• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek-aspek yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga

KEHARMONISAN KELUARGA KATOLIK DAN MASALAHNYA

3. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga

a. Kehidupan Iman

Kerukunan di dalam keluarga Kristiani hanya bisa bertambah dengan tambahnya iman. Dengan konsekuensi apabila iman terhadap Tuhan mulai runtuh,

Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:27). Karena begitu pentingnya iman sebagai landasan dalam hidup berkeluarga, maka Gereja sangat mengharapkan bahwa hendaknya pasangan suami-istri memiliki iman yang sama. Dengan memiliki iman yang sama maka akan sangat memudahkan dalam menghayati iman bersama, kebersamaan dalam doa dan ibadat, memecahkan masalah dengan pemahaman yang sama, dan terlebih memudahkan memberi pendidikan iman kepada anak.

Secara de facto perkawinan tidak hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang seiman. Ada juga pasangan suami-istri yang hidup dalam perkawinan campur. Kawin campur memang tidak tanpa masalah, tetapi tidak boleh dinilai hanya negatif kerena juga dapat mengandung peluang-peluang yang perlu didayagunakan (KWI, 1994:69).

b. Kehadiran Anak sebagai Buah Pernikahan

Perkawinan tak hanya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri, melainkan juga kepada anak-anak. Tuhan melibatkan manusia untuk berperan serta dalam penciptaan makhluk menurut citranya (KWI, 1994:119). Anak-anak dalam kehidupan keluarga menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi keharmonisan keluarga karena anak-anak merupakan suatu anugerah pernikahan yang berharga; buah pemberian diri timbal balik dari pasangan itu (KWI, 1994:119).

berupa tanggung jawab yang baru. Cinta kasih mereka sebagai orang tua dipanggil untuk menjadi tanda kelihatan bagi anak-anak tentang cinta kasih Allah sendiri, yang memberi nama kepada setiap keluarga dalam sorga dan di atas bumi.

Akan tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa apabila kelahiran anak tidak dapat terjadi, hidup bersuami istri tidaklah kehilangan nilainya. Kemandulan jasmani ternyata dapat menjadi kesempatan bagi pasangan suami-istri untuk memberikan pelayanan-pelayanan lain yang penting untuk hidup pribadi manusia, misalnya, adopsi anak, berbagai bentuk karya pendidikan , dan pemberian bantuan kepada keluarga-keluarga lain serta kepada anak-anak yang miskin atau cacat. (Seri Bina Keluarga,1994:34).

Kehadiran anak dalam keluarga tidak selalu menjamin bahwa keluarga tersebut akan bahagia. Jika belum ada kesiapan untuk menerima buah hati dalam keluarga tersebut tentunya akan menimbulkan masalah yang dapat mempengarui keharmonisan keluarga. Oleh karena itu perencanaan dan persiapan menerima buah hati dalam keluarga sangatlah penting. Perencanaan dan persiapan tersebut di Indonesia disebut dengan Keluarga Berencana (KB).

1) Pentingnya merencanakan keturunan

Beberapa pasal dalam UU RI No. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menunjuk perihal keluarga berencana antara lain pasal 1 ayat 12: “Keluarga berencana (KB) adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan

(KWI, 1994:159).

Dalam ajaran Gereja dapat ditelusuri perkembangan sikap dan posisi yang menjadi makin positif terhadap gagasan pokok KB, dalam arti sikap penuh tanggung jawab dalam prokreasi dengan membatasi jumlah anak dan mengatur jarak kelahiran anak yang satu dan anak berikutnya. Hal ini patut dicatat karena di masa lampau ada kecenderungan sikap “natalistis”, yakni keluarga besar dengan banyak anak (KWI, 1994:161).

Gaudium et Spes artikel 50 mencanangkan prinsip tanggung jawab: “Dalam tugasnya meneruskan dan mendidik kehidupan manusia yang harus dipandang sebagai perutusan mereka saja, suami-istri sadar akan perannya dalam kasih Allah Pencipta dan sebagai penafsir kasih ini. Maka mereka harus memenuhi tugasnya dalam tanggung jawab manusiawi dan kristiani...” (KWI, 1994:163).

2) KB sebagai ungkapan prinsip tanggung jawab

KB pertama-tama harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab, sedangkan soal metode termasuk cara pelaksanaan tanggung jawab itu. Manusia sebagai makhluk etis ciptaan Tuhan harus senantiasa bersikap dan berperilaku penuh tanggung jawab, apalagi dalam perkara penting seperti prokreasi (KWI, 1994:165).

Anak dengan segala kebutuhan dan kemampuannya untuk berkembang sama sekali bergantung pada orangtuanya. Padahal, kemampuan orangtua untuk membesarkan dan mendidik anaknya serba terbatas, belum lagi kemampuan masyarakat untuk menghidupi manusia. Dengan demikian orangtua juga perlu mempertimbangkan aneka faktor untuk menentukan jumlah anak yang dapat dipertanggungjawankan (KWI, 1994:166)..

4) Tanggungjawab orangtua atas panggilan khusus dalam Gereja

Dalam mempertimbangkan jumlah anak, orangtua Katolik hendaknya juga memperhatikan tanggung jawab mereka terhadap kebutuhan Gereja akan panggilan khusus menjadi imam atau biarawan-biarawati. Perlu diperhatikan bahwa semboyan “Dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja” bagi keluarga Katolik harus ditafsirkan dalam konteks Gereja Katolik yang membutuhkan panggilan khusus itu. Umat Katolik telah berperan dalam gerakan KB, bahkan ribuan orang katolik menjadi imam dan biarawan dan ada banyak calon tidak menikah (KWI, 1994: 166).

c. Komunikasi dalam Keluarga

Pada masa awal perkawinan, biasanya semuanya masih mudah. Suami/istri saling mendahului dalam berusaha membahagiakan pasangannya dan menomorsatukan pribadi pasangannya. Dalam suasana demikian, proses penyesuaian (yang memang perlu dan sering memerlukan waktu lama) dapat

dan sifat-sifat pasangannya yang kurang disukai tidak terlalu dihiraukan. Relasi mereka masih dekat dan intim berkat terjalinnya komunikasi dari hati ke hati yang diliputi cinta yang (masih) hangat (Tim Pusat Pendampingan Keluarga, 2007:29).

Namun, keadaan demikian itu tidak bertahan langgeng. Selang beberapa waktu, begitu mereka mulai dianugerahi seorang anak oleh Tuhan, perhatian kepada pasangannya mulai terbagi. Ibu sibuk merawat anak dan mengurus rumah tangga. Tanggung jawab seorang ayah pun bertambah sehingga ia harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Lambat laun, tanpa disadari, relasi mereka mulai renggang. Mereka hidup dalam dunianya sendiri; perhatian, tenaga, dan waktu “termakan” oleh kesibukan, oleh anak serta oleh tugas sehari-hari. Bicara dari hati ke hati semakin jarang dilakukan. Jika ada waktu untuk bertemu, itu hanyalah sekedar laporan kegiatan masing-masing. Salah paham yang sering meningkat menjadi pertengkaran mudah terjadi. Sifat-sifat pasangannya, termasuk yang dulu dikagumi, lambat laun menimbulkan persoalan tersendiri bahkan bisa jadi penghambat relasi karena menimbulkan kekecewaan dan perasaan negatif. Hal itu masih ditambah lagi dengan adanya tantangan, gangguan, dan godaan dari luar (famili, lingkungan, ekonomi). Biasanya, kekecewaan-kekecewaan itu dipendam saja dalam hati. Tetapi pada suatu saat, kekecewaan itu bisa meledak. Kehangatan relasi mulai diganti dengan ketegangan dan banyak diam. Dan apabila tidak menemukan jalan untuk menyelamatkannya, mereka akan jatuh pada “neraka perkawinan”. Inilah pola

Keluarga, 2007:29).

Kunci jawabannya adalah komunikasi. Apabila suami-istri dari semula berusaha untuk tetap berkomunikasi, segala persoalan akan dapat dihadapi (syukur kalau dapat diatasi) bersama. Bahkan, relasi perkawinan yang sudah mengalami kegoncangan akibat kekecewaan masih dapat dipulihkan dan diselamatkan. Komunikasi adalah suatu proses antara dua orang; yang seorang memberi informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut sehingga terjadi kesatuan pemahaman, syarat mutlak komunikasi adalah, yang satu mau bicara dan berani terbuka sedangkan yang lain mau mendengarkannya (Tim Pusat Pendampingan Keluarga, 2007: 30).

d. Ekonomi Rumah Tangga

Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh keluarga pada umumnya adalah masalah ekonomi. Kebutuhan ekonomi bertambah secara otomatis ketika orang mengarungi hidup berkeluarga. Hal itu timbul tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sebagai suami istri, tetapi juga dalam lingkup sosial: menjadi salah satu keluarga di antara keluarga-keluarga lain di lingkungan sosial kemasyarakatan. Meskipun kebahagiaan hidup berkeluarga tidak semata-mata tergantung dari kecukupan material, namun urusan uang atau ekonomi rumah tangga merupakan segi yang penting. Pedoman pastoral MAWI 1975 menyebutkan, “Ekonomi rumah tangga bukanlah tujuan melainkan sarana yang (harus) menunjang dan memungkinkan penghayatan iman. Yang mau dicapai

kehendak Tuhan” (Tim Pusat Pendampingan Keluarga, 2007: 70). 1) Pokok Masalah Ekonomi Rumah Tangga

Cepat atau lambat, keluarga baru harus mulai mandiri. Ada kebutuhan-kebutuhan yang mesti dipenuhi oleh keluarga baru, dan semakin lama kebutuhan-kebutuhan itu justru semakin meningkat. Selain kebutuhan pokok yang harus dipenuhi, masih ada kebutuhan yang mendadak di luar rencana yang harus dipenuhi. Dihadapkan pada peningkatan kebutuhan dan situasi di luar dugaan seperti ini, idealnya setiap keluarga mempunyai penghasilan yang cukup besar sehingga dapat membiayai semua kebutuhan hidup. Namun, kenyataan ini sulit dicapai karena kebutuhan dan keinginan berkembang demikian cepatnya sehingga berapa pun besarnya penghasilan tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan tersebut. Maka, diperlukan manajemen kebutuhan hidup dan pengaturan keuangan secara realistis. Pokok persoalan ekonomi yang dihadapai oleh setiap keluarga adalah, bagaimana dengan penghasilan yang ada, segala kebutuhan keluarga, baik pada saat sekarang maupun yang akan datang, dapat dicukupi? Atau, bagaimana menjaga keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran? (Tim Pusat Pendampingan Keluarga, 2007: 71)

2) Mengatur ekonomi keluarga

Untuk mengatasinya, tidak cukup hanya dengan berprinsip menambah penghasilan dan mengurangi pengeluaran karena usaha itu pun tidak selalu mudah. Yang paling mendasar adalah bagaimana mengatur atau mengendalikan

oleh Tim Pusat Pendampingan Keluarga (2007) mampu mengatur ekonomi berarti:

Mampu mengatur penghasilan sesuai dengan keadaan keuangan yang ada dan rencana yang telah disusun.

Mampu membuat seleksi kebutuhan. Mana kebutuhan yang mendesak untuk saat ini, penting untuk masa datang, dan mana yang tidak.

Mampu mengadakan tabungan untuk merealisasikan keinginan serta kebutuhan-kebutuhan masa mendatang yang sudah direncanakan. Mampu mengatur keuangan sedemikian rupa sehingga tidak terjebak utang ataupun membeli secara kredit.

e. Keharmonisan Kehidupan Seksualitas

Penyesuaian seksual dalam perkawinan ibarat duet pemain piano dan biola. Piano dan biola merupakan dua instrumen musik yang berbeda: susunannya, suaranya, cara memainkannya sungguh-sungguh berbeda. Namun demikian, apabila kedua musisi yang memainkan instrumen itu memainkannya dengan cara tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan sikap yang tepat, hasilnya adalah musik yang indah. Tubuh seorang pria dan tubuh wanita adalah berbeda, sungguh-sungguh berbeda. Jika mereka bersatu dalam perkawinan sebagai suami-istri dan melakukan dengan tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan sikap yang tepat, mereka akan mendapatkan keselarasan seksual yang sungguh-sungguh

Keluarga, 2007: 101).

Sehubungan dengan ini, ada suatu hukum yang harus ditaati: suami dan istri mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan seksual mereka selama seluruh hidup perkawinan mereka. Suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan seksual istrinya, demikian sebaliknya sehingga mereka berdua dapat memperoleh pengalaman seks yang lengkap, yaitu klimaks atau orgasme. Terdorong oleh cinta satu sama lain, mereka justru akan berusaha dan bersedia untuk saling memenuhi kebutuhan seksualnya secara timbal-balik (Tim Pusat Pendampingan Keluarga, 2007: 102-103).

f. Keterlibatan dalam Hidup Bermasyarakat

Menurut Yohanes Paulus II keharmonisan keluarga juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat. Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa keluarga merupakan sel masyarakat yang pertama, yang menjadi dasar dan faktor penumbuh masyarakat, terutama lewat pelayanan yang berdasarkan cinta kehidupan. Keluarga merupakan sekolah hidup bermasyarakat di mana dalam masyarakat keluarga ditumbuhkan semangat kurban dan dialog yaitu manusia dimanusiawikan dan dipribadikan (Purwa Hadiwardoyo, 1988:129). Karena kehidupan keluarga tidak terlepas dari kehidupan masyarakat maka hubungan yang baik dalam kehidupan masyarakat juga turut mendukung bagi terciptanya keluarga yang harmonis.

dengan ikut terlibat dan mengambil peranan dalam kegiatan bermasyarakat. Keluarga yang berperan baik dalam masyarakat akan memunculkan penerimaan yang baik pula dari masyarakat. Penerimaan yang baik dalam masyarakat menjadikan keluarga tersebut hidup damai dan aman. Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa keluarga memiliki tugas dan peranan sosial entah dengan usaha keluarga sendiri maupun bersama keluarga-keluarga lainnya. Lewat sakramen perkawinan, suami-istri Kristen mendapat pengutusan khas awam, untuk menebus semua bidang-bidang kemasyarakatan, terutama untuk membela si miskin (Purwa Hadiwardoyo, 1988:129).

Dokumen terkait