• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usia lima tahun di Baluwarti, di lingkungan kraton Surakarta, Maruti belajar tari Jawa melalui dasar-dasar tari putri yang disebut Rantaya selama kurang lebih tiga tahun. Dengan cara imitasi, yaitu menirukan guru, Maruti belajar menari. Pada tahap ini, teknik (cara melakukan) tari sangat dipentingkan. Teknik tari ini menjadi ciri khas atau cengkok masing-masing penari atau guru. Dengan begitu, meski Surakarta mempuyai banyak ahli (empu) tari,

masing-40

masing empu mempunyai gaya dan tekniknya masing-masing. Makin banyak belajar dari bermacam-macam guru, makin kaya pula gaya yang dikuasai.

Belajar teknik tari biasanya dilakukan dengan mendengarkan dan merasakan gending, tidak dengan cara berhitung secara berputar dari angka satu sampai dengan delapan seperti yang dilakukan sekarang ini. Dengan mendengarkan gending, rasa gerak akan lebih mudah didapatkan. Rasa gerak ini berkaitan dengan karakter tarian yang akan ditarikan. Karakter tarian dibentuk melalui aturan-aturan (teknik tari) yang harus ditaati penari dalam menarikan tarian. Pembentukan ini untuk mendapatkan karakter ideal yang dilatih terus-menerus dalam latihan menari melalui cara berdiri, duduk, memandang, melakukan tolehan, melangkah, dan menggerakkan tubuh.

Di Surakarta ini, Maruti belajar ke beberapa guru ternama, antara lain Tumenggung Kusumakesawa (Pak Nggung), bu Laksminta Rukmi, dan belajar nembang pada Nyi Bei Mardusari. Meski lingkungan kraton begitu kental mempengaruhi keseharian Maruti, Maruti berniat mencari pengalaman menari yang lain untuk meningkatkan kepenariannya. Saat usia 14 tahun, Maruti pertama kali mendapatkan kesempatan pementasan secara profesional sebagai penari kijang kencana di dalam Sendratari Ramayana. Sendratari Ramayana ini secara rutin diselenggarakan di Candi Prambanan untuk keperluan pariwisata. Pementasan di panggung terbuka menambah indah atmosfer candi saat lampu sorot menyinari sebagian badan Candi Prambanan sebagai latar belakang pementasan sendratari. Pementasan di panggung terbuka hanya dilakukan bila

41

bulan purnama di setiap bulan. Bila musim hujan, sendratari dilakukan di ruang tertutup. Pengalaman menari di Prambanan ini memuat Maruti belajar banyak mengenai penciptaan gerak maupun busana, manajemen, dan kerjasama antar teman agar bisa menghasilkan pementasan yang maksimal. Pengalaman di Prambanan ini kelak membuatnya mahir untuk mengelola pementasan di bawah wadah Padnecwara.1 Selanjutnya, Maruti menjadi penari professional dengan sering terlibat sebagai duta seni ke berbagai negara.

2. Retno Maruti dan Kepindahannya dari Surakarta ke Jakarta

Retno Maruti meninggalkan Surakarta tempatnya dilahirkan dan dibesarkan untuk mengikuti suaminya yang mendapatkan pekerjaan di Jakarta pada tahun 1970. Entah disadarinya ataupun tidak, Retno Maruti membawa serta ke Jakarta seni tradisi yang telah lama digelutinya di Surakarta. Membantu kelompok penari Jawa yang bernama Jaya Budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM) merupakan kegiatan awal Maruti di Jakarta. Pada perkembangannya kemudian, Maruti menjadi staf pengajar di Jurusan Tari Institut Kesenian Jakarta mata kuliah Tari Surakarta (Solo).

Karir sebagai penata tari dan penari di Jakarta dimulai ketika pada tahun 1976 Maruti mengikuti workshop tari yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian di Jakarta. Hasil workshop tari tersebut dipentaskan di kantor Direktorat Kesenian yang diberinya judul “Damarwulan”. Kemudian Maruti

1

42

ditawari untuk mementaskan karya “Damarwulan” itu di Taman Ismail Marzuki. Koreografi “Damarwulan” ini berdasarkan teks “Langendriyan2 Mandaswara”

karya Tandakusuma.

Sejak pementasan karya tarinya yang pertama itu, beberapa tokoh3 Jakarta pada waktu itu mendorong Maruti untuk mendirikan sanggar tari agar Maruti mempunyai tempat untuk mengolah diri melalui tari secara rutin dan membagikan pengetahuan dan keterampilan menarinya kepada murid-muridnya. Tahun itu juga sanggar tarinya yang diberi nama Padnecwara didirikan. Padnecwara mendapatkan tempat untuk berlatih menari di lingkungan TIM sampai sekarang. Penari yang tergabung dalam Padnecwara saat ini ada sekitar 80 orang, yang terdiri dari orang-orang yang tinggal di Jakarta yang berasal dari berbagai macam etnis di Indonesia.

Kepindahan Maruti ke Jakarta ini menimbulkan spekulasi tersendiri. Maruti yang berasal dari Surakarta yang tumbuh dalam lingkungan Jawa (kraton) yang sangat kuat, terutama dalam tradisi tarinya, berpindah ke kota yang kesehariannya jauh dari tradisi tersebut. Kepindahan Maruti tidak membuatnya ikut arus akan kebudayaan urban, tetapi membuat Maruti bertahan dengan nilai-nilai lokal yang dibawanya dari Surakarta.4 Justru kepindahan

2

Langendriyan merupakan pertunjukan tari dengan tembang yang cukup popular di

Surakarta, terutama di Mangkunegaran. Penari Langendriyan ini semuanya perempuan. Ide awal Langendriyan adalah suasana kebiasaan nembang para pengrajin batik di perusahaan-perusahaan batik yang ada di wilayah Surakarta.

3

Tokoh Jakarta yang dimaksud adalah Suwandono, Ketua Direktorat Kesenian, Ketua DPH DKI Wahyu Sihombing, dan Jaya Kusuma.

4

43

Maruti ke Jakarta dinilai tepat, karena dengan begitu nilai-nilai Jawa berikut estetika Jawa yang terdapat dalam tarian karya Maruti bisa dinikmati oleh masyarakat Jakarta. Bagaimanapun, di Jakarta pasti terdapat paling tidak sekelompok orang yang merindukan kehadiran Jawa. Semacam romantisme akan masa lalu yang bisa dinikmati di kota metropolitan bisa terpuaskan dengan hadirnya Maruti dalam karya-karyanya.

3. Karya-karya Retno Maruti

Sejak kepindahannya ke Jakarta, Retno Maruti termasuk aktif dalam berkarya. Sejak berdirinya Padnecwara, Maruti terus aktif melahirkan karya. Hampir satu tahun sekali ia mementaskan karyanya. Setelah koreografi pertamanya di Jakarta yang berjudul “Damarwulan”, setahun kemudian (tahun 1977) Maruti menciptakan dramatari “Roro Mendut”. Dalam “Roro Mendut”, ia melakukan interpretasi baru atas cerita Roro Mendut. Maruti merangkai gending, tembang, tari secara sopan, tegas dan aktif, menjadikan tokoh Roro Mendut tidak hanya terlihat aristokratis tetapi juga dinamis dan akrab.

Tahun 1978 Maruti berhasil menciptakan dua karya, yang diberinya judul “Savitri”5

dan “Abimanyu Gugur”. Dalam “Abimanyu Gugur”, Maruti menggunakan ide dasar bedaya. Lazimnya bedaya, penari puteri berjumlah sembilan yang disebut serakit atau satu rakit. Abimanyu Gugur menampilkan

5

Karya tari Savitri menjadi pemenang pertama Lomba Penulisan Naskah Karya Tari se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian. Naskah dibuat oleh Maruti.

44

dua rakit bedaya. Satu rakit memerankan keluarga Pandawa, dan satu rakit memerankan Kurawa. Adanya dua rakit ini, menurut Maruti, diharapkan dapat memperluas dan memperkaya komposisi. Dialog yang dilakukan para penari diiringi dengan tembang saling bersahutan antara penari dan rombongan pengrawit (penabuh gamelan).

Lagi-lagi dua karya berhasil ia buat pada tahun 1979, yaitu “Sekar Pembayun” dan “Palgunadi”. “Sekar Pembayun” lebih banyak mendapatkan perhatian daripada “Palgunadi”. Banyak orang menganggap, pertunjukan “Sekar Pembayun” sangat inovatif dalam segi artistik. Adegan-adegannya mampu mengungkap kualitas dramatik yang didukung dengan tembang-tembang yang dinyanyikan selama pertunjukan. Dalam “Sekar Pembayun”, yang menarik, Maruti tidak menonjolkan nama besar Panembahan Senopati ataupun rivalnya Ki Ageng Mangir, namun justru pada tokoh perempuan yaitu Sekar Pembayun, anak Panembahan Senopati sekaligus istri Ki Ageng Mangir. Penonjolan tokoh perempuan ini diakui oleh Maruti sengaja dilakukan karena Maruti lebih bisa memahami apa yang terjadi pada tokoh perempuan Sekar Pembayun pada saat Pembayun memikul kepercayaan sekaligus beban berat dari ayahandanya untuk

membawa “pemberontak” Mangir yang adalah suaminya ke hadapan

ayahandanya. Pembayun bersedia melakukan hal ini demi terhindarnya pertumpahan darah di kerajaannya. Suatu devosi seorang perempuan Jawa.

Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1981, Maruti sangatlah produktif. Tiga koreografi diciptakannya, yaitu “Keong Mas”, “Kangsadewa”, dan

45

“Ciptoning”. Dalam “Ciptoning”, Maruti menggabungkan dua bentuk pertunjukan tradisional, yaitu bentuk wayang wong untuk mewadahi banyaknya dialog dan bentuk bedaya. Naskah bergaya sastra, dicoba dituliskan Maruti untuk digunakan dalam koreografi “Ciptoning”.

Lama tidak berproduksi, tahun 1997 Maruti menciptakan “Dewabrata”. Disusul kemudian Surapati pada tahun 2001. Surapati mengungkap kisah yang berlatar belakang sejarah yang menyulamkan sisi manusiawinya. Karya

“Surapati” ini tidak sekedar mengisahkan kepahlawanan tetapi juga nyala cinta. Dilanjutkan kemudian tahun 2004 dengan koreografinya yang berjudul “ Alap-alapan Sukesi” dan 2005 dengan “Portraits of Javanese Dance”. Karya terakhir Maruti adalah “The Amazing of Bedaya-Legong Calonarang” yang dipertunjukkan pada tahun 2006 yang akan dibicarakan secara tersendiri pada bab selanjutnya.

Dalam karyanya, Maruti selalu bicara dalam koridor-koridor nilai-nilai lama yang ia interpretasi ulang. Interpretasi itu ia lakukan dengan lembut,sehingga perbedaan dengan sebelumnya tidak terlihat jelas. Oleh karena itu, karya Maruti menjadi tidak tampak begitu berbeda antara satu karya dengan karya yang lain.6 Yang ia lakukan adalah mengelola Jawa itu sendiri lalu ditawarkan kepada masyarakat. Maruti hanya perlu menambah bumbu yang terdapat dalam desain artistik karyanya. Bumbu-bumbu itu terdapat dalam pengelolaan artistik panggung, tata busana, dan musik, yang meski terkesan

6

46

tradisional tapi bisa diterima oleh masyarakat perkotaan. Selain sisi artistic, Maruti memproduksi karyanya dengan dukungan manajemen yang baik, sehingga karyanya bisa tampil dengan maksimal. Pengelolaan produksi yang baik ini jarang dimilikioleh seniman tradisi.

4. Pemilihan Tema dalam Karya Retno Maruti

Bagi kebanyakan orang Jawa, menari merupakan suatu sarana identifikasi dengan pahlawan atau pahlawati yang mewujudkan cita-cita kebudayaan mereka.7 Maruti dalam karya-karyanya selalu mengambil tema kepahlawan, baik yang diambil dari cerita wayang, legenda, maupun kesejarahan, terutama yang berkaitan dengan tradisi Jawa, suatu tradisi di mana Maruti bertumbuh.8 Menurut Maruti, tema kepahlawan ini sengaja diambil untuk mengambil contoh yang baik atau sumber teladan kebaikan.

Tema dalam karya Maruti pernah dikatakan sebagai tema yang kraton-sentris. Sri Hastanto9 menyanggahnya dengan mengatakan bahwa kraton tidak akan mau mementaskan cerita-cerita yang “jelek”, seperti “Bisma Gugur” atau “Abimanyu Rajam”. Kraton selalu mementaskan cerita yang baik-baik, yang intinya: seorang satriya pasti menang. Tak dipungkiri, Maruti mengambil inspirasi gerak dari kraton karena guru-gurunya berasal dari kraton. Cerita yang

7

Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari Jawa: Tradisi dan Peristilahannya, Jakarta: Perpustakaan Nasional, 1991, pp. 19 - 20

8

Lihat lampiran 8.

9

Wawancara dengan Sri Hastanto 21 Desember 2007 di kampus ISI Surakarta. Lihat lampiran 7.

47

diambil sudah semestinya kebanyakan dari cerita pewayangan, karena Maruti anak dalang yang meski teknikmendalangnya tidak bagus, tapi pengetahuannya mengenai pedalangan sangat luas.

Dalam mengambil tema kepahlawanan, Maruti selalu melakukan interpretasi ulang atas cerita itu.10 Karya “Roro Mendut” tidak akan menampilkan tokoh Wiroguna yang tua bangka thuyuk-thuyuk mencari daun muda seperti yang sering didengungkan. Wiroguna dibayangkannya sebagai seorang perwira perang yang meski sudah tua pasti masih gagah. Dalam karya

“Surapati”, Maruti sangat hati-hati menentukan siapa yang akan menjadi pemeran tokoh Untung Surapati. Proses memilih tokoh atau peran utama menurutnya harus dilakukan hati-hati agar karakternya menonjol dengan kuat, sehingga pemilihan peran utama bisa memakan waktu yang lama, bahkan bisa memakan waktu satu tahun. Karakter-karakter dalam budaya merupakan karakter yang sudah mapan. Arjuna akan diidentifikasi sebagai seorang yang tampan, berkulit terang mulus, cenderung kurus, dan halus pembawaannya.

Dokumen terkait