga. Dan keduanya sa-ma-sama merupakan hal yang membuat Jepang menarik.

Selain kegembiraan yang berasal dari kunjungan kesana kemari di sekitar Nara, sebuah kesenangan lain pun terasa sangat kental diantara para peserta, khususnya di grup yang saya anggotai, Nara H. Persa-habatan yang awalnya ditanam saat sehari dan semalam di Tokyo telah tumbuh menja-di lebih kuat menja-diantara kami. Seiring berjalan-nya waktu kami di Nara, grup ini semakin terasa seperti sebuah keluarga. Saya masih takjub mengenai bagaimana tiga puluh orang dari sepuluh negara berbeda bisa kenal dan akrab begitu cepat, hanya dalam waktu yang singkat. Kami begitu menikmati kegiatan-kegiatan yang mengharuskan kami

menghabiskan waktu bersama dan berd-iskusi. Lucunya, kegiatan yang paling kami senangi bukanlah program yang direncana-kan dari pihak penyelenggara. Kami punya rutinitas sendiri, yaitu saling bertukar peng-etahuan mengenai bagaimana mengatakan

beberapa ekspresi, seperti “I love you”

dalam berbagai bahasa yang digunakan di ASEAN. Setiap hari, kami berlatih menga-takan frase sederhana dalam bahasa Indo-nesia, Melayu, Tagalog, Thailand, Kamboja, dan lain-lain. Di luar susunan kegiatan yang resmi, kami seperti membuat klub bahasa kecil-kecilan dan impromptu setiap hari. Hal ini seperti menyiratkan bahwa kami pun-ya keinginan untuk dapat memahami satu sama lain dengan lebih baik.

Selama satu minggu lamanya saya mengha-biskan waktu bersama orang-orang di grup Nara H ini dan dalam waktu sesingkat itu, mereka menjadi teman yang sangat akrab. Setiap malam, kami tidak banyak pergi kel-uar dan mengeksplor Nara lebih jauh, tapi kami sering berkumpul di salah satu kamar hotel dan mengobrol, bergosip, ngemil, dan saling mencoba baju adat dari setiap negara. Mungkin bagi orang lain, kami terli-hat konyol karena sudah berada di Jepang, tapi malah diam di kamar hotel. Tapi bagi kami, kebersamaan dan obrolan lepas di se-tiap malam itu adalah apa yang paling kami nikmati dari perjalanan ini. Kami memang cukup beruntung untuk dapat melakukan

semua ini di Jepang.

Saking akrabnya grup Nara H, koordinator grup kami, Yuki-san, memberikan sebuah label kepada kami: Kizuna. Katanya, kata ini dalam bahasa Jepang berarti ‘bond’ atau ‘ikatan’. Saat diberi tahu tentang kata itu, kami semua langsung tersenyum. We love that word. Menurut kami, kata itu benar-be-nar pas untuk mendeskripsikan kami. Memang masih banyak pengalaman saya selama di Jepang yang mungkin bisa saya ceritakan, namun orang-orang yang saya temui ini—teman-teman baru saya ini— adalah hal yang paling berkesan dari parti-sipasi saya dalam JENESYS 2.0. Program ini sendiri memiliki tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengertian antar bangsa di ASEAN dalam menyambut AEC (ASE-AN Economic Community). Menurut saya, kami, anggota grup Nara H, mencapai tu-juan itu. Lewat waktu yang kami habiskan bersama, kami merasakan adanya kedeka-tan yang semakin erat diantara kami, tiga puluh pemuda dari sepuluh negara ASEAN. Ya, mungkin memang apa yang kami pun-ya masih terlampau personal untuk disand-ingkan dengan tujuan asli dari program ini sebagai sebuah gambaran yang besar. Tapi, apa salahnya memulai hubungan baik an-tarnegara lewat sesuatu yang personal? SEBUAH TOKO IKAN DI KONYA

STREET, YAMATOKORIYAMA

(12)

Majalah AKSI | 12 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

(13)

Pertengahan musim semi dan panas tahun 2013, saya bersama 30 teman dari Indone-sia tiba di Bandara Tokyo Narita. Angin sejuk menyambut kami semua. Jepang, akhirnya kami tiba. Kami menantikan pen-galaman menarik selama 8 hari kedepan. Pertama kami dikumpulkan bersama seluruh peserta JENESYS 2.0 Batch 2 dari seluruh negara di ASEAN dan dibagi kelompok. Kami diberi pengetahuan dasar tentang Jepang. Panitia bahkan tidak lupa untuk memberi kami bekal bagaimana cara menghadapi gempa bumi karena tingkat kemungkinan gempa di Jepang memang tinggi. Langkah-langkah menghadapi gem-pa di Jegem-pang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, hanya saja jika seseorang bera-da di bera-dalam gedung atau rumah, lebih baik orang tersebut tetap berlindung di dalam rumah. Masyarakat Jepang percaya dengan kualitas bangunan yang mereka bangun da-lam hal berhadapan dengan gempa. Hari berikutnya kami pergi dengan bus menuju Tokyo. Masuk ke kota Tokyo, serasa seperti ke peradaban yang jauh berbeda. Gedung-gedung pencakar langit berhimpi-tan satu sama lain. Hampir tidak disisakan ruang untuk berjalan. Begitu banyak ge-dung sampai rasanya tidak bisa dihitung. Disinilah kami melihat Jepang yang kami harapkan ketika masih masih berada di ne-gara masing-masing. Pejalan kaki sibuk la-lu-lalang dengan kecepatan luar biasa dan mengenakan baju rapih, kalau tidak hitam, putih, ya abu-abu. Segalanya bersih, rapi, dan teratur. Kami pun dikenalkan dengan program AEC (Asean Economic Commu-nity) yang adalah program kerjasama antar ASEAN melalui perdagangan bebas. Ker-jasama ini tidak akan bisa terjalin sempur-na jika tidak ada ikatan dan kesadaran dari negara-negara ASEAN. Maka kami generasi muda ASEAN diharapkan dapat membawa negara-negara ASEAN lebih maju.

Jika bicara tentang teknologi, Jepang terk-enal dengan Shinkansennya. Kereta super cepat yang lebih nyaman ketimbang pe-sawat terbang dengan rekor kecepatan maksimum 320 km/jam. Perjalanan dari To-kyo ke Kyoto hanya memakan waktu 2 jam. Selama perjalanan kami di perlihatkan den-gan pemandanden-gan pemukiman di Jepang, perkebunan, dan juga Gunung Fuji. Per-jalanan yang kami lalui ini seperti memutar balik sejarah. Dari Tokyo, ibu kota Jepang sekarang ke Kyoto, ibu kota Jepang sebe-lum Kyoto, lalu ke Nara, ibu kota pertama Jepang. Suasana di Nara jauh berbeda

den-gan di Tokyo. Nara masih memiliki keaslian-nya sebagai ibu kota tua di Jepang. Ada banyak temple dan shrine, rumah-rumah bergaya kuno, dan banyak unsur budaya Jepang lainnya yang masih terlihat. Jika di Tokyo saya hanya melihat eksekutif muda, di Nara saya melihat anak-anak SD sedang bertamasya di Nara.

Nara sangat terkenal dengan rusa. Banyak rusa-rusa liar yang sudah jinak berkumpul didepan temple atau di taman-taman ter-buka. Melihat rusa-rusa ini mengingatkan saya dengan Istana Negara di Bogor yang memiliki banyak rusa juga. Di Jepang, kita juga bisa membeli makanan rusa jika ingin memberi makan rusa. Perlu diingat bahwa di Jepang sangat bersih dan teratur. Mungkin saya bisa menghabiskan satu lem-bar sendiri untuk membahas keramahan orang-orang di Nara ini. Ketika kami sam-pai di Nara Prefectural Government kami disambut oleh mereka. Mereka melam-bai-lambaikan bendera-bendera kecil dari masing-masing negara di ASEAN sambil menyambut kami, membuat kami seperti memasuki sebuah amusement park. Kami mengunjungi temple buddha terbe-sar, Todai-ji sampai ke sebuah temple kecil penuh bunga, Hanniya-ji. Di Hanniya-ji ini saya mendapat sebuah pengalaman priba-di, karena kami dapat berbincang langsung dengan monk disana. Monk di Jepang berbeda dengan di negara lain, mereka dapat menikah dan memiliki anak, seper-ti keluarga Kudo di Hanniya-ji. Kudo-San

menjelaskan kepada kami mengapa banyak sekali bunga di Hanniya-ji. Mereka mem-persembahkan tiga hal untuk Buddha yaitu

lowers, fragnance, dan food. Mereka mem -buat wewangian, karangan bunga, ataupun makanan setiap harinya. Di dalam temple kecil ini juga ada sebuah monumen kecil dengan api yang terus menyala 24/7. Api ini berasal dari api bom atom di Hiroshima. Kudo-San mengatakan bahwa api ini akan terus menyala sampai semua radiasi di dun-ia tidak ada lagi.

Satu lagi tempat yang kami kunjungi, yaitu Doshisha University, salah satu universitas terbaik di Jepang. Kampus Doshisha san-gat berbeda dengan Kampus IKJ yang kita miliki sekarang (walaupun sekarang sedang direnovasi). Kampus Doshisha sangat besar, indah, dan fasilitasnya lengkap. Mengakses ilmu menjadi kegiatan yang menyenangkan jika semua fasilitas sudah disiapkan. Seo-rang teman baru saya yang menjalani studi hukum di Doshisha, Minamoto-San men-gatakan bahwa kami pelajar dari ASEAN adalah orang-orang yang sangat bahagia karena kami selalu tersenyum dan ramah kepada orang, termasuk orang yang baru dikenal. Saya menjawab, mungkin memang itu budaya di Asia, karena dia pun selalu tersenyum. Baik di Asia maupun di ASE-AN keragaman budaya menjadi hal yang unik dari masing-masing daerah, tetapi bagaimana kita belajar budaya satu sama lain dan tetap membuka pikiran menerima setiap keberagaman yang akan membuat ASEAN lebih maju.

JENESYS REPORT

(14)

Majalah AKSI | 14 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COUR

(15)
(16)

Majalah AKSI | 16 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

BLONDE REDHEAD

Rak lightning.

IKJ atau Institut kesenian Jakarta meru

-pakan pusat pendidikan seni terkemuka di indonesia, yang didirikan oleh mantan Gubernur DKI Ali Sadikin pada tahun 1970. Selama hampir empat dekade IKJ berada di daerah Strategis, Cikini Jakarta Pusat. Namun pembangunan gedung baru IKJ menyebabkan 3 fakultas didalamnya, yak-ni; FFTV ( Fakultas Film & Televisi ), FSR ( Fakultas Seni Rupa ), dan FSP ( Fakultas Seni Pertunjukan ) menjadi terpisah-pisah. Mahasiswa baru seni rupa angkatan 2013 berada di Matraman, sementara fakultas seni rupa tetap berada di TIM. Fakultas seni pertunjukan berada di sekitar Pasar Baru dan Fakultas Film & Televisi berada di Ce-mpaka Putih bergabung dengan Kampus Akademi Pariwisata Jakarta.

Selama sekitar satu tahun ke depan, para mahasiswa dan mahasiswi FFTV akan mel-akukan perkuliahan di Cempaka Putih. Fakultas FFTV sendiri terpencar di tiga tem-pat, sebagian masih berada di TIM untuk para Dekan, Wadek dan Rektorat IKJ. Se-mentara itu, untuk bagian peralatan lampu dan studio berada di PSKD dan juga seba-gian perkuliahan yang harus menggunakan komputer dilaksanakan di gedung PSKD yang terletak di Kalipasir, Cikini Jakarta pusat. Dan untuk bagian akademik serta perkuliahan terletak di Cempaka putih. Keadaan kampus FFTV yang terpisah-pi-sah seperti itu, bagi sebagian mahasiswa terutama mahasiswa baru sedikit mengala-mi kesulitan jika harus berpindah-pindah tempat. Karena mereka belum mengetahui di mana letak PSKD. Kesulitan lain yang dialami mahasiswa adalah saat mata kuli-ah pertama berada di Cempaka Putih, lalu

jam mata kuliah kedua berada di Cikini dan mata kuliah ketiga kembali berada di Cem-paka Putih. Hal ini cukup membuat mahasis-wa kerepotan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Bukan hanya masalah tempat perkuliahan yang berpindah-pindah, namun juga bagi maha-siswa yang akan melakukan shooting serta akan menggunakan alat dari kampus har-us meminjam alat ke PSKD, dan jika ingin membuat surat yang membutuhkan tanda tangan Dekan maupun Wakil Dekan harus berjalan menuju TIM. Selain itu kampus IKJ yang terpencar-pencar menyebabkan ma-hasiswa baru FFTV dengan FSR dan FSP menjadi tidak dekat dan saling kenal. Selama perpindahan FFTV ke Cempaka Putih telah terjadi perubahan jam perkulia-han yang dimulai lebih lama dari biasanya dibandingkan saat kampus masih berada di lingkungan TIM. Jika sebelumnya jam perkuliahan pagi dimulai pada jam 08.00, maka semenjak kampus berpindah di Ce-mpaka Putih perkuliahan pagi hari dimulai pada jam 08.20. Hal ini sebagai bentuk pen-gertian kampus terhadap mahasiswanya, berdasarkan pendapat serta opini dari ma-hasiswa serta staf tetap maupun tidak tetap akademik tentang perpindahan gedung sementara di Cempaka Putih.

Sebagian besar mahasiswa merasa akses untuk menuju kampus yang berada di Ce-mpaka Putih lebih susah dan lebih lama dibandingkan saat kampus FFTV berada di TIM. Waktu yang dibutuhkan jadi lebih lama, sehingga beberapa mahasiswa yang sebelumnya pergi dari rumah ke kampus lebih memilih untuk mencari kos di daer-ah sekitar kampus Cempaka Putih. Meski-pun untuk kos harus mengeluarkan biaya

tambahan, hal itu tidak menjadi masalah bagi mereka agar setiap hari terhindar dari kemacetan. Namun ada juga sebagian ma-hasiswa yang tetap bertahan dengan tetap pulang-pergi dari rumah ke kampus Cem-paka Putih karena jumlah mata kuliah yang sedikit. Sehingga mereka tidak setiap hari kuliah dan harus pergi ke kampus. Meski ada juga yang beralasan bahwa pilihann-ya untuk tidak kos atau pindah kos dekat kampus karena harga di sekitar kampus Cempaka Putih yang lumayan mahal bagi mahasiswa.

Selain masalah jarak, fasilitas kampus yang kurang memadai selama FFTV pindah ke Cempaka Putih antara lain seperti tempat parkir yang tidak terlalu luas, mushola yang bergabung antara laki-laki dan perempuan, dan tidak adanya kantin di dalam kampus yang dapat menampung banyak mahasis-wa untuk makan siang. Sehingga ketika jam makan siang tiba kebanyakan mahasiswa akan lebih memilih untuk jalan keluar pus dan membeli makanan dari luar kam-pus. Meski hal ini masih dapat dimaklumi oleh mahasiswa, karena keadaan kampus yang sedang menumpang di kampus lain. Selain para mahasiswa, para staf akademik dan tata usaha ikut memberikan pendapat tentang perpindahan kampus ke Cempaka Putih. Giyarsih ( mbak Asih ) merupakan sa-lah satu staf akademik FFTV yang tinggal di VMS Pondok Jagung Serpong, di mana set-iap harinya pulang-pergi dari rumah menuju kampus menggunakan kendaraan umum. Ia mengatakan bahwa

“Tidak ada pengaruh dan perubahan yang besar selama kampus berada di Cempaka Putih. Hanya saja semenjak kampus berada

DYNAMIC DUO

Mbak Asih dan Mas Ari

PHOTOS COUR

(17)

di Cempaka Putih para staf mendapatkan dispensasi waktu masuk kerja menjadi pukul 08.30 yang sebelumnya pukul 08.00”.

Hal tersebut cukup membantu mbak Asih dan para staf lain yang rata-rata rumahnya jauh dari kampus di Cempaka Putih, serta merasa akses menuju kampus menjadi leb-ih lama. Bahkan terkadang untuk menge-jar waktu harus menggunakan kendaraan umum dan berhenti di depan jalan Rumah Sakit Islam, serta harus menggunakan ojek lagi untuk masuk ke dalam kampus untuk mengejar waktu agar tidak terlambat sam-pai di kampus. Karena sanksi yang didap-atkan jika staf datang terlambat sampai di kampus adalah uang transport mereka akan dipotong. Dan jika staf pada hari itu mem-bolos tidak masuk kantor tanpa ada pem-beritahuan sebelumnya, maka uang trans-portasi dan uang makan akan dipotong. Jika ingin izin untuk tidak masuk kantor karena ada urusan keluarga atau keperlu-an lain, maka staf harus membuat surat izin dari jauh-jauh hari yang nantinya akan ditu-jukan kepada Kasubag Umum, Kaur

Kepeg-awaian serta atasan langsung. Sedangkan bagi para staf yang tidak dapat masuk kerja karena sedang sakit, maka sebisa mungkin harus menunjukkan surat dokter.

Potongan tersebut sudah ada perhitungan-nya masing-masing, tergantung dari berapa jam staf terlambat. Sedangkan untuk trans-port sendiri, uang yang dikeluarkan selama kampus pindah jadi bertambah karena ak-ses yang semakin jauh. Lalu Selama kampus yang berpindah-pindah menjadi tiga tem-pat di TIM, PSKD dan Cempaka Putih, bagi para staf selama masih bisa saling berkomu-niksi tidak terlalu menjadi masalah dengan kondisi kampus yang seperti ini.

Salah satu staf tidak tetap akademik, Arie Guteng ( mas Arie ) mengatakan bahwa tidak ada perbedaan saat kampus ketika masih di TIM dengan di Cempaka Putih. Hanya saja dengan pindahnya kampus, mas Arie harus berpindah kos yang jarak-nya lebih dekat dari kampus. Di mana jam kerja mas Arie tetap dimulai pada pukul

08.00. Ia hanya kasihan pada nasib mahasis-wa yang menjadi kesulitan dengan kondisi kampus yang terpisah-pisah. Lalu karena perkuliahan FFTV yang tidak hanya terletak di Cempaka Putih, membuat mas Arie tidak bisa melayani dosen yang akan melakukan perkuliahan di PSKD, sehingga Rizky yang sebelumnya menjadi cleaning service seka-rang harus membantu di akademik untuk menyiapkan perkuliahan di PSKD.

Berbeda dengan keadaan kampus Cem-paka Putih yang cukup ramai, staf yang berada di PSKD merasa lebih sepi karena ruangannya yang berada di lantai 2 dan staf yang berada di sana juga sangat sedikit. berbeda dengan dulu saat semuanya masih bergabung

Sebagian besar mahasiswa, dan para staf berharap agar pembangunan gedung baru IKJ dari semua Fakultas segera selesai. Agar semua Fakultas dapat kembali berkumpul menjadi satu lagi, dan untuk FFTV yang sekarang terpisah di tiga tempat berbeda segera bersatu kembali.

SISCHA MONALISA

BLONDE REDHEAD

Anehnya lampu ini masih saja di simpan oleh pihak kampus

(18)

Majalah AKSI | 18 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COUR

TESY OF ANDINI JANUAR

(19)

KAMPUS IKJ

ANDINI JANUARTY

Siang itu, selasa 01 Oktober 2013 saya

dan rekan liputan TV IKJ, Ratna Muthya Hariyani berkunjung ke Gedung Santo An-tonius yang terletak di Jalan Matraman Raya nomor 119, Jakarta Timur, dimana Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (FSR IKJ) melaksanakan kegiatan perkuliahan semen-tara selama proses pembangunan gedung baru Kampus IKJ berlangsung. Proses pem-bangunan gedung baru ini mengharuskan tiga Fakultas IKJ, Fakultas Seni Rupa, Fakul-tas Seni Pertunjukan, dan FakulFakul-tas Film dan Televisi IKJ berpencar. Untuk menuju bagian gedung yang di gunakan FSR, kita menaiki tangga terlebih dahulu menuju lantai dua, lalu melewati koridor besar yang sekaligus menjadi kantin. Terdapat beberapa meja penjual makanan dan minuman berjajar rapi memanjang di tepi koridor. Beberapa ma-hasiswa tampak asik menggambar di pojok kantin sambil bercengkerama. Setelah me-lewati koridor kantin, kami berada di lorong dimana tampak jajaran ruangan yang digu-nakan untuk kegiatan perkuliahan. Suasana lorong ruangan sepi dan sunyi, karena saat itu mahasiswa sedang mengikuti perkulia-han diruangan kelas.

Berdasarkan informasi yang didapat dari Mas Irvan selaku wakil Staff Akademik yang bertugas di Matraman, ada sembilan ruan-gan yang digunakan FSR untuk kegiatan perkuliahan, tujuh ruangan untuk kelas ma-hasiswa, satu ruangan akademik yang men-yatu dengan ruang dosen, terakhir ruangan koperasi yang juga menjadi satu dengan Musholla. Sedangkan meja dan bangku ser-ta alat penunjang lainnya teser-tap di bawa dari FSR. Mahasiswa yang mengikuti perkulia-han disini perkulia-hanya mahasiswa baru, angkatan 2013. Sedangkan mahasiswa FSR angkatan diatasnya tetap berkuliah seperti biasa di

Kampus FSR di Taman Ismail Marzuki. “Ge -dung A dan ge-dung C FSR sedang dalam proses pembangunan, sedangkan gedung B belum mengalami proses pembangunan sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk melaksanakan perkuliahan. Dengan memis-ahkan angkatan baru dengan seniornya, ya bisa dikatakan plus minusnya itu pasti ada ya, anak-anak lebih fokus mengerjakan tu-gas disini, minusnya itu mungkin jadi kurang mengenal kakak kelas, tapi plusnya juga mereka jadi lebih konsen mengerjakan

tu-gas dan fokus mengikuti perkuliahan”, ujar

Mas Irvan.

Mas Irvan menambahkan, peluang mahasis-wa baru untuk mengenal Kampus dan para senior tetap ada. Karena terdapat mata kuliah umum, Etika Berbangsa dan

Berkese-nian juga Apresiasi KeseBerkese-nian yang diadakan di Kampus IKJ tiap hari kamis dan jum’at. Mata kuliah menggambar dasar juga mem-berikan kesempatan mahasiswa 2013 FSR untuk mengenal lingkungan kampus dan TIM melalui pembelajaran menggambar sketsa bangunan disekitar TIM pada ming-gu kemarin.

Menurut Natalie, mahasiswi FSR 2013, dip-isahkannya kegiatan perkuliahan mahasis-wa baru dengan senior sedikit berdampak dengan sulitnya berbaur dengan para

sen-iornya. “Fasilitas disini lumayan, tapi sua -sananya agak kurang, karena kalo di TIM kan lingkungannya lebih luas, jadi bisa lebih leluasa mencari objek menggambar yang

diinginkan”, jawabnya ketika ditanyakan

mengenai suasana pembelajaran di

Ma-traman. “Tapi interaksi sama senior masih

bisa diatasi kalo pas lagi gambar bareng

di Beringin sih”, tambah Natalie. Lain lagi

dengan Zakirah yang mengatakan tidak ada perbedaan jauh mengenai fasilitas dan

sara-na yang ada, “Fasilitasnya sama-sama esara-nak,

paling yang kurang mendukung musholah karena musolahnya gabung dengan koper-asi, dan ruangannya kecil, sedangkan yang

sholat lumayan”.

Dosen mata kuliah Anatomi, Ibu Dolorosa Sinaga mengatakan perpindahan sementa-ra ini tidak menjadi kendala dalam kegiatan

pembelajaran. “Ya ada perbedaan menga -jar disini dengan di TIM, bedanya atmosfer kampus tidak ada. Akan tetapi, sebagai

pengajar kami punya tanggung jawab untuk tetap menjalankan pengajaran pendidikan dimanapun itu. Mengenai fasilitas, justru ruangan yang ada disini lebih baik. Karena kami mempunyai kelas yang lebih kecil se-hingga tertata dengan baik seperti di SMA. Harus bisa dimengerti, Tapi ini kan semen-tara, jadi tidak menjadi masalah. Karena kualitas mengajar pendidik dan goal dari pendidik untuk pendidikan dasar di tahun pertama memang tidak boleh berkurang mesti kalian mesti diajar di bawah pohon, kami tetap harus commit untuk menga-jar dengan baik. Kita kayak tentara, kalo disuruh kesana, tetep kesana tapi keahlian

untuk menembak tidak berkurang,” ujar Ibu

Dolorosa Sinaga.

Usai berbincang dengan Ibu Dolorosa, kami mengelilingi sekitar ruangan kelas, sempat juga mengintip Pak Adjie, salah satu dosen FSR yang sedang mengajar mata kuliah menggambar anatomi. Ruang kelas tidak terlalu besar, diisi kurang lebih dua pulu-han mahasiswa ditiap kelasnya. Suasana tenang membuat kegiatan pembelajaran terasa nyaman. Walaupun ketiga Fakultas berpencar sementara, namun civitas akade-mika IKJ masih bisa berkumpul dengan adanya kegiatan-kegiatan yang diselengga-rakanan nantinya, sehingga bisa memupuk keakraban antar civitas akademika, seperti kegiatan Program Pengenalan Studi Akade-mik (PPSA) yang telah berlangsung di Ge-dung Kesenian Jakarta pada bulan septem-ber 2013.

KANTOR SEMENTARA

(20)

Majalah AKSI | 20 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COUR

(21)

Belum lama ini IKJ mengadakan peromba -kan besar-besaran pada kampusnya. Aki-batnya, ketiga fakultas harus berpisah untuk sementara waktu. Para penghuni kampus pun harus melakukan adaptasi di lingkun-gan baru.

Saya mendapatkan kesempatan untuk men-gunjungi kampus sementara Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) di Pasar Baru. Setelah menempuh perjalanan dari Cikini, tibalah saya di sana.

Dari luar, gedung itu terlihat begitu kecil. Itu adalah pertama kalinya saya mengunjun-gi kampus tersebut. Saya mengenali bah-wa itu adalah gedung kampus FSP karena ada spanduk bertuliskan Selamat Datang di Kampus Sementara FSP yang terpasang di dekat situ. Saya segera masuk dan melaku-kan tur kecil.

Interior gedung tersebut cukup luas. Kam-pus FSP terdiri dari tiga lantai. Semua lantai memiliki ruangan-ruangan kecil yang digu-nakan sebagai ruang kelas. Sementara itu, ruang kantor dan keperluan administrasi terletak di lantai dua.

Hampir seluruh ruangan kelas diguna-kan untuk program studi musik karena memang sebagian besar mata kuliahnya adalah praktek dengan instrumen. Maka, otomatis mereka membutuhkan ruangan masing-masing. Sementara itu, kegiatan perkuliahan program studi teater dan tari lebih banyak berlangsung di teater halaman TIM karena tidak banyak menggunakan per-alatan. Untuk mata kuliah teori seperti Etika Berbangsa dan Bernegara dan pendidikan agama diadakan di gedung auditorium pas-casarjana IKJ. Akan tetapi tidak hanya mata kuliah praktek saja yang berlangsung di

Pasar Baru. Di sana juga diadakan perkulia-han untuk etnomusikologi dan antropologi tari.

Baik mahasiswa, karyawan, maupun dosen tentu harus beradaptasi selama beberapa bulan sampai renovasi di Cikini rampung. Dan setelah satu bulan di Pasar Baru, mere-ka mulai memiliki kesan tersendiri terhadap gedung yang mereka tempati.

Ada beberapa kendala yang dihadapi se-lama kegiatan perkuliahan berlangsung. Kendala utama yang dihadapi adalah daya listrik yang sering mati. Hal itu tentu sangat mengganggu kenyamanan semua orang dan menghambat kegiatan administrasi. Kendala kedua adalah kapasitas gedung yang terlampau kecil. Berdasarkan informa-si dari Pak Damar, sekretaris Prodi muinforma-sik, daya tampung dari tiap kelas hanya sekitar duapuluh orang. Akibatnya, petinggi fakul-tas sepakat untuk menunda mata kuliah umum seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sementara untuk mata kuliah lain yang kapasitasnya lebih dari duapuluh orang disediakan sebuah ruang serbaguna, yang sebetulnya merupakan sebuah lorong gedung. Kapasitasnya pun sebetulnya tidak terlalu besar.

Kendala ketiga adalah tempat parkir. Kam-pus FSP berada di deretan komplek per-tokoan dan terletak di pinggir jalan raya, sehingga alhasil lahan parkir yang ter-sedia tidak memadai. Pengunjung yang mengendarai mobil tentu akan kesulitan mendapatkan tempat parkir.

Naomi, mahasiswi musik angkatan 2013, juga memberikan testimoninya terhadap kampus tersebut. Sejauh ini ia merasa tidak

ada masalah selama kuliah di Pasar Baru. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kiky yang juga merupakan mahasiswa musik an-gkatan 2013. Yang menjadi permasalahan adalah silaturahmi antar fakultas menja-di sulit. Baik Naomi maupun Kiky berkata bahwa mereka belum sempat berkenalan lebih jauh dengan mahasiswa-mahasiswi dari fakultas lain sejak Program Pengenalan Studi Kampus di Gedung Kesenian Jakarta September lalu.

Ketika saya berkeliling, sayup-sayup ter-dengar suara musik dari dalam ruangan-ru-angan kelas. Di salah satu ruang kelas yang kosong, hanya ada satu orang yang sedang memeriksa peralatan musik. Sementara itu di lorong-lorong terdapat kardus-kar-dus yang belum sempat dibereskan. Ada sebuah ruang kosong yang dimanfaatkan sebagai kantin sekaligus sekadar sebagai tempat bersantai para penghuni kampus. Selama kunjungan saya di kampus Pasar Baru, saya melihat bahwa kegiatan perkuli-ahan berlangsung seperti biasanya. Hal ini membuktikan bahwa lingkungan baru dan gedung baru yang memiliki banyak kendala tidak memutuskan semangat belajar para mahasiswa. Namun, Pak Damar berharap bahwa proses renovasi kampus di Ciki-ni dapat selesai tepat waktu. Beliau juga mengharapkan adanya penambahan fasili-tas yang lebih baik di gedung kampus baru nantinya.

Saya sendiri juga berharap bahwa renovasi dapat selesai secepatnya agar para maha-siswa dari ketiga fakultas dapat saling ber-kumpul dan mengenal satu sama lain.

KAMPUS IKJ

JAMMING

Tempat baru tidak menjadi masalah untuk berlatih

(22)

Majalah AKSI | 22 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

ALICE GUY-BLACHÉ

Filmmaker wanita pertama di dunia

PHOTOS COUR

TESY OF P

(23)

ALICE GUY-BLACHÉ:

THE WOMAN YOU

SHOULD KNOW ABOUT

Oleh: Bawuk Respati

ika kita mempelajari sejarah sinema, maka nama-nama seperti Lumiére Bersaudara dan Georg-es Meliés tidak akan terdengar asing. Bahkan mungkin, sebagian dari kita mengenal

nama-na-ma tersebut dari film garapan sutradara Martin Scorsese yang berjudul Hugo. Bagaimanapun

juga, kita mengenal nama-nama tersebut sebagai pionir dalam dunia perfilman. Lumiére Bersau

-dara dikenal sebagai salah satu pihak pertama yang menemukan dan memanfaatkan teknologi film untuk merekam realitas, lalu mempertunjukkannya kepada publik. Sementara itu, Meliés mendapat reputasi sebagai pelopor dalam bercerita lewat film dengan karya-karyanya yang ima

-jinatif. Tapi berbicara tentang pelopor dalam dunia perfilman selain Lumiére dan Meliés, apakah kalian pernah mendengar nama Alice Guy-Blaché?

Sang Wanita

(24)

Majalah AKSI | 24 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Pada 1895 di Paris, ketika Lumiére Ber-saudara memamerkan penemuan gam-bar bergerak yang diproyeksikan dengan sebuah mesin bernama Cinématographe, Alice merupakan salah satu penonton yang hadir dalam acara itu. Saat itu, Alice baru berumur 23 tahun dan bekerja sebagai se-kretaris untuk Léon Gaumont. Tidak lama setelah itu, Gaumont pun memulai

perusa-haan ilmnya sendiri—Gaumont Film Com -pany—dan memberikan Alice kesempatan untuk bereksperimen dengan penemuan

baru yang disebut “sinema” tersebut. Pada 1896, Alice membuat sebuah ilm yang bisa dibilang sebagai salah satu ilm naratif per -tama. Beberapa pihak menganggap bahwa Alice mendahului Meliés dalam

meman-faatkan kemungkinan naratif dari ilm. Jika

begitu, Alice pun pantas mendapatkan titel

pelopor dalam dunia perilman. Namun,

bukan hanya hal itu saja yang menarik dari seorang Alice; well, jika kalian belum bisa menebak, Alice Guy-Blaché adalah seorang wanita.

Pada masa di mana wanita masih belum bisa mengikuti pemilu, Alice tidak mem-biarkan gender menghentikan dirinya

dalam berkecimpung di dunia perilman

yang notabene didominasi oleh pria. Al-ice Guy-Blaché diklaim sebagai ilmmaker

wanita pertama di dunia. Dimulai dari Gau-mont Film Company, Alice dipercaya untuk

mengepalai berbagai produksi ilm. Lalu

pada tahun 1910, ketika ia pindah ke Amer-ika SerAmer-ikat, Alice pun membangun studio

ilmnya sendiri bersama suaminya saat itu,

Herbert Blaché, bernama Solax Company. Dalam karier yang berlangsung kurang leb-ih 20 tahun, Alice menulis, menyutradarai,

dan memproduksi hampir 1000 ilm.

Prestasi Alice sangat mengagumkan, na-mun sayang, namanya saat ini tidak banyak diketahui oleh publik, bahkan oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai pecinta

ilm. Meskipun begitu, baru-baru ini Alice

sedang berada dalam perjalanan untuk mengklaim kembali posisinya yang hampir

terlupakan dalam sejarah sinema.

Ternya-ta, meskipun secara isik Alice sudah tidak ada, semangat dari “Sang Wanita” kembali hidup dalam sebuah proyek ilm dokument -er, Be Natural: The Untold Story of Alice Guy-Blaché.

Menghidupkan Alice Kembali

Be Natural: The Untold Story of Alice Guy-Blaché merupakan sebuah proyek ilm

dokumenter yang akan bercerita tentang seluk-beluk kehidupan seorang tokoh

pe-lopor perilman, Alice Guy-Blaché—seo -rang wanita yang perlu kita kenal. Dengan prestasi Alice yang mengagumkan—ia

membuat sekitar 1000 ilm selama karier -nya. Film ini berusaha mempertanyakan mengapa nama Alice tidak banyak

diket-ahui oleh publik. Namun, ilm ini bukanlah ilm dokumenter biasa yang hanya akan menampilkan sebatas biograi singkat men -genai Alice dan prestasinya. Menurut duo

sutradara di balik ilm ini, Pamela Green dan Jarik van Sluijs, ilm ini akan menampilkan

semacam cerita detektif, di mana mere-ka amere-kan mencari jawaban untuk pertan-yaan-pertanyaan yang mereka miliki ten-tang Alice dan kehidupannya dulu, seperti: Apa yang mendorong, menginspirasi, dan menggugah Alice dan imajinasinya dalam

berkreasi dengan medium ilm? Dan, apa

atau siapa yang membuat namanya meng-hilang dari sejarah? Mengapa?

Selain akan bercerita tentang persona dari Alice Guy-Blaché sebagai seorang ilmmak -er, ilm ini juga akan menceritakan perjala -nan sinema dari awal mula ditemukannya

teknologi ilm. Menurut Green dan van

Sluijs, mempelajari tentang bagaimana

se-orang Alice dan para pelopor ilm lainnya

bernavigasi dengan teknologi baru di akhir BE NATURAL

Motto seorang Alice Guy-Blache, terpampang di depan studio miliknya, Solax Company

PHOTOS COUR

TESY OF P

(25)

ALICE GUY-BLACHÉ

abad ke-19, sebenarnya tidak jauh berbe-da dengan apa yang kita haberbe-dapi sekarang. Yaitu dengan teknologi-teknologi baru yang muncul di abad ke-21 ini. Meskipun terpisahkan oleh lebih dari 100 tahun, ban-yak yang dapat kita pelajari dari perjalanan Alice untuk dapat menghadapi tantangan yang berada di depan mata kita.

Satu hal lain yang akan membuat ilm do -kumenter ini menjadi spesial adalah pen-dekatan yang akan digunakan oleh Green dan van Sluijs dalam bercerita. Karena latar belakang pekerjaan mereka, lalu diputus-kan untuk mencoba merekonstruksi dunia Alice, dengan menggunakan VFx (3D mod-eling, compositing, dan animation), supaya bisa mendapatkan efek seperti mengajak penonton masuk ke dalam dunia Alice. Ten-tunya, pendekatan ini akan didukung den-gan riset yang ekstensif, sehingga meski-pun VFx digunakan, masih banyak materi lain yang telah mereka temukan yang dapat juga digunakan dalam menceritakan kisah Alice.

Singkat kata, kami bertujuan tidak hanya untuk melihat kembali masa lalu Alice, tapi juga untuk berdiri berdampingan dengan-nya dan melihat masa depandengan-nya—masa kita sekarang.” tulis Green dan van Sluijs di

halaman Kickstarter mereka.

Tim Penyelamat Alice

Pamela Green dan Jarik van Sluijs merupa-kan duo sutradara yang menjadi dalang dari

proyek ilm dokumenter mengenai Alice

Guy-Blaché ini. Mereka merupakan partner sekaligus pendiri dari PIC Agency, sebuah studio komunikasi audio-visual yang berku-tat dalam dunia entertainment dan motion design, berbasis di Los Angeles, Califor-nia. Agensi Mereka telah mendesain dan memproduksi banyak muatan visual untuk

berbagai ilm, acara televisi, dan iklan, di -antaranya mereka telah membuat title se-quence untuk ilm-ilm seperti The Bourne Supremacy, Fantastic Four, Sex and the City, Twilight, The Muppets, Now You See Me, Fast & Furious 6, dan masih banyak lagi.

Bulan Juli lalu, Green dan van Sluijs memu-lai sebuah kampanye mencari dana di situs

Kickstarter untuk ilm mereka, Be Natural: The Untold Story of Alice Guy Blaché. Pada saat itu, mereka telah menyelesaikan ri-set mengenai Alice selama dua tahun dan mereka siap untuk mulai merangkai hasil riset mereka tersebut menjadi sebuah fea-ture documentary. Untuk dapat melakukan hal itu, tentunya mereka membutuhkan dana.

Meskipun portofolio mereka sudah ter-bilang impresif, namun mendapatkan

pendanaan tetap bukan hal yang mudah. Mereka butuh sekitar $200,000 untuk dapat memulai mengerjakan proyek mereka ini. Mereka memilih untuk menggalang dana lewat Kickstarter. Kickstarter adalah sebuah situs yang dapat digunakan untuk mempro-mosikan sebuah proyek kreatif dan mem-berikan bagi siapapun yang mempunyai ide untuk dapat mewujudkan ide tersebut lewat bantuan donasi dan kontribusi dari sesama pengguna situs tersebut. Metode ini disebut juga crowd-funding.

(26)

Majalah AKSI | 26 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

BR: Mari kita mulai dengan sesuatu yang random, Fred Astaire atau Gene Kelly?

PG: Gila! Saya suka keduanya.

BR: Kita di sini akan ngobrol tentang

proyek ilm anda, sebuah ilm dokument-er tentang Alice Guy-Blaché, wanita yang dianggap sebagai ilmmaker wanita per-tama di dunia. Bagaimana sebenarnya

anda tahu tentang Alice untuk pertama

kalinya?

PG: Jawabannya adalah, saya waktu itu se-dang menonton sebuah program TV, judul-nya Real Models. Saat itu, mereka sedang membicarakan wanita pionir dalam sinema, dan Alice muncul. Shirley MacLaine berbic-ara tentangnya. Saya langsung tertarik. BR: Apa yang mendorong anda untuk membuat sebuah ilm tentang Alice?

PG: Alice punya banyak lapisan. Dia tidak hanya melakukan satu hal dan saya kagum karena dia bisa mencapai banyak hal pada masa di mana yang sepertinya belum me-mungkinkan bagi seorang wanita. Dia ada-lah seorang entrepreneur dan seorang

sen-EXCLUSIVE

Beberapa waktu setelah kesuksesan tim

Be Natural

dalam mencapai targetnya di Kickstarter, AKSI berusaha

menghubungi salah satu sutradaranya, yaitu Pamela Green, via Facebook, untuk melakukan sebuah wawancara

kecil mengenai Alice Guy-Blaché, kesuksesan kampanye Kickstarter-nya, dan prospek dari ilm

Be Natural

ini.

iman. Tidak semua orang bisa mempunyai kedua bakat ini. Hal ini sangat menarik dan menginspirasi saya.

BR: Apakah format dokumenter selalu

menjadi pilihan pertama untuk proyek ini?

Atau, apakah pernah mempertimbangkan

format lain? Biopic, mungkin?

PG: Awalnya kami berpikir ke arah situ, leb-ih ke arah biopic. Tapi kita lalu sadar bah-wa kami tidak tahu terlalu banyak tentang Alice, dan informasi yang ada di luar sana sudah cukup lama tidak di-update. Kami perlu meng-update itu. Dan kami pikir, kal-au kami mkal-au melakukan itu, dan kami akan melakukan itu, kami perlu melakukan riset dan dokumenter ini adalah cara yang asyik untuk memulai hal itu.

BR: Anda sudah melakukan riset yang

cukup panjang dan seksama, menurut

saya, untuk ilm ini. Hal apa yang paling menarik yang anda temukan mengenai Alice dan hidupnya melalui riset tersebut?

PG: Well, ini adalah semacam cerita de-tektif, jadi saya tidak bisa cerita semuanya. Tapi, kami menemukan bahwa Hitchcock

adalah fans dari karya Alice. Dan kami

juga tahu bahwa Alice mengedit ilmnya di

malam hari. Dia selalu bereksperimen. Dia melihat masyarakat dan masalah di dalam-nya dan mampu, tidak hadalam-nya menghibur mereka, tapi juga hidup dan mendapat ke-untungan dari ilmmaking itu sendiri. Jadi dia adalah seorang pebisnis dan kita punya

irasat tentang itu, tapi ketika mampu untuk

membuktikan dan menampilkan wanita ini sebagai seorang CEO ( presiden direktur perusahaan ) pada masa awal sinema ada-lah sesuatu yang menakjubkan.

BR: Sekarang kita akan ngobrol sedik -it tentang proses pendanaan proyek ini. Anda menggunakan metode crowd-fund-ing dengan cara memulai kampanye

Kickstarter. Seberapa efektif metode ini menurut anda untuk memulai sebuah

proyek indie seperti ini?

PG: Jika kami tidak menggunakan Kick-starter, kami tidak akan sampai sejauh ini. Menurut saya, crowd-funding adalah cara yang bagus. Kamu harus mengorganisir se-gala sesuatunya dengan baik, harus punya pesan yang ringkas. Hal yang terpenting

adalah bagaimana “menjual” dirimu sendi

-PHOTOS COUR

TESY OF P

(27)

INTERVIEW

with Pamela Green by Bawuk Respati

ALICE GUY-BLACHÉ

ri, karena kalau mereka percaya kamu, maka mereka akan percaya pada proyeknya.

Kick-starter adalah masa depan. Membuat ilm

sekarang adalah hal yang cukup sulit dan mencoba untuk keluar ke publik dan men-cari dukungan adalah cara yang efektif, karena kamu tidak bisa sendirian dan kamu perlu suporter, seperti kamu sendiri, untuk membantu cerita semacam ini yang cukup sulit untuk diceritakan.

BR: Saya telah menjadi suporter dari proyek ini sejak awal mula kampanyenya, dan untuk beberapa waktu, kampanyenya

berjalan lambat. Apakah anda pernah

khawatir kalau kampanyenya tidak akan berhasil?

PG: Iya, kami masih tidak percaya, kami masih berusaha memulihkan diri. Bahkan kami pikir semuanya tidak terjadi. Jadi, kami sangat senang. Kami dulu sempat takut. Se-tiap hari perlu ada game plan baru. Ini sep-erti berada di medan perang, di mana kamu punya peta dan harus melihat situasinya dan berpikir bagaimana mencari jalan un-tuk menyerang. [tertawa] Jadi, thank God, kami berhasil. Kami sangat bersyukur. Dan mungkin kami tidak akan melakukan kam-panye seperti itu lagi dalam waktu dekat, karena untuk berpikir ke sana saja sudah terasa menakutkan, jadi kamu harus gigih, konsisten, dan punya tekad kuat. Semua ha-rus direncanakan, karena kamu tidak akan didanai begitu saja.

BR: Namun, jumlah donasinya mulai ber-tambah dengan cepat di akhir-akhir kam-panyenya. Cukup menakjubkan. Apakah ada hal berbeda yang dilakukan jika

dib-andingkan dengan di awal, atau memang

kampanye Kickstarter biasanya begitu?

PG: Sepertinya kami mendapat lebih ban-yak followers seiring waktu berjalan. Semak-in banyak yang menyebarkan proyek Semak-ini ke dunia luar. Kami juga mendapat press, jadi semakin banyak orang yang tahu tentang kami. Upworthy memajang proyek kami di situs mereka, dan itu sangat membantu. Ka-lau kamu menggabungkan elemen-elemen ini, pasti akhirnya akan berkembang. Tapi ya, lagi-lagi, ini juga cukup ajaib. Tidak ada rencana. Tidaaaak ada rencana. Semuanya adalah kerja keras dan tekad kuat.

BR: Ada Robert Redford sebagai produser eksekutif dan Jodie Foster sebagai nara -tor dalam ilm ini. Mereka adalah nama besar yang keren. Bagaimana ceritanya sampai mereka bisa bergabung?

PG: Robert Redford, saya dan partner saya, Jarik, sudah pernah bekerja bersama di tiga

ilmnya. Kami membuat opening dan cred-its untuk ilmnya. Dan selama bertahun-ta -hun bekerja dengannya, kami membangun hubungan yang baik. Ini tidak terjadi be-gitu saja, kamu harus membangun hubun-gan dan kepercayaan. Kami mendiskusikan proyek ini dengannya, dan dia adalah salah satu orang yang mau mendukung Alice

se-jak awal, jadi kami menyaluti beliau. Jodie Foster adalah seseorang yang kami kontak, kami tidak perlu berpikir panjang. Kami sungguh sangat beruntung.

BR: Karena saya adalah seorang suporter, saya akan mendapatkan digital download ilmnya sebagai timbal balik. Nah, bagi mereka yang bukan suporter, tapi tertarik dengan ilm ini, kapan dan di mana mere-ka bisa melihat ilm ini?

PG: Kami sedang dalam proses

menger-jakan ilmnya secepat mungkin. Mungkin

akan selesai di akhir 2014. Mungkin. Mung-kin juga lebih lama. Tapi kalau orang ingin

melihat ilm ini, and mereka berada di tem -pat-tempat yang sulit dijangkau, mungkin kami akan menggunakan tugg.com, yaitu sebuah layanan yang bagus untuk

meng-umpulkan orang lalu menayangkan ilmnya.

Yang bisa dilakukan sekarang itu ya follow kami di Twitter dan Facebook dan BeNatu-ralTheMovie.com.

BR: Menurut pengamatan saya, ilm ini

adalah sebuah usaha anda, mungkin bu

(28)

pan-Majalah AKSI | 28 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

tas kepada Alice dengan membicarakann -ya dengan lebih sering?

PG: Ya, waktu kami menemukan Alice dan kisah hidupnya, kami rasa orang lain perlu tahu juga tentang dia. Kami terinspirasi oleh Alice sebagai seorang business-owner. Dan sebagai seorang kreator. Dan kami pikir dunia perlu tahu tentang Alice, tidak hanya karena ia adalah sutradara wanita pertama, tapi juga karena ia adalah satu orang per-tama yang memiliki studionya sendiri. Alice adalah orang kreatif, dan punya naluri bisnis dan itu adalah contoh yang baik untuk gen-erasi di masa depan. Dan siapa tahu, kalau dengan kembali ke masa Alice pada tahun 1895, kita mungkin bisa mengekspos kar-akter-karakter baru, penemuan-penemuan baru yang mungkin akan menginspirasi seseorang untuk menceritakan kisah lain dari seorang pelopor lain, atau mungkin terinspirasi untuk menemukan sesuatu yang baru. Siapa tahu.

BR: Kembali kepada anda. Setelah men -genal Alice lebih jauh seperti yang sudah anda lakukan, apakah ada yang berubah dalam diri anda, khususnya anda sebagai

seorang wanita dan ilmmaker?

PG: Menurut saya, setiap kali saya merasa down, saya berpikir tentang Alice. Saya ber-pikir betapa sulit pada masa itu, dan betapa kuat ia harus bersikap, tapi juga betapa baik, dan bagaimana semua orang yang bekerja dengannya punya loyalitas terhadapnya. Saya ingin bisa seperti itu, saya ingin bisa menjadi seseorang yang dapat membuat sesuatu terjadi, tapi juga tetap feminin.

Menurut saya kita bisa mendapatkan kedua dunia itu, kita bisa menyeimbangkan. Saya senang bisnis dan terinspirasi dari itu. Jadi ya, Alice adalah seseorang yang akan selalu saya rujuk ketika saya menghadapi sebuah tantangan. Mungkin saya tidak akan mene-mukan contoh yang sama karena masa itu sudah 100 tahun yang lalu, tapi bisnis ada-lah bisnis, interaksi adaada-lah interaksi, dan Al-ice adalah seseorang yang akan selalu saya pikirkan ketika mengambil keputusan. BR: Respon yang ada di kampanye

Kick-starter anda cukup inspiratif. Bagaimana perasaan anda dalam mendapat dukun

-gan seperti itu dari seluruh penjuru dunia

untuk sesuatu yang anda mulai sendiri?

PG: Saya tidak melakukannya sendiri. Ini adalah sebuah kolaborasi dengan Jarik van Sluijs dan Gala Minasova, yang menjadi co-producer di ilm ini. Dan semua orang yang sudah terlibat dalam ilm ini lewat

wawancara, semua sejarawan dan Alice dan beberapa anggota keluarga, semua orang yang telah bergabung untuk menceritakan kisah Alice. Jadi ini bukan sebuah proses saya sendiri, tapi memang dimulai dengan sebuah mimpi. Saat pertama kali saya me-mikirkan untuk melakukan ini, memang itu adalah sebuah proses yang personal. Lalu ketika Kickstarter dimulai, dan orang-orang mulai berkontribusi, hal ini menjadi emo-sional. Ada banyak air mata bahagia, excite-ment, kejutan, dan harapan. Memang ini membuat saya merasa puas secara pribadi bahwa wanita ini akan mendapat apa yang ia pantas dapatkan, bahwa banyak orang akan ingin menjadi seperti dia. Jadi itu

pastinya sangat menyenangkan, tapi masih banyak pekerjaan yang menunggu di depan kami, jadi lebih baik jangan keburu senang. BR: Pertanyaan terakhir. Apakah anda punya tips atau pesan untuk siapapun di luar sana yang terinspirasi untuk menjadi seperti Alice?

PG: Semua berawal dari tekad dan seman-gat. Kalau kamu punya mimpi dan ada ses-uatu yang kamu ingin lakukan, maka, ‘tidak’ harusnya—jika ada yang berkata ‘tidak’ ke-padamu, itu harusnya menajdi inspirasi un-tuk mengubah ‘tidak’ itu menjadi ‘iya’. Dan kamu seharusnya tidak membiarkan orang memberitahumu bahwa sesuatu itu tidak mungkin. Jika kamu punya sesuatu yang ingin kamu lakukan dalam hidupmu, kamu perlu bekerja keras, tetap fokus. Saya sela-lu bilang, buat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kamu bisa melakukan apapun jika kamu memfokuskan pikiranmu, jika kamu punya tekad dan bersemangat. Dan kalau kamu bisa mempunyai hal itu, semoga itu bisa menular ke orang lain dan mereka akan mengikutimu.

(Ketika dihubungi melalui Facebook men-genai kemungkinan untuk diwawancarai, meski di tengah kesibukannya, Pamela langsung setuju dan akhirnya wawancara dilakukan via e-mail. Sebuah daftar per-tanyaan dikirimkan kepada Pamela, lalu ia merekam jawabannya dalam sebuah audio

ile. Wawancara di atas adalah hasil tran

-skrip audio ile tersebut).

ALICE GUY-BLACHÉ

BAWUK RESPATI

PAMELA GREEN & JARIK VAN SLUIJS Dua pencetus tim penyelamat Alice

PHOTOS COUR

TESY OF P

(29)
(30)

MajalahAKSI | 30

Edisi .2 | No.2 | Oktober 2013 MajalahAKSI | 30

(31)
(32)

Majalah AKSI | 32 Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Orizon Astonia: Menurut mas Jay, Jakarta sekarang itu kayak apa?

Jay Subiakto : Jakarta sekarang kalo saya bilang sih, mulai ada perbaikan ya setelah ada gubernur baru kita gitu, jadi memang dari dulu itu memang Jakarta kacau, yang bener hanya waktu Ali Sadikin jadi guber-nur. Abis itu, udah memang kacau, semua gubernur nggak ada yang mau bekerja un-tuk Jakarta. Jadi nggak ada yang mau inisi-atif untuk memperbaiki Jakarta, hanya un-tuk kepentingan pribadi. Dan kita bisa lihat bahwa akhirnya kan hancur ya dari tata kot-anya, semukot-anya, keseniannya, kebudayaan-nya, itu nggak ada yang diperhatikan. Baru setelah gubernur yang baru pak Jokowi, baru enam bulan keliatan banyak sekali per-baikan dalam waktu yang pendek. Semen-tara dulu yang berkuasa bertahun-tahun nggak bikin apa-apa. Jadi kalo saya bilang, mudah-mudahan dengan ada gubernur baru ini kita bisa ada perubahan di Jakarta yang memang udah parah sekali dari segi struktur kota, dari penyediaan infrastruktur, itu yang saya kira harus diperbaiki.

OA : Mas Jay udah berkecimpung berapa lama di bidang seni?

JS : Kalau seni … maksudnya dalam arti ?

OA : Maksudnya dalam arti seni dan ke-budayaan ?

JS : Iya , kalo sebenarnya sih pertama sekali

di fotograi dulu, terus kemudian saya kuli -ah di arsitektur UI. Terus, y-ah memang kai-tannya dengan apa yang saya pelajari pasti erat sama dengan yang namanya seni, tapi sebagai profesi saya akhirnya bekerja un-tuk seni yah waktu tahun 1994. Waktu saya bikin konser Chrisye sama Erwin Gutawa se-bagai produser dan sutradara juga sese-bagai artistiknya. Baru habis itu, saya berprofesi sebagai sutradara iklan, selain motret dan melukis.

OA : Mas Jay, dari sekian banyak kisah-ki-sah Jakarta yang berhubungan dengan

Betawi, kenapa kisah Ariahyang diangkat untuk HUT Jakarta ?

JS : Memang saya kan di sini sebenarnya cuma sebagai penata artistik saja ya. Sutra-daranya kan ibu Atilasuryajaya. Memang dia yang mendapat tugas dari pak Jokowi untuk membuat cerita yang kental unsurnya den-gan budaya Betawi dan akhirnya dia yang memilih cerita Ariah itu. Kalo persisnya saya nggak tahu kenapa Ariah pilih. Tapi mung-kin karena sebelumnya dia sudah membuat Matah Ati di Solo. Itu tentang tokoh pahl-awan perempuan yang namanya Rubiah waktu di era Raden Masaid yang akhirnya jadi Mangkunegara pertama. Setelah har-us bikin di Jakarta, dia mencari lagi tokoh wanita yang punya jasa kepahlawanan, pun-ya kepedulian tentang kaumnpun-ya, mau mem-bela kaum wanita dan bangsanya, akhirnya ketemulah dengan tokoh yang namanya Ariah ini.

OA : Terus dari perspektif mas Jay sendiri, konsep artistik yang mau ditonjolkan dari

drama Ariah ini seperti apa?

JS : Konsepnya begini, begitu saya dikasi tahu bahwa ini harus dipentaskan di Monas, saya pikir bahwa banyak pertunjukan yang sudah main di Monas. Tapi tidak pernah Monas itu menjadi bagiannya. Bagian yang utuh. Contohnya begini, kenapa saya bikin begitu besar? Karena Monas itu punya ska-la dan proporsi yang besar. Kalo saya cuma bikin yang kecil aja, buat apa ada Monas di belakangnya. Jadi kenapa saya ambil uku-ran yang persis dengan tangga di Monas, di bawah, yang 72 meter itu. Saya ter-jemahkan di sini, ini panjangnya 72 meter dan tingginya 132 meter. Sehingga dia jadi kesatuan sama Monasnya. Monasnya tidak hanya jadi latar belakang, tapi jadi bagian utuh dengan ini.

Ini kalo bisa di lihat … (Pelayan : kopi mas?) iya taro di tengah aja mas, kita bisa lihat kalo … (Jay menunjukkan gambar pang-gung dari laptop-nya) berarti kan dia jadi bagian yang – jadi saya mau bahwa ini semua mapping semua nih, saya mau bah-wa pertunjukan ini semua jadi bagiannya. Jadi semua ini jadi video mapping bahkan sampai si Monas-nya saya tembak dengan video mapping. Jadi saya nggak mau bikin misalnya ada set rumah, set kursi, jadi saya mau itu semua jadi kesatuan sama monasn-ya. (Jay menunjukkan gambar dari lap-top-nya) itu semua pencahayaannya.

OA : Kalau menurut mas Jay, Monas itu sendiri simbol dari apa mas?

JS : Monas itu kan tahun 1961 dibuat oleh Ir. Soekarno, itu kan artinya Lingga dan Yoni. Keseimbangan antara maskulin dan femi-nin. Nah itu yang orang banyak tidak tahu. Itu yang saya bingung, kok orang Jakarta nggak tahu. Tinggal di Jakarta tapi ngg-ak tau Monas itu apa. Jadi itu Lingga dan Yoni, laki sama perempuan. Makanya ini kan bentuknya udah simetris, di sini saya jawab dengan saya bikin lagi cawannya yang san-gat asimetris, dan bisa dilihat nanti bagian yang saya tembak selalu tidak semuanya, jadi ada yang sebagian, jadi orang fokus di pementasannya di sini. Kemudian tadi saya bilang – nah ini nanti keliatan bahwa di sini, nanti saya tembak ininya di sini jadi bagian alur ceritanya. Nah ini lihat (Jay menunjuk-kan gambar dari laptopnya) Jadi di batang monasnya itu, dia lagi cerita tentang ket-eguhan kayak batang pohon. Nah ini kan jadi kesatuan semuanya. Jadi satu skala gitu ya, karena biasanya kan kalo acara-acara TV kan Monasnya nggak jadi apa-apa.

OA: Kalo dari segi artistiknya itu, mas Jay lebih menonjolkan nilai kebudayaan atau feminis?

JS : Kalo saya nggak, saya ambil tradisi. Tapi saya tidak mau bikin pertunjukan yang sangat tradisional. Menurut saya tradisi itu harus dikembangkan. Tapi jangan merusak pakemnya, ya kan? Banyak orang-orang yang bikin wayang-wayang tapi dirusak

pa-kemnya, nggak menghargai ilosoinya lagi.

Wayang hanya jadi tempelan supaya dibi-lang Indonesia.

Di sini, kan saya sama sekali tidak mengam-bil unsur betawinya, tapi saya ammengam-bil unsur

“sekarang” Jakartanya. Kenapa saya pakai

mapping? Kenapa saya pakai teknologi sekarang? Karena saya mau, bahwa kebu- PHOTOS COUR

TESY OF ORIZON ASTONIA

Setelah menghadiri pentas drama tari ARIAH yang dilaksanakan di

Monas selama tiga hari. Pementasan tersebut merupakan sebuah drama

tari yang menampilkan tokoh Ariah sebagai pejuang hak-hak

peremp-uan Betawi serta konlik-konlik romansa di dalam ceritanya. Setelah

itu saya langsung memutuskan untuk menemui Mas Jay Subiakto

untuk mengupas lebih dalam proil tentang pementasan Ariah yang

cukup mengesankan tersebut. Dalam hal ini, Mas Jay Subiakto adalah

penata artistik untuk pementasan drama tari Ariah ini. Siang itu, Mas

Jay memberikan tempat lokasi wawancara yang cukup nyaman,

(33)

ARIAH - JAY SUBIAKTO

dayaan itu harusnya dikembangkan, harus dikembangkan oleh semua generasi di tiap jamannya. Kalo tidak, kita nggak bikin apa apa kan berarti? Jadi sebuah pertunjukan tahun 2013 pasti akan lain dengan 2020 ha-rus lebih gitu. Kalo kita cuma mengikuti tra-disi saja berarti kita hanya mengikuti tahun-nya. Buat saya, itu selalu harus maju, harus dikembangkan walaupun akarnya kita ambil cerita-cerita rakyat. Sehingga akhirnya su-paya orang, anak muda, generasi muda itu mau menggarap tradisi tapi dengan kekini-an. (menunjukkan gambar dari laptop) Nah ini, kayak ini kan? Kayak lampunya jadi sim-bol rumah, karena waktu itu adegan kayak

rumah. Jadi pencahayaan itu ada konigur -asi kenapa nggak di langit? Orang biasanya selalu cuma kepanggung begitu aja. Saya

mau bikin konigurasi ini sampai ke langit. OA : Waktu saya lihat pertama kali pang-gungnya, kok terkesan futuristik seperti modern, tapi terasa menyatu dengan cer-itanya?

JS : Iya memang bentuknya sangat asim-etris, sangat tidak tradisi. Tapi sebenernya saya desain untuk itu tadi. Untuk saya bisa gambar video mapping pergantian adegan. Terus saya mau menciptakan sesuatu yang baru. Bukan kayak opera yang adegan di ru-mah tiba-tiba ada kursi dan meja. Saya lebih bermain sama ini, karena skala ini tadi. Dan

ini pun diatur, dikoreograi, ini dulu yang

keluar baru ini, nanti baru terakhir ada yang ini. Jadi orang fokusnya ke tiap bagiannya dulu baru dia lihat keseluruhan. Karena san-gat besar, kita harus mensan-gatur orang untuk

melihat yang mana. Nah itu kita mainkan dengan visual, itu dipasang di mana, terus pencahayaan itu ada di mana.

OA : Katanya ini adalah panggung terbe-sar di Indonesia ?

JS : Iya katanya, tapi saya nggak tahu benar apa tidaknya. Tapi kalau sebagai panggung tari iya. Karena panggung tari yang saya tahu yang kayak di Prambanan itu tidak ada yang sebesar ini. (menunjukkan gambar dari laptop) nah ini baru keluar yang di bawah,

jadi konigurasi lampu kalo di outdoor itu kita bisa dapat medium yang lain, ini bisa jadi seperti kanvas yang istilahnya bisa kita lukis dengan sinar-sinar.

OA : Tapi kalo segi feminisnya itu artistik berperan sejauh apa mas?

JS : Kalo feminisnya di cerita ada perem-puan yang mau dilecehkan, itukan berarti hak-hak wanita. Jadi ini lebih menggambar-kan bahwa perempuan punya hak. Tapi kalo menerjemahkan ke panggungnya saya kira itukan metafor saja. Tidak bisa terus saya bikin gambar perempuan ya tidak lah. Tapi saya lebih mengakomodir jalan ceritanya dengan pengadeganan. Karena sutradaran-ya kan bukan sasutradaran-ya, jadi sasutradaran-ya hansutradaran-ya mengi-kuti apa yang dia inginkan. Misalnya, ini di rumahnya, yah sudah jadi saya buat kayak

gini. Yang nggak haraiah sebagai rumah.

Terus dia mau adegan apa gitu, jadi kalo saya bilang, saya mengikuti saja alur cerit-anya.

OA : Kalau diliat dari motivasinya, kenapa panggungnya dibikin asimetris ?

JS : Jadi sudut-sudut ini sebenarnya saya dapeat dari – (Jay meminta kertas pada pelayan untuk menggambar) nah ini tujuan dari miring ini juga gini, saya mau karena penari banyak, saya mau mereka

mem-buat konigurasi yang lain. Biasanya orang

nggak pernah lihat. Nih ada 3 level, kan? Jadi mereka akan jalan tanpa ada bentuk tangga. Tanpa ada orang tahu ini, mereka masuk ke mana, sebenarnya kan mereka masuk di belakang ini ada pintu. Kan kalo ada pintu, ada tangga kan jelek? Makanya semua saya bikin miring, semua tertutup. (Jay menggambar) ini kalo peta Jakarta seperti ini, ini lapangan Monas bentukn-ya seperti ini, dulu titik nol Jakarta zaman Belanda ini di Sunda Kelapa, sekarang ada menara Syah Bandar itu.

Gambar

gambar video mapping pergantian adegan.
gambar naga.
gambar tidak fokus? Semoga saja tidak
gambar yang dihasilkan dari kamera 1 Meg-

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini tidak sesuai dengan literatur bahwa minyak jelantah kaya akan asam lemak bebas, dan mudah mengalami kerusakan dan ransiditas, hal ini dapat terjadi

Penelitian diawali dari persiapan bahan dan peralatan termasuk penyiapan serat alang-alang, bahan-bahan yang dipakai dalam penelitian adalah semen Portland, dipakai

Dari litologi yang dijumpai mulai dari aluvial, koluvium, metasedimen dan batuan terobosan yang terdiri dari granit dan granodiorit, maka dapat diharapkan zona mineralisasi terjadi

Teknik analisis data penelitian adalah diskriptif dan persentase dengan perhitungan pada masing-masing tahap dan digunakan analisis sistem perangkat lunak Dartfish Prosuite

Manfaat yang secara tidak langsung bagi pemerintah adalah dengan mandirinya mahasiswa untuk membuka wirausaha maka membantu pemerintah dalam mengurangi

The simulation will start at trajectory point 1 by default unless another line number is specified in the laura namelist data using the namelist variable trajectory data point —

2: Hold the ablation rate and wall temperature constant from the restart file, while applying the rigorous diffusion model (thus, the surface energy balance and char

Kesimpulan penelitian adalah pemberian aras serat kasar sampai 15% dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi ransum kadar kolesterol darah, kadar kolesterol darah dan pertambahan