• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini mengunakan metode kualitatif. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terutama kepada Retno Maruti, beberapa penari yang paling sering terlibat dalam karyanya, dan beberapa seniman tari yang mengenal Retno Maruti dan yang masih aktif terlibat dalam seni pertunjukan di Indonesia. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai apa itu bedaya dan apa itu menari bagi orang Jawa.

2. Studi Pustaka. Literatur yang paling dibutuhkan untuk mengupas Retno Maruti berkaitan dengan tari yang menjadi gagasan awal penciptaan karya-karyanya, yaitu terutama bedaya, dan buku mengenai cara melihat estetika di kalangan orang Jawa.

3. Observasi. Observasi dilakukan di sanggar Padnecwara milik Retno Maruti di mana ia melakukan upaya untuk mengenalkan seni pertunjukan kepada orang lain. Observasi juga dilakukan pada event di mana Retno Maruti mempertunjukkan kepenariannya.

18 5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari penelitian yang berjudul “Analisis Simbolik Bedaya sebagai Pemeragaan Nilai: Studi Kasus Retno Maruti” akan terbagi dalam lima bab. BAB I membahas pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Metode Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. Bab II akan membicarakan tentang Perkembangan Bedaya dalam Tari Tradisional di Jawa. Jawa yang dimaksud di sini khususnya merujuk pada Jawa Tengah (terutama Surakarta) dan Yogyakarta. Subbab dalam Bab II meliputi Tradisi dan Asal Muasal Bedaya, Simbolisme dalam Bedaya tradisi, dan bagaimana simbolisme itu digunakan dalam karya-karya Maruti.

Bab III akan membahas Retno Maruti dan Karya-karyanya. Pembahasan diawali dari masa kecil Maruti saat Maruti belajar menari di Surakarta. Subbab ini menceritakan tentang sejak pertama kali Maruti masuk dalam dunia tari yang akhirnya membentuk sikapnya yang khas. Subbab ke-2 adalah Maruti dan Kepindahannya dari Surakarta ke Jakarta. Subbab ini mengurai Maruti yang penari Jawa, yang melanjutkan kepenariannya di kota urban Jakarta. Di dalam subbab ini akan dijelaskan bagaimana Maruti menempatkan tarinya di masyarakat urban Jakarta. Subbab ke-3 membahas tentang Karya-karya Retno Maruti. Subbab ini menjelaskan satu per satu karya yang berhasil diciptakan oleh Maruti. Pemilihan Tema dalam Karya Retno Maruti, Koreografi dalam

19

Karya Retno Maruti dan bagaimana Maruti mencipta/mengkreasikan tari akan dibahas dalam bab ini.

Bab IV adalah Studi Kasus Karya Retno Maruti: The Amazing Bedaya-Legong Calonarang (BLC). Bab ini akan mendeskripsikan bagaimana pertunjukan BLC itu berlangsung pada saat pementasan terjadi. Bentuk penyajian juga akan dibahas, yang di dalamnya terdapat dasar penyajian, tema, dan sekuen penyajian. Subbab selanjutnya mengenai bagaimana metamorfosa bedaya itu terjadi dalam karya Maruti, dari bedaya yang standar ke bedaya yang terdapat dalam BLC. Bedaya sebagai pendidikan bagi orang Jawa akan disinggung pada subbab selanjutnya. Bab V merupakan bab terakhir sebagai Penutup.

20 BAB II

PERKEMBANGAN BEDAYA DALAM TARI TRADISIONAL JAWA

Dalam tradisi Jawa, terutama di keraton, kehadiran tari sangat penting. Kehadirannya dibedakan dalam dua kategori, yakni tari tradisional kerakyatan dan tradisional klasik/istana.1 Tari tradisional kerakyatan merupakan tari yang hidup di lingkungan rakyat kebanyakan, misalnya tayub, jathilan, badut, ndolalak, kethek ogleng, dan srandul. Biasanya tari kerakyatan dikenali karena gerak dan cara pertunjukannya yang sederhana. Tarian tersebut mempunyai fungsi, baik sebagai hiburan ataupun ritual. Beberapa tari kerakyatan berfungsi keduanya sekaligus, yakni sebagai hiburan sekaligus ritual, seperti tayub, badut, dan jathilan. Pertunjukan yang berfungsi ganda ini umumnya dikaitkan dengan ritus yang berkaitan dengan kesuburan tanah dan tanaman. Tarian ini biasanya dipergunakan sebagai wahana untuk berhubungan dengan “yang gaib” pada upacara memetri desa atau bersih desa atau bersih lepen.2 Dengan dipertunjukkannya tari tersebut, diharapkan aliran air akan lancar, hama tanaman lenyap, dan tanaman tumbuh subur, sehingga panen berhasil.

Tari tradisi klasik/istana adalah tari yang hidup di lingkungan istana. Istana atau kraton yang dimaksud di sini adalah kraton Surakarta (Kasunanan) dan Yogyakarta (Kasultanan), dan dua kraton yang dulunya adalah milik

1

Edi Sedyawati, ed. Performing Arts, Singapore: Archipelago Press, 1998, hlm. 76. 2 Anastasia Melati Listyorini, “Badhut Sinampurna sebagai Wahana Ruwatan di Desa Ploso

21

pangeran, disebut kadipaten, yaitu: Mangkunegaran di Surakarta dan Paku Alaman di Yogyakarta. Tari istana atau sering disebut dengan tari klasik merupakan tarian yang diciptakan dan dipergelarkan di istana yang mempunyai teknik tari yang lumayan rumit sehingga diperlukan latihan yang disiplin terus-menerus. Tari istana biasanya dipertunjukkan tidak di sembarang waktu dan tempat, tetapi hanya pada saat upacara kerajaan sehingga disebut tari sakral.3 Tari klasik ini biasa disebut dengan beksan atau jogedan untuk menggambarkan suatu pengolahan pola gerak yang kompleks.4 Oleh karena itu, tari klasik biasanya dipelajari dalam kurun waktu yang lama.

Tari klasik ini bisa ditarikan oleh semuanya perempuan, disebut beksan putri, semuanya laki-laki, disebut beksan kakung atau beksan putra, atau campuran yang biasanya terdapat pada tarian wayang yang disebut beksan wayang. 5 Beksan putri dan beksan putra memainkan komposisi tari murni atau non-dramatik, tidak menunjukkan tema yang bersifat dramatik. Tarian wayang selalu memberikan tema bersifat dramatik yang diambil dari konteks sastra, sejarah, atau teater (wayang).

Terdapat dua macam beksan putri yang dianggap keramat, yaitu bedaya dan srimpi. Umumnya, bedaya dianggap paling keramat, paling kuno, dan paling kompleks. Bedaya adalah koreografi tari yang paling panjang dan paling

3

Clara Brakel-Papenhuijzen, The Bedhaya Court Dances of Central Java, Koln: E.J. Brill, 1992, hlm. 1.

4

Clara Brakel-Papenhuijzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, Jakarta: Indonesia Linguistics Development Project, 1991, hlm. 17. Beksan dipergunakan untuk terminologi tari Surakarta seperti halnya istilah jogedan pada tari Yogyakarta.

5

22

rumit, yang biasanya diberi nama menurut tema musik yang dominan,6 misalnya dinamakan Bedaya Ketawang karena diiringi gending Ketawang, dinamakan Bedaya Tejanata karena diiringi gending Tejanata, dan seterusnya. Bedaya biasanya ditarikan oleh sembilan penari, tetapi ada juga bedaya yang ditarikan oleh tujuh penari.7 Suatu bentuk untuk tujuh penari biasanya dipentaskan di luar kraton, yakni di kediaman pangeran dan bupati.

Bedaya dalam penampilannya selalu mempunyai cerita atau tema. Isi cerita bedaya bermacam-macam. Cerita bedaya ini diketahui dari pesindhen yang menyanyikan syair selama pertunjukan bedaya berlangsung. Mulanya bedaya menggambarkan percintaan, seperti dalam “Bedaya Ketawang” yang menggambarkan percintaan raja Mataram dan Ratu Kidul, juga “Bedhaya Gadhung Mlathi”. “Bedaya Dorodasih” juga menggambarkan percintaan antara Sunan Paku Buwana IV dan R.A. Handaya, dan “Bedaya Wiwaha Sangaskara” di Kasultanan yang disebut juga “Bedaya Manten”. Perkembangannya kemudian, banyak bedaya yang menceritakan tentang peperangan, misalnya “Bedaya Bedah Madiun” menggambarkan pererangan antara Mataram dan Madiun, “Bedaya Babar Layang” menggambarkan peperangan antara putra mahkota Kerajaan Kandhabuwana dan ratu dari kerajaan Ngambar Kumala. Bedaya juga bisa diciptakan dan dipentaskan untuk memberikan penghormatan, seperti “Bedaya Sang Amurwabhumi” yang merupakan penghormatan Sultan X

6

Felicia Hughes-Freeland, Embodied Communities, Dance Traditions and Change in Java, Oxford: Berghahn Books, 2008, hlm. 43

7

23

kepada Sultan IX atas penanaman dasar-dasar untuk menggalang kepemimpinan yang baik. Bedaya yang paling terakhir diciptaan di kasultanan adalah “Bedaya Sabda Aji” yang dipersembahkan Ibu Sri Kadaryati sebagai pelatih dan penata tari kraton kepada Ngersa Dalem (Sultan HB) X. Bedaya ini merupakan pengembangan dari tari “Golek Menak” yang diciptakan pada jaman Sultan HB IX.8

Beksan putri selain bedaya adalah srimpi. Srimpi lebih ringan daripada bedaya. Aturan dalam simpi juga tidak seberat aturan dalam bedaya. Oleh karena tidak keramat seperti bedaya, srimpi leh banyak dipentaskan daripada bedaya. Srimpi biasanya ditarikan oleh empat penari. Namun, seperti halnya bedaya, perubahan bisa saja terjadi atas kehendak raja. “Srimpi Renggawati” di Kasultanan mempunyai penari berjumlah lima orang. Dalam bab ini, penulis akan menguraikan lebih jauh mengenai bedaya, yaitu mengenai tradisi bedaya dan asal muasalnya, simbolisme bedaya, dan bedaya sebagai pendidikan.

Dokumen terkait