ANALISIS SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta
Ol
Oleh:
Anastasia Melati Listyorini 046322010
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
ii TESIS
ANALISI SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI
Oleh:
ANASTASIA MELATI LISTYORINI NIM: 046322010
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Dr. St. Sunardi 27 Februari 2009
Pembing II
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis berjudul “Analisis Simbolik Bedaya sebagai Pemeragaan Suatu Nilai: Studi Kasus Kepenarian Retno
Maruti” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 27 Januari 2009
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda-tangan di bawah ini, saya mahasiwa Universitas Sanata Dharma
Nama : Anastasia Melati Listyorini NIM : 046322010
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:
ANALISIS SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI
Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta ijin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenarnya
dibuat di Yogyakarta
pada tanggal 27 Februari 2009
yang mengesahkan,
v
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orangtuaku dan kedua adikku
vi
KATA PENGANTAR
Menulis tesis di Program Pasca Sarjana Ilmu Belajar di Ilmu Religi
dan Budaya (IRB) seperti pergumulan perjalanan hidup saya, menantang diri
saya dalam menerima dan memaknai kehidupan secara lebih matang. Belajar di
IRB sama halnya dengan belajar mengenai kehidupan itu sendiri. Berawal dari
rasa haus untuk menyegarkan pengetahuan setelah selama enam tahun bekerja di
Lembaga Studi Jawa dan satu tahun di lembaga pemberdayaan generasi muda,
saya memutuskan untuk kembali belajar serius. Pemilihan universitas dan
program studi menjadi hal yang sangat penting dan terutama karena saya harus
tetap berada di Yogyakarta, kota tercinta. Meski merasa cocok, waktu itu saya
sempat ragu-ragu karena merasa serem dengan judul mata kuliah-mata kuliah
yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Dan saya ingat, waktu itu Romo
Banar meyakinkan saya untuk mendaftar di IRB, dan akhirnya saya mendaftar
pada hari terakhir pendaftaran. Terimakasih buat Romo Banar atas saran yang
tidak salah itu, juga kepada Romo Kuntara yang merekomendasi saya.
Saat-saat pertama mengikuti kuliah merupakan saat adaptasi yang lumayan “membingungkan” sekaligus sebuah passion bagi saya. Saya sangat merasai dan menikmati tahun pertama berkenalan dengan IRB. Tahun kedua merupakan tahun yang “macet”, suatu perjalanan yang maju-mundur yang berkaitan dengan pengalaman di luar studi. Pada saat inilah saya harus menulis
tesis. Pada saat ini pula menulis tesis terasa panjang dan berputar. Menulis tesis
dimulai dengan kesadaran bahwa hidup harus terus berjalan, apapun yang akan
terjadi di depan nanti.
Menulis Tesis bagi saya seperti menulis dan belajar mengenai
kehidupan itu sendiri. Tari merupakan keseharian saya. Bedaya merupakan
tarian yang telah biasa saya tarikan sejak tahun 1994 sampai sekarang di Paku
Alaman Yogyakarta. Dari pengalaman pribadi itu, keingin-tahuan saya tentang
tari itu sendiri ingin saya maksimalkan dalam penulisan tesis saya. Perjalanan
vii
sendiri. Penulisan itu kemudian bisa berjalan, pelan, ketika saya mulai belajar
iklas untuk menuliskannya. Banyak orang telah membantu dan menguatkan
saya. Terimakasih untuk Pak Nardi yang penuh cinta dan kesabaran
membimbing saya, dalam banyak hal. Terimakasih juga untuk Pak Bambing
yang selalu baik hati bersedia untuk datang ke Sanata Dharma untuk bimbingan
saya. Meluangkan waktu ke Sanata Dharma untuk saya sungguh sesuatu yang
tak ternilai.
Untuk semua dosen yang telah memberikan ilmunya, saya ucapkan
terimakasih: Pak Budiawan, Katrin Bandel, Romo Dipo, Pak Pratik, Bu Ike,
Romo Haryatmoko, Romo Budi, Pak Tri, Romo Hari, Pak Praptomo, dan Pak
Machasin. Terimakasih juga untuk Pak Robert, Romo Baskoro, dan Pak George
yang memperbolehkan saya masuk di kelas sebagai pendengar. Teman-teman
seangkatan yang membuat dinamika di saat-saat kuliah: Lian, Endah, Pak
Bintang, Gombloh, Ayik, mas Dani, mas Ruslani, dan Romo Agus almarhum,
kusampaikan terimakasihku. Tak lupa untuk mbak Henki yang selalu dengan
ramah membantu segala keperluan studi, terimakasih yang tak terhingga.
Kepada Ibu Retno Maruti, mbak Rury, pak Sentot, dan teman-teman di
Padnecwara, atas segala bantuan, waktu, dan segalanya; Kepada Pak Trustho
dan Bli Cau yang membantu saya memahami iringan BLC; saya mengucapkan
terimakasih; tanpa bantuan anda tesis ini tak akan terwujud.
Tesis ini bukan akhir dari belajar atau puncak dari studi. Tesis ini
merupakan satu langkah ke depan untuk terus melangkah dan melangkah ke
langkah depan selanjutnya; belajar untuk senantiasa belajar. Dengan tangan
terbuka, saya menerima segala kritikan dan masukan.
Anastasia Melati Listyorini
viii ABSTRAKSI
Retno Maruti adalah salah satu dari penari dan penata tari yang dalam hampir setiap garapannya selalu menggunakan bedaya sebagai inspirasi geraknya. Bedaya merupakan tari istana di Jawa, terutama di Yogyakarta (Kasultanan dan Paku Alaman) dan Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) yang biasanya ditarikan oleh sembilan penari putri. Kesembilan penari putri tersebut mempunyai peran yang berbeda-beda. Meski berbeda peran, rias dan busana bahkan seringkali geraknya di antara kesembilan penari itu pada umumnya sama persis.
Bedaya dikenal sebagai tari putri yang paling keramat, paling kuno, dan paling kompleks. Hal ini pun didukung dengan mitos yang menghidupinya. Seringkali disebut bahwa bedaya merupakan tarian yang sakral. Kesakralan ini terlihat dari aturan-aturan yang rumit yang merupakan bagian yang inheren dari bedaya itu sendiri. Siapa yang diperbolehkan menjadi penari, kekompleksan gerakan tari berikut formasi atau pola lantainya, rias dan busana yang rumit, tempat dan waktu pertunjukan yang tertentu, dan segala macam yang harus dipersiapkan yang diyakini merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam bedaya.
Dengan mengambil bedaya sebagai inspirasi Maruti dalam mencipta tari, muncul pertanyaan: simbol bedaya manakah yang diambil oleh Maruti untuk tetap mempertahankan atau meyakinkan bahwa karya tarinya merupakan bedaya atau bahwa karya tersebut mengambil inspirasi dari bedaya? Mengapa Maruti mengambil simbol tersebut?
Suatu simbol (signifier) selalu membawa makna atau arti (signified). Apa yang dimunculkan oleh simbol itu? Apakah arti simbol tersebut bagi Maruti yang terwujud dalam karya-karyanya? Bagaimana simbol tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat pendukung bedaya?
Bedaya sering digambarkan sebagai refleksi keindahan yang selaras dengan budaya alus bagi orang Jawa di kalangan tertentu. Alus dalam bedaya terdapat dalam teknik gerakan dan semua pendukungnya, seperti tata rias dan busana. Koreografi Retno Maruti yang paling akhir (dipentaskan tahun 2006) yang berjudul “Bedaya Legong Calonarang” akan menjadi studi kasus penelitian. Bedaya Legong Calonarang ini merupakan karya kolaborasi antara tari Jawa (bedaya) yang dikoreografi oleh Retno Maruti dan tari Bali (legong) yang dikoreografi oleh Bulantrisna Djelantik. Keduanya (bedaya dan legong) berasal dari lingkunga istana. Suatu karya kolaborasi yang mengkontraskan antara kecantikan dan sublim, antara yang alus Jawa dan dinamis Bali.
ix PERKEMBANGAN BEDAYA DALAM TARI TRADISIONAL JAWA 20
1. Asal-muasal bedaya 23
1. Retno Maruti Belajar Menari di Surakarta 39 2. Retno Maruti dan Kepindahannya dari Surakata ke Jakarta 41 3. Karya-karya Retno Maruti 43 4. Pemilihan Tema dalam karya Retno Maruti 46
5. Koreografi dalam Karya Retno Maruti 47 6. Laku Spritual Orang jawa Dilatih melalui Tari 49 7. Negosiasi Laku Spiritual Kejawaan Retno Maruti terhadap Bali 51 BAB IV THE AMAZING BEDAYA LEGONG CALONARANG 53
1. Deskripsi Pementasan Bedaya Legong Calonarang 53
x
2.2 Tata Gerak 69
2.3. Tata Iringan 75 2.4. Tata Pentas 77
3. Bedaya Legong Calonarang sebagai Metamorfosa Bedaya 81
4. Catatan Penutup 87
BAB V PENUTUP SIMBOL BEDAYA DAN KOEKSISTENSI 92
Daftar Pustaka 96
Lampiran 1. Lampiran 1 Mitos Penciptaan Bedaya 99
2. Lampiran 2 Rangkuman Wawancara dengan Theresia Suharti 101
3. Lampiran 3 Rangkuman Wawancara dengan Hajar Satoto 113
4. Lampiran 4 Rangkuman Wawancara dengan Sri Kadaryati 119
5. Lampiran 5 Rangkuman Wawancara dengan Suprapto S 122
6. Lampiran 6 Rangkuman Wawancara dengan Rahayu Supanggah 127
7. Lampiran 7 Rangkuman Wawancara dengan Sri Hastanto 130
8. Lampiran 8 Rangkuman Wawancara dengan Wahyu Prabowo S 133
1 BAB I
PENDAHULUAN
TARI, NILAI ALUS, DAN TUBUH
1. Sebuah Awal
Tahun 2003 di kampung Kemlayan, kota Surakarta (lebih dikenal dengan
kota Solo) diadakan rekonstruksi karya-karya tari Tumenggung Kusumakesawa,
ahli tari dari keraton Surakarta.1 Pada malam itu karya-karya Tumenggung
Kusumakesawa dipergelarkan kembali dan ditarikan oleh mereka yang pernah
menjadi murid Romo Nggung atau Pak Nggung atau pak Menggung, sapaan
akrab Tumenggung Kusumakesawa.
Salah satu karya Tumenggung Kusumakesawa yang dipertunjukkan pada
malam itu berjudul “Retno Pamudya”. Tari “Retno Pamudya” menceritakan
tentang latihan perang yang dilakukan oleh prajurit putri. Properti yang
digunakan adalah panah, lengkap dengan wadahnya yang disebut endhong.
Panah tersebut tidak sekedar dijadikan properti, tetapi betul-betul digunakan
untuk memanah selama tari berlangsung. Meski mengisahkan tentang latihan
perang, “Retno Pamudya” ditarikan bukan oleh dua penari untuk bisa
menggambarkan perkelahian secara lebih nyata, namun ditarikan oleh satu
orang penari putri. Penari yang menarikan Retno Pamudya tersebut adalah
1
2 Retno Maruti.
Dalam membawakan tarian, Retno Maruti terlihat sangat menyatu
dengan tarian yang ia bawakan. Ia menari dengan sangat lembut sekaligus tegas
dan berani. Sebagai pribadi, ia menjadi lebur dengan tarian itu. Tarian “Retno
Pamudya” itu ia bawakan dengan sangat indah dan “wajar”, tidak ada kesan
dibuat-buat atau diindah-indahkan. Cara menari ini dikenal dengan cara menari
yang sudah mencapai taksu. Taksu merujuk pada kekuatan/spirit/rasa di dalam
(inner spirit) dari seorang penari yang merasuk total ke dalam tarian seseorang
pada waktu ia menari. Sejak melihat penampilannya selama 12 menit itu,
penulis sangat tertarik dengan kepenarian Retno Maruti.
1.1. Latar Belakang Penelitian
Tubuh terbentuk secara kultural. Artinya, cara kita duduk, berjalan,
berbaring mengikuti pola kebiasaan dan lingkungan alam yang ada di sekitar
kita. Misalnya, kebiasaan duduk dengan cara jongkok dimiliki oleh masyarakat
dari daerah tertentu, sementara masyarakat daerah lain tidak mengenal cara
duduk berjongkok ini. Dalam tari, tubuh merupakan media untuk menari,
seperti halnya kanvas merupakan media dalam seni lukis, gamelan dalam
karawitan, dan mobil/sepeda motor bagi seorang pembalap. Melalui tubuh, tari
bisa menceritakan sesuatu, mengungkapkan, dan mengekspresikan diri. Cara
mengekspresikan diri ini tidak telepas dari konteks sosial budaya masyarakat
3
tertentu, tetapi semata menampilkan keindahan gerak tari itu sendiri.
Bagi kalangan tertentu, nilai-nilai, termasuk di dalamnya
tingkatan-tingkatannya, merupakan sesuatu yang penting. Bagi komunitas Jawa, alus,
merupakan simbol yang penting. Alus tersebut dimiliki atau diklaim oleh
kalangan priayi (lingkaran atas dalam suatu komunitas) dan keluarga kerajaan
Jawa. Karena karakter hegemoniknya yang menyimbolkan kekuatan dan status
sosial tertentu, nilai yang dimiliki oleh priayi tersebut, juga menjadi referensi
nilai bagi orang kebanyakan dengan mempraktikkan tingkah laku kesopanan
tertentu dalam berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku. Dipercaya, bahwa
dengan mempraktikkan alus, seseorang akan dapat mengolah rasa2 dan emosi.
Dilahirkan dan dibesarkan di Surakarta, Jawa Tengah, Retno Maruti3
hidup dalam lingkungan seni. Ayahnya adalah ahli pedalangan di Kraton
Kasunanan dan ibunya adalah seorang pembatik dan sekaligus memiliki usaha
batik di rumahnya. Retno Maruti belajar menari sejak usia lima tahun di kraton
Surakarta. Tempat tersebut sangat tertutup artinya, tidak sembarang orang bisa
masuk ke dalam wilayah itu. Tempat tersebut untuk kelas atas dalam komunitas
tersebut, yaitu untuk keluarga raja, dan teman-teman mereka. Ia mulai menjadi
penari profesional ketika remaja sebagai penari "kijang kencana" dalam
2
Rasa berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan konsep kesadaran olah batin, termasuk olah seni, di dalam komunitas Jawa yang berhubungan dengan bagaimana berkelakuan di depan orang lain yang didasarkan pada cara berpikir orang Jawa.
3
4
sendratari Ramayana di Candi Prambanan, Yogyakarta. Presiden pertama
Indonesia, Ir. Sukarno, tertarik padanya dan mengundangnya untuk menari di
Istana Negara, Jakarta (1965). Kemudian ia menjadi duta seni untuk
memperkenalkan tari Indonesia dengan penari-penari lainnya dari Indonesia,
seperti penari Bali Bulantrisna Djelantik, di beberapa negara seperti Jepang, US,
Korea Selatan, dan Thailand.
Posisinya sebagai dosen pada Jurusan Tari, Institut Kesenian Jakarta
(IKJ) membuatnya lebih mudah untuk diterima sebagai penari “kualitas tinggi”
oleh komunitas Jakarta. Ia lebih mudah untuk mengekspresikan tari dan
koreografinya tari tradisional yang ia kuasai. Ia menjadi salah satu pelopor
untuk mempertahankan tari tradisional Jawa agar dapat bertahan di Jakarta.
Keahliannya dalam menari makin matang ketika ia mendirikan sanggar tari
Padnecwara pada 1976 di Jakarta. Sejak 1976, ia mulai menjadi salah satu
penari dan koreografer yang mempengaruhi perubahan tari Indonesian
(Murgiyanto, 1991).4
Media massa nasional mempunyai pengaruh yang penting untuk
mengangkat namanya. Harian Suara Pembaruan, Kompas dan Republika,
mingguan Tempo and Gatra telah memuatnya dalam publikasi mereka mengenai
4
5
wacana Retno Maruti dan tari istana Jawa dalam setiap pertunjukannya dan
menulisnya dalam kolom mereka sebagai maestro tari. Masyarakat menjadi
makin mengetahui Retno Maruti karena berita tersebut. Beberapa penghargaan
dari pemerintah dan swasta telah dia dapatkan.5 Ensiklopedi Tokoh Indonesia
(Indonesian Famous.com) menyebutkan bahwa Retno Maruti menjadi maestro
tari istana Jawa karena ia dapat mengkreasi tari Jawa yang “tua” dan
mengkombinasikannya menjadi rasa “modern”.
Budayawan Goenawan Mohamad (2004) menyatakan dalam buklet
bahwa Retno Maruti adalah “a model of mystical beauty of Javanese dance”.
Sardono W. Koesoema (2004), salah satu penari dan koreografer Indonesia,
mengomentarinya sebagai “putri Solo yang tidak keribetan sinjang”. Solo atau
Surakarta dalam hal ini diidentikkan dengan pakaian tradisi jarik/sinjang.
Artinya, sebagai seorang seniman, Retno Maruti dapat mencapai sukses dalam
kehidupannya, tidak hanya mempertunjukkan ketrampilannya dalam
koreografinya dan membawanya dengan mudah dalam pertunjukannya. Bukan
hanya kritikus dan media massa yang memberinya komentar dan penghargaan.
Sunan Paku Buwana XII, Raja Surakarta memberinya penghargaan title sebagai
Kanjeng Mas Ayu (KMA) Kumalaningrum karena dedikasinya. Dengan
demikian, ia telah benar-benar masuk dalam lingkungan atas komunitas Jawa.
5
6
Sosok Retno Maruti sebagai penari tradisi Jawa yang terkenal nampak
ketika ia mempertunjukkan koreografinya yang paling akhir, yaitu “The
Amazing of Bedaya-Legong Calonarang” pada April 2006 di Jakarta.
Pertunjukan “The Amazing Bedaya-Legong Calonarang” sungguh-sungguh
menakjubkan yang merupakan percampuran antara tari tradisi Jawa dan Bali.
Dalam pertunjukan besar tersebut, mereka membutuhkan sponsor. Dari sponsor
yang terlihat, berasal dari iklan yang terpandang. Sosok cantik penari bedaya
atau tarian bedaya itu sendiri dihadirkan sponsor produk kosmetik ternama
(Martha Tilaar Production, Puan, the Jakarta Boutique Clinic) dan majalah
perempuan (Her World, Femina, dan Dewi). Selain itu, juga harian Suara
Pembaruan dan Republika yang memiliki komunitas religi yang berbeda yaitu
Kristen dan Islam6. Suara Pembaruan menyebutnya sebagai tokoh tari klasik
Jawa. Dalam wawancaranya dengan harian Suara Pembaruan (29 Maret 2006),
Retno Maruti menyampaikan komentar mengenai situasi terkini politik
Indonesia. Ia mengatakan bahwa meski Jawa dan Bali berbeda, mereka dapat
berpentas bersama sehingga kita bisa memberikan sesuatu yang kita punya
kepada Indonesia. Karena ia seorang penari, ia memberikan pertunjukan tari
untuk masyarakat. Suara Pembaruan dalam profilnya menyebutnya sebagai:
Bhinneka Tunggal Ika tanpa Kata. Salah satu sponsor yang memiliki billboard
terbanyak adalah rokok Sampoerna. Sampoerna memiliki motto: Sampoerna
6
7
untuk Indonesia. Di bawah motto, ditambahkan dengan: Tradisi Kesempurnaan,
warisan nenek moyang kita. Kalau bukan kita yang meneruskannya, lalu siapa?
Sampoerna yang memiliki sebuah image bahwa seni tradisi ingin menegakkan
image-nya dengan mensponsori pertunjukan Retno Maruti yang sangat dekat
dengan tradisi, khususnya tradisi Jawa.
Menurut Murgiyanto (1992), Retno Maruti dihargai karena karya dan
upayanya untuk mengkreasi tari yang bersumber dari tari tradisi, khusunya tari
tradisi Jawa. Tanpa mengetahui nilai Jawa secara matang, Retno Maruti tidak
akan bisa menjadi salah satu koreografer yang mempengaruhi perkembangan
tari di Indonesia. Karena nilai tradisinya, ia memunculkan kearifan lokal yang
terkesan “tua” kepada masyarakat modern Jakarta melalui tari.
Retno Maruti menyatakan bahwa bila seseorang menari, ia harus
melepaskan egonya yang membuatnya menjadi kasar. Ia menginterpretasikan
dan mempraktikkan nilai tertentu yaitu sabar, trima, and iklas7. Murgiyanto
menambahkan bahwa alus, lemah lembut, dan kemampuan untuk
mengendalikan emosi merupakan nilai ideal perempuan Jawa. Dalam seni
istana, formalitas, kelemahlembutan, dan keanggunan lebih diberikan prioritas
dariapada komunikasi yang mempunyai arti.
Soerjobrongto (1970:11) menganggap bahwa menarikan tari klasik dapat
7
Sabar bukan berarti tidak boleh marah, tetapi seseorang dapat mengendalikan dirinya dalam mneghadapi masalahnya. Trima bukan berarti seseorang menerima segalanya dengan pasif, tetapi ia harus melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Jika ia gagal, ia harus menginterpretasikannya sebagai nasib yang tak seorangpun dapat mengubahnya. Iklas
8
membantu mengembangkan kehalusan mental. Tari klasik di Jawa dihargai
bukan karena kualitas pertunjukan ataupun sebagai media untuk memukau
penonton (Brakel-Pappenhuyzen 1991: 21). Lebih dari itu, tari Jawa klasik,
menurut Joged Mataram8, harus ditarikan sebagai praktik spiritual, untuk
menanamkan banyak karakteristik mental seperti sawiji-konsentrasi, greget,
sengguh, ora mingkuh. Orang Jawa percaya bahwa makna kehidupan adalah
kesempurnaan laras, sebuah harmoni ekstrinsik, yang diikuti dengan kekuatan
harmoni yang intrinsik (larasing batin). Itu dipercaya oleh sebagaimana orang
Jawa akan mempengaruhi keyakinan mereka dalam mengendalikan pikiran dan
perasaan. Karena pengendalian perasaan dan pikiran tersebut, tari Jawa terlihat
seperti tanpa ekspresi, khususnya bila kita membandingkannya dengan tari
India/Bali.
Dalam menjalankan pedoman menari tersebut, tentunya dibarengi
dengan teknik menari yang memadai yang dilatih secara terus-menerus agar
tubuh menjadi tubuh yang cerdas. Dalam menari, pada suatu tahapan tertentu,
seperti yang terjadi pada Retno Maruti, terjadi self-control yang merupakan
suatu upaya untuk menguasai suatu teknik menari dan ecstasy, kenikmatan
menari.
Sebagai seorang penari, Retno Maruti telah meraih apa yang disebut
taksu. Menurut Lim, taksu refers to the inner feeling/spirit/strength of the
8
9
dancer, of being in total immersion, comprehension and awareness of one’s
dancing at that moment. Sedangkan menurut Gunarsa dalam Seng (2001),
ketika kita berbicara mengenai seni Bali, konsep taksu terdiri dari aspek estetis
maupun religius. Aspek estetis termasuk keterampilan artistik yang teknis, nilai,
dan apresiasi, sementara aspek religius menyangkut konsep sakti
(religius/kekuatan spiritual.
Karakter alus dapat diidentifikasi melalui setiap bagian dari pertunjukan,
seperti postur penari, gerakan, dan pola lantai. Ketika kita membicarakan Retno
Maruti yang mengelola nilai tersebut di dalam tari dan koreografinya, bisa kita
lihat pada sikap muka, mata, sikap tangan, sikap kaki, kostum dan asesoris. 9
Dalam disertasinya, Murgiyanto juga mencatat adanya the “alus art” complex of
Javanese in the dance drama of Sekar Pembayun, that are lakon (literary plot or
scenario), tembang (song), joged (dance), gamelan (musik), and batik.
Bagaimana dengan gerakan tarinya? Gerakan dalam tari Jawa
memperlihatkan suatu atmosfer pelan, keanggunan, dan gelombang.
Gerakannya seperti air yang mengalir (mbayu mili).
Suatu seni pertunjukan akan dipertunjukkan karena beberapa hal.
Mungkin pertunjukan itu untuk menjaring sebanyak-banyaknya penonton,
sehingga dalam hal ini selera “pasar” sangat mendominasi. Dengan demikian,
9
10
kemasan dalam seluruh rangkaian seni pertunjukan sangat diarahkan untuk
menjaring penonton. Sementara di pihak lain, suatu seni pertunjukan hadir
sebagai ritus, yang kehadirannya tidak “dipengaruhi” oleh penonton (jumlah
penonton). Seni seperti ini hadir sebagai upaya olah rasa, yang tidak hanya
ditampilkan dalam menari, tetapi juga bagaimana memahami suatu nilai-nilai,
memperagakan/menjalaninya yang terwujud dalam menari.
Ketika seorang penari melakukan suatu tarian, ia menggunakan tubuhnya
sebagai media untuk menyampaikan suatu tanda, suatu rasa. Dalam
menyampaikan suatu tanda, penari menggunakan suatu teknik menari (dancing
technique) yang diolahnya terus-menerus selama ia menari. Teknik menari ini
bisa saja merupakan suatu upaya mengendalikan tubuh atau suatu upaya
menyembunyikan gairah hidup orang Jawa, yang akhirnya terbentuk sebagai
sebuah tradisi. Seni tradisi sebagai wadah Retno Maruti menggeluti
kesenimanannya, menempatkan Retno Maruti sebagai sebuah ikon dalam seni
tradisi.
Sal Murgiyanto (1991) menyebut bahwa Retno Maruti sebagai salah satu
dari empat koreografer yang dianggap sebagai pilar dengan mempunyai gagasan
dan kreasi yang mempengaruhi perubahan tari di Indonesia selama empat
dekade terakhir. Selain Retno Maruti, koreografer dan sekaligus penari yang
sangat berpengaruh adalah Sardono W. Kusumo, Bagong Kussudiardja, dan satu
penari dari Sumatera Barat, yaitu Huriah Adam. Empat koreografer tersebut
11
masing-masing. Bagong Kussudiardja di dalam pencarian ekspresi individunya
berawal dari tari klasik Yogyakarta, Retno Maruti yang disebutnya melakukan
rekonstruksi tari Jawa mengawalinya dari tari klasik Surakarta, Huriah Adam
yang meredefinisikan tari Minangkabau mengawalinya dari tari tradisi Minang,
dan Sardono W. Kusumo yang disebutnya sebagai seorang cultural traveler
memulai karir kesenimanannya sebagai penari klasik Surakarta. Sal melihat
adanya proses inovatif masing-masing koreografer tersebut dalam
memoderenkan suatu culture, dan memperlakukannya bukan sebagai sebuah
artifacts dengan mengadaptasi ke dalam gagasan baru dan kondisi baru.
Indikator lain selain pengakuan dari tokoh seni pertunjukan, juga adanya
sanggar tari yang didirikan oleh Retno Maruti pada 1993 yang merupakan salah
satu bentuk kepercayaan publik akan kualitas kepenariannya. Bentuk pengakuan
lain terhadap Retno Maruti kemunculannya sebagai penari dalam sebuah acara
pemberian penghargaan kepada salah satu ahli karawitan dari Yogyakarta.
1.2. Rumusan Penelitian
Bedaya sebagai tari tradisi mempunyai simbol-simbol yang disepakati
oleh pendukungnya. Berdasarkan pada gagasan di atas, muncul beberapa
pertanyaan.
1. Bagaimana simbolisasi dalam tari, antara lain mencakup gerak,
kostum, dan panggung, dan siapa yang mempergunakan simbolisasi
12
2. Sejauh mana tari bisa dipandang sebagai praktik spiritual pada orang
Jawa untuk mencapai keharmonisan batin?
3. Apa kedudukan alus dalam budaya Jawa sebagaimana ditarikan oleh
Retno Maruti?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari ketiga pertanyaan di atas, tujuan yang akan dicapai dalam penelitian
ini sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mencari simbolisasi dalam tari karya
Retno Maruti, terutama yang berjudul “The Amazing Bedaya Legong
Calonarang”.
2. Di samping itu, penelitian ini juga bertujukan untuk menemukan arti
penting menari bagi orang Jawa, kaitannya dengan praktik spiritual
untuk mencapai keharmonisan batin.
3. Dari kedua temuan tersebut, tujuan berikutnya adalah mencari arti alus
dalam budaya Jawa melalui tari karya Retno Maruti, terutama yang
berjudul “The Amazing Bedaya Legong Calonarang”.
1.4. Signifikansi Penelitian
1. Dengan melihat kepenarian Retno Maruti dan simbol-simbol yang
menjadi bagian dari karya tari Retno Maruti, penelitian ini diharapkan
13 praktik spiritual orang Jawa.
2. Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan gambaran di balik
praktik kebatinan melalui tari sebagai upaya untuk mencapai alus dalam
tradisi Jawa.
3. Selain itu, penelitian ini dapat mendorong kita untuk lebih kritis terhadap
tradisi alus dalam praktik tari tradisional Jawa yang hidup di keraton.
2. Tinjauan Pustaka
Tinjauan mengenai Retno Maruti secara khusus pernah ditulis oleh Siti
N. Kusumastuti dan Sal Murgiyanto. Siti N. Kusumastuti dalam Tari Tradisional
Jawa Surakarta di Jakarta: Kajian Kasus terhadap Retno Maruti dan Karyanya
mencoba untuk mengkaji tari tradisional Jawa (gaya) Surakarta di Jakarta.
Tulisan ini berusaha untuk memahami tari tradisonal Jawa Surakarta di luar
lingkungan tumbuh kembangnya, yaitu di Jakarta. Pemahaman ini didasari
adanya konsep persebaran budaya yang menganut anggapan dasar bahwa
unsur-unsur kebudayaan pada dasarnya dapat menyebar dari satu tempat ke tempat
lain, seiring dengan persebaran masyarakat pendukungnya. Fokus penelitian
Kusumastuti ini adalah Retno Maruti bersama perkumpulan tarinya yang diberi
nama Padnecwara dan salah satu karya Retno Maruti yang berjudul Abimanyu
Gugur.
Penelitian ini beranggapan bahwa Retno Maruti menjadi seniman tari
14
ia memiliki bakat besar dari ayahnya, memiliki minat pada kesenian yang
bertumbuh dengan baik karena berada dalam lingkungan berkesenian, dan
dedikasinya yang tinggi pada kesenian. Juga sikapnya yang halus, supel, dan
terbuka terhadap segala kemungkinan sehingga ia berani untuk melakukan
penjelajahan-penjelajahan dan pengembangan terhadap tradisi. Kusumastuti
dalam tulisan ini memusatkan perhatian pada upaya yang dilakukan Retno
Maruti dalam menjalani karirnya sebagai seniman tari yang menghasilkan karya
tari yang berkualitas dan dinantikan kehadirannya.
Sal Murgiyanto dalam Moving Between Unity and Diversity: Four
Indonesian Choregraphers (1991) menulis tentang empat koreografer yang
mempengaruhi perkembangan tari di Indonesia pada tahun 1990-an. Ke empat
koreografer dan sekaligus penari tersebut adalah penari dari Minangkabau,
Huriah Adam, dari Solo, Sardono W. Kusumo, dari Yogyakarta, Bagong
Kussudiardja, dan Retno Maruti. Ke empat koreorafer tersebut dipilih karena
dianggap telah memodernisasi tari sebagai sebuah kultur, bukan sebagai artefak.
Murgiyanto juga menganggap, melalui pertunjukan-pertunjukannya, koreografer
tersebut telah menjadi agen perubahan. (agents of change).
Lebih jauh mengenai Retno Maruti, Murgiyanto memfokuskan pada
karya Maruti mengenai “Panembahan Senopati”, tokoh berpengaruh dalam
lahirnya Kerajaan Mataram. Yang menarik bagi Murgiyanto adalah pemilihan
Maruti pada penokohan dalam cerita “Panembahan Senopati”. Maruti tidak
15
Mangir, tetapi pada karakter perempuan, yaitu Sekar Pembayun, anak
Panembahan Senopati sekaligus istri musuh ayahnya, Ki Ageng Mangir. Maruti
menonjolkan sikap bakti Sekar Pembayun sebagai sebuah refleksi rasa, yang
merupakan esensi karya Maruti.
What is Dance: Readings in Theory and Criticism (1983) oleh Roger
Copeland dan Marshall Cohen (ed.) berupaya untuk mengidentifikasi dan
menguji isu dasar mengenai estetika tari. Pengertian bahwa tari merupakan
bentuk ekspresi atau emosi atau representasi banyak dipertanyakan. Buku ini
juga menguraikan bagaimana pleasure diproduksi. Buku ini berisi tentang
medium tari, tari kaitannya dengan seni yang lain, genre dan model dalam tari,
notasi dan identitas dalam tari, dan kaitan antara tari dan masyarakat.
Clara Brakel-Papenhuijzen dalam The Bedhaya Court Dances of Central
Java (1992) mengupas tari bedaya dan srimpi yang ada di keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Brakel-Papenhuijzen mencatat teks tembang dalam pertunjukan
bedaya berikut notasi iringannya. Brakel-Papenhuijzen juga menggambar pola
lantai bedaya yang merupakan unsur penting dalam pementasan bedaya. Urutan
gerak dan hitungan gerakan bedaya dituliskan secara detail. Buku kedua yang
juga ditulis oleh Brakel-Papenhuijzen yang akan dijadikan sumber referensi
mengenai tari tradisional berjudul Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan
Peristilahannya (1991). Buku ini memuat metode menari gaya tari tradisional
Surakarta, dilengkapi dengan sketsa. Buku ini juga menuliskan tentang berbagai
16
Peristilahan dalam tari tradisional Surakarta juga dicatat dalam buku ini.
Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa (1998) karya Paul
Stange merupakan buku yang mengupas tentang rasa dalam praktik dan
hubungan sosial orang Jawa. Logika rasa tersebut oleh Stange juga dikaitkan
dengan pertunjukan tari di Surakarta.
3. Landasan Teori
Bedaya sebagai suatu bentuk tari yang berasal dari keraton diyakini
mempunyai nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan orang Jawa, terutama
perempuan Jawa, menjadi seorang perempuan yang ideal. Nilai kelembutan,
ketaatan, dan ketenangan yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tari
merupakan hal yang bisa dilihat. Untuk mencapainya, orang harus melalui laku
spiritual dalam rangka intrenalisasi nilai-nilai Jawa.
Dalam “The Amazing Bedaya Legong Calonarang”, Retno Maruti justru
melakukan negosiasi bagaimana keidealan suatu nilai perempuan Jawa
dihadirkan kembali pada masa sekarang. Retno Maruti menghadirkan
bedayanya dengan lebih canthas. Tari Bali yang dikenal dinamik dengan
volume gerak yang lebar dan dengan kecepatan gerak yang lumayan tinggi
dibandingkan dengan tari Jawa dihadirkan bersama dalam satu repertoar yang
judulnya telah disebutkan di atas.
Ketika berhadapan dengan Bali, bedaya melakukan reidentifikasi
17
spirit antara dionysian dan apollonian. Dalam pertunjukan “The Amazing
Bedaya Legong” ini, antara (gaya tari) Jawa dan Bali tampak kontras, Bali yang
tampak psikotik menjadikan Jawa tampak neurotik, atau sebaliknya. Jawa yang
tampak cantik beradapan dengan Bali yang sublim.
4. Metode Penelitian
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif. Metode yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terutama kepada Retno
Maruti, beberapa penari yang paling sering terlibat dalam karyanya, dan
beberapa seniman tari yang mengenal Retno Maruti dan yang masih
aktif terlibat dalam seni pertunjukan di Indonesia. Wawancara ini
dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai apa itu bedaya dan apa
itu menari bagi orang Jawa.
2. Studi Pustaka. Literatur yang paling dibutuhkan untuk mengupas Retno
Maruti berkaitan dengan tari yang menjadi gagasan awal penciptaan
karya-karyanya, yaitu terutama bedaya, dan buku mengenai cara melihat
estetika di kalangan orang Jawa.
3. Observasi. Observasi dilakukan di sanggar Padnecwara milik Retno
Maruti di mana ia melakukan upaya untuk mengenalkan seni
pertunjukan kepada orang lain. Observasi juga dilakukan pada event di
18 5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari penelitian yang berjudul “Analisis Simbolik
Bedaya sebagai Pemeragaan Nilai: Studi Kasus Retno Maruti” akan terbagi
dalam lima bab. BAB I membahas pendahuluan yang berisi tentang Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi
Penelitian, Metode Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. Bab II
akan membicarakan tentang Perkembangan Bedaya dalam Tari Tradisional di
Jawa. Jawa yang dimaksud di sini khususnya merujuk pada Jawa Tengah
(terutama Surakarta) dan Yogyakarta. Subbab dalam Bab II meliputi Tradisi dan
Asal Muasal Bedaya, Simbolisme dalam Bedaya tradisi, dan bagaimana
simbolisme itu digunakan dalam karya-karya Maruti.
Bab III akan membahas Retno Maruti dan Karya-karyanya. Pembahasan
diawali dari masa kecil Maruti saat Maruti belajar menari di Surakarta. Subbab
ini menceritakan tentang sejak pertama kali Maruti masuk dalam dunia tari yang
akhirnya membentuk sikapnya yang khas. Subbab ke-2 adalah Maruti dan
Kepindahannya dari Surakarta ke Jakarta. Subbab ini mengurai Maruti yang
penari Jawa, yang melanjutkan kepenariannya di kota urban Jakarta. Di dalam
subbab ini akan dijelaskan bagaimana Maruti menempatkan tarinya di
masyarakat urban Jakarta. Subbab ke-3 membahas tentang Karya-karya Retno
Maruti. Subbab ini menjelaskan satu per satu karya yang berhasil diciptakan
19
Karya Retno Maruti dan bagaimana Maruti mencipta/mengkreasikan tari akan
dibahas dalam bab ini.
Bab IV adalah Studi Kasus Karya Retno Maruti: The Amazing
Bedaya-Legong Calonarang (BLC). Bab ini akan mendeskripsikan bagaimana
pertunjukan BLC itu berlangsung pada saat pementasan terjadi. Bentuk
penyajian juga akan dibahas, yang di dalamnya terdapat dasar penyajian, tema,
dan sekuen penyajian. Subbab selanjutnya mengenai bagaimana metamorfosa
bedaya itu terjadi dalam karya Maruti, dari bedaya yang standar ke bedaya yang
terdapat dalam BLC. Bedaya sebagai pendidikan bagi orang Jawa akan
disinggung pada subbab selanjutnya. Bab V merupakan bab terakhir sebagai
20 BAB II
PERKEMBANGAN BEDAYA DALAM TARI TRADISIONAL JAWA
Dalam tradisi Jawa, terutama di keraton, kehadiran tari sangat penting.
Kehadirannya dibedakan dalam dua kategori, yakni tari tradisional kerakyatan
dan tradisional klasik/istana.1 Tari tradisional kerakyatan merupakan tari yang
hidup di lingkungan rakyat kebanyakan, misalnya tayub, jathilan, badut, ndolalak, kethek ogleng, dan srandul. Biasanya tari kerakyatan dikenali karena gerak dan cara pertunjukannya yang sederhana. Tarian tersebut mempunyai
fungsi, baik sebagai hiburan ataupun ritual. Beberapa tari kerakyatan berfungsi
keduanya sekaligus, yakni sebagai hiburan sekaligus ritual, seperti tayub, badut,
dan jathilan. Pertunjukan yang berfungsi ganda ini umumnya dikaitkan dengan ritus yang berkaitan dengan kesuburan tanah dan tanaman. Tarian ini biasanya
dipergunakan sebagai wahana untuk berhubungan dengan “yang gaib” pada
upacara memetri desa atau bersih desa atau bersih lepen.2 Dengan dipertunjukkannya tari tersebut, diharapkan aliran air akan lancar, hama
tanaman lenyap, dan tanaman tumbuh subur, sehingga panen berhasil.
Tari tradisi klasik/istana adalah tari yang hidup di lingkungan istana.
Istana atau kraton yang dimaksud di sini adalah kraton Surakarta (Kasunanan)
dan Yogyakarta (Kasultanan), dan dua kraton yang dulunya adalah milik
1
Edi Sedyawati, ed. Performing Arts, Singapore: Archipelago Press, 1998, hlm. 76. 2 Anastasia Melati Listyorini, “
Badhut Sinampurna sebagai Wahana Ruwatan di Desa Ploso
21
pangeran, disebut kadipaten, yaitu: Mangkunegaran di Surakarta dan Paku
Alaman di Yogyakarta. Tari istana atau sering disebut dengan tari klasik
merupakan tarian yang diciptakan dan dipergelarkan di istana yang mempunyai
teknik tari yang lumayan rumit sehingga diperlukan latihan yang disiplin
terus-menerus. Tari istana biasanya dipertunjukkan tidak di sembarang waktu dan
tempat, tetapi hanya pada saat upacara kerajaan sehingga disebut tari sakral.3
Tari klasik ini biasa disebut dengan beksan atau jogedan untuk menggambarkan
suatu pengolahan pola gerak yang kompleks.4 Oleh karena itu, tari klasik
biasanya dipelajari dalam kurun waktu yang lama.
Tari klasik ini bisa ditarikan oleh semuanya perempuan, disebut beksan putri, semuanya laki-laki, disebut beksan kakung atau beksan putra, atau campuran yang biasanya terdapat pada tarian wayang yang disebut beksan wayang. 5 Beksan putri dan beksan putra memainkan komposisi tari murni atau non-dramatik, tidak menunjukkan tema yang bersifat dramatik. Tarian wayang
selalu memberikan tema bersifat dramatik yang diambil dari konteks sastra,
sejarah, atau teater (wayang).
Terdapat dua macam beksan putri yang dianggap keramat, yaitu bedaya dan srimpi. Umumnya, bedaya dianggap paling keramat, paling kuno, dan
paling kompleks. Bedaya adalah koreografi tari yang paling panjang dan paling
3
Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedhaya Court Dances of Central Java, Koln: E.J. Brill, 1992, hlm. 1.
4
Clara Brakel-Papenhuijzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, Jakarta: Indonesia Linguistics Development Project, 1991, hlm. 17. Beksan dipergunakan untuk terminologi tari Surakarta seperti halnya istilah jogedan pada tari Yogyakarta.
5
22
rumit, yang biasanya diberi nama menurut tema musik yang dominan,6 misalnya
dinamakan Bedaya Ketawang karena diiringi gending Ketawang, dinamakan
Bedaya Tejanata karena diiringi gending Tejanata, dan seterusnya. Bedaya
biasanya ditarikan oleh sembilan penari, tetapi ada juga bedaya yang ditarikan
oleh tujuh penari.7 Suatu bentuk untuk tujuh penari biasanya dipentaskan di luar
kraton, yakni di kediaman pangeran dan bupati.
Bedaya dalam penampilannya selalu mempunyai cerita atau tema. Isi
cerita bedaya bermacam-macam. Cerita bedaya ini diketahui dari pesindhen yang menyanyikan syair selama pertunjukan bedaya berlangsung. Mulanya
bedaya menggambarkan percintaan, seperti dalam “Bedaya Ketawang” yang
menggambarkan percintaan raja Mataram dan Ratu Kidul, juga “Bedhaya
Gadhung Mlathi”. “Bedaya Dorodasih” juga menggambarkan percintaan antara
Sunan Paku Buwana IV dan R.A. Handaya, dan “Bedaya Wiwaha Sangaskara”
di Kasultanan yang disebut juga “Bedaya Manten”. Perkembangannya
kemudian, banyak bedaya yang menceritakan tentang peperangan, misalnya
“Bedaya Bedah Madiun” menggambarkan pererangan antara Mataram dan
Madiun, “Bedaya Babar Layang” menggambarkan peperangan antara putra
mahkota Kerajaan Kandhabuwana dan ratu dari kerajaan Ngambar Kumala.
Bedaya juga bisa diciptakan dan dipentaskan untuk memberikan penghormatan,
seperti “Bedaya Sang Amurwabhumi” yang merupakan penghormatan Sultan X
6
Felicia Hughes-Freeland, Embodied Communities, Dance Traditions and Change in Java, Oxford: Berghahn Books, 2008, hlm. 43
7
23
kepada Sultan IX atas penanaman dasar-dasar untuk menggalang kepemimpinan
yang baik. Bedaya yang paling terakhir diciptaan di kasultanan adalah “Bedaya
Sabda Aji” yang dipersembahkan Ibu Sri Kadaryati sebagai pelatih dan penata
tari kraton kepada Ngersa Dalem (Sultan HB) X. Bedaya ini merupakan
pengembangan dari tari “Golek Menak” yang diciptakan pada jaman Sultan HB
IX.8
Beksan putri selain bedaya adalah srimpi. Srimpi lebih ringan daripada bedaya. Aturan dalam simpi juga tidak seberat aturan dalam bedaya. Oleh
karena tidak keramat seperti bedaya, srimpi leh banyak dipentaskan daripada
bedaya. Srimpi biasanya ditarikan oleh empat penari. Namun, seperti halnya
bedaya, perubahan bisa saja terjadi atas kehendak raja. “Srimpi Renggawati” di
Kasultanan mempunyai penari berjumlah lima orang. Dalam bab ini, penulis
akan menguraikan lebih jauh mengenai bedaya, yaitu mengenai tradisi bedaya
dan asal muasalnya, simbolisme bedaya, dan bedaya sebagai pendidikan.
1. Asal-muasal bedaya
Bedaya diduga ada sejak jaman kerajaan Hindu meski tidak diketahui
secara tepat tahun berapa. Pada jaman kerajaan Hindu, bedaya melambangkan
kehadiran dewi-dewi dan dipertunjukan oleh tujuh penari. Pada jaman Mataram
Islam, bedaya kemudian ditarikan oleh sembilan penari. Konon jumlah sembilan
8
24
merujuk pada Wali Sanga, yaitu sembilan wali yang menyebarkan agama Islam.9
Bedaya merupakan lelangen dalem (kewenangan raja)10 sekaligus kelangenan dalem (hiburan raja)11. Disebut lelangen dalem karena bedaya hadir selalu atas perintah raja. Seperti telah disebutkan di atas, pada umumnya bedaya ditarikan
oleh sembilan penari. Namun karena alasan tertentu, atas perintah raja, bedaya
bisa dipertunjukkan oleh tujuh penari, contohnya “Bedaya Sapta” ciptaan HB IX
atau “Bedaya Tejanata”12
yang popular pada jaman Paku Alam VII. Paku
Alaman bahkan mempunyai bedaya yang berjumlah genap yaitu delapan penari,
suatu jumlah yang sangat jarang dalam pertunjukan bedaya, yang diberi judul
“Bedaya Renyep”. “Bedaya Renyep” diciptakan pada pemerintahan Paku Alam
VIII.
Di Kasultanan jaman HB IX, bedaya juga bisa diciptakan untuk ditarikan
oleh enam penari, yang disebut “Bedaya Manten” atau “Bedaya Wiwaha
Sangaskara”. Bahkan, kesamaan dalam busana dan rias sebagaimana ciri khas
bedaya “dilanggar” pada “Bedaya Manten” ini. Keenam penari “Bedaya
Manten” mengenakan busana yang tidak sama: dua penari berias dan
berpakaian seperti pengantin dengan busana dodot ageng, empat orang penari dengan busana mekak. Hal ini membuktikan bahwa meski bedaya biasanya
9
Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedaya Court Dances of Central Java, Koln: E.J. Brill, 1992, hlm. 40-41.
10
Hughes-Freeland, “Art and Politics: From Javanese Court Dance to Indonesia Art”, The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 3, No. 3 (Sep., 1997), hlm. 473- 495. 11
ibid., Hlm. 5. 12
25
mempunyai “aturan” tertentu, kalau raja menginginkan sesuatu yang lain maka
penciptaan bedaya itu bisa saja terjadi. Selain itu, pemadatan durasi bisa terjadi
atas perintah raja. Bedaya Ketawang yang merupakan sumber dari segala
sumber penciptaan bedaya pun mengalami perubahan dengan dilakukannya
pemadatan durasi ketika raja berkehendak, yaitu dari sekitar empat jam menjadi
kurang dari dua jam pertunjukan. Pemadatan durasi ini terjadi pada
pemerintahan Sunan Paku Buwana X.13 Bedaya Ketawang yang telah
dipadatkan inilah yang ditarikan hingga sekarang dan dianggap sebagai sumber
penciptaan bedaya selanjutnya, yang disebut mutrani.14
Sebagai kelangenan dalem, bedaya merupakan sarana hiburan raja atau kesukaan raja. Kelangenan di sini mengimplikasikan pada sesuatu yang lebih yang mungkin digunakan untuk menyebut selir atau perempuan kesayangan,
atau secara umum merujuk pada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan
yang kuat.15 Istilah bedaya sendiri mengacu pada tari dan pada penari bedaya,
sebagai subyek dan sebagai obyek dari kelangenan.16
Para penari bedaya awalnya adalah putri-putri kerabat kraton yang harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti yang tertera dalam Serat Weda
Pradangga17 yang ditembangkan ketika Bedaya tampil yang dikutip oleh Brakel
Pappenhuijzen (1992: 42):
13
Wawancara dengan Wahyu S. Prabowo di Surakarta, 20 Desember 2007. 14
Wawancara dengan Wahyu S. Prabowo di Surakarta, 20 Desember 2007 15
Ibid., 1992, hlm. 5. 16
Ibid., 1992, hlm. 6. 17
26
…Lajeng kagungan kersa mundhut Kenya, putranipun para prayagung bupati nayaka wolu, kapundhut satunggal-satunggal, pinilih ingkang indah ing warni saha parigel ing solah, kinarya badhaya. Karsa Dalem amiwiti yasa lalangen badhaya cacah 9, jangkepipun sanga mundhut putra utawi wayahipun papatih Dalem, salah satunggal ingkang parigel saha indah ing warni sinartan wasis dhateng wiramaning gendhing, minangka titindhih dados pamBatak ipun beksa bedhaya….
Terjemahan bebas:
…(Raja) menginginkan mengambil gadis, anak para pejabat bupati pegawai berjumlah delapan, diambil satu-satu, dipilih yang cantik dan trampil dalam pembawaan, menarikan bedaya. Kehendak raja adalah memulai bedaya berjumlah 9, untuk melengkapi jumlah itu mengambil anak atau cucu patih, salah satu yang trampil menari dan cantik dan menguasai gending, untuk menjadi Batak bedaya….
Dalam Weda Pradangga itu disebutkan bahwa syarat menjadi seorang
penari bedaya adalah harus merupakan putra pejabat, cantik, trampil menari, dan
bagi peran Batak harus menguasai gending. Serat Weda Pradangga ini tidak hanya menjabarkan bagaimana suatu formasi bedaya menjadi bentuk manusia,
tetapi juga memberikan alasan mengenai pengulangan-pengulangan sebagai
bagian dari ritual kraton yang hanya dimiliki oleh bedaya. Cerita ini juga
memberikan gambaran mengenai keberadaan bedaya dari jaman Hindu yang tak
diketahui tepatnya, sampai ke jaman Islam yang sangat diketahui waktunya,
yaitu Mataram Islam dalam pemerintahan Sultan Agung.
Sebagai tari yang sakral, pertunjukan bedaya harus memenuhi beberapa
elemen yang diperlukan agar bisa mencapai kesatuan dengan Tuhan
(manunggaling kawula Gusti). Elemen-elemen yang penting dalam praktik
bedaya tersebut meliputi: beksan, yaitu koreografi yang menggunakan gerakan
27
disebut pesindhen; gendhing, yang merupakan komposisi untuk instrumen gamelan sambil diiringi tari dan nyanyian; sajen, sesaji berupa bunga, pakaian, makanan dan kemenyan yang dibarengi dengan pertunjukan pusaka bedaya,
bunga-bunga yang wangi, perhiasan permata dan busana khusus yang digunakan
untuk pertunjukan bedaya.18 Karena taat pada berbagai larangan dan aturan, tari
ini merupakan ungkapan ritual dari legitimasi penguasa (raja).
Kesakralan bedaya diperkuat dengan sejarah, atau lebih tepatnya mitos,
yang mewarnai bedaya. Sejarah bedaya itu sendiri memiliki bermacam versi.
Florida19 menceritakan tentang hubungan Panembahan Senopati, pendiri dinasti
Mataram yang memerintah pada akhir abad ke-16, dan Ratu Kidul, penguasa
Laut Selatan, Samudera India, melalui syair yang diambil dari Babad Tanah
Jawi20, yaitu karya sastra sejarah yang berbentuk tembang Jawa. Syair ini
dinyanyikan oleh pesindhen dalam pertunjukan Bedaya Ketawang di Kasunanan.21 Cerita ini berawal dari pertemuan Ratu Kidul dengan Panembahan
Senapati saat Senapati belum menjadi raja yang berlanjut pada hubungan yang
intim antara kerajaan Mataram dan kerajaan di laut selatan. Cerita ini
dilanjutkan dengan raja Mataram selanjutnya, yakni Sultan Agung, cucu
Panembahan Senapati. Atas cintanya pada Ratu Kidul, Sultan Agung
menciptakan bedaya dengan berkonsultasi pada Ratu Kidul. Inilah awal adanya
18
Ibid. 19
Lihat lampiran 1. 20
Babad Tanah Jawi menceritakan sejarah raja Mataram sejak jaman Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya, lalu jaman Hindu, sampai kerajaan Mataram Islam.
21
Nancy Florida, “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu
28
bedaya yang diyakini sampai sekarang. Ada juga yang menyebutkan, bedaya ada
sejak jaman kerajaan Majapahit. Bedaya ini dikaitkan dengan dewi-dewi Hindu
yang sedang menari di kayangan sehingga membuat kagum dewa-dewa, bukan
di bumi Jawa.22 Namun cerita versi Hindu sekarang ini kurang populer.
Dalam hampir semua tarian bedaya, ada bagian yang merupakan
pertempuran antara dua penari, diperankan oleh Batak dan Endhel. Dalam pertempuran ini selalu menggunakan senjata, seperti keris kecil, meskipun
kadang-kadang juga dipakai busur dan anak panah. Bahkan ada bedaya yang
menggunakan pistol.
Bedaya Ketawang dipentaskan di Kasunanan pada setiap peringatan
berdirinya dan kenaikan tahta Susuhunan (tingalan dalem) di Surakarta pada
setiap tahun. Kasultanan Yogyakarta tidak lagi mencadangkan suatu tari khusus
untuk peringatan kenaikan tahta, tetapi bedaya tetap merupakan suatu simbol
penting dari kekuasaan sultan. Paku Alaman selalu mementaskan bedaya setiap
tingalan dalem, tetapi bedaya yang ditampilkan bukan bedaya tertentu saja, seperti halnya “Bedaya Ketawang” di Surakarta. Sekarang ini, selain untuk
tingalan dalem, sembilan penari puteri mementaskan bedaya untuk perayaan besar, seperti ulang tahun raja, pernikahan kraton, dan resepsi untuk tamu negara
yang penting.
Pada perkembangannya kemudian, tari kraton diselenggarakan atas niat
22
29
pariwisata, baik nasional maupun internasional, yang dibumbui dengan tujuan
untuk meningkatkan profil tari kraton gaya Yogyakarta/Surakarta. Pertunjukan
tari sambil makan (andrawina) ini diorganisir oleh kraton bekerjasama dengan
agen pariwisata pemerintah. Dari sini, muncullah kemudian “kreasi baru” yang
disebut sendratari.
2. Simbolisme Bedaya
Menari di istana sudah lama merupakan modal keluarga priayi. Seperti
telah disebutkan di atas bahwa awalnya penari bedaya haruslah kerabat kraton.
Bagi keluarga priayi, menarikan tarian klasik dimaksudkan untuk membantu
dalam mengembangkan kehalusan jiwa.23 Kaitannya dengan cara menari bagi
orang Jawa, Brakel-Pappenhuijzen mengutip Soerjobrongto,24 sebagai berikut:
Penari harus melatih diri, sehingga jiwanya bisa menerima dan menyerap semua rangsang dari luar yang ada hubungannya dengan peranannya di dalam tarian, sehingga dengan demikian jiwanya dapat mengisi ekspresi gerak-geriknya dengan rangsang-rangsang itu. Rangsang-rangsang tersebut dibentuk oleh suara gamelan, narasi, melodi, nyanyian, dialog, dan cerita.
Brakel-Pappenhuijzen menambahkan:
Keseimbangan antara ekspresi dengan plastisitas gerak-gerik bergantung kepada irama dalam pengertian seluas-luasnya, bukan semata-mata irama gamelan, merupakan dasar dari hidup itu sendiri. Irama itu meliputi irama hidup, tingkah laku, dan tata susila. Irama menjamin keselarasan antara bentuk kehidupan batin dan lahir, yang berwujud dalam keadaan imbang, di dalam jiwa manusia yang selanjutnya akan membawa pada ketenteraman batin atau kedamaian jiwa. Orang Jawa,
23
Clara Brakel-Papenhuijzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, Jakarta: Indonesia Linguistics Development Project, 1991, hlm. 34.
30
jika diperlakukan kasar, akan berkata kepada dirinya sendiri: „Orang tak tahu irama!‟
Kekuatan bedaya adalah simbolik, tidak wadag.25 Cerita yang dibawakan
tidak akan begitu saja dimengerti bila tidak mendengarkan pesindhen yang menyanyikan syair. Dalam gerakannya, akan susah dikenali gerakan itu
melmbangkan apa. Adegan perang dilakukan dengan menari berhadap-hadapan
atau bahkan menari berdampingan oleh Batak dan Endhel.
Konsep bedaya adalah heneng hening awas ing purwasedya. Heneng adalah perenungan dalam keadaan diam atau konsentrasi. Hening adalah
melakukan penyadaran dalam sepi. Dari situ diharapkan sadar atau awas akan
sangkan paraning dumadi (tujuan hidup). Jadi, bedaya membuka kesadaran manusia dari awal kehidupan sampai mencapai tujuan manusia mau kemana.26
Dengan konsep yang seperti ini, bedaya ditarikan dengan tingkat intensitas
menari yang kuat. Intensitas menari dalam bedaya ini tidak dimiliki oleh beksan
putri yang lain.
Bedaya selalu dipentaskan di pendapa dalam setiap pertunjukannya.
Penampilan di pendapa ini menghasilkan atmosfer yang spesial: bentuk
(arsitektur) pendapa dengan segala macam desain interiornya, tempat menari
yang cukup luas, bunyi gamelan yang terdengar jelas yang sanggup
memunculkan rasa romantis. Pementasan di pendapa dengan jarak penonton
yang tidak terlalu jauh, membuat formasi atau pola lantai yang dibentuk selama
25
Lihat lampiran 8. 26
31
bedaya berlangsung menjadi lebih mudah terlihat.
Pola lantai merupakan unsur yang sangat penting dalam bedaya.
Masing-masing pola lantai menggambarkan suatu adegan/cerita. Dari formasi pola lantai
ini pula akan diketahui siapa yang memimpin bedaya atau siapa yang menjadi
Batak dan Endhel bedaya tersebut. Pola lantai ini menggambarkan simbol-simbol yang erdapat dalam bedaya. Pola lantai montor mabur atau disebut juga
garudha nglayang atau dalam tradisi Yogyakarta disebut dengan lajur menggambarkan sisi kemanusiaan seorang manusia, yaitu adanya sembilan
lubang manusia (babahing hawa sanga). Sembilan lubang ini harus
dikendalikan agar manusia hidup seimbang, yaitu: kedua mata, kedua telinga,
kedua lubang hidung, mulut, alat kelamin, dan anus. Pola lantai dalam bedaya
biasanya bergerak dari bentuk manusia atau montor mabur tersebut ke bentuk pertentangan yang membuat Batak dan Endhel menjadi berhadap-hadapan untuk
berperang. Perang ini memiliki beberapa pola, yang kemudian diakhiri dengan
rakit tiga-tiga. Pola lantai ini diwujudkan dengan sembilan penari berjejer secara bertiga-tiga. Pola lantai terakhir ini mempunyai arti bersatunya manusia
dengan penciptanya, menghilangkan segala nafsu yang bisa mengganggu
persatuan manusia dengan penciptanya. Setelah mengakhiri dengan rakit
tiga-tiga, bedaya membentuk rakit montor mabur lagi untuk melakukan sembahan, lalu meninggalkan pendapa untuk menjadi manusia biasa lagi melanjutkan
hidup dengan segala permasalahan yang ditemui dalam hidup sehari-hari.
32
Masing-masing diberi nama sesuai dengan perannya. Peran bedaya adalah
sebagai berikut27:
1. Batak (Pemimpin: kepala, pancaindra, jiwa/roh) 2. Endhel Pajeg/Ajeg (Pengikut: keinginan hati, akal)
3. Jangga atau Penggulu (Leher) 4. Dhadha atau Pendhadha (Dada) 5. Bunthil (Pantat)
6. Apit Ngajeng (Pengapit depan)
7. Endhel Wedalan Ngajeng (Pengikut depan) 8. Apit Wingking (Pengapit belakang)
9. Endhel Wedalan Wingking (Pengikut samping)
Batak dan Endhel dalam setipa bedaya selalu memimpin cerita, artinya keduanya selalu menjadi tokoh yang menentukan dalam cerita itu. Dalam
“Bedaya Ketawang”, Batak melambangkan sang raja, dan Endhel
melambangkan Ratu Kidul. Demikian pula dalam cerita-cerita peperangan yang
melambangkan tokoh protagonis dan antagonis. Penari yang lain biasanya
jengkeng sehingga fokus akan tertuju pada kedua tokoh ini.
Simbol-simbol tersebut tidak idealis begitu saja, tetapi didukung oleh
penampilan fisikpenari. Para penari itu ditunjuk menurut tinggi badan mereka
27
33
yang berbeda-beda untuk menentukan peran: Jangga, di tengah, harus yang paling jangkung. Kedua Apit dan Endhel Wedalan adalah penari yang paling pendek. Batak dan Endhel biasanya tampil dengan postur tubuh yang sama. Pemeragaan peran tersebut tampak jelas pada pola lantai berikut ini. Arah panah
menunjukkan arah hadap penari, penonton membacanya dari bawah.
Formasi dalam bedaya mempunyai filosofinya masing-masing. Oleh
karena itu, formasi bedaya meruapakan hal yang penting selain juga gerakan tari
(sekaran) dalam bedaya.
a) Formasi masuk dan keluar
Formasi ini dibentuk ketika mulai memasuki pentas. Formasi ini
melambangkan bentuk tubuh manusia, yaitu adanya kepala, gulu,
dada, kedua tangan, kedua kaki, dan badan. Arti dari formasi ini
adalah kita menyadari bahwa kita adalah manusia biasa. Kita masih
dikuasai banyak sekali nafsu yang terdapat dalam sembilan lubang
manusia. Tokoh bedaya ada di nomor 1 (Batak) dan 2 (Endhel). Pola
lantai ini dibaca dengan mengikuti arah panah yang menyatakan arah
hadap penari.
6 > 8>
2> 1> 3> 4> 5>
34
b) Endel Wedalan dan Apit keluar garis. Batak (1) dan Endhel (2) saling berhadapan, dikuti oleh penari-penari lainnya. Peperangan mulai terjadi.
6> <8
1 > <2 < 3 <4 <5
7> <9
c)Endel Wedalan memasuki formasi lagi
<6
<2 <3 <4 <1 <7 <5 <9
<8
d) Formasi Rakit tiga, melambangkan manunggaling kawula-gusti
1^ 2^ 7^
6^ 3^ 5^
8^ 4^ 9^
Dari beberapa rakit Yogyakarta tersebut di atas, di Surakarta terdapat dua
rakit yang merupakan rakit terpenting karena rakit ini merupakan rakit pembuka
dan penutup bedaya, yaitu rakit montor mabur yang menyerupai bentuk badan
manusia dan rakit tiga-tiga sebagai lambang manunggaling kawula-gusti28. ^ ^
6 7
28
35 ^ ^ ^ ^ ^
1 2 3 4 5
^ ^ 8 9
Dan
1^ 2^ 7^
6^ 3^ 5^
8^ 4^ 9^
3. Tari sebagai Pendidikan
Tari adalah pendidikan raos (rasa). Awal mulanya, prinsip ini dikenal oleh kalangan Taman Siswa yang kemudian sering dikutip oleh GBPH
Suryobrongto. Rasa membawa suatu bobot berat arti penting dalam wacana etis, religius dan filosofis, dan sudah diterjemahkan sebagai „rasa, perasaan
pengalaman batin, makna paling dalam, intisari‟.29
Ini dikaitkan dengan agama
priayi, tetapi karena priayi bukan suatu tipe religius namun suatu kelas yang
berkait dengan jabatan atau pekerjaan, rasa berkisar dari selera kelas yang istimewa sampai suatu kapasitas spiritual yang menjangkau kepekaan elit. Tari
juga berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan mengenai tatakrama dan sopan
santun melalui latihan kode bahasa, sikap dan cara pembawaan diri. Segala
bentuk latihan ini tidak hanya terdapat pada saat menari di pendapa. Pergaulan
dengan sesama penari dan kerabat kraton lainnya sebelum pementasan
29
36
membutuhkan latihan tata karma dan sopan santun tertentu. Bisa dikatakan,
begitu memasuki ruang yang merupakan wilayah kekuasaan raja (pendapa dan
sekitarnya), maka harus diikuti dengan kebisaan tata krama dan sopan santun
menurut kebiasaan kalangan tersebut.
Pendidikan dalam bedaya juga mengajar tentang spiritualitas orang
Jawa: bagaimana hidup secara selaras, melatih kesabaran dan keiklasan, juga
melatih untuk selalu menyadari bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang senantiasa harus ingat untuk apa manusia diciptakan. Melalui bedaya,
penari berdoa dan menyatukan dirinya dengan penciptanya.
Pada 1980-an, di Yogyakarta semua perkumpulan tari menggunakan
hitungan dan tari latihan formal Kridha Bĕksa Wirama, tetapi masih ada
ketidaksepakatan tentang posisi standar, dan caranya mengelompokkan gaya tari
dan gerakan tari transisional (sendhi). Di kraton Yogyakarta, para pengajar
Kridha Beksa Wirama mengerjakan bentuk-bentuk tari istana yang sudah ada,
namun juga memperkenalkan ide-ide teatrikal barat yang berdasarkan pada
mimesis. Di dalam istana, gerakan tari dianggap berada di atas lingkup hewan
dan gerakan tubuh amat sangat abstrak, tidak mimetik.
4. Catatan Penutup
Bedaya sebagai tari putri di kraton sangat mempesona Retno Maruti.
37
khusus dalam bedaya diberi nama menurut tema musik yang dominan.30 Dalam
sebagian besar karyanya, Retno Maruti mengambil inspirasi tari bedaya31.
Gerakan, keanggunan, kelemahlembutan menampilkan sosok ideal seorang
perempuan, tidak hanya untuk perempuan Jawa, tetapi perempuan pada
umumnya.32 Inspirasi yang diambilnya dari bedaya adalah keragaman geraknya
(sekaran), gerakannya yang mengalun bak air mengalir (kehalusan geraknya),
sekaligus kuat, dan kebersamaan (kerampakan). Kerampakan gerak ini dilatih
dengan mengulang-ulang gerak tersebut dengan menggunakan hitungan.
Semakin tepat hitungan, semakin mudah untuk melakukan gerakan rampak.
Bedaya merupakan contoh tentang bagaimana gerakan yang menjiwai
menjadi suatu metafora untuk makna kehidupan dan bagaimana ini tertangkap
dalam simbolisme kekuasaan seorang raja. Kekuatan ekspresif dari semua gerakan tari kraton terletak pada lamanya menahan setiap keinginan agar tidak
muncul begitu saja. Walaupun tari putri geraknya lambat, perubahan dalam pola
lantainya tidak lambat. Ini paling nyata dalam tari bedaya ketika sembilan penari
semua tukar tempat dengan cepat sekali untuk berubah menjadi pola lantai yang
berbeda-beda33. Suatu penampilan anggun dari transisi-transisi cepat ini
menghendaki koordinasi dan naluri jasmaniah lihai ketika kesembilan penari itu
bergerak sambil berjinjit (srisig) untuk berubah tanpa mengganggu ritme
berkelanjutan dari tari tersebut. 30
Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedaya Court Dance of Central Java, 1992: 88. 31
Wawancara di rumah Maruti di Jakarta, 11 Januari 2008 32
Wawancara di rumah Maruti di Jakarta, 11 Januari 2008 33
38
Kriteria utama untuk gerak tari alus adalah mengikuti ritme dalam suatu
cara yang lentur. Sekadar mengikuti irama akan kasar. Kekuatan ekspresi
kekosongan itu halus, dan terletak dalam penahanan diri. Variasi semacam itu
khas prinsip koreografik Jawa klasik: urutan gerak itu harus kontras dan
memberikan variasi, halus dan tidak nampak oleh mata yang tak terlatih,
walaupun masih di dalam batasan yang ditetapkan oleh konvensi. Hal kecil
yang halus dan pemilihan waktu tersebut ikut membuat gerakan tari itu punya
efek menyenangkan.
Sebagai pertunjukan di istana, bedaya mempunyai tujuan pendidikan
bagi yang terlibat dalam pementasan itu, termasuk penari. Penananam tata
krama dan sopan santun tertentu merupakan cara orang menghargai satu sama
lain di lingkungan tersebut. Simbol dalam bedaya yang terdapat pada pola lantai
dan gerakan bedaya merupakan inti pendidikan, baik pendidikan “luar”, yaitu
mengenai tata karma dan sopan santun dalam pergaulannya dengan sesama, dan