• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Koreografi dalam Karya Retno Maruti 47

2.2 Tata Gerak

BLC merupakan karya kolaborasi tari gaya Bali (legong) dan Jawa (bedaya). Kedua jenis tari tersebut, yaitu bedaya dan legong, merupakan jenis tari istana. Bedaya berasal dari istana Jawa (Surakarta dan Yogyakarta), sementara legong berasal dari istana Bali. Dalam pertunjukan BLC, tari Jawa mewakili padepokan Lemah Tulis pimpinan Mpu Baradha, sedangkan tari Bali mewakili padepokan milik Walunateng Dirah atau Calonarang. Pada tulisan ini, fokus pembahasan tata gerak yang mendalam adalah pada tari Jawa (bedaya), dan sengaja mengabaikan tari Bali (legong).

Tata gerak dalam BLC merupakan kolaborasi tari bedaya Jawa dan legong Bali dalam satu panggung. Namun, dalam pertunjukan ini, bedaya tetaplah bedaya dan legong tetaplah legong, tidak terjadi intervensi gerak antara satu terhadap lainnya. Artinya, memang tidak ada upaya untuk menyatukan gaya menari Bali dan Jawa menjadi sebuah tarian baru. Pakem klasik tarian masing-masing tetap dipertahankan, meski ada beberapa inovasi. Inovatif tetapi tidak

70 sampai kontemporer, menurut Retno Maruti.

Dalam adegan pembuka, kesan paling nyata adalah impresi Jawa. Terdengarnya suara semacam sulukan dalang dan pencon kethuk sebagai musik pembuka seolah mengajak penonton untuk memasuki nuansa Jawa itu. Selain dari musiknya, kesan Jawa tampak pada busana penari. Kain batik panjang (jarik) merupakan salah satu ciri khas busana tari Jawa. Cara pemakaian jarik pun dengan cara dodot3. Rambut penari yang dirapikan dengan cara gelung juga merupakan rias rambut khas Jawa.

Kesan Jawa yang lainnya tampak pada gerakan tari. Gerakan tari yang sangat khas adalah gerakan yang bersifat mucang kanginan4. Sifat ini selalu muncul dalam tari Jawa, khususnya tari puteri gaya Surakarta. Pada adegan pertama, sifat ini sudah mulai ditampakkan meski hanya dengan melakukan gerakan lenggut5 sambil duduk. Ketika penari beranjak dari duduknya, mucang kanginan sering sekali tampak, mulai dari awal sampai pertengahan adegan BLC. Selain gerakan yang mucang kanginan, sifat menonjol lainnya yang memperlihatkan nuansa Jawa adalah sifat gerakan yang mbanyu mili.6 Gerakan

3

Cara berpakaian bedaya, terutama yang khas Surakarta, adalah dengan mengenakan dodot, yaitu pakaian khas yang biasanya dipakai oleh kalangan bangsawan pada saat upacara kraton 4

Pucang kanginan artinya batangan pohon pucang yang ditiup angin yang merupakan kata dasar dari mucang kanginan (Brakel-Pappenhujzen, 1991:162). Mucang kanginan

ditafsirkan dalam gerakan tubuh yang seolah-olah terbawa angin ke sana ke mari. 5

Lenggut berarti angguk, yaitu gerakan kepala yang dilakukan oleh penari putri: pada saat berlutut (jengkeng), mula-mula keoada digerakkan ke depan, kemudian diturunkan dan ditarik kea rah tubuh dengan gerakan memutar perlahan dan lemah gemulai. Mengikuti gerakan kepala ini, bagian atas tubuh mula-mula condong ke depan, kemudian lurus lagi. Gerakan ini bisa juga dilakukan sambil berdiri.

6

Mbanyu mili artinya bagai air mengalir. Mbanyu mili merupakan sifat gerakan yang dilakukan dalam gaya tarian puteri ataupun laki-laki alusan. Arus gerak-gerik itu perlahan,

71

yang mbanyu mili ini kental sekali dilakukan sepanjang pertunjukan BCL. Susunan gerak tari BCL mencerminkan sifat lulut, yaitu sifat rangkaian gerak tari yang senantiasa tampak mengalir dan seolah-olah tak terputus. Sifat lulut ini didukung dengan sifat luwes, yaitu pantas, selaras, dan seimbang.7

Kesan Jawa makin mengerucut pada salah satu genre tari Jawa puteri yang cukup dikenal, yaitu bedaya. Kekhasan bedaya ini ditunjukkan dengan penggunaan penari yang semuanya adalah perempuan yang pada umumnya berjumlah sembilan dan mengenakan rias-busana serba kembar.8 Meski mengenakan rias dan busana yang serba sama, penari-penari tersebut bukan berarti mempunyai peran yang sama pula. Paling tidak, ada tokoh utama, yaitu tokoh Batak dan Endhel, yang mempunyai peran yang berbeda. Batak dan Endhel ini biasanya akan terlihat perannya ketika secara simbolis saling melawan dalam adegan perang. Dalam bedaya, meski mempunyai peran yang berbeda, ciri individual memang diabaikan. Umumnya, semua penari melakukan gerakan yang sama. Meski Batak dan Endhel berperang, mereka melakukan gerakan yang sama namun biasanya saling berlawanan arah hadap.

Ada yang menarik dari busana bedaya dalam BLC, yaitu penggunaan

lemah dan gemulai, seperti arus air di sungai (Brakel-Pappenhujzen, 1991:113).

7 Bambang Pudjasworo “Tari Bedhaya Kajian tentang Konsep Estetik Tari Puteri Gaya Yogyakarta,”

Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, April 1993, hal. 5 – 6.

8 Bambang Pudjasworo “Tari Bedhaya Kajian tentang Konsep Estetik Tari Puteri Gaya

Yogyakarta,”

72

srempang 9 yang tidak biasa dikenakan pada penari bedaya. Biasanya srempang dikenakan pada penari wayang wong yang menggunakan endhong dan panahnya. Dalam wayang wong, tokoh alusan, seperti Abimanyu, Arjuna, dan bahkan prajurit putri Srikandi, mengenakan srempang.10 Sekarang srempang tetap dikenakan dalam wayang wong meski tanpa ada panah di punggung tokoh-tokoh tersebut. Srempang ini bila dikenakan pada penari bedaya memberi kesan lebih maskulin. Kemaskulinan bedaya dalam BLC ini terasa pas dengan cerita yang dibawakan, yaitu pertempuran antara kebaikan dan kejahatan meski berakhir damai.

Kesan bedaya tidak hanya tampak pada penari, tetapi juga iringan musiknya yang menggunakan gamelan. Ketika penari mulai membentuk formasi bedaya, yaitu terbentuknya pola lantai montor mabur sebagai ciri khas akan dimulainya bedaya, iringan musik memperkuat formasi bedaya itu (pola lantai montor mabur) dengan terdengarnya gending ladrang garap bedayan, yaitu iringan musik atau gending yang biasanya dipakai untuk mengiringi pementasan bedaya. Meskipun demikian, tidak sepanjang pertunjukan BLC musik yang mengiringi adalah musik bedayan.

Gerak yang ditampilkan oleh penari Jawa memperlihatkan gerakan yang mempunyai kualitas bedaya yang tidak dimiliki oleh macam tari Jawa puteri

9

Srempang adalah kain dengan lebar kira-kira 2,5 cm dan panjang kira-kira 1,5 m yang dikenakan dengan cara meletakkannya di bahu kanan; 5-10 cm menjelang kedua ujung, kain saling dipertemukan di pinggang kiri.

10

73

yang lain.11 Kualitas bedaya ini tampak pada gerak yang mempunyai intensitas tertentu yang hanya dimiliki oleh bedaya. Gerakan ini biasanya dilakukan dengan kecepatan lambat namun tetap mempunyai kekuatan. Intensitas ini juga terlihat pada cara membawakan gerak tersebut yang melibatkan seluruh tubuh, misalnya pada cara menoleh, cara melihat yang tidak boleh terlalu ndhangak. Biasanya penari bedaya mempunyai keleluasaan pandangan melihat ke lantai (cenderung menunduk) sejauh tidak boleh lebih dari dua kali tinggi tubuhnya.

Kesan bedaya yang kuat tersebut sempat dimasuki genre tari yang lain, yaitu langendriyan.12 Yang tampak, para penari menari dengan lemah gemulai sambil nembang. Dalam bedaya standar, penari tidak pernah nembang karena penari bedaya mempunyai karakter yang luruh. Dengan nembang, karakter yang ditampilkan akan lebih branyak. Gaya langendriyan itu tampak pada adegan di padepokan Lemah Tulis pimpinan Empu Barada. Dialog antara Barada dan murid-muridnya dilakukan dengan saling menembang, pun ketika Mpu Baradha hendak mengutus Bahula ke padepokan Walutaneng Dirah. Begitu masuk langendriyan, karakter bedaya yang serba seragam digantikan karakter

11

Brakel-Pappenhujzen (1991: 49 - 51) membagi tari Jawa puteri menjadi beberapa macam, yaitu: tari kraton yang terdiri dari bedaya dan srimpi, dan tari-tarian yang disesuaikan dengan aturan-aturan dan kaidah-kaidah tari klasik, yaitu: Gambyong (Surakarta) dan Golek (Yogyakarta). Golek dan Gambyong mempunyai gerakan yang lincah. Tari ini

mengungkapkan daya tarik perempuan muda. Selain itu, terdapat contoh tari Bondan yang merupakan bukan tarian kraton namun disesuaikan dengan kaidah tari klasik. Penari Bondan biasanya membawa sebuah payung dan boneka dan melakukan gerakan-gerakan menimang-nimang dan menyuapi bayi

12

Langendriyan yang menjadi inspirasi Maruti dalam penggarapan BLC ini adalah langendriyan khas Mangkunegaran. Penari langendriyan semuanya perempuan. Dalam pementasannya, dialog dilakukan dengan nembang. Konon langendriyan dikembangkan dari lingkungan pabrik batik di Surakarta. Di lingkungan pabrik batik ini, pembatik, yang biasanya perempuan, biasanya membatik sambil nembang.

74

langendriyan yang saling berbeda antar tokohnya. Karakter Mpu Baradha menjadi lebih kuat dan dominan. Sebaliknya, karakter murid-muridnya, terutama pada tokoh Bahula, terlihat sangat tunduk pada gurunya. Gerakan tari berkarakter pada saat langendriyan diperkuat dengan iringan garap palaran atau langendriyan.

Meski terinspirasi langendriyan khas Mangkunegaran, pola-pola bedaya tetap dipertahankan dengan adanya gerak-gerak standar bedaya dalam memulai tarian, yaitu: lenggah – sembahan – seleh – sendi – ngigel – golek iwak – sampir sampur – lumaksono – srisig. Ragam gerak atau sekaran khas bedaya yang muncul pada pertunjukan BLC ini adalah sekaran lincak gagak njujut13 dan sekaran sekar suwun14. Lincak gagak njujut kadang-kadang hanya disebut dengan lincak gagak saja karena kata njujut yang ditambahkan sudah termasuk

13

Lincak gagak mempunyai arti lompatan kecil, sedangkan jujut mempunyai arti tarik atau perpanjang. Lincak gagak dilakukan dengan berdiri dengan dua kaki sebaris, kaki kanan ditaruh ke depan, dan segera diikuti oleh kaki kiri yang ditaruh dekat pada kaki kanan itu lagi; kedua tumit sedikit diangkatdari lantai, disusul dengan istirahat sejurus. Lalu langkah itu diulang. Dikombinasikan dengan langkah tersebut, tangan biasanya berada di depan tubuh, dan dalam bentuk varian dari adu jari tengah, tangan kanan ngithing dengan telapak tangan menghadap ke bawah, berada di atas tangan kiri yang ngrayung dengan telapak tangan menghadap ke atas (Brakel-Pappenhujzen, 1991:136 -137).

14

Sekar suwun berarti kuncup bunga. Sekar suwun merupakan serangkaian gerakan rumit, yang bisa dilakukan dengan variasi-variasi dalam detail pada gaya putri dan terkadang

alusan. Gerakan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: berdiri dalam tanjak grodha, tangan kiri berada di depan dahi (trap dhai), dengan siku melipat dan pergelangan melipat ke belakang. Jari-jari dengan ngrayung, telapak tangan menghadap ke depan. Lengan kanan dibuka ke samping kanan, seperti sikap nampa tetapi siku hampir lurus. Tangan kanan

ngithing, da kepala dipalingkan ke kiri. Ketia kedua kaki menggeser ke samping kanan (kesed), berat badan dipindahkan ke kanan, rongga dada mencondong ke kanan. Sesudah du ahitunga gerakan kedu akaki berhenti untuk satuhitungan, berat badan (dan rongga dada) dipindahkan ke kiri, sementara itu kedua lutut dan pergelangan serta siku kanan dilipat. Gerakn in diulang, biasanya dua atau tiga kali lagi. Gerakan selengkapnya,

termauskulangannya, dapat diulang lagi, seringkali dengan sejumlah variasi: arah gerakan

kesed dapat dibalik dari kanan ke kiri, posisi lengan dan tangan dapat dibalik atau diubah. Seringkali tubuh diputar menghadap kea rah yang berbeda, sesudah itu gerakan diulang (Brakel-Pappenhujzen, 1991:167-168)

75

dalam arti sekaran lincak gagak. Selain gerak-gerak tersebut, pola lantai pakem dalam bedaya juga muncul, seperti rakit tiga-tiga, rakit montor mabur atau garudha nglayang, dan rakit jejer atau urut kacang.

Adegan Bahula yang jatuh cinta terhadap Ratna Manggali menjadi pesona pentas itu, saat dua penari, satu penari legong dan satu penari bedaya, menarikan tarian cinta dalam gayanya masing-masing. Sementara 16 penari lainnya mengiringi di belakang. Bahula menyampaikan dialognya kepada Ratna Manggali yang telah resmi menjadi istrinya dengan nembang.

Sebagai seni tradisi, bedaya dan legong telah memiliki ciri khas kekuatan geraknya masing-masing. Ketika keduanya dipertemukan dalam pertunjukan BLC, masing-masing hadir dengan ciri khas yang dibawanya. Pertunjukan BLC memberi kesempatan bedaya dan legong untuk melakukan koeksistensi dalam menampilkan kekuatan geraknya masing-masing. Artinya, masing-masing bisa hadir dengan tradisinya dengan memberi kesempatan yang lain untuk mempertunjukkan kekuatannya.

Dokumen terkait