• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis simbolik bedaya sebagai pemeragaan nilai : studi kasus kepenarian Retno Maruti - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Analisis simbolik bedaya sebagai pemeragaan nilai : studi kasus kepenarian Retno Maruti - USD Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta

Ol

Oleh:

Anastasia Melati Listyorini 046322010

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

(2)

ii TESIS

ANALISI SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI

Oleh:

ANASTASIA MELATI LISTYORINI NIM: 046322010

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. St. Sunardi 27 Februari 2009

Pembing II

(3)
(4)

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis berjudul “Analisis Simbolik Bedaya sebagai Pemeragaan Suatu Nilai: Studi Kasus Kepenarian Retno

Maruti” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 27 Januari 2009

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda-tangan di bawah ini, saya mahasiwa Universitas Sanata Dharma

Nama : Anastasia Melati Listyorini NIM : 046322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

ANALISIS SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI

Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta ijin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis

Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenarnya

dibuat di Yogyakarta

pada tanggal 27 Februari 2009

yang mengesahkan,

(6)

v

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtuaku dan kedua adikku

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Menulis tesis di Program Pasca Sarjana Ilmu Belajar di Ilmu Religi

dan Budaya (IRB) seperti pergumulan perjalanan hidup saya, menantang diri

saya dalam menerima dan memaknai kehidupan secara lebih matang. Belajar di

IRB sama halnya dengan belajar mengenai kehidupan itu sendiri. Berawal dari

rasa haus untuk menyegarkan pengetahuan setelah selama enam tahun bekerja di

Lembaga Studi Jawa dan satu tahun di lembaga pemberdayaan generasi muda,

saya memutuskan untuk kembali belajar serius. Pemilihan universitas dan

program studi menjadi hal yang sangat penting dan terutama karena saya harus

tetap berada di Yogyakarta, kota tercinta. Meski merasa cocok, waktu itu saya

sempat ragu-ragu karena merasa serem dengan judul mata kuliah-mata kuliah

yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Dan saya ingat, waktu itu Romo

Banar meyakinkan saya untuk mendaftar di IRB, dan akhirnya saya mendaftar

pada hari terakhir pendaftaran. Terimakasih buat Romo Banar atas saran yang

tidak salah itu, juga kepada Romo Kuntara yang merekomendasi saya.

Saat-saat pertama mengikuti kuliah merupakan saat adaptasi yang lumayan “membingungkan” sekaligus sebuah passion bagi saya. Saya sangat merasai dan menikmati tahun pertama berkenalan dengan IRB. Tahun kedua merupakan tahun yang “macet”, suatu perjalanan yang maju-mundur yang berkaitan dengan pengalaman di luar studi. Pada saat inilah saya harus menulis

tesis. Pada saat ini pula menulis tesis terasa panjang dan berputar. Menulis tesis

dimulai dengan kesadaran bahwa hidup harus terus berjalan, apapun yang akan

terjadi di depan nanti.

Menulis Tesis bagi saya seperti menulis dan belajar mengenai

kehidupan itu sendiri. Tari merupakan keseharian saya. Bedaya merupakan

tarian yang telah biasa saya tarikan sejak tahun 1994 sampai sekarang di Paku

Alaman Yogyakarta. Dari pengalaman pribadi itu, keingin-tahuan saya tentang

tari itu sendiri ingin saya maksimalkan dalam penulisan tesis saya. Perjalanan

(8)

vii

sendiri. Penulisan itu kemudian bisa berjalan, pelan, ketika saya mulai belajar

iklas untuk menuliskannya. Banyak orang telah membantu dan menguatkan

saya. Terimakasih untuk Pak Nardi yang penuh cinta dan kesabaran

membimbing saya, dalam banyak hal. Terimakasih juga untuk Pak Bambing

yang selalu baik hati bersedia untuk datang ke Sanata Dharma untuk bimbingan

saya. Meluangkan waktu ke Sanata Dharma untuk saya sungguh sesuatu yang

tak ternilai.

Untuk semua dosen yang telah memberikan ilmunya, saya ucapkan

terimakasih: Pak Budiawan, Katrin Bandel, Romo Dipo, Pak Pratik, Bu Ike,

Romo Haryatmoko, Romo Budi, Pak Tri, Romo Hari, Pak Praptomo, dan Pak

Machasin. Terimakasih juga untuk Pak Robert, Romo Baskoro, dan Pak George

yang memperbolehkan saya masuk di kelas sebagai pendengar. Teman-teman

seangkatan yang membuat dinamika di saat-saat kuliah: Lian, Endah, Pak

Bintang, Gombloh, Ayik, mas Dani, mas Ruslani, dan Romo Agus almarhum,

kusampaikan terimakasihku. Tak lupa untuk mbak Henki yang selalu dengan

ramah membantu segala keperluan studi, terimakasih yang tak terhingga.

Kepada Ibu Retno Maruti, mbak Rury, pak Sentot, dan teman-teman di

Padnecwara, atas segala bantuan, waktu, dan segalanya; Kepada Pak Trustho

dan Bli Cau yang membantu saya memahami iringan BLC; saya mengucapkan

terimakasih; tanpa bantuan anda tesis ini tak akan terwujud.

Tesis ini bukan akhir dari belajar atau puncak dari studi. Tesis ini

merupakan satu langkah ke depan untuk terus melangkah dan melangkah ke

langkah depan selanjutnya; belajar untuk senantiasa belajar. Dengan tangan

terbuka, saya menerima segala kritikan dan masukan.

Anastasia Melati Listyorini

(9)

viii ABSTRAKSI

Retno Maruti adalah salah satu dari penari dan penata tari yang dalam hampir setiap garapannya selalu menggunakan bedaya sebagai inspirasi geraknya. Bedaya merupakan tari istana di Jawa, terutama di Yogyakarta (Kasultanan dan Paku Alaman) dan Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) yang biasanya ditarikan oleh sembilan penari putri. Kesembilan penari putri tersebut mempunyai peran yang berbeda-beda. Meski berbeda peran, rias dan busana bahkan seringkali geraknya di antara kesembilan penari itu pada umumnya sama persis.

Bedaya dikenal sebagai tari putri yang paling keramat, paling kuno, dan paling kompleks. Hal ini pun didukung dengan mitos yang menghidupinya. Seringkali disebut bahwa bedaya merupakan tarian yang sakral. Kesakralan ini terlihat dari aturan-aturan yang rumit yang merupakan bagian yang inheren dari bedaya itu sendiri. Siapa yang diperbolehkan menjadi penari, kekompleksan gerakan tari berikut formasi atau pola lantainya, rias dan busana yang rumit, tempat dan waktu pertunjukan yang tertentu, dan segala macam yang harus dipersiapkan yang diyakini merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam bedaya.

Dengan mengambil bedaya sebagai inspirasi Maruti dalam mencipta tari, muncul pertanyaan: simbol bedaya manakah yang diambil oleh Maruti untuk tetap mempertahankan atau meyakinkan bahwa karya tarinya merupakan bedaya atau bahwa karya tersebut mengambil inspirasi dari bedaya? Mengapa Maruti mengambil simbol tersebut?

Suatu simbol (signifier) selalu membawa makna atau arti (signified). Apa yang dimunculkan oleh simbol itu? Apakah arti simbol tersebut bagi Maruti yang terwujud dalam karya-karyanya? Bagaimana simbol tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat pendukung bedaya?

Bedaya sering digambarkan sebagai refleksi keindahan yang selaras dengan budaya alus bagi orang Jawa di kalangan tertentu. Alus dalam bedaya terdapat dalam teknik gerakan dan semua pendukungnya, seperti tata rias dan busana. Koreografi Retno Maruti yang paling akhir (dipentaskan tahun 2006) yang berjudul “Bedaya Legong Calonarang” akan menjadi studi kasus penelitian. Bedaya Legong Calonarang ini merupakan karya kolaborasi antara tari Jawa (bedaya) yang dikoreografi oleh Retno Maruti dan tari Bali (legong) yang dikoreografi oleh Bulantrisna Djelantik. Keduanya (bedaya dan legong) berasal dari lingkunga istana. Suatu karya kolaborasi yang mengkontraskan antara kecantikan dan sublim, antara yang alus Jawa dan dinamis Bali.

(10)

ix PERKEMBANGAN BEDAYA DALAM TARI TRADISIONAL JAWA 20

1. Asal-muasal bedaya 23

1. Retno Maruti Belajar Menari di Surakarta 39 2. Retno Maruti dan Kepindahannya dari Surakata ke Jakarta 41 3. Karya-karya Retno Maruti 43 4. Pemilihan Tema dalam karya Retno Maruti 46

5. Koreografi dalam Karya Retno Maruti 47 6. Laku Spritual Orang jawa Dilatih melalui Tari 49 7. Negosiasi Laku Spiritual Kejawaan Retno Maruti terhadap Bali 51 BAB IV THE AMAZING BEDAYA LEGONG CALONARANG 53

1. Deskripsi Pementasan Bedaya Legong Calonarang 53

(11)

x

2.2 Tata Gerak 69

2.3. Tata Iringan 75 2.4. Tata Pentas 77

3. Bedaya Legong Calonarang sebagai Metamorfosa Bedaya 81

4. Catatan Penutup 87

BAB V PENUTUP SIMBOL BEDAYA DAN KOEKSISTENSI 92

Daftar Pustaka 96

Lampiran 1. Lampiran 1 Mitos Penciptaan Bedaya 99

2. Lampiran 2 Rangkuman Wawancara dengan Theresia Suharti 101

3. Lampiran 3 Rangkuman Wawancara dengan Hajar Satoto 113

4. Lampiran 4 Rangkuman Wawancara dengan Sri Kadaryati 119

5. Lampiran 5 Rangkuman Wawancara dengan Suprapto S 122

6. Lampiran 6 Rangkuman Wawancara dengan Rahayu Supanggah 127

7. Lampiran 7 Rangkuman Wawancara dengan Sri Hastanto 130

8. Lampiran 8 Rangkuman Wawancara dengan Wahyu Prabowo S 133

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

TARI, NILAI ALUS, DAN TUBUH

1. Sebuah Awal

Tahun 2003 di kampung Kemlayan, kota Surakarta (lebih dikenal dengan

kota Solo) diadakan rekonstruksi karya-karya tari Tumenggung Kusumakesawa,

ahli tari dari keraton Surakarta.1 Pada malam itu karya-karya Tumenggung

Kusumakesawa dipergelarkan kembali dan ditarikan oleh mereka yang pernah

menjadi murid Romo Nggung atau Pak Nggung atau pak Menggung, sapaan

akrab Tumenggung Kusumakesawa.

Salah satu karya Tumenggung Kusumakesawa yang dipertunjukkan pada

malam itu berjudul “Retno Pamudya”. Tari “Retno Pamudya” menceritakan

tentang latihan perang yang dilakukan oleh prajurit putri. Properti yang

digunakan adalah panah, lengkap dengan wadahnya yang disebut endhong.

Panah tersebut tidak sekedar dijadikan properti, tetapi betul-betul digunakan

untuk memanah selama tari berlangsung. Meski mengisahkan tentang latihan

perang, “Retno Pamudya” ditarikan bukan oleh dua penari untuk bisa

menggambarkan perkelahian secara lebih nyata, namun ditarikan oleh satu

orang penari putri. Penari yang menarikan Retno Pamudya tersebut adalah

1

(13)

2 Retno Maruti.

Dalam membawakan tarian, Retno Maruti terlihat sangat menyatu

dengan tarian yang ia bawakan. Ia menari dengan sangat lembut sekaligus tegas

dan berani. Sebagai pribadi, ia menjadi lebur dengan tarian itu. Tarian “Retno

Pamudya” itu ia bawakan dengan sangat indah dan “wajar”, tidak ada kesan

dibuat-buat atau diindah-indahkan. Cara menari ini dikenal dengan cara menari

yang sudah mencapai taksu. Taksu merujuk pada kekuatan/spirit/rasa di dalam

(inner spirit) dari seorang penari yang merasuk total ke dalam tarian seseorang

pada waktu ia menari. Sejak melihat penampilannya selama 12 menit itu,

penulis sangat tertarik dengan kepenarian Retno Maruti.

1.1. Latar Belakang Penelitian

Tubuh terbentuk secara kultural. Artinya, cara kita duduk, berjalan,

berbaring mengikuti pola kebiasaan dan lingkungan alam yang ada di sekitar

kita. Misalnya, kebiasaan duduk dengan cara jongkok dimiliki oleh masyarakat

dari daerah tertentu, sementara masyarakat daerah lain tidak mengenal cara

duduk berjongkok ini. Dalam tari, tubuh merupakan media untuk menari,

seperti halnya kanvas merupakan media dalam seni lukis, gamelan dalam

karawitan, dan mobil/sepeda motor bagi seorang pembalap. Melalui tubuh, tari

bisa menceritakan sesuatu, mengungkapkan, dan mengekspresikan diri. Cara

mengekspresikan diri ini tidak telepas dari konteks sosial budaya masyarakat

(14)

3

tertentu, tetapi semata menampilkan keindahan gerak tari itu sendiri.

Bagi kalangan tertentu, nilai-nilai, termasuk di dalamnya

tingkatan-tingkatannya, merupakan sesuatu yang penting. Bagi komunitas Jawa, alus,

merupakan simbol yang penting. Alus tersebut dimiliki atau diklaim oleh

kalangan priayi (lingkaran atas dalam suatu komunitas) dan keluarga kerajaan

Jawa. Karena karakter hegemoniknya yang menyimbolkan kekuatan dan status

sosial tertentu, nilai yang dimiliki oleh priayi tersebut, juga menjadi referensi

nilai bagi orang kebanyakan dengan mempraktikkan tingkah laku kesopanan

tertentu dalam berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku. Dipercaya, bahwa

dengan mempraktikkan alus, seseorang akan dapat mengolah rasa2 dan emosi.

Dilahirkan dan dibesarkan di Surakarta, Jawa Tengah, Retno Maruti3

hidup dalam lingkungan seni. Ayahnya adalah ahli pedalangan di Kraton

Kasunanan dan ibunya adalah seorang pembatik dan sekaligus memiliki usaha

batik di rumahnya. Retno Maruti belajar menari sejak usia lima tahun di kraton

Surakarta. Tempat tersebut sangat tertutup artinya, tidak sembarang orang bisa

masuk ke dalam wilayah itu. Tempat tersebut untuk kelas atas dalam komunitas

tersebut, yaitu untuk keluarga raja, dan teman-teman mereka. Ia mulai menjadi

penari profesional ketika remaja sebagai penari "kijang kencana" dalam

2

Rasa berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan konsep kesadaran olah batin, termasuk olah seni, di dalam komunitas Jawa yang berhubungan dengan bagaimana berkelakuan di depan orang lain yang didasarkan pada cara berpikir orang Jawa.

3

(15)

4

sendratari Ramayana di Candi Prambanan, Yogyakarta. Presiden pertama

Indonesia, Ir. Sukarno, tertarik padanya dan mengundangnya untuk menari di

Istana Negara, Jakarta (1965). Kemudian ia menjadi duta seni untuk

memperkenalkan tari Indonesia dengan penari-penari lainnya dari Indonesia,

seperti penari Bali Bulantrisna Djelantik, di beberapa negara seperti Jepang, US,

Korea Selatan, dan Thailand.

Posisinya sebagai dosen pada Jurusan Tari, Institut Kesenian Jakarta

(IKJ) membuatnya lebih mudah untuk diterima sebagai penari “kualitas tinggi”

oleh komunitas Jakarta. Ia lebih mudah untuk mengekspresikan tari dan

koreografinya tari tradisional yang ia kuasai. Ia menjadi salah satu pelopor

untuk mempertahankan tari tradisional Jawa agar dapat bertahan di Jakarta.

Keahliannya dalam menari makin matang ketika ia mendirikan sanggar tari

Padnecwara pada 1976 di Jakarta. Sejak 1976, ia mulai menjadi salah satu

penari dan koreografer yang mempengaruhi perubahan tari Indonesian

(Murgiyanto, 1991).4

Media massa nasional mempunyai pengaruh yang penting untuk

mengangkat namanya. Harian Suara Pembaruan, Kompas dan Republika,

mingguan Tempo and Gatra telah memuatnya dalam publikasi mereka mengenai

4

(16)

5

wacana Retno Maruti dan tari istana Jawa dalam setiap pertunjukannya dan

menulisnya dalam kolom mereka sebagai maestro tari. Masyarakat menjadi

makin mengetahui Retno Maruti karena berita tersebut. Beberapa penghargaan

dari pemerintah dan swasta telah dia dapatkan.5 Ensiklopedi Tokoh Indonesia

(Indonesian Famous.com) menyebutkan bahwa Retno Maruti menjadi maestro

tari istana Jawa karena ia dapat mengkreasi tari Jawa yang “tua” dan

mengkombinasikannya menjadi rasa “modern”.

Budayawan Goenawan Mohamad (2004) menyatakan dalam buklet

bahwa Retno Maruti adalah “a model of mystical beauty of Javanese dance”.

Sardono W. Koesoema (2004), salah satu penari dan koreografer Indonesia,

mengomentarinya sebagai “putri Solo yang tidak keribetan sinjang”. Solo atau

Surakarta dalam hal ini diidentikkan dengan pakaian tradisi jarik/sinjang.

Artinya, sebagai seorang seniman, Retno Maruti dapat mencapai sukses dalam

kehidupannya, tidak hanya mempertunjukkan ketrampilannya dalam

koreografinya dan membawanya dengan mudah dalam pertunjukannya. Bukan

hanya kritikus dan media massa yang memberinya komentar dan penghargaan.

Sunan Paku Buwana XII, Raja Surakarta memberinya penghargaan title sebagai

Kanjeng Mas Ayu (KMA) Kumalaningrum karena dedikasinya. Dengan

demikian, ia telah benar-benar masuk dalam lingkungan atas komunitas Jawa.

5

(17)

6

Sosok Retno Maruti sebagai penari tradisi Jawa yang terkenal nampak

ketika ia mempertunjukkan koreografinya yang paling akhir, yaitu “The

Amazing of Bedaya-Legong Calonarang” pada April 2006 di Jakarta.

Pertunjukan “The Amazing Bedaya-Legong Calonarang” sungguh-sungguh

menakjubkan yang merupakan percampuran antara tari tradisi Jawa dan Bali.

Dalam pertunjukan besar tersebut, mereka membutuhkan sponsor. Dari sponsor

yang terlihat, berasal dari iklan yang terpandang. Sosok cantik penari bedaya

atau tarian bedaya itu sendiri dihadirkan sponsor produk kosmetik ternama

(Martha Tilaar Production, Puan, the Jakarta Boutique Clinic) dan majalah

perempuan (Her World, Femina, dan Dewi). Selain itu, juga harian Suara

Pembaruan dan Republika yang memiliki komunitas religi yang berbeda yaitu

Kristen dan Islam6. Suara Pembaruan menyebutnya sebagai tokoh tari klasik

Jawa. Dalam wawancaranya dengan harian Suara Pembaruan (29 Maret 2006),

Retno Maruti menyampaikan komentar mengenai situasi terkini politik

Indonesia. Ia mengatakan bahwa meski Jawa dan Bali berbeda, mereka dapat

berpentas bersama sehingga kita bisa memberikan sesuatu yang kita punya

kepada Indonesia. Karena ia seorang penari, ia memberikan pertunjukan tari

untuk masyarakat. Suara Pembaruan dalam profilnya menyebutnya sebagai:

Bhinneka Tunggal Ika tanpa Kata. Salah satu sponsor yang memiliki billboard

terbanyak adalah rokok Sampoerna. Sampoerna memiliki motto: Sampoerna

6

(18)

7

untuk Indonesia. Di bawah motto, ditambahkan dengan: Tradisi Kesempurnaan,

warisan nenek moyang kita. Kalau bukan kita yang meneruskannya, lalu siapa?

Sampoerna yang memiliki sebuah image bahwa seni tradisi ingin menegakkan

image-nya dengan mensponsori pertunjukan Retno Maruti yang sangat dekat

dengan tradisi, khususnya tradisi Jawa.

Menurut Murgiyanto (1992), Retno Maruti dihargai karena karya dan

upayanya untuk mengkreasi tari yang bersumber dari tari tradisi, khusunya tari

tradisi Jawa. Tanpa mengetahui nilai Jawa secara matang, Retno Maruti tidak

akan bisa menjadi salah satu koreografer yang mempengaruhi perkembangan

tari di Indonesia. Karena nilai tradisinya, ia memunculkan kearifan lokal yang

terkesan “tua” kepada masyarakat modern Jakarta melalui tari.

Retno Maruti menyatakan bahwa bila seseorang menari, ia harus

melepaskan egonya yang membuatnya menjadi kasar. Ia menginterpretasikan

dan mempraktikkan nilai tertentu yaitu sabar, trima, and iklas7. Murgiyanto

menambahkan bahwa alus, lemah lembut, dan kemampuan untuk

mengendalikan emosi merupakan nilai ideal perempuan Jawa. Dalam seni

istana, formalitas, kelemahlembutan, dan keanggunan lebih diberikan prioritas

dariapada komunikasi yang mempunyai arti.

Soerjobrongto (1970:11) menganggap bahwa menarikan tari klasik dapat

7

Sabar bukan berarti tidak boleh marah, tetapi seseorang dapat mengendalikan dirinya dalam mneghadapi masalahnya. Trima bukan berarti seseorang menerima segalanya dengan pasif, tetapi ia harus melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Jika ia gagal, ia harus menginterpretasikannya sebagai nasib yang tak seorangpun dapat mengubahnya. Iklas

(19)

8

membantu mengembangkan kehalusan mental. Tari klasik di Jawa dihargai

bukan karena kualitas pertunjukan ataupun sebagai media untuk memukau

penonton (Brakel-Pappenhuyzen 1991: 21). Lebih dari itu, tari Jawa klasik,

menurut Joged Mataram8, harus ditarikan sebagai praktik spiritual, untuk

menanamkan banyak karakteristik mental seperti sawiji-konsentrasi, greget,

sengguh, ora mingkuh. Orang Jawa percaya bahwa makna kehidupan adalah

kesempurnaan laras, sebuah harmoni ekstrinsik, yang diikuti dengan kekuatan

harmoni yang intrinsik (larasing batin). Itu dipercaya oleh sebagaimana orang

Jawa akan mempengaruhi keyakinan mereka dalam mengendalikan pikiran dan

perasaan. Karena pengendalian perasaan dan pikiran tersebut, tari Jawa terlihat

seperti tanpa ekspresi, khususnya bila kita membandingkannya dengan tari

India/Bali.

Dalam menjalankan pedoman menari tersebut, tentunya dibarengi

dengan teknik menari yang memadai yang dilatih secara terus-menerus agar

tubuh menjadi tubuh yang cerdas. Dalam menari, pada suatu tahapan tertentu,

seperti yang terjadi pada Retno Maruti, terjadi self-control yang merupakan

suatu upaya untuk menguasai suatu teknik menari dan ecstasy, kenikmatan

menari.

Sebagai seorang penari, Retno Maruti telah meraih apa yang disebut

taksu. Menurut Lim, taksu refers to the inner feeling/spirit/strength of the

8

(20)

9

dancer, of being in total immersion, comprehension and awareness of one’s

dancing at that moment. Sedangkan menurut Gunarsa dalam Seng (2001),

ketika kita berbicara mengenai seni Bali, konsep taksu terdiri dari aspek estetis

maupun religius. Aspek estetis termasuk keterampilan artistik yang teknis, nilai,

dan apresiasi, sementara aspek religius menyangkut konsep sakti

(religius/kekuatan spiritual.

Karakter alus dapat diidentifikasi melalui setiap bagian dari pertunjukan,

seperti postur penari, gerakan, dan pola lantai. Ketika kita membicarakan Retno

Maruti yang mengelola nilai tersebut di dalam tari dan koreografinya, bisa kita

lihat pada sikap muka, mata, sikap tangan, sikap kaki, kostum dan asesoris. 9

Dalam disertasinya, Murgiyanto juga mencatat adanya the “alus artcomplex of

Javanese in the dance drama of Sekar Pembayun, that are lakon (literary plot or

scenario), tembang (song), joged (dance), gamelan (musik), and batik.

Bagaimana dengan gerakan tarinya? Gerakan dalam tari Jawa

memperlihatkan suatu atmosfer pelan, keanggunan, dan gelombang.

Gerakannya seperti air yang mengalir (mbayu mili).

Suatu seni pertunjukan akan dipertunjukkan karena beberapa hal.

Mungkin pertunjukan itu untuk menjaring sebanyak-banyaknya penonton,

sehingga dalam hal ini selera “pasar” sangat mendominasi. Dengan demikian,

9

(21)

10

kemasan dalam seluruh rangkaian seni pertunjukan sangat diarahkan untuk

menjaring penonton. Sementara di pihak lain, suatu seni pertunjukan hadir

sebagai ritus, yang kehadirannya tidak “dipengaruhi” oleh penonton (jumlah

penonton). Seni seperti ini hadir sebagai upaya olah rasa, yang tidak hanya

ditampilkan dalam menari, tetapi juga bagaimana memahami suatu nilai-nilai,

memperagakan/menjalaninya yang terwujud dalam menari.

Ketika seorang penari melakukan suatu tarian, ia menggunakan tubuhnya

sebagai media untuk menyampaikan suatu tanda, suatu rasa. Dalam

menyampaikan suatu tanda, penari menggunakan suatu teknik menari (dancing

technique) yang diolahnya terus-menerus selama ia menari. Teknik menari ini

bisa saja merupakan suatu upaya mengendalikan tubuh atau suatu upaya

menyembunyikan gairah hidup orang Jawa, yang akhirnya terbentuk sebagai

sebuah tradisi. Seni tradisi sebagai wadah Retno Maruti menggeluti

kesenimanannya, menempatkan Retno Maruti sebagai sebuah ikon dalam seni

tradisi.

Sal Murgiyanto (1991) menyebut bahwa Retno Maruti sebagai salah satu

dari empat koreografer yang dianggap sebagai pilar dengan mempunyai gagasan

dan kreasi yang mempengaruhi perubahan tari di Indonesia selama empat

dekade terakhir. Selain Retno Maruti, koreografer dan sekaligus penari yang

sangat berpengaruh adalah Sardono W. Kusumo, Bagong Kussudiardja, dan satu

penari dari Sumatera Barat, yaitu Huriah Adam. Empat koreografer tersebut

(22)

11

masing-masing. Bagong Kussudiardja di dalam pencarian ekspresi individunya

berawal dari tari klasik Yogyakarta, Retno Maruti yang disebutnya melakukan

rekonstruksi tari Jawa mengawalinya dari tari klasik Surakarta, Huriah Adam

yang meredefinisikan tari Minangkabau mengawalinya dari tari tradisi Minang,

dan Sardono W. Kusumo yang disebutnya sebagai seorang cultural traveler

memulai karir kesenimanannya sebagai penari klasik Surakarta. Sal melihat

adanya proses inovatif masing-masing koreografer tersebut dalam

memoderenkan suatu culture, dan memperlakukannya bukan sebagai sebuah

artifacts dengan mengadaptasi ke dalam gagasan baru dan kondisi baru.

Indikator lain selain pengakuan dari tokoh seni pertunjukan, juga adanya

sanggar tari yang didirikan oleh Retno Maruti pada 1993 yang merupakan salah

satu bentuk kepercayaan publik akan kualitas kepenariannya. Bentuk pengakuan

lain terhadap Retno Maruti kemunculannya sebagai penari dalam sebuah acara

pemberian penghargaan kepada salah satu ahli karawitan dari Yogyakarta.

1.2. Rumusan Penelitian

Bedaya sebagai tari tradisi mempunyai simbol-simbol yang disepakati

oleh pendukungnya. Berdasarkan pada gagasan di atas, muncul beberapa

pertanyaan.

1. Bagaimana simbolisasi dalam tari, antara lain mencakup gerak,

kostum, dan panggung, dan siapa yang mempergunakan simbolisasi

(23)

12

2. Sejauh mana tari bisa dipandang sebagai praktik spiritual pada orang

Jawa untuk mencapai keharmonisan batin?

3. Apa kedudukan alus dalam budaya Jawa sebagaimana ditarikan oleh

Retno Maruti?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari ketiga pertanyaan di atas, tujuan yang akan dicapai dalam penelitian

ini sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mencari simbolisasi dalam tari karya

Retno Maruti, terutama yang berjudul “The Amazing Bedaya Legong

Calonarang”.

2. Di samping itu, penelitian ini juga bertujukan untuk menemukan arti

penting menari bagi orang Jawa, kaitannya dengan praktik spiritual

untuk mencapai keharmonisan batin.

3. Dari kedua temuan tersebut, tujuan berikutnya adalah mencari arti alus

dalam budaya Jawa melalui tari karya Retno Maruti, terutama yang

berjudul “The Amazing Bedaya Legong Calonarang”.

1.4. Signifikansi Penelitian

1. Dengan melihat kepenarian Retno Maruti dan simbol-simbol yang

menjadi bagian dari karya tari Retno Maruti, penelitian ini diharapkan

(24)

13 praktik spiritual orang Jawa.

2. Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan gambaran di balik

praktik kebatinan melalui tari sebagai upaya untuk mencapai alus dalam

tradisi Jawa.

3. Selain itu, penelitian ini dapat mendorong kita untuk lebih kritis terhadap

tradisi alus dalam praktik tari tradisional Jawa yang hidup di keraton.

2. Tinjauan Pustaka

Tinjauan mengenai Retno Maruti secara khusus pernah ditulis oleh Siti

N. Kusumastuti dan Sal Murgiyanto. Siti N. Kusumastuti dalam Tari Tradisional

Jawa Surakarta di Jakarta: Kajian Kasus terhadap Retno Maruti dan Karyanya

mencoba untuk mengkaji tari tradisional Jawa (gaya) Surakarta di Jakarta.

Tulisan ini berusaha untuk memahami tari tradisonal Jawa Surakarta di luar

lingkungan tumbuh kembangnya, yaitu di Jakarta. Pemahaman ini didasari

adanya konsep persebaran budaya yang menganut anggapan dasar bahwa

unsur-unsur kebudayaan pada dasarnya dapat menyebar dari satu tempat ke tempat

lain, seiring dengan persebaran masyarakat pendukungnya. Fokus penelitian

Kusumastuti ini adalah Retno Maruti bersama perkumpulan tarinya yang diberi

nama Padnecwara dan salah satu karya Retno Maruti yang berjudul Abimanyu

Gugur.

Penelitian ini beranggapan bahwa Retno Maruti menjadi seniman tari

(25)

14

ia memiliki bakat besar dari ayahnya, memiliki minat pada kesenian yang

bertumbuh dengan baik karena berada dalam lingkungan berkesenian, dan

dedikasinya yang tinggi pada kesenian. Juga sikapnya yang halus, supel, dan

terbuka terhadap segala kemungkinan sehingga ia berani untuk melakukan

penjelajahan-penjelajahan dan pengembangan terhadap tradisi. Kusumastuti

dalam tulisan ini memusatkan perhatian pada upaya yang dilakukan Retno

Maruti dalam menjalani karirnya sebagai seniman tari yang menghasilkan karya

tari yang berkualitas dan dinantikan kehadirannya.

Sal Murgiyanto dalam Moving Between Unity and Diversity: Four

Indonesian Choregraphers (1991) menulis tentang empat koreografer yang

mempengaruhi perkembangan tari di Indonesia pada tahun 1990-an. Ke empat

koreografer dan sekaligus penari tersebut adalah penari dari Minangkabau,

Huriah Adam, dari Solo, Sardono W. Kusumo, dari Yogyakarta, Bagong

Kussudiardja, dan Retno Maruti. Ke empat koreorafer tersebut dipilih karena

dianggap telah memodernisasi tari sebagai sebuah kultur, bukan sebagai artefak.

Murgiyanto juga menganggap, melalui pertunjukan-pertunjukannya, koreografer

tersebut telah menjadi agen perubahan. (agents of change).

Lebih jauh mengenai Retno Maruti, Murgiyanto memfokuskan pada

karya Maruti mengenai “Panembahan Senopati”, tokoh berpengaruh dalam

lahirnya Kerajaan Mataram. Yang menarik bagi Murgiyanto adalah pemilihan

Maruti pada penokohan dalam cerita “Panembahan Senopati”. Maruti tidak

(26)

15

Mangir, tetapi pada karakter perempuan, yaitu Sekar Pembayun, anak

Panembahan Senopati sekaligus istri musuh ayahnya, Ki Ageng Mangir. Maruti

menonjolkan sikap bakti Sekar Pembayun sebagai sebuah refleksi rasa, yang

merupakan esensi karya Maruti.

What is Dance: Readings in Theory and Criticism (1983) oleh Roger

Copeland dan Marshall Cohen (ed.) berupaya untuk mengidentifikasi dan

menguji isu dasar mengenai estetika tari. Pengertian bahwa tari merupakan

bentuk ekspresi atau emosi atau representasi banyak dipertanyakan. Buku ini

juga menguraikan bagaimana pleasure diproduksi. Buku ini berisi tentang

medium tari, tari kaitannya dengan seni yang lain, genre dan model dalam tari,

notasi dan identitas dalam tari, dan kaitan antara tari dan masyarakat.

Clara Brakel-Papenhuijzen dalam The Bedhaya Court Dances of Central

Java (1992) mengupas tari bedaya dan srimpi yang ada di keraton Surakarta dan

Yogyakarta. Brakel-Papenhuijzen mencatat teks tembang dalam pertunjukan

bedaya berikut notasi iringannya. Brakel-Papenhuijzen juga menggambar pola

lantai bedaya yang merupakan unsur penting dalam pementasan bedaya. Urutan

gerak dan hitungan gerakan bedaya dituliskan secara detail. Buku kedua yang

juga ditulis oleh Brakel-Papenhuijzen yang akan dijadikan sumber referensi

mengenai tari tradisional berjudul Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan

Peristilahannya (1991). Buku ini memuat metode menari gaya tari tradisional

Surakarta, dilengkapi dengan sketsa. Buku ini juga menuliskan tentang berbagai

(27)

16

Peristilahan dalam tari tradisional Surakarta juga dicatat dalam buku ini.

Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa (1998) karya Paul

Stange merupakan buku yang mengupas tentang rasa dalam praktik dan

hubungan sosial orang Jawa. Logika rasa tersebut oleh Stange juga dikaitkan

dengan pertunjukan tari di Surakarta.

3. Landasan Teori

Bedaya sebagai suatu bentuk tari yang berasal dari keraton diyakini

mempunyai nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan orang Jawa, terutama

perempuan Jawa, menjadi seorang perempuan yang ideal. Nilai kelembutan,

ketaatan, dan ketenangan yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tari

merupakan hal yang bisa dilihat. Untuk mencapainya, orang harus melalui laku

spiritual dalam rangka intrenalisasi nilai-nilai Jawa.

Dalam “The Amazing Bedaya Legong Calonarang”, Retno Maruti justru

melakukan negosiasi bagaimana keidealan suatu nilai perempuan Jawa

dihadirkan kembali pada masa sekarang. Retno Maruti menghadirkan

bedayanya dengan lebih canthas. Tari Bali yang dikenal dinamik dengan

volume gerak yang lebar dan dengan kecepatan gerak yang lumayan tinggi

dibandingkan dengan tari Jawa dihadirkan bersama dalam satu repertoar yang

judulnya telah disebutkan di atas.

Ketika berhadapan dengan Bali, bedaya melakukan reidentifikasi

(28)

17

spirit antara dionysian dan apollonian. Dalam pertunjukan “The Amazing

Bedaya Legong” ini, antara (gaya tari) Jawa dan Bali tampak kontras, Bali yang

tampak psikotik menjadikan Jawa tampak neurotik, atau sebaliknya. Jawa yang

tampak cantik beradapan dengan Bali yang sublim.

4. Metode Penelitian

Penelitian ini mengunakan metode kualitatif. Metode yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terutama kepada Retno

Maruti, beberapa penari yang paling sering terlibat dalam karyanya, dan

beberapa seniman tari yang mengenal Retno Maruti dan yang masih

aktif terlibat dalam seni pertunjukan di Indonesia. Wawancara ini

dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai apa itu bedaya dan apa

itu menari bagi orang Jawa.

2. Studi Pustaka. Literatur yang paling dibutuhkan untuk mengupas Retno

Maruti berkaitan dengan tari yang menjadi gagasan awal penciptaan

karya-karyanya, yaitu terutama bedaya, dan buku mengenai cara melihat

estetika di kalangan orang Jawa.

3. Observasi. Observasi dilakukan di sanggar Padnecwara milik Retno

Maruti di mana ia melakukan upaya untuk mengenalkan seni

pertunjukan kepada orang lain. Observasi juga dilakukan pada event di

(29)

18 5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari penelitian yang berjudul “Analisis Simbolik

Bedaya sebagai Pemeragaan Nilai: Studi Kasus Retno Maruti” akan terbagi

dalam lima bab. BAB I membahas pendahuluan yang berisi tentang Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi

Penelitian, Metode Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. Bab II

akan membicarakan tentang Perkembangan Bedaya dalam Tari Tradisional di

Jawa. Jawa yang dimaksud di sini khususnya merujuk pada Jawa Tengah

(terutama Surakarta) dan Yogyakarta. Subbab dalam Bab II meliputi Tradisi dan

Asal Muasal Bedaya, Simbolisme dalam Bedaya tradisi, dan bagaimana

simbolisme itu digunakan dalam karya-karya Maruti.

Bab III akan membahas Retno Maruti dan Karya-karyanya. Pembahasan

diawali dari masa kecil Maruti saat Maruti belajar menari di Surakarta. Subbab

ini menceritakan tentang sejak pertama kali Maruti masuk dalam dunia tari yang

akhirnya membentuk sikapnya yang khas. Subbab ke-2 adalah Maruti dan

Kepindahannya dari Surakarta ke Jakarta. Subbab ini mengurai Maruti yang

penari Jawa, yang melanjutkan kepenariannya di kota urban Jakarta. Di dalam

subbab ini akan dijelaskan bagaimana Maruti menempatkan tarinya di

masyarakat urban Jakarta. Subbab ke-3 membahas tentang Karya-karya Retno

Maruti. Subbab ini menjelaskan satu per satu karya yang berhasil diciptakan

(30)

19

Karya Retno Maruti dan bagaimana Maruti mencipta/mengkreasikan tari akan

dibahas dalam bab ini.

Bab IV adalah Studi Kasus Karya Retno Maruti: The Amazing

Bedaya-Legong Calonarang (BLC). Bab ini akan mendeskripsikan bagaimana

pertunjukan BLC itu berlangsung pada saat pementasan terjadi. Bentuk

penyajian juga akan dibahas, yang di dalamnya terdapat dasar penyajian, tema,

dan sekuen penyajian. Subbab selanjutnya mengenai bagaimana metamorfosa

bedaya itu terjadi dalam karya Maruti, dari bedaya yang standar ke bedaya yang

terdapat dalam BLC. Bedaya sebagai pendidikan bagi orang Jawa akan

disinggung pada subbab selanjutnya. Bab V merupakan bab terakhir sebagai

(31)

20 BAB II

PERKEMBANGAN BEDAYA DALAM TARI TRADISIONAL JAWA

Dalam tradisi Jawa, terutama di keraton, kehadiran tari sangat penting.

Kehadirannya dibedakan dalam dua kategori, yakni tari tradisional kerakyatan

dan tradisional klasik/istana.1 Tari tradisional kerakyatan merupakan tari yang

hidup di lingkungan rakyat kebanyakan, misalnya tayub, jathilan, badut, ndolalak, kethek ogleng, dan srandul. Biasanya tari kerakyatan dikenali karena gerak dan cara pertunjukannya yang sederhana. Tarian tersebut mempunyai

fungsi, baik sebagai hiburan ataupun ritual. Beberapa tari kerakyatan berfungsi

keduanya sekaligus, yakni sebagai hiburan sekaligus ritual, seperti tayub, badut,

dan jathilan. Pertunjukan yang berfungsi ganda ini umumnya dikaitkan dengan ritus yang berkaitan dengan kesuburan tanah dan tanaman. Tarian ini biasanya

dipergunakan sebagai wahana untuk berhubungan dengan “yang gaib” pada

upacara memetri desa atau bersih desa atau bersih lepen.2 Dengan dipertunjukkannya tari tersebut, diharapkan aliran air akan lancar, hama

tanaman lenyap, dan tanaman tumbuh subur, sehingga panen berhasil.

Tari tradisi klasik/istana adalah tari yang hidup di lingkungan istana.

Istana atau kraton yang dimaksud di sini adalah kraton Surakarta (Kasunanan)

dan Yogyakarta (Kasultanan), dan dua kraton yang dulunya adalah milik

1

Edi Sedyawati, ed. Performing Arts, Singapore: Archipelago Press, 1998, hlm. 76. 2 Anastasia Melati Listyorini, “

Badhut Sinampurna sebagai Wahana Ruwatan di Desa Ploso

(32)

21

pangeran, disebut kadipaten, yaitu: Mangkunegaran di Surakarta dan Paku

Alaman di Yogyakarta. Tari istana atau sering disebut dengan tari klasik

merupakan tarian yang diciptakan dan dipergelarkan di istana yang mempunyai

teknik tari yang lumayan rumit sehingga diperlukan latihan yang disiplin

terus-menerus. Tari istana biasanya dipertunjukkan tidak di sembarang waktu dan

tempat, tetapi hanya pada saat upacara kerajaan sehingga disebut tari sakral.3

Tari klasik ini biasa disebut dengan beksan atau jogedan untuk menggambarkan

suatu pengolahan pola gerak yang kompleks.4 Oleh karena itu, tari klasik

biasanya dipelajari dalam kurun waktu yang lama.

Tari klasik ini bisa ditarikan oleh semuanya perempuan, disebut beksan putri, semuanya laki-laki, disebut beksan kakung atau beksan putra, atau campuran yang biasanya terdapat pada tarian wayang yang disebut beksan wayang. 5 Beksan putri dan beksan putra memainkan komposisi tari murni atau non-dramatik, tidak menunjukkan tema yang bersifat dramatik. Tarian wayang

selalu memberikan tema bersifat dramatik yang diambil dari konteks sastra,

sejarah, atau teater (wayang).

Terdapat dua macam beksan putri yang dianggap keramat, yaitu bedaya dan srimpi. Umumnya, bedaya dianggap paling keramat, paling kuno, dan

paling kompleks. Bedaya adalah koreografi tari yang paling panjang dan paling

3

Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedhaya Court Dances of Central Java, Koln: E.J. Brill, 1992, hlm. 1.

4

Clara Brakel-Papenhuijzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, Jakarta: Indonesia Linguistics Development Project, 1991, hlm. 17. Beksan dipergunakan untuk terminologi tari Surakarta seperti halnya istilah jogedan pada tari Yogyakarta.

5

(33)

22

rumit, yang biasanya diberi nama menurut tema musik yang dominan,6 misalnya

dinamakan Bedaya Ketawang karena diiringi gending Ketawang, dinamakan

Bedaya Tejanata karena diiringi gending Tejanata, dan seterusnya. Bedaya

biasanya ditarikan oleh sembilan penari, tetapi ada juga bedaya yang ditarikan

oleh tujuh penari.7 Suatu bentuk untuk tujuh penari biasanya dipentaskan di luar

kraton, yakni di kediaman pangeran dan bupati.

Bedaya dalam penampilannya selalu mempunyai cerita atau tema. Isi

cerita bedaya bermacam-macam. Cerita bedaya ini diketahui dari pesindhen yang menyanyikan syair selama pertunjukan bedaya berlangsung. Mulanya

bedaya menggambarkan percintaan, seperti dalam “Bedaya Ketawang” yang

menggambarkan percintaan raja Mataram dan Ratu Kidul, juga “Bedhaya

Gadhung Mlathi”. “Bedaya Dorodasih” juga menggambarkan percintaan antara

Sunan Paku Buwana IV dan R.A. Handaya, dan “Bedaya Wiwaha Sangaskara”

di Kasultanan yang disebut juga “Bedaya Manten”. Perkembangannya

kemudian, banyak bedaya yang menceritakan tentang peperangan, misalnya

“Bedaya Bedah Madiun” menggambarkan pererangan antara Mataram dan

Madiun, “Bedaya Babar Layang” menggambarkan peperangan antara putra

mahkota Kerajaan Kandhabuwana dan ratu dari kerajaan Ngambar Kumala.

Bedaya juga bisa diciptakan dan dipentaskan untuk memberikan penghormatan,

seperti “Bedaya Sang Amurwabhumi” yang merupakan penghormatan Sultan X

6

Felicia Hughes-Freeland, Embodied Communities, Dance Traditions and Change in Java, Oxford: Berghahn Books, 2008, hlm. 43

7

(34)

23

kepada Sultan IX atas penanaman dasar-dasar untuk menggalang kepemimpinan

yang baik. Bedaya yang paling terakhir diciptaan di kasultanan adalah “Bedaya

Sabda Aji” yang dipersembahkan Ibu Sri Kadaryati sebagai pelatih dan penata

tari kraton kepada Ngersa Dalem (Sultan HB) X. Bedaya ini merupakan

pengembangan dari tari “Golek Menak” yang diciptakan pada jaman Sultan HB

IX.8

Beksan putri selain bedaya adalah srimpi. Srimpi lebih ringan daripada bedaya. Aturan dalam simpi juga tidak seberat aturan dalam bedaya. Oleh

karena tidak keramat seperti bedaya, srimpi leh banyak dipentaskan daripada

bedaya. Srimpi biasanya ditarikan oleh empat penari. Namun, seperti halnya

bedaya, perubahan bisa saja terjadi atas kehendak raja. “Srimpi Renggawati” di

Kasultanan mempunyai penari berjumlah lima orang. Dalam bab ini, penulis

akan menguraikan lebih jauh mengenai bedaya, yaitu mengenai tradisi bedaya

dan asal muasalnya, simbolisme bedaya, dan bedaya sebagai pendidikan.

1. Asal-muasal bedaya

Bedaya diduga ada sejak jaman kerajaan Hindu meski tidak diketahui

secara tepat tahun berapa. Pada jaman kerajaan Hindu, bedaya melambangkan

kehadiran dewi-dewi dan dipertunjukan oleh tujuh penari. Pada jaman Mataram

Islam, bedaya kemudian ditarikan oleh sembilan penari. Konon jumlah sembilan

8

(35)

24

merujuk pada Wali Sanga, yaitu sembilan wali yang menyebarkan agama Islam.9

Bedaya merupakan lelangen dalem (kewenangan raja)10 sekaligus kelangenan dalem (hiburan raja)11. Disebut lelangen dalem karena bedaya hadir selalu atas perintah raja. Seperti telah disebutkan di atas, pada umumnya bedaya ditarikan

oleh sembilan penari. Namun karena alasan tertentu, atas perintah raja, bedaya

bisa dipertunjukkan oleh tujuh penari, contohnya “Bedaya Sapta” ciptaan HB IX

atau “Bedaya Tejanata”12

yang popular pada jaman Paku Alam VII. Paku

Alaman bahkan mempunyai bedaya yang berjumlah genap yaitu delapan penari,

suatu jumlah yang sangat jarang dalam pertunjukan bedaya, yang diberi judul

“Bedaya Renyep”. “Bedaya Renyep” diciptakan pada pemerintahan Paku Alam

VIII.

Di Kasultanan jaman HB IX, bedaya juga bisa diciptakan untuk ditarikan

oleh enam penari, yang disebut “Bedaya Manten” atau “Bedaya Wiwaha

Sangaskara”. Bahkan, kesamaan dalam busana dan rias sebagaimana ciri khas

bedaya “dilanggar” pada “Bedaya Manten” ini. Keenam penari “Bedaya

Manten mengenakan busana yang tidak sama: dua penari berias dan

berpakaian seperti pengantin dengan busana dodot ageng, empat orang penari dengan busana mekak. Hal ini membuktikan bahwa meski bedaya biasanya

9

Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedaya Court Dances of Central Java, Koln: E.J. Brill, 1992, hlm. 40-41.

10

Hughes-Freeland, “Art and Politics: From Javanese Court Dance to Indonesia Art”, The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 3, No. 3 (Sep., 1997), hlm. 473- 495. 11

ibid., Hlm. 5. 12

(36)

25

mempunyai “aturan” tertentu, kalau raja menginginkan sesuatu yang lain maka

penciptaan bedaya itu bisa saja terjadi. Selain itu, pemadatan durasi bisa terjadi

atas perintah raja. Bedaya Ketawang yang merupakan sumber dari segala

sumber penciptaan bedaya pun mengalami perubahan dengan dilakukannya

pemadatan durasi ketika raja berkehendak, yaitu dari sekitar empat jam menjadi

kurang dari dua jam pertunjukan. Pemadatan durasi ini terjadi pada

pemerintahan Sunan Paku Buwana X.13 Bedaya Ketawang yang telah

dipadatkan inilah yang ditarikan hingga sekarang dan dianggap sebagai sumber

penciptaan bedaya selanjutnya, yang disebut mutrani.14

Sebagai kelangenan dalem, bedaya merupakan sarana hiburan raja atau kesukaan raja. Kelangenan di sini mengimplikasikan pada sesuatu yang lebih yang mungkin digunakan untuk menyebut selir atau perempuan kesayangan,

atau secara umum merujuk pada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan

yang kuat.15 Istilah bedaya sendiri mengacu pada tari dan pada penari bedaya,

sebagai subyek dan sebagai obyek dari kelangenan.16

Para penari bedaya awalnya adalah putri-putri kerabat kraton yang harus

memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti yang tertera dalam Serat Weda

Pradangga17 yang ditembangkan ketika Bedaya tampil yang dikutip oleh Brakel

Pappenhuijzen (1992: 42):

13

Wawancara dengan Wahyu S. Prabowo di Surakarta, 20 Desember 2007. 14

Wawancara dengan Wahyu S. Prabowo di Surakarta, 20 Desember 2007 15

Ibid., 1992, hlm. 5. 16

Ibid., 1992, hlm. 6. 17

(37)

26

…Lajeng kagungan kersa mundhut Kenya, putranipun para prayagung bupati nayaka wolu, kapundhut satunggal-satunggal, pinilih ingkang indah ing warni saha parigel ing solah, kinarya badhaya. Karsa Dalem amiwiti yasa lalangen badhaya cacah 9, jangkepipun sanga mundhut putra utawi wayahipun papatih Dalem, salah satunggal ingkang parigel saha indah ing warni sinartan wasis dhateng wiramaning gendhing, minangka titindhih dados pamBatak ipun beksa bedhaya….

Terjemahan bebas:

…(Raja) menginginkan mengambil gadis, anak para pejabat bupati pegawai berjumlah delapan, diambil satu-satu, dipilih yang cantik dan trampil dalam pembawaan, menarikan bedaya. Kehendak raja adalah memulai bedaya berjumlah 9, untuk melengkapi jumlah itu mengambil anak atau cucu patih, salah satu yang trampil menari dan cantik dan menguasai gending, untuk menjadi Batak bedaya….

Dalam Weda Pradangga itu disebutkan bahwa syarat menjadi seorang

penari bedaya adalah harus merupakan putra pejabat, cantik, trampil menari, dan

bagi peran Batak harus menguasai gending. Serat Weda Pradangga ini tidak hanya menjabarkan bagaimana suatu formasi bedaya menjadi bentuk manusia,

tetapi juga memberikan alasan mengenai pengulangan-pengulangan sebagai

bagian dari ritual kraton yang hanya dimiliki oleh bedaya. Cerita ini juga

memberikan gambaran mengenai keberadaan bedaya dari jaman Hindu yang tak

diketahui tepatnya, sampai ke jaman Islam yang sangat diketahui waktunya,

yaitu Mataram Islam dalam pemerintahan Sultan Agung.

Sebagai tari yang sakral, pertunjukan bedaya harus memenuhi beberapa

elemen yang diperlukan agar bisa mencapai kesatuan dengan Tuhan

(manunggaling kawula Gusti). Elemen-elemen yang penting dalam praktik

bedaya tersebut meliputi: beksan, yaitu koreografi yang menggunakan gerakan

(38)

27

disebut pesindhen; gendhing, yang merupakan komposisi untuk instrumen gamelan sambil diiringi tari dan nyanyian; sajen, sesaji berupa bunga, pakaian, makanan dan kemenyan yang dibarengi dengan pertunjukan pusaka bedaya,

bunga-bunga yang wangi, perhiasan permata dan busana khusus yang digunakan

untuk pertunjukan bedaya.18 Karena taat pada berbagai larangan dan aturan, tari

ini merupakan ungkapan ritual dari legitimasi penguasa (raja).

Kesakralan bedaya diperkuat dengan sejarah, atau lebih tepatnya mitos,

yang mewarnai bedaya. Sejarah bedaya itu sendiri memiliki bermacam versi.

Florida19 menceritakan tentang hubungan Panembahan Senopati, pendiri dinasti

Mataram yang memerintah pada akhir abad ke-16, dan Ratu Kidul, penguasa

Laut Selatan, Samudera India, melalui syair yang diambil dari Babad Tanah

Jawi20, yaitu karya sastra sejarah yang berbentuk tembang Jawa. Syair ini

dinyanyikan oleh pesindhen dalam pertunjukan Bedaya Ketawang di Kasunanan.21 Cerita ini berawal dari pertemuan Ratu Kidul dengan Panembahan

Senapati saat Senapati belum menjadi raja yang berlanjut pada hubungan yang

intim antara kerajaan Mataram dan kerajaan di laut selatan. Cerita ini

dilanjutkan dengan raja Mataram selanjutnya, yakni Sultan Agung, cucu

Panembahan Senapati. Atas cintanya pada Ratu Kidul, Sultan Agung

menciptakan bedaya dengan berkonsultasi pada Ratu Kidul. Inilah awal adanya

18

Ibid. 19

Lihat lampiran 1. 20

Babad Tanah Jawi menceritakan sejarah raja Mataram sejak jaman Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya, lalu jaman Hindu, sampai kerajaan Mataram Islam.

21

Nancy Florida, “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu

(39)

28

bedaya yang diyakini sampai sekarang. Ada juga yang menyebutkan, bedaya ada

sejak jaman kerajaan Majapahit. Bedaya ini dikaitkan dengan dewi-dewi Hindu

yang sedang menari di kayangan sehingga membuat kagum dewa-dewa, bukan

di bumi Jawa.22 Namun cerita versi Hindu sekarang ini kurang populer.

Dalam hampir semua tarian bedaya, ada bagian yang merupakan

pertempuran antara dua penari, diperankan oleh Batak dan Endhel. Dalam pertempuran ini selalu menggunakan senjata, seperti keris kecil, meskipun

kadang-kadang juga dipakai busur dan anak panah. Bahkan ada bedaya yang

menggunakan pistol.

Bedaya Ketawang dipentaskan di Kasunanan pada setiap peringatan

berdirinya dan kenaikan tahta Susuhunan (tingalan dalem) di Surakarta pada

setiap tahun. Kasultanan Yogyakarta tidak lagi mencadangkan suatu tari khusus

untuk peringatan kenaikan tahta, tetapi bedaya tetap merupakan suatu simbol

penting dari kekuasaan sultan. Paku Alaman selalu mementaskan bedaya setiap

tingalan dalem, tetapi bedaya yang ditampilkan bukan bedaya tertentu saja, seperti halnya “Bedaya Ketawang” di Surakarta. Sekarang ini, selain untuk

tingalan dalem, sembilan penari puteri mementaskan bedaya untuk perayaan besar, seperti ulang tahun raja, pernikahan kraton, dan resepsi untuk tamu negara

yang penting.

Pada perkembangannya kemudian, tari kraton diselenggarakan atas niat

22

(40)

29

pariwisata, baik nasional maupun internasional, yang dibumbui dengan tujuan

untuk meningkatkan profil tari kraton gaya Yogyakarta/Surakarta. Pertunjukan

tari sambil makan (andrawina) ini diorganisir oleh kraton bekerjasama dengan

agen pariwisata pemerintah. Dari sini, muncullah kemudian “kreasi baru” yang

disebut sendratari.

2. Simbolisme Bedaya

Menari di istana sudah lama merupakan modal keluarga priayi. Seperti

telah disebutkan di atas bahwa awalnya penari bedaya haruslah kerabat kraton.

Bagi keluarga priayi, menarikan tarian klasik dimaksudkan untuk membantu

dalam mengembangkan kehalusan jiwa.23 Kaitannya dengan cara menari bagi

orang Jawa, Brakel-Pappenhuijzen mengutip Soerjobrongto,24 sebagai berikut:

Penari harus melatih diri, sehingga jiwanya bisa menerima dan menyerap semua rangsang dari luar yang ada hubungannya dengan peranannya di dalam tarian, sehingga dengan demikian jiwanya dapat mengisi ekspresi gerak-geriknya dengan rangsang-rangsang itu. Rangsang-rangsang tersebut dibentuk oleh suara gamelan, narasi, melodi, nyanyian, dialog, dan cerita.

Brakel-Pappenhuijzen menambahkan:

Keseimbangan antara ekspresi dengan plastisitas gerak-gerik bergantung kepada irama dalam pengertian seluas-luasnya, bukan semata-mata irama gamelan, merupakan dasar dari hidup itu sendiri. Irama itu meliputi irama hidup, tingkah laku, dan tata susila. Irama menjamin keselarasan antara bentuk kehidupan batin dan lahir, yang berwujud dalam keadaan imbang, di dalam jiwa manusia yang selanjutnya akan membawa pada ketenteraman batin atau kedamaian jiwa. Orang Jawa,

23

Clara Brakel-Papenhuijzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, Jakarta: Indonesia Linguistics Development Project, 1991, hlm. 34.

(41)

30

jika diperlakukan kasar, akan berkata kepada dirinya sendiri: „Orang tak tahu irama!‟

Kekuatan bedaya adalah simbolik, tidak wadag.25 Cerita yang dibawakan

tidak akan begitu saja dimengerti bila tidak mendengarkan pesindhen yang menyanyikan syair. Dalam gerakannya, akan susah dikenali gerakan itu

melmbangkan apa. Adegan perang dilakukan dengan menari berhadap-hadapan

atau bahkan menari berdampingan oleh Batak dan Endhel.

Konsep bedaya adalah heneng hening awas ing purwasedya. Heneng adalah perenungan dalam keadaan diam atau konsentrasi. Hening adalah

melakukan penyadaran dalam sepi. Dari situ diharapkan sadar atau awas akan

sangkan paraning dumadi (tujuan hidup). Jadi, bedaya membuka kesadaran manusia dari awal kehidupan sampai mencapai tujuan manusia mau kemana.26

Dengan konsep yang seperti ini, bedaya ditarikan dengan tingkat intensitas

menari yang kuat. Intensitas menari dalam bedaya ini tidak dimiliki oleh beksan

putri yang lain.

Bedaya selalu dipentaskan di pendapa dalam setiap pertunjukannya.

Penampilan di pendapa ini menghasilkan atmosfer yang spesial: bentuk

(arsitektur) pendapa dengan segala macam desain interiornya, tempat menari

yang cukup luas, bunyi gamelan yang terdengar jelas yang sanggup

memunculkan rasa romantis. Pementasan di pendapa dengan jarak penonton

yang tidak terlalu jauh, membuat formasi atau pola lantai yang dibentuk selama

25

Lihat lampiran 8. 26

(42)

31

bedaya berlangsung menjadi lebih mudah terlihat.

Pola lantai merupakan unsur yang sangat penting dalam bedaya.

Masing-masing pola lantai menggambarkan suatu adegan/cerita. Dari formasi pola lantai

ini pula akan diketahui siapa yang memimpin bedaya atau siapa yang menjadi

Batak dan Endhel bedaya tersebut. Pola lantai ini menggambarkan simbol-simbol yang erdapat dalam bedaya. Pola lantai montor mabur atau disebut juga

garudha nglayang atau dalam tradisi Yogyakarta disebut dengan lajur menggambarkan sisi kemanusiaan seorang manusia, yaitu adanya sembilan

lubang manusia (babahing hawa sanga). Sembilan lubang ini harus

dikendalikan agar manusia hidup seimbang, yaitu: kedua mata, kedua telinga,

kedua lubang hidung, mulut, alat kelamin, dan anus. Pola lantai dalam bedaya

biasanya bergerak dari bentuk manusia atau montor mabur tersebut ke bentuk pertentangan yang membuat Batak dan Endhel menjadi berhadap-hadapan untuk

berperang. Perang ini memiliki beberapa pola, yang kemudian diakhiri dengan

rakit tiga-tiga. Pola lantai ini diwujudkan dengan sembilan penari berjejer secara bertiga-tiga. Pola lantai terakhir ini mempunyai arti bersatunya manusia

dengan penciptanya, menghilangkan segala nafsu yang bisa mengganggu

persatuan manusia dengan penciptanya. Setelah mengakhiri dengan rakit

tiga-tiga, bedaya membentuk rakit montor mabur lagi untuk melakukan sembahan, lalu meninggalkan pendapa untuk menjadi manusia biasa lagi melanjutkan

hidup dengan segala permasalahan yang ditemui dalam hidup sehari-hari.

(43)

32

Masing-masing diberi nama sesuai dengan perannya. Peran bedaya adalah

sebagai berikut27:

1. Batak (Pemimpin: kepala, pancaindra, jiwa/roh) 2. Endhel Pajeg/Ajeg (Pengikut: keinginan hati, akal)

3. Jangga atau Penggulu (Leher) 4. Dhadha atau Pendhadha (Dada) 5. Bunthil (Pantat)

6. Apit Ngajeng (Pengapit depan)

7. Endhel Wedalan Ngajeng (Pengikut depan) 8. Apit Wingking (Pengapit belakang)

9. Endhel Wedalan Wingking (Pengikut samping)

Batak dan Endhel dalam setipa bedaya selalu memimpin cerita, artinya keduanya selalu menjadi tokoh yang menentukan dalam cerita itu. Dalam

“Bedaya Ketawang”, Batak melambangkan sang raja, dan Endhel

melambangkan Ratu Kidul. Demikian pula dalam cerita-cerita peperangan yang

melambangkan tokoh protagonis dan antagonis. Penari yang lain biasanya

jengkeng sehingga fokus akan tertuju pada kedua tokoh ini.

Simbol-simbol tersebut tidak idealis begitu saja, tetapi didukung oleh

penampilan fisikpenari. Para penari itu ditunjuk menurut tinggi badan mereka

27

(44)

33

yang berbeda-beda untuk menentukan peran: Jangga, di tengah, harus yang paling jangkung. Kedua Apit dan Endhel Wedalan adalah penari yang paling pendek. Batak dan Endhel biasanya tampil dengan postur tubuh yang sama. Pemeragaan peran tersebut tampak jelas pada pola lantai berikut ini. Arah panah

menunjukkan arah hadap penari, penonton membacanya dari bawah.

Formasi dalam bedaya mempunyai filosofinya masing-masing. Oleh

karena itu, formasi bedaya meruapakan hal yang penting selain juga gerakan tari

(sekaran) dalam bedaya.

a) Formasi masuk dan keluar

Formasi ini dibentuk ketika mulai memasuki pentas. Formasi ini

melambangkan bentuk tubuh manusia, yaitu adanya kepala, gulu,

dada, kedua tangan, kedua kaki, dan badan. Arti dari formasi ini

adalah kita menyadari bahwa kita adalah manusia biasa. Kita masih

dikuasai banyak sekali nafsu yang terdapat dalam sembilan lubang

manusia. Tokoh bedaya ada di nomor 1 (Batak) dan 2 (Endhel). Pola

lantai ini dibaca dengan mengikuti arah panah yang menyatakan arah

hadap penari.

6 > 8>

2> 1> 3> 4> 5>

(45)

34

b) Endel Wedalan dan Apit keluar garis. Batak (1) dan Endhel (2) saling berhadapan, dikuti oleh penari-penari lainnya. Peperangan mulai terjadi.

6> <8

1 > <2 < 3 <4 <5

7> <9

c)Endel Wedalan memasuki formasi lagi

<6

<2 <3 <4 <1 <7 <5 <9

<8

d) Formasi Rakit tiga, melambangkan manunggaling kawula-gusti

1^ 2^ 7^

6^ 3^ 5^

8^ 4^ 9^

Dari beberapa rakit Yogyakarta tersebut di atas, di Surakarta terdapat dua

rakit yang merupakan rakit terpenting karena rakit ini merupakan rakit pembuka

dan penutup bedaya, yaitu rakit montor mabur yang menyerupai bentuk badan

manusia dan rakit tiga-tiga sebagai lambang manunggaling kawula-gusti28. ^ ^

6 7

28

(46)

35 ^ ^ ^ ^ ^

1 2 3 4 5

^ ^ 8 9

Dan

1^ 2^ 7^

6^ 3^ 5^

8^ 4^ 9^

3. Tari sebagai Pendidikan

Tari adalah pendidikan raos (rasa). Awal mulanya, prinsip ini dikenal oleh kalangan Taman Siswa yang kemudian sering dikutip oleh GBPH

Suryobrongto. Rasa membawa suatu bobot berat arti penting dalam wacana etis, religius dan filosofis, dan sudah diterjemahkan sebagai „rasa, perasaan

pengalaman batin, makna paling dalam, intisari‟.29

Ini dikaitkan dengan agama

priayi, tetapi karena priayi bukan suatu tipe religius namun suatu kelas yang

berkait dengan jabatan atau pekerjaan, rasa berkisar dari selera kelas yang istimewa sampai suatu kapasitas spiritual yang menjangkau kepekaan elit. Tari

juga berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan mengenai tatakrama dan sopan

santun melalui latihan kode bahasa, sikap dan cara pembawaan diri. Segala

bentuk latihan ini tidak hanya terdapat pada saat menari di pendapa. Pergaulan

dengan sesama penari dan kerabat kraton lainnya sebelum pementasan

29

(47)

36

membutuhkan latihan tata karma dan sopan santun tertentu. Bisa dikatakan,

begitu memasuki ruang yang merupakan wilayah kekuasaan raja (pendapa dan

sekitarnya), maka harus diikuti dengan kebisaan tata krama dan sopan santun

menurut kebiasaan kalangan tersebut.

Pendidikan dalam bedaya juga mengajar tentang spiritualitas orang

Jawa: bagaimana hidup secara selaras, melatih kesabaran dan keiklasan, juga

melatih untuk selalu menyadari bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan

yang senantiasa harus ingat untuk apa manusia diciptakan. Melalui bedaya,

penari berdoa dan menyatukan dirinya dengan penciptanya.

Pada 1980-an, di Yogyakarta semua perkumpulan tari menggunakan

hitungan dan tari latihan formal Kridha Bĕksa Wirama, tetapi masih ada

ketidaksepakatan tentang posisi standar, dan caranya mengelompokkan gaya tari

dan gerakan tari transisional (sendhi). Di kraton Yogyakarta, para pengajar

Kridha Beksa Wirama mengerjakan bentuk-bentuk tari istana yang sudah ada,

namun juga memperkenalkan ide-ide teatrikal barat yang berdasarkan pada

mimesis. Di dalam istana, gerakan tari dianggap berada di atas lingkup hewan

dan gerakan tubuh amat sangat abstrak, tidak mimetik.

4. Catatan Penutup

Bedaya sebagai tari putri di kraton sangat mempesona Retno Maruti.

(48)

37

khusus dalam bedaya diberi nama menurut tema musik yang dominan.30 Dalam

sebagian besar karyanya, Retno Maruti mengambil inspirasi tari bedaya31.

Gerakan, keanggunan, kelemahlembutan menampilkan sosok ideal seorang

perempuan, tidak hanya untuk perempuan Jawa, tetapi perempuan pada

umumnya.32 Inspirasi yang diambilnya dari bedaya adalah keragaman geraknya

(sekaran), gerakannya yang mengalun bak air mengalir (kehalusan geraknya),

sekaligus kuat, dan kebersamaan (kerampakan). Kerampakan gerak ini dilatih

dengan mengulang-ulang gerak tersebut dengan menggunakan hitungan.

Semakin tepat hitungan, semakin mudah untuk melakukan gerakan rampak.

Bedaya merupakan contoh tentang bagaimana gerakan yang menjiwai

menjadi suatu metafora untuk makna kehidupan dan bagaimana ini tertangkap

dalam simbolisme kekuasaan seorang raja. Kekuatan ekspresif dari semua gerakan tari kraton terletak pada lamanya menahan setiap keinginan agar tidak

muncul begitu saja. Walaupun tari putri geraknya lambat, perubahan dalam pola

lantainya tidak lambat. Ini paling nyata dalam tari bedaya ketika sembilan penari

semua tukar tempat dengan cepat sekali untuk berubah menjadi pola lantai yang

berbeda-beda33. Suatu penampilan anggun dari transisi-transisi cepat ini

menghendaki koordinasi dan naluri jasmaniah lihai ketika kesembilan penari itu

bergerak sambil berjinjit (srisig) untuk berubah tanpa mengganggu ritme

berkelanjutan dari tari tersebut. 30

Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedaya Court Dance of Central Java, 1992: 88. 31

Wawancara di rumah Maruti di Jakarta, 11 Januari 2008 32

Wawancara di rumah Maruti di Jakarta, 11 Januari 2008 33

(49)

38

Kriteria utama untuk gerak tari alus adalah mengikuti ritme dalam suatu

cara yang lentur. Sekadar mengikuti irama akan kasar. Kekuatan ekspresi

kekosongan itu halus, dan terletak dalam penahanan diri. Variasi semacam itu

khas prinsip koreografik Jawa klasik: urutan gerak itu harus kontras dan

memberikan variasi, halus dan tidak nampak oleh mata yang tak terlatih,

walaupun masih di dalam batasan yang ditetapkan oleh konvensi. Hal kecil

yang halus dan pemilihan waktu tersebut ikut membuat gerakan tari itu punya

efek menyenangkan.

Sebagai pertunjukan di istana, bedaya mempunyai tujuan pendidikan

bagi yang terlibat dalam pementasan itu, termasuk penari. Penananam tata

krama dan sopan santun tertentu merupakan cara orang menghargai satu sama

lain di lingkungan tersebut. Simbol dalam bedaya yang terdapat pada pola lantai

dan gerakan bedaya merupakan inti pendidikan, baik pendidikan “luar”, yaitu

mengenai tata karma dan sopan santun dalam pergaulannya dengan sesama, dan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada keganasan kolorektal usia &lt;40 tahun lebih banyak yang tidak didapatkan ekspresi kedua protein tersebut, 9 kasus pada kelompok usia

Berdasarkan uraian dan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “PENGARUH PENERAPAN SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL

1.1 Tujuan Penelitian.. Untuk mengetahui, memahami dan analisis pengaruh good corporate governance terhadap kinerja keuangan perusahaan yang terjadi pada

Sedangkan variabel return saham diukur dengan cumulative abnormal return (CAR).Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel tanggung jawab sosial perusahaan dan

Pada dasarnya penyelesaian industrial melalui mediasi adalah wajib, manakala para pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter setelah instansi yang

Media massa sendiri dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai perangkat- perangkat yang diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan pada situasi

Adat merupakan sebuah wujud dari kebudayaan yang lahir dan berproses dalam kehidupan masyarakat, sehingga adat dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat

Setelah user login pada bagian kanan atas laman akan ditampilkan kolom tahun dan jabatan (posisi pegawai), default dari nilai tersebut adalah tahun dan jabatan yang ada