• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bedaya diduga ada sejak jaman kerajaan Hindu meski tidak diketahui secara tepat tahun berapa. Pada jaman kerajaan Hindu, bedaya melambangkan kehadiran dewi-dewi dan dipertunjukan oleh tujuh penari. Pada jaman Mataram Islam, bedaya kemudian ditarikan oleh sembilan penari. Konon jumlah sembilan

8

24

merujuk pada Wali Sanga, yaitu sembilan wali yang menyebarkan agama Islam.9 Bedaya merupakan lelangen dalem (kewenangan raja)10 sekaligus kelangenan dalem (hiburan raja)11. Disebut lelangen dalem karena bedaya hadir selalu atas perintah raja. Seperti telah disebutkan di atas, pada umumnya bedaya ditarikan oleh sembilan penari. Namun karena alasan tertentu, atas perintah raja, bedaya bisa dipertunjukkan oleh tujuh penari, contohnya “Bedaya Sapta” ciptaan HB IX atau “Bedaya Tejanata”12

yang popular pada jaman Paku Alam VII. Paku Alaman bahkan mempunyai bedaya yang berjumlah genap yaitu delapan penari, suatu jumlah yang sangat jarang dalam pertunjukan bedaya, yang diberi judul “Bedaya Renyep”. “Bedaya Renyep” diciptakan pada pemerintahan Paku Alam VIII.

Di Kasultanan jaman HB IX, bedaya juga bisa diciptakan untuk ditarikan oleh enam penari, yang disebut “Bedaya Manten” atau “Bedaya Wiwaha Sangaskara”. Bahkan, kesamaan dalam busana dan rias sebagaimana ciri khas bedaya “dilanggar” pada “Bedaya Manten” ini. Keenam penari “Bedaya Manten mengenakan busana yang tidak sama: dua penari berias dan berpakaian seperti pengantin dengan busana dodot ageng, empat orang penari dengan busana mekak. Hal ini membuktikan bahwa meski bedaya biasanya

9

Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedaya Court Dances of Central Java, Koln: E.J. Brill, 1992, hlm. 40-41.

10

Hughes-Freeland, “Art and Politics: From Javanese Court Dance to Indonesia Art”, The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 3, No. 3 (Sep., 1997), hlm. 473- 495. 11

ibid., Hlm. 5. 12

Bedaya Tejanata merupakan pemberian Sunan X kepada Paku Aalam VII atas perkawinan Paku Alam VII dengan puteri Sunan X

25

mempunyai “aturan” tertentu, kalau raja menginginkan sesuatu yang lain maka penciptaan bedaya itu bisa saja terjadi. Selain itu, pemadatan durasi bisa terjadi atas perintah raja. Bedaya Ketawang yang merupakan sumber dari segala sumber penciptaan bedaya pun mengalami perubahan dengan dilakukannya pemadatan durasi ketika raja berkehendak, yaitu dari sekitar empat jam menjadi kurang dari dua jam pertunjukan. Pemadatan durasi ini terjadi pada pemerintahan Sunan Paku Buwana X.13 Bedaya Ketawang yang telah dipadatkan inilah yang ditarikan hingga sekarang dan dianggap sebagai sumber penciptaan bedaya selanjutnya, yang disebut mutrani.14

Sebagai kelangenan dalem, bedaya merupakan sarana hiburan raja atau kesukaan raja. Kelangenan di sini mengimplikasikan pada sesuatu yang lebih yang mungkin digunakan untuk menyebut selir atau perempuan kesayangan, atau secara umum merujuk pada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan yang kuat.15 Istilah bedaya sendiri mengacu pada tari dan pada penari bedaya, sebagai subyek dan sebagai obyek dari kelangenan.16

Para penari bedaya awalnya adalah putri-putri kerabat kraton yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti yang tertera dalam Serat Weda Pradangga17 yang ditembangkan ketika Bedaya tampil yang dikutip oleh Brakel Pappenhuijzen (1992: 42):

13

Wawancara dengan Wahyu S. Prabowo di Surakarta, 20 Desember 2007. 14

Wawancara dengan Wahyu S. Prabowo di Surakarta, 20 Desember 2007 15

Ibid., 1992, hlm. 5. 16

Ibid., 1992, hlm. 6. 17

26

…Lajeng kagungan kersa mundhut Kenya, putranipun para prayagung bupati nayaka wolu, kapundhut satunggal-satunggal, pinilih ingkang indah ing warni saha parigel ing solah, kinarya badhaya. Karsa Dalem amiwiti yasa lalangen badhaya cacah 9, jangkepipun sanga mundhut putra utawi wayahipun papatih Dalem, salah satunggal ingkang parigel saha indah ing warni sinartan wasis dhateng wiramaning gendhing, minangka titindhih dados pamBatak ipun beksa bedhaya….

Terjemahan bebas:

…(Raja) menginginkan mengambil gadis, anak para pejabat bupati pegawai berjumlah delapan, diambil satu-satu, dipilih yang cantik dan trampil dalam pembawaan, menarikan bedaya. Kehendak raja adalah memulai bedaya berjumlah 9, untuk melengkapi jumlah itu mengambil anak atau cucu patih, salah satu yang trampil menari dan cantik dan menguasai gending, untuk menjadi Batak bedaya….

Dalam Weda Pradangga itu disebutkan bahwa syarat menjadi seorang penari bedaya adalah harus merupakan putra pejabat, cantik, trampil menari, dan bagi peran Batak harus menguasai gending. Serat Weda Pradangga ini tidak hanya menjabarkan bagaimana suatu formasi bedaya menjadi bentuk manusia, tetapi juga memberikan alasan mengenai pengulangan-pengulangan sebagai bagian dari ritual kraton yang hanya dimiliki oleh bedaya. Cerita ini juga memberikan gambaran mengenai keberadaan bedaya dari jaman Hindu yang tak diketahui tepatnya, sampai ke jaman Islam yang sangat diketahui waktunya, yaitu Mataram Islam dalam pemerintahan Sultan Agung.

Sebagai tari yang sakral, pertunjukan bedaya harus memenuhi beberapa elemen yang diperlukan agar bisa mencapai kesatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Elemen-elemen yang penting dalam praktik bedaya tersebut meliputi: beksan, yaitu koreografi yang menggunakan gerakan fisik yang distilisasi dan pola-pola lantai; pesindhen, lagu-lagu puitis yang digunakan secara bersamaan (unison) oleh paduan suara campuran yang juga

27

disebut pesindhen; gendhing, yang merupakan komposisi untuk instrumen gamelan sambil diiringi tari dan nyanyian; sajen, sesaji berupa bunga, pakaian, makanan dan kemenyan yang dibarengi dengan pertunjukan pusaka bedaya, bunga-bunga yang wangi, perhiasan permata dan busana khusus yang digunakan untuk pertunjukan bedaya.18 Karena taat pada berbagai larangan dan aturan, tari ini merupakan ungkapan ritual dari legitimasi penguasa (raja).

Kesakralan bedaya diperkuat dengan sejarah, atau lebih tepatnya mitos, yang mewarnai bedaya. Sejarah bedaya itu sendiri memiliki bermacam versi. Florida19 menceritakan tentang hubungan Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram yang memerintah pada akhir abad ke-16, dan Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan, Samudera India, melalui syair yang diambil dari Babad Tanah Jawi20, yaitu karya sastra sejarah yang berbentuk tembang Jawa. Syair ini dinyanyikan oleh pesindhen dalam pertunjukan Bedaya Ketawang di Kasunanan.21 Cerita ini berawal dari pertemuan Ratu Kidul dengan Panembahan Senapati saat Senapati belum menjadi raja yang berlanjut pada hubungan yang intim antara kerajaan Mataram dan kerajaan di laut selatan. Cerita ini dilanjutkan dengan raja Mataram selanjutnya, yakni Sultan Agung, cucu Panembahan Senapati. Atas cintanya pada Ratu Kidul, Sultan Agung menciptakan bedaya dengan berkonsultasi pada Ratu Kidul. Inilah awal adanya 18 Ibid. 19 Lihat lampiran 1. 20

Babad Tanah Jawi menceritakan sejarah raja Mataram sejak jaman Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya, lalu jaman Hindu, sampai kerajaan Mataram Islam.

21

Nancy Florida, “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu

28

bedaya yang diyakini sampai sekarang. Ada juga yang menyebutkan, bedaya ada sejak jaman kerajaan Majapahit. Bedaya ini dikaitkan dengan dewi-dewi Hindu yang sedang menari di kayangan sehingga membuat kagum dewa-dewa, bukan di bumi Jawa.22 Namun cerita versi Hindu sekarang ini kurang populer.

Dalam hampir semua tarian bedaya, ada bagian yang merupakan pertempuran antara dua penari, diperankan oleh Batak dan Endhel. Dalam pertempuran ini selalu menggunakan senjata, seperti keris kecil, meskipun kadang-kadang juga dipakai busur dan anak panah. Bahkan ada bedaya yang menggunakan pistol.

Bedaya Ketawang dipentaskan di Kasunanan pada setiap peringatan berdirinya dan kenaikan tahta Susuhunan (tingalan dalem) di Surakarta pada setiap tahun. Kasultanan Yogyakarta tidak lagi mencadangkan suatu tari khusus untuk peringatan kenaikan tahta, tetapi bedaya tetap merupakan suatu simbol penting dari kekuasaan sultan. Paku Alaman selalu mementaskan bedaya setiap tingalan dalem, tetapi bedaya yang ditampilkan bukan bedaya tertentu saja, seperti halnya “Bedaya Ketawang” di Surakarta. Sekarang ini, selain untuk tingalan dalem, sembilan penari puteri mementaskan bedaya untuk perayaan besar, seperti ulang tahun raja, pernikahan kraton, dan resepsi untuk tamu negara yang penting.

Pada perkembangannya kemudian, tari kraton diselenggarakan atas niat

22

Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedaya Court Dances of Central Java, Koln: E.J. Brill, 1992. Hlm. 34. menyebutkan adanya tujuh dewi, yaitu: Dewi Supraba, Dewi Wilatoma, Dewi Rasiki, Dewi Surendra, Dewi Gagar Mayang, Dewi Irim-irim, dan Dewi Tunjung Biru, yang melambangkan bedaya.

Dokumen terkait