• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan komunikasi dalam membangun keharmonisan hidup keluarga katolik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan komunikasi dalam membangun keharmonisan hidup keluarga katolik."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KELUARGA KATOLIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Lidia Angela Hiping NIM: 061124049

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini kupersembahkan Tuhan Yang Maha Kasih, juga yang tercinta Ayahku (Yosep Pai Lawai), Ibuku (Natalia Baun Lawing),

(5)

v

”Berbahagialah orang yang bertahan dalam percobaan,

sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barang siapa yang mengasihi Dia”.

(Yak 1: 12)

Memang aku bodoh, tapi bukan berarti aku lemah ”Buluh yang terkulai tidak akan dipatahkan-Nya”

”Aku mengangkatmu dan kamu mengangkatku, dan kita akan naik bersama -sama” (John Greenleaf Whittier)

Keluarga adalah mereka yang kamu sayangi dan yang menyayangimu, jadi tidak peduli orang itu mempunyai hubungan darah denganmu atau tidak...ketika hidup

(6)
(7)
(8)

viii

Skripsi ini berjudul “Peranan Komunikasi dalam Membangun

Keharmonisan Hidup Keluarga Katolik”. Penulis memilih judul tersebut berdasarkan kenyataan yang penulis jumpai dalam kehidupan sehari-hari; komunikasi dalam keluarga sering berakhir dengan pertengkaran. Pesatnya media komunikasi membuat sebuah keluarga menyelesaikan persoalan yang ada dengan pesan singkat. Ini merupakan gambaran nyata yang mengungkapkan bahwa komunikasi keluarga bermasalah, padahal keluarga yang baik adalah keluarga yang mampu menjalankan komunikasi dengan baik. Jadi persoalan skripsi ini adalah bagaimana membangun keharmonisan keluarga Katolik dengan komunikasi.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif analitis yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada didasarkan pada sumber kepustakaan. Deskriptif analitis maksudnya ialah menguraikan hasil analisis masalah yang bersumberkan kepustakaan. Berdasarkan sumber kepustakaan tersebut penulis menguraikan dan mendeskripsikan mengenai komunikasi dan keluarga Katolik yang harmonis. Komunikasi ialah sebagai suatu proses antara dua orang atau lebih, yang seorang memberi informasi atau memberi isyarat sedangkan yang lain menerima informasi tersebut. Diharapkan dengan komunikasi tersebut mampu menyatukan setiap individu dalam keluarga sehingga sebuah keluarga mampu mewujudkan keluarga yang harmonis khususnya keluarga Katolik. Untuk mencapai suatu komunikasi yang efektif maka perlu memahami tahapan dalam komunikasi itu sendiri, pertama-tama dalam komunikasi seseorang perlu terlebih dahulu memahami baru kemudian dipahami, itulah kunci berhasilnya suatu komunikasi.

Pengertian harmonis itu sendiri ialah keserasian, atau ketersalingan antar individu di dalam keluarga. Banyak hambatan atau masalah yang mempengaruhi keharmonisan keluarga Katolik, di antaranya ialah faktor ekonomi, kehidupan seksualitas, kehadiran anak, hubungan dengan masyarakat, kehidupan iman, dan yang diangkat dalam skripsi ini ialah komunikasi yakni bagaimana dengan komunikasi sebuah keluarga mampu bersatu dan diteguhkan dalam ikatan yang kuat. Peranan komunikasi ialah menjadi sarana kasih Tuhan, menyelesaikan konflik dalam keluarga, membangun keterbukaan dan rasa saling percaya, kemudian yang utama dari peranan komunikasi adalah menyatukan sebuah keluarga.

(9)

ix

This thesis entitles "The Role of Communication in Building a Harmonious Catholic Family Life". The writer chose the title based on the fact that the writer encountered in daily life; that communication within family often ends up in fighting. Family often resolve their existing problems with a short message service. This is a real picture which reveals that communication within family is at problems, since a good family is a family that is able to run good communication. So the question of this thesis is how to build a harmony in Catholic families by communication.

To solve the existing problems, the writer uses analytical descriptive approach based on literature sources. It is to outline the results of the analysis problem based on literature. The writer outlines and describes the communication and the harmonious Catholic family based on the literature sources. Communication is a process between two or more persons, who gave information or a cue while others receive the information. Such communication is expected to be able to bring together individuals in family so that they are able to realize harmonious families especially Catholic family. To achieve an effective communication it is necessary to understand the stages of the communication itself, the person needs to understand firstly and then to be understood. That's the key to the success of a communication.

Harmony mean a accord, or bilateral between individuals in the family. Many obstacles or problems that affect harmony families, among whom are economic factors, sexual life, the presence of children, relationship with the community, the life of faith and raised in this thesis is that communication. A family with the communication can be united and strengthened in strong bond. The role of communication is to be means of God's love, resolving conflicts within a family, building a sense of openness and mutual trust, and then the principal of the role of communication is to unite a family. It appears that communication plays a huge role in the ongoing process of a family. It is therefore a need to understand the role of communication in family so that a harmonious family especially Catholic family can be realized.

(10)

x

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Bapa, atas segala berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya dukungan, kerjasama dan bimbingan dari segenap pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan suka cita pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Romo Drs. F. X. Heryatno W. W., SJ. M.Ed selaku Kepala Kaprodi yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan memberi dorongan serta doa kepada penulis.

2. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK, M. Pd., yang banyak memberi masukan dan mendampingi penulis dengan sabar selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen utama dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Romo Dr. B. A. Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji kedua atas segala perhatian, semangat dan kebaikan hatinya untuk bersedia menjadi penguji skripsi ini.

(11)

xi

dan semangat kepada penulis sehingga akhirnya skripsi ini dapat penulis selesaikan.

6. Dinas Kabupaten Kutai Barat atas kebijaksanaannya bagi mahasiswa/I Kutai Barat dengan memberi dukungan, fasilitas, serta perhatian kepada putra putri daerah sehingga mendapat pendidikan yang layak dan dapat kembali berkarya di Kalimantan Timur untuk membangun daerah.

7. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah memberi ilmu dukungan kepada penulis selama belajar hingga penulisan skripsi ini. 8. Segenap Staf Sekretariat, Perpustakaan dan seluruh karyawan IPPAK yang

telah memberikan perhatian, doa, dan dukunganya kepada penulis sehingga penulis merasa terdorong untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak, Ibu, adik-adikku, dan seluruh keluargaku tercinta. Terima kasih atas segala pemahaman kebutuhan yang penulis butuhkan selama studi baik materi, cinta, perhatian, doa, dan dukungan yang boleh penulis terima sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

10.Saudara-saudaraku yang ada di Yogyakarta; Kandida Valeria Hubung, Bernadus Juk dan Rissa, yang selalu menyemangati serta memberi perhatian bagi penulis.

(12)
(13)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

D. Pentingnya Komunikasi Bagi Kehidupan Manusia ... 20

(14)

xiv

2. Keterampilan Menanggapi Dengan Penuh Pemahaman ... 23

F. Tahapan dalam Komunikasi ... 25

1. Berusaha Memahami Lebih Dahulu ... 27

2. Berusaha dipahami ... 36

4. Dialog sebagai Bentuk Komunikasi yang Ideal ... 38

G. Komunikasi dalam Keluarga ... 39

BAB III. KEHARNONISAN KELUARGA KATOLIK DAN MASALAHNYA………. 41

A. Keluarga Katolik ... 42

1. Pengertian Keluarga Secara Umum ... 42

2. Perkawinan Secara Katolik ... 42

a. Perkawinan Merupakan Persekutuan Hidup dan cinta... 42

b. Hakikat dan Tujuan Perkawinan... 43

c. Perkawinan Merupakan Lembaga Sosial... .. 43

d. Perkawinan Merupakan Lembaga Hukum Negara... 44

d. Ciri-ciri Perkawinan Katolik... 44

e. perkawinan Sebagai Sakramen... . 46

3. Keluarga dalam Pandangan Katolik ... 48

4. Mengapa Orang Membangun Keluarga?... 50

B. Keluarga Katolik yang Harmonis ... 51

1. Pengertian Keluarga Katolik Harmonis ... 51

2. Keluarga Katolik yang Harmonis menurut Kitab Suci dan Ajaran Gereja ... 52

a. Keharmonisan Keluarga Katolik dalam Ajaran Kitab Suci ... 53

b. Keharmonisan Keluarga Katolik dalam Dokumen Gereja ... 57

3. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga ... 58

a. Kehidupan Iman ... 58

b. Kehidupan Anak sebagai Buah Pernikahan... 59

c. Komunikasi dalam Keluarga ... 62

d. Ekonomi dalam Rumah Tangga ... 64

(15)

xv

BAB IV. PERAN KOMUNIKASI DALAM MEMBANGUN

KEHARMONISAN KELUARGA KATOLIK ... 69

A. Komunikasi Badan Mengokohkan Fungsi Keluarga ... 69

B. Komunikasi Dari Kepala ke Kepala Menyelesaikan Konflik dalam Keluarga ... 71

C. Komunikasi dalam Bentuk Dialog Membangun Keterbukaan dan Rasa Saling Percaya ... 72

D. Komunikasi dalam Keluarga Menjadi Sarana Kasih Karunia Tuhan... 72

E. Media Komuikasi Membantu Sebuah Keluarga Melakukan Komunikasi Jarak Jauh……… 73

F. Komunikasi Mendengarkan dengan Empatik Membantu Sebuah Keluarga Meneguhkan Hubungan……….. 74

G. Komunikasi Mendengarkan dengan Tulus Membantu Sebuah Keluarga Membangun Hubungan yang Intim………. 74

H. Komunikasi Menyatukan Tiap Individu dalam Keluarga ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 79

(16)

xvi

A. SINGKATAN KITAB SUCI

KS : Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.

B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA

CT : Catechese Trandendae, Ajaran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese Masa Kini.

FC : Familiaris Consortio, Amanat Apostolik Yohanes Paulus II. GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang

Gereja di dunia dewasa ini.

C. SINGKATAN LAIN

Art : Artikel Bdk : Bandingkan dkk : dan kawan-kawan dll : dan lain-lain

KB : Keluarga Berencana KBP : Karya Bakti Paroki

(17)

xvii No : Nomor

(18)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kini dunia memasuki zaman baru yang seringkali disebut dengan era digital yang diwarnai dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Hampir setiap tahun, setiap bulan, muncul iklan yang menawarkan handphone dengan berbagai fasilitas yang semakin lengkap. Tidak hanya

handphone, kini mulai bermunculan teknologi komunikasi lainnya seperti tablet,

Ipad, Iphone, Blackberry, Android, dan lain sebagainya. Teknologi internet kini

semakin familiar di kalangan masyarakat terutama karena banyaknya fasilitas jejaring sosial yang sangat umum digunakan oleh masyarakat seperti, facebook, twitter, skype, yahoo messager, dan lain sebagainya.

Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi tersebut tentunya bertujuan untuk semakin mempermudah komunikasi antar manusia yaitu mendekatkan manusia satu sama lain yang terpisah oleh jarak dan waktu. Dengan demikian tampak bahwa komunikasi merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia, baik untuk saling memberi informasi, menjalin relasi, dan mengaktualisasikan dirinya.

(19)

komunikasi, ekonomi, seks, dan kebosanan (Kabar Priangan). Pada tahun 2008 tercatat sekitar 58 persen kasus perceraian disebabkan faktor komunikasi, sementara masalah seks menempati urutan kedua dalam kasus perceraian yaitu 29 persen (Harian Kompas).

Salah satu ciri kehidupan keluarga di zaman sekarang adalah adanya kesibukan masing-masing anggota keluarga, suami atau istri yang sibuk bekerja, dan anak yang sibuk sekolah. Kesibukan masing-masing anggota keluarga tersebut menjadikan pertemuan dan komunikasi antar anggota keluarga kurang, sehingga berdampak pada kedekatan antar anggota keluarga. Akibat kurangnya kedekatan dalam keluarga tidak jarang orangtua tidak memahami kebutuhan anaknya, suami tidak mengetahui keinginan istrinya atau sebaliknya istri tidak mengetahui situasi suaminya yang sibuk dengan pekerjaan.

(20)

Pengalaman penulis sendiri di rumah ketika berkumpul dengan orangtua komunikasi sering berakhir dengan pertengkaran hanya karena kesalahan dalam menanggapi. Karena kedua orangtua adalah guru mereka memiliki harapan agar anak-anaknya dapat studi dengan lancar dan mendapat prestasi. Dalam perbincangan dengan orangtua, mereka selalu menasihati agar penulis segera menyelesaikan studi, namun dalam nasihat tersebut tidak jarang orangtua juga membanding-bandingkan dengan kesuksesan orang lain. Tentunya orangtua bermaksud baik agar penulis semakin bersemangat dan terdorong untuk menyelesaikan studi, tetapi di sisi lain penulis juga merasa kurang nyaman apabila dibanding-bandingkan dengan orang lain karena kemampuan setiap orang tidaklah sama, selain itu tantangan-tantangan yang dihadapi selama studi juga berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Merasa tidak nyaman dibanding-bandingkan penulis kadang protes dengan mengemukakan berbagai alasan, namun protes tersebut justru malah membuat orangtua semakin marah, dan akhirnya pembicaraan berakhir tidak baik yang berujung marah atau saling mendiamkan. Dari pengalaman tersebut tampak bahwa cara berkomunikasi juga mempengaruhi hubungan dalam keluarga. Perlu cara berkomunikasi yang baik dan tepat agar segala persoalan ataupun apa yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masing-masing anggota keluarga.

(21)

menjadi barang yang mewah di zaman ini. Hampir setiap orang memiliki handphone bahkan hampir setiap anggota keluarga dari anak yang terkecil sampai

anak yang terbesar, ibu dan ayah memiliki handphone. Keberadaan handphone ini di satu sisi memang membantu dalam berkomunikasi, tetapi tanpa disadari handphone menjadikan pertemuan antar anggota keluarga menjadi berkurang

(22)

Sikap dan karakter yang dimiliki oleh masing-masing pribadi sering kali menjadikan komunikasi yang baik sulit terjadi. Anak seringkali merasa segan untuk bercerita segala hal yang terjadi pada dirinya kepada orangtua karena takut dimarahi ayah atau takut ibu akan memberi nasihat yang berkepanjangan. Suami atau istri juga seringkali merasa takut untuk mengungkapkan keinginan masing-masing karena takut menyinggung perasaan. Ketakutan terhadap orang yang diajak komunikasi menjadikan komunikasi kurang terbuka yang mengakibatkan seringkali terjadi kesalah pahaman atau bahkan kekerasan.

Buku-buku yang membahas tentang keluarga secara tidak langsung merujuk pada pemahaman keluarga harmonis itu sendiri. Kitab Suci Perjanjian Lama yaitu dalam Amsal 31 memberi gambaran bahwa keluarga harmonis adalah situasi di mana anggota keluarga mampu membangun kerjasama demi kebahagiaan bersama seperti seorang istri yang mampu membahagiakan suaminya, dicintai oleh suami dan anak-anak, mampu bekerja keras, bersedia membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan takut akan Allah. Maka dengan demikian keharmonisan keluarga adalah terwujudnya cinta suami-istri yang tidak hanya menyangkut kemesraan dan hubungan seksual, melainkan juga menyangkut kebersamaan hidup sehari-hari (Purwo Hadiwardoyo, 1988:21).

(23)

dari perkawinan yaitu di mana pasangan suami-istri mampu mengungkapkan cintanya, kemudian cinta itu disempurnakan dengan kehadiran buah hati dan mendidiknya menjadi generasi yang baik (Gilarso, 1996:11). Dengan kata lain, kebahagiaan keluarga sangat tergantung kepada kebersamaan yang serasi antara semua anggota keluarga, yaitu pasangan suami-istri, dan semua anak-anak (Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia, 1981:21). Secara sederhana keluarga harmonis dapat dimengerti sebagai situasi di mana semua anggota keluarga saling menghargai dan mensyukuri serta terciptanya kasih sayang satu sama lain (Keluarga Sakina).

Keluarga merupakan tempat pendidikan utama terutama dalam membangun kemampuan berkomunikasi. Proses komunikasi dalam keluarga menjadikan seseorang tahu siapa namanya dan siapa dirinya. Kepribadian seseorang terbentuk tidak dengan sendirinya tapi juga melalui proses komunikasi yang terjadi terus-menerus dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita (Deddy Mulyana, 2001:7).

(24)

masyarakat. Diharapkan dengan membangun keluarga berdasarkan komunikasi yang baik maka akan terwujud keluarga yang harmonis sehingga mampu menjadi teladan bagi keluarga yang lain juga masyarakat luas. Rumah tangga Kristen harus menjadi suatu pelajaran teladan, yang menggambarkan keindahan asas-asas kehidupan yang benar (Ellen G, 1969: 16).

Seperti halnya dengan komunikasi yang baik, komunikasi yang buruk pun akan mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam sebuah keluarga. Jika dalam sebuah keluarga terjadi komunikasi yang buruk maka bisa dipastikan sebuah keluarga akan menemukan banyak masalah terutama dalam kaitannya membangun sebuah rumah tangga yang harmonis. Komunikasi yang buruk biasanya terjadi karena pengaruh situasi, juga emosi seseorang. Oleh karena itu untuk menghadirkan komunikasi yang baik semua pihak harus saling mendukung, menghargai, dan menghormati satu sama lain dalam keadaan apa pun.

(25)

makna berbeda. Salah paham dalam komunikasi mudah dan sering terjadi sebab kita beranggapan bahwa semua orang melihat obyek atau kejadian dari sudut pandang yang sama (Supratiknya, 1995:46).

Keluarga seharusnya memahami tujuannya mendirikan sebuah keluarga. Keluarga bukan tempat untuk saling menyakiti namun tempat untuk menemukan cinta, dengan demikian keluarga mampu menjadi teladan dan cermin bagi keluarga yang lain. Tujuan utama dalam keluarga ialah menegakan, mempertahankan dan mengembangkan kerumahtanggaan, memberi kebahagiaan dan kesejahteraan rohani-jasmani untuk setiap anggota keluarga (Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:107).

Keluarga yang baik adalah mampu menjalankan komunikasi yang baik di dalam keluarga. Dengan komunikasi yang baik maka akan terwujud keluarga yang harmonis. Keluarga harmonis ialah keluarga yang satu kata dan satu tujuan sehingga menghasilkan keadaan yang rukun, damai dan sejahtera. Tentunya bukanlah perkara yang mudah untuk mewujudkan keluarga harmonis; dilihat dari latar berlakang setiap pribadi yang ada di dalam keluarga tidaklah mudah untuk satu kata dan satu tujuan karena setiap pribadi tentulah berbeda. Karena itulah komunikasi sangat dibutuhkan.

(26)

pendidikan maupun usia, dan kebiasaan antar anggota di dalam sebuah keluarga tidaklah menjadi penghambat proses komunikasi yang baik. Komunikasi seharusnya dilakukan secara terus menerus (Eilers, 1994:16).

Gambaran keluarga yang harmonis dalam keluarga Katolik tampak dari hakekat perkawinan Katolik bahwa perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidup (Gilarso, 1996:9). Persekutuan hidup itu dapat terwujud apabila adanya cinta kasih di antara pria dan wanita. Cinta kasih merupakan panggilan yang asasi dan ada sejak lahir pada setiap manusia karena Allah menciptakan manusia dengan cinta kasih menurut citra-Nya. Allah menciptakan pria dan wanita dengan memberikan kemampuan dan tanggungjawab untuk mengasihi dan bersatu agar mereka dapat melangsungkan kehidupannya (Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, 1994:27).

Unsur pokok di dalam cinta-perkawinan adalah kesetiaan akan partnernya dalam segala situasi, dan bertanggungjawab dalam untung dan malang. Dengan seluruh hidup yang dimaksud ialah cinta yang menyeluruh tidak hanya pada bagian fisik tertentu, melainkan cinta pada manusianya seutuhnya dengan segala sifat yang ada padanya, entah itu baik, entah itu buruk (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:16).

(27)

oleh Tim Publikasi Pastoral Redemptoris dalam buku “Menjadi Keluarga Katolik

Sejati” bahwa komunikasi merupakan inti perkawinan karena memberikan sebuah

pengalaman dan kesatuan. Kesatuan tersebut membuat pasangan suami-istri semakin dekat satu sama lain. Komunikasi merupakan tindakan kasih yang menciptakan kasih yang semakin mendalam (Tim Publikasi Pastoral Redemptoris, 2001:27).

Keprihatinan penulis terarah pada peranan komunikasi bagi terwujudnya keluarga yang harmonis khususnya keluarga Katolik. Penulis ingin menggali secara teoritis bagaimana komunikasi yang terjadi dalam keluarga Katolik apakah mewujudkan keharmonisan. Oleh karena itu penulis mengangkat skripsi dengan

judul: “PERANAN KOMUNIKASI DALAM MEMBANGUN

KEHARMONISAN HIDUP KELUARGA KATOLIK”

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Beradasarkan latar belakang di atas, ditemukan beberapa persoalan sebagai berikut:

1. Bagaimana komunikasi yang baik?

2. Bagaimana membangun keluarga Katolik yang harmonis?

3. Apa peranan komunikasi dalam membangun keluarga Katolik yang harmonis? 4. Apa dampak dari komunikasi yang buruk?

5. Bagaimana komunikasi yang terjadi dalam keluarga?

(28)

7. Apakah teknologi komunikasi membantu proses komunikasi? 8. Apa sebenarnya tujuan membangun keluarga?

C. PEMBATASAN MASALAH

Mengingat keterbatasan penulis dan luasnya permasalahan yang ada, maka skripsi ini membatasi bahasannya pada komunikasi dan keharmonisan keluarga Katolik.

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dapat dirumusakan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah arti komunikasi dalam keluarga Katolik? 2. Apakah arti keluarga yang harmonis secara Katolik?

3. Bagaimana peranan komunikasi dalam membangun keharmonisan keluarga Katolik?

E. TUJUAN PENULISAN

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini:

1. Menggali dan mendeskrisipsikan arti komunikasi dalam keluarga Katolik 2. Mendeskripsikan keluarga harmonis secara Katolik

(29)

F. MANFAAT PENULISAN

Dari penulisan ini maka diharapkan manfaat yang didapatkan sebagai berikut: 1. Memberi sumbangan pemikiran bagi keluarga pada umumnya dan keluarga

katolik akan pentingnya komunikasi yang baik di dalam keluarga

2. Membantu sebuah keluarga dalam membangun komunikasi yang baik sehingga terwujud hidup keluarga yang harmonis

3. Sebagai sumber inspirasi dan motivasi bagi setiap keluarga katolik supaya giat melakukan komunikasi yang baik.

G. METODE PENULISAN

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis, yakni metode yang digunakan untuk memecahkan persoalan dengan menguraikan dan mencari struktur gagasan yang ada didasarkan pada sumber kepustakaan.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Supaya skripsi ini dapat dipahami secara keseluruhan maka pada bagian ini memberikan gambaran singkat tentang keseluruhan isi sebagai berikut:

(30)

Bab II : Berisikan uraian mengenai pengertian komunikasi, unsur-unsur dalam komunikasi, pentingnya komunikasi bagi kehidupan manusia, keterampilan berkomunikasi, tahapan dalam komunikasi dan komunikasi dalam keluarga

Bab III : Bab ini memaparkan pengertian keluarga Katolik. Lebih lanjut penulis menguraikan dalam bagian tulisan ini mengenai pengertian keluarga secara umum, mengapa orang membangun keluarga, dan keluarga dalam pandangan Katolik. Selanjutnya penulis juga memaparkan pengertian tentang keluarga Katolik yang harmonis. Pada bagian ini penulis menguraikan tentang pengertian keluarga Katolik harmonis, keluarga Katolik yang harmonis menurut Kitab Suci dan ajaran Gereja, dan aspek-aspek yang mempengaruhi keharmonisan keluarga.

Bab IV : Dalam bab ini penulis memaparkan peranan komunikasi dalam membangun keharmonisan keluarga. Untuk menjelaskan hal itu penulis membahas lebih rinci mengenai komunikasi badan mengokohkan fungsi keluarga, komunikasi dari kepala ke kepala menyelesaikan konflik dalam keluarga, komunikasi dalam bentuk dialog membangun keterbukaan dan rasa saling percaya, komunikasi dalam keluarga menjadi sarana kasih karunia Tuhan, dan komunikasi menyatukan tiap individu dalam keluarga.

(31)

PERANAN KOMUNIKASI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar bahkan komunikasi merupakan suatu kerharusan bagi manusia. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Ada sejumlah kebutuhan di dalam diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat komunikasi terutama kebutuhan untuk berelasi dengan sesama.

Melihat dekatnya peran komunikasi dalam kehidupan manusia, maka berikut ini akan dijelaskan mengenai pentingnya komunikasi dalam hidup manusia terutama dalam membangun relasi antar pribadi. Kemudian, untuk mewujudkan suatu komunikasi yang baik pada bab ini juga dipaparkan tentang keterampilan berkomunikasi yang perlu diperhatikan.

A. Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah bagian dari hidup manusia, bahkan menjadi salah satu kebutuhan dasar dalam hidup manusia (Jo Meadow Mary, 1989:19). Tidak hanya sekedar kebutuhan dasar manusia, komunikasi juga merupakan suatu proses penting bagi kebahagiaan manusia (Supratiknya, 1995:10).

(32)

verbal maupun non-verbal yang ditanggapi oleh orang lain. Sedangkan secara sempit komunikasi diartikan sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima. Dalam setiap bentuk komunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan lambang-lambang yang memiliki makna tertentu (Supratiknya, 1995:30).

Komunikasi juga dipandang sebagai suatu proses yang terus belanjut yaitu di mana kontak harus diciptakan dan tanda-tanda ditukarkan untuk mencapai suatu pemahaman bersama (Eilers, 1994:16). Jalaludin Rakhmat, dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Komunikasi” menjelaskan pengertian komunikasi dari

sudut pandang ilmu psikologi, bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem atau organisme yang bertujuan untuk memberikan informasi, menghibur, atau mempengaruhi (Jalaludin Rakhmat, 1988:6). Pengertian yang senada juga disampaikan oleh Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” dalam buku yang berjudul “Kursus

Persiapan Hidup Berkeluarga”, yakni komunikasi didefinisikan sebagai suatu

(33)

Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari si pemberi pesan kepada penerima pesan. Agar proses itu tercapai maka harus ada unsur-unsur yang terpenuhi.

Franz Josef Eilers (2001) dalam bukunya yang berjudul “Berkomunkasi dalam Masyarakat” memaparkan agar komunikasi bisa berjalan, maka komunikasi

harus memiliki unsur-unsur pokok-pokok berikut ini:

1. Pengirim, yaitu orang yang menciptakan tindakan komunikatif. Pengirim memberikan sebuah pesan dan dengan itu menimbulkan reaksi.

2. Penerima, yaitu orang yang menerima pesan atau rangsangan yang diberi oleh pengirim pesan, komunikator.

3. Pesan, berada antara pengirim dan penerima sebagai isi yang telah dirumuskan untuk ditransmisikan.

4. Saluran, media yang dipakai untuk mengirimkan pesan. Saluran ini bisa sederhana seperti suara manusia atau alat-alat teknis.

5. Pengiriman (encoding), diperlukan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk tanda untuk ditukarkan dan dimengerti oleh penerima yang dalam penerima (encoding), dapat membaca yang ditransmisikan itu. Setiap pengiriman

membutuhkan penerimaan sehingga komunikasi berhasil.

(34)

merangsang reaksi lain lagi pada si pengirim. Umpan balik ini menunjukkan kepada si pengirim tentang entah pesannya diterima dan bagaimana pesannya itu diterima oleh penerima. Umpan balik bisa menguatkan, atau membentuk komunikasi selanjutnya.

C. Peranan Media dalam Komunikasi

Pada awalnya komunikasi terjadi secara verbal atau lisan. Sampai sekarang budaya komunikasi lisan ini tetap relevan bahkan memiliki kekuatan tersendiri dalam menyampaikan pesan. Dalam budaya lisan, seluruh tubuh berperan dalam tindak komunikasi. Mulut mengeluarkan suara yang diwarnai emosi tertentu dan tidak jarang juga mengeluarkan ludah. Wajah dan tangan ikut “berbicara” untuk menekankan apa yang mau dikatakannya. Tidak ketinggalan

bau keringat yang keluar dari badan. Retorika sebagai kemampuan untuk menyatakan diri dan mengungkapkan persoalan melalui bahasa lisan menjadi amat penting, terutama untuk mempengaruhi massa (Iswarahadi, 2003:10).

(35)

demikian komunikasi melalui tulisan ini berpengaruh besar bagi kebudayaan kehidupan manusia pada waktu itu. Salah satu pengaruh besar dari perkembangan teknik cetak-mencetak tersebut adalah bagi pewartaan iman. Pada abad ke-16 Martin Luther dan Petrus Kanisius menggunakan penemuan baru ini untuk menyebarkan buku-buku pengajaran iman, antara lain Martin Luther mencetak Kitab Suci dalam bahasa daerah dan Petrus Kanisus menggunakannya untuk menerbitkan katekismus, yang tersebar sampai sekarang. Berkat media cetak tersebut penyampaian pesan berupa pengajaran iman pada waktu itu menjadi lebih cepat, mudah, dan praktis terutama dalam menjangkau umat yang tersebar di berbagai pelosok daerah (Adisusanto & Ernestine, 2001:4).

Budaya komunikasi melalui penggunaan sarana-sarana modern seperti radio dan televisi, merupakan perkembangan lebih lanjut dari kemajuan mesin cetak. sarana komunikasi modern ini mampu memproduksi dan menyebarkan gagasan dan pemikiran orang yang sama secara massal, sehingga dalam waktu yang singkat hal yang sama itu dapat dibaca, didengar, dan diketahui secara luas. Melalui penggunaan sarana modern untuk berkomunikasi, orang tidak hanya menyentuh dan menyapa seseorang melainkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang sama. Sayangnya, dengan media tersebut berkomunikasi menjadi kehilangan unsur pribadinya, sebab orang tidak lagi berjumpa dengan orang “engkau” tetapi dengan “massa” atau “fans” yang banyak, sementara narasumber

(36)

psikologis dengan orang lain (Iswarahadi, 2003:11).

(37)

D. Pentingnya Komunikasi bagi Kehidupan Manusia

Komunikasi merupakan suatu proses interaksi antar manusia dan komunikasi merupakan suatu kegiatan manusia yang sangat penting terutama dalam membangun relasi antar manusia. Setiap orang membutuhkan komunikasi supaya bisa hidup dan berhubungan masyarakat manusia. Dengan berkomunikasi, manusia mau menciptakan komunitas, membamgum partisipasi, membebaskan diri dari segala kebelengguan, melestarikan kebudayaan sebagai identitasnya dan mengkritisi dunia sekitarnya, supaya manusia hidup bahagia (Iswarahadi, 2010:9).

Dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi Antarpribadi – Tinjauan Psikologis” Dr. A. Supratiknya memaparkan pentingnya komunikasi antar pribadi

(38)

E. Keterampilan Berkomunikasi

Agar mampu memulai, mengembangkan dan memelihara komunikasi yang akrab, hangat, dan produktif dengan orang lain, maka perlu memiliki sejumlah keterampilan dan kemampuan dalam berkomunikasi. Keterampilan dan kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan untuk mempertunjukkan pengetahuan mengenai perilaku komunikasi yang secara sosial sesuai dengan situasi yang ada (Josef Eilers Frans, 1994: 21).

1. Keterampilan Dasar yang Diperlukan dalam Komunikasi

Untuk menciptakan komunikasi yang baik, maka ada beberapa keterampilan dan kemampuan dasar yang perlu dimiliki. Keterampilan dan kemampuan dasar tersebut antara lain:

a. Keterampilan saling memahami

(39)

saling percaya kemudian masing-masing harus membuka diri, yaitu saling mengungkapkan tanggapan terhadap berbagai situasi yang sedang dihadapi, termasuk kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan. Untuk dapat membuka diri tentu dibutuhkan kesadaran akan perasaan-perasaan dan tanggapan-tanggapan yang muncul dalam batin. Hanya saja untuk dapat sampai pada kesadaran semacam itu diperlukan sikap menerima dan mengakui pikiran dan perasaan yang muncul, bukan menyangkal, menekan atau menyembunyikannya (Supratiknya, 1995:11).

b. Keterampilan mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepat dan jelas Masing-masing pribadi harus mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepat dan jelas. Dengan saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dan saling mendengarkan, berarti seseorang telah memulai, mengembangkan, dan memelihara komunikasi dengan orang lain (Supratiknya, 1995:11).

c. Keterampilan saling menerima dan memberi dukungan

(40)

dan empati terhadap masalah yang sedang dihadapi (Supratiknya, 1995:11).

d. Keterampilan memecahkan konflik dan bentuk-bentuk masalah antar pribadi Masing-masing pribadi harus mampu memcahkan konflik dan bentuk-bentuk masalah antar pribadi lain yang mungkin muncul dalam komunikasi dengan cara-cara yang konstruktif, yaitu cara-cara yang semakin mendekatkan antar pribadi dan menjadikan komunikasi tersebut semakin tumbuh dan berkembang (Supratiknya, 1995:12).

2. Keterampilan Menanggapi dengan Penuh Pemahaman

Supratiknya dalam buku “Komunikasi Antarpribadi; Tinjauan Psikologis”

yang diterbitkan tahun 1995, memaparkan bahwa salah satu aspek penting dalam mendengarkan dan menanggapi dengan penuh pemahaman persoalan yang dikemukakan orang lain adalah rumusan yang dipakai dalam memparafrasekan pesan-pesannya (Supratiknya,1995:80). Rumusan tersebut dapat berlainan dalam sejumlah hal, yaitu:

a. Rumusan dalam hal isi (content) atau kata-kata yang digunakan

(41)

bila merumuskan kembali inti pesan dari orang yang sedang berbicara dengan menggunakan kata-kata sendiri tanpa mengubah arti maupun warna perasaannya. Telah terbukti bahwa tanggapan yang pada dasarnya hanya merupakan pengulangan pernyataan umumnya tidak mengkomunikasikan bahwa seorang pendengar telah memahaminya sebagai pribadi. Orang perlu memparafrasekan atau memantulkan kembali pesan pengirim dengan kata-kata atau ungkapan sendiri (Supratiknya,1995:80).

b. Rumusan dalam hal kedalaman (depth) perasaan yakni tingkat kecocokan antara kedalaman perasaan dalam tanggapan si penerima pesan dengan kedalaman perasaan dalam pesan pengirim. Umumnya, tanggapan yang efektif adalah tanggapan yang memiliki kedalaman perasaan sama dengan kedalaman perasaan dalam pesan yang disampaikan pengirim, atau bahkan yang mampu membawa pengirim pada perasaan yang lebiih dalam (Supratiknya, 1995:80).

c. Rumusan dalam hal makna (meaning) ada bahaya bahwa dalam mencoba memparafrasekan pernyataan pengirim seorang pendengar menambah atau sebaliknya mengurangi makna dan warna perasaannya. Penambahan atau pengurangan makna dapat dibedakan seperti berikut:

(42)

tanggapan melampaui atau menambahkan makna yang tidak diungkapkan oleh pengirim pesan. Menambahkan makna dapat terjadi dengan beberapa cara, misalnya:

Melengkapi pikiran atau kalimat pengirim pesan.

Menanggapi gagasan yang oleh pengirim pesan semata-mata digunakan sebagai contoh.

Menafsirkan penting-tidaknya pesan yang diungkapkan oleh pengirim. Hanya menanggapi hal terakhir yang diungkapkan oleh pengirim adalah contoh bentuk pemotongan makna pesan.

d. Rumusan dalam hal bahasa: bahasa yang digunakan dalam menanggapi orang lain haruslah mudah dan sederhana, untuk menjamin komunikasi yang tepat dan efektif.

F. Tahapan dalam Komunikasi

(43)

dan dimengerti dengan sebuah ilustrasi bagaimana seorang dalam membuat resep terhadap pasiennya. Dokter tentunya akan membuat resep obat bagi pasien setelah mendengar keluhan sakit si pasien dan memeriksanya. Dokter tidak membuat resep obat terlebih dahulu baru mendengarkan keluhan si pasien karena dengan demikian resep yang dibuat oleh dokter tidak akan berdaya guna apa-apa bagi pasien, bahkan akan memperparah sakit pasien (Covey, 2010:277-279). Mengerti kemudian dimengerti merupakan tahapan yang menentukan keberhasilan dalam komunikasi.

Berusaha mengerti lebih dahulu, baru dimengerti merupakan prinsip penting dalam hubungan antar pribadi. Prinsip ini menjadi kunci untuk komunikasi antar pribadi yang efektif (Covey, 2010:270). Berusaha untuk mengerti akan menumbuhkan sikap saling percaya yang kemudian membawa orang pada sikap terbuka untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan (Covey, 2010:273).

(44)

berkomunikasi:

1. Berusaha Memahami Lebih Dahulu

Untuk benar-benar memahami orang lain maka seseorang harus pertama-tama berusaha mendengarkan. Seseorang sulit untuk mencapai kedalaman dari komunikasi ini karena orang biasanya berusaha lebih dahulu untuk dimengerti. kebanyakan orang tidak mendengar dengan maksud untuk mengerti; orang mendengar dengan maksud untuk menjawab atau dengan kata lain orang lebih cenderung ingin banyak berbicara dari pada mendengarkan untuk memahami. Selain itu orang biasanya menyaring apa yang disampaikan oleh orang lain melalui paradigmanya sendiri yaitu membacakan autobiografinya sendiri ke dalam kehidupan orang lain. Orang seringkali dipenuhi dengan kebenarannya sendiri, sehingga komunikasi menjadi monolog kolektif, dan kita tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang berlangsung dalam diri orang lain (Covey, 2010:272).

(45)

perasaan orang lain (Covey, 2010:274). Berikut akan dipaparkan mengenai bagaimana mendengarkan dengan empatik:

a. Mendengarkan dengan Empatik

Inti dari mendengarkan empatik bukanlah bahwa seseorang setuju dengan orang lain, tetapi bahwa seseorang sepenuhnya, secara mendalam, mengerti orang lain, secara emosional sekaligus intelektual. Dalam mendengar secara empatik, seseorang mendengarkan dengan telinganya, tetapi lebih penting lagi, seseorang juga mendengarkan dengan mata dan hatinya. Orang memperhatikan perasaan, makna, dan memperhatikan perilaku orang lain. Mendengarkan secara empatik berarti seseorang menggunakan otak kanan sekaligus otak kirinya yaitu ia memahami, berintuisi, dan merasa (Covey, 2010:274).

Mendengar secara empatik begitu kuat karena memberi data yang akurat untuk dikerjakan karena seseorang menjadi berhubungan dengan realitas di dalam kepala dan hati orang lain yang sedang berbicara. Dengan mendengarkan secara empatik berarti seseorang mendengarkan untuk mengerti yaitu seseorang memfokuskan diri untuk menerima komunikasi terdalam dari jiwa manusia lain (Covey, 2010:275).

Mendengar secara empatik itu sendiri memberi terapi dan menyembuhkan karena memberi “udara psikologis” (psychological air) kepada seseorang karena

(46)

empatik, berarti orang tersebut memberi orang lain udara psikologis yaitu membuat orang lain merasa nyaman untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ingin diungkapkannya (Covey, 2010:275). Seorang pendengar empatik yang cerdas dapat membaca apa yang sedang terjadi secara mendalam dan cepat, dan dapat memperlihatkan penerimaan sebegitu rupa, pengertian sedemikian rupa, sehingga orang lain merasa aman untuk membuka lapis demi lapis sampai orang tiba pada inti terdalam yang lunak tempat masalah benar-benar ada (Covey, 2010:289).

Mendengarkan secara empatik juga mengandung risiko. Dibutuhkan banyak sekali rasa aman untuk mendengarkan secara mendalam karena seseorang membuka dirinya untuk dipengaruhi. Orang tersebut menjadi rentan karena sedikit banyak orang lain memberi pengaruh yang bisa menggoyahkan pusat prinsip orang tersebut. Agar seseorang memiliki pengaruh bagi orang lain, orang tersebut harus harus dapat dipengaruhi, tetapi bukan berarti harus kehilangan prinsip (Covey, 2010:274).

Ada bentuk mendengarkan yang lebih baik yang mencerminkan mendengarkan secara empatik. Gaya mendengarkan ini disebut “mendengarkan

dengan tulus”. Gaya mendengarkan inilah yang seharusnya digunakan. Untuk

(47)

53%

40%

7%

Gambar 1.

Kemampua n manusia dalam mendengarkan (Covey, 2010)

Bahasa Tubuh (53%) Nada / Perasaan (40%) Kata-kata (7 %)

Mendengarkan hanya dengan telinga saja tidak cukup baik, karena hanya 7 persen komunikasi yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan, sedangkan selebihnya berasal dari bahasa tubuh (53 persen) dan 40 persen adalah tanggapan lawan bicara berupa kata, atau nada serta perasaan yang mencerminkan kata-kata yang yang disampaikan orang tersebut (Gambar 1). Untuk mendengar apa yang sebenarnya dimaksudkan orang yang sedang berbicara, lawan bicara perlu mendengarkan apa yang tidak orang tersebut ucapakan. Seberapa keras pun orang tampaknya dari luarnya, kebanyakan orang lembut hatinya dan punya kebutuhan besar untuk dipahami.

2) Menyelami perasaan orang yang sedang berbicara.

(48)

memandang percakapan sebagai persaingan di mana lawan bicara seringkali merasa bahwa pandanganya dengan pandangan orang lain tidak sama.

3) Mencoba bersikap seperti cermin

Bersikap seperti cermin berarti sebagai lawan bicara tidak menunjukan sikap menghakim atau tidak memberi nasihat, yaitu seperti cermin yang hanya memantulkan. Contoh bersikap seperti cermin misalnya mengulangi dengan kata-kata sendiri, apa yang diucapkan dan dirasakan oleh orang yang sedang berbicara. Bersikap seperti cermin bukanlah meniru. Dikatakan meniru jika lawan bicara mengulang persis apa yang diucapkan seseorang.

Mendengarkan dengan tulus ada tempat dan waktunya. Orang perlu melakukannya jika sedang membicarakan suatu persoalan penting atau peka, seperti kalau seorang teman butuh pertolongan atau sedang menghadapi masalah. Seseorang tidak perlu serius mendengarkan apabila sedang dalam percakapan santai atau obrolan sehari-hari (Covey, 2002:254).

Seringkali orang merasa bahwa ketakutan utama adalah “biacara di depan umum”. Dibutuhkan keberanian untuk bicara di depan umum, namun juga

(49)

yang buruk, seperti yang dijabarkan berikut ini:

b. Hambatan dalam Komunikasi

Menurut Anthony de Mello (1990) dalam bukunya yang berjudul “Doa

Sang Katak 2” ketidakmampuan seseorang dalam mendengarkan dan memahami

pesan merupakan hambatan dalam dalam komunikasi (de Mello, 1990:157-167). Hambatan tersebut terjadi antara lain karena:

1) Seringkali pendengar banyak berbicara dari pada banyak mendengarkan. Banyak yang dapat dihasilkan kalau pertama-tama orang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan

2) Pendengar seringkali ingin cepat-cepat menanggapi dan mengambil keputusan atas apa yang dibicarakan oleh si pembicara.

3) Pendengar seringkali ingin memberi tanggapan berdasarkan pengandaian dirinya sendiri.

4) Pendengar sering merasa dirinya lebih mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh orang lain.

5) Pendengar seringkali mengartikan kata-kata orang lain dengan pengertiannya sendiri, padahal belum tentu apa yang diartikannya tersebut sesuai dengan yang dimaksud oleh di pembicara.

(50)

sebagi berikut:

1) Mengawang-awang

Mengawang-awang adalah ketika seseorang berbicara tetapi lawan bicara tidak menggubrisnya karena pikiran lawan bicara sedang melamun atau sedang memikirkan hal lain. Orang tersebut mungkin ingin mengatakan sesuatu yang penting, tetapi lawan bicara terperangkap dalam pikirannya sendiri.

2) Pura-pura mendengarkan lebih umum lagi

Maksud dari gaya mendengarkan ini adalah ketika seseorang sedang berbicara namun lawan bicara seperti mendengarkan tetapi sesunggguhnya tidak terlalu memperhatikan orang tersebut. Contoh dari gaya mendengarkan ini yaitu lawan bicara akan melotarkan tanggapan seperti “ya sih”, “uh-huh”, “hebat”, “kedengarannya boleh juga”. Biasanya orang yang berbicara tersebut akan tahu

dan merasa bahwa ia tidak cukup penting untuk didengarkan.

3) Mendengarkan secara selektif

(51)

langgeng.

4) Mendengarkan kata per kata

Mendengarkan kata per kata artinya lawan bicara sungguh-sungguh memperhatikan apa yang diucapkan, tetapi yang didengarkan hanyalah kata-kata, bukan bahasa tubuh, perasaan, atau makna sesungguhnya dibalik kata-kata itu. Akibatnya, lawan bicara melewatkan makna sesungguhnya. Jika lawan bicara hanya fokus pada kata-katanya saja, maka orang tersebut jarang bisa memahami perasaan yang lebih dalam dari lawan bicaranya.

5) Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri

Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri adalah kalau lawan bicara hanya memandang segalanya dari kacamatanya sendiri. Lawan bicara tidak mencoba menyelami perasaan orang yang sedang berbicara, tetapi lawan bicara menuntut agar orang tersebut menyelami perasaannya. Kalau lawan bicara hanya mendengarkan dari sudut pandangnya sendiri, biasanya lawan bicara akan menanggapi dengan cara-cara yang pasti membuat orang tersebut berhenti berbicara. Cara-cara tersebut antara lain:

(52)

mencerminkan sikap menghakimi:

Peter : Semalam asyik lho sama si Katherine

Karl : Oh, syukur deh. (Katherine? kok kamu mau sih kencan sama si Katherine?)

Peter : Tidak aku sangka dia begitu hebat

Karl : Oh ya? (Tuh gitu lagi deh. Semua cewek juga kamu anggap hebat)

Peter : Iya. Mungkin aku ajak dia saja deh ke pesta wisuda nanti! Karl : Aku kira kamu mau ajak Jessica. (Kamu gila ya? Jessica

kan jauh lebih cantik daripada Katherine).

Peter : Tadinya iya sih. Tetapi sekarang rasanya aku mau ajak katherine saja deh.

Karl : Silahkan deh. (Besok juga kamu berubah pikiran lagi). ( Covey, 2002:246)

Menasihati yaitu jika lawan bicara memberikan nasihat menurut pengalamannya sendiri. Misalnya ada seorang adik yang becerita kepada kakaknya tentang pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolah, kemudian sang kakak malah menceritakan bahkan membangga-banggakan dirinya ketika dulu di sekolah.

(53)

Ketika seseorang sudah berusaha untuk mengerti orang lain maka kemudian akan dipahami, namun kebanyakan orang, dalam membuat presentasi, langsung menuju logos yaitu logika otak kiri atau gagasan yang mereka pikirkan bukan orang lain pikirkan. Mereka berusaha meyakinkan orang lain akan keabsahan logika atau gagasan tersebut tanpa lebih dahulu mempertimbangkan ethos dan pathos. Agar satu gagasan dapat diterima oleh orang lain tentunya

sebelum membuat presentasi haruslah memperhatikan phatos yaitu melihat kemampuan diri dalam menyampaikannya dan memperhatikan ethos yaitu memperhatikan kemampuan atau kebutuhan orang yang akan diberi gagasan. Untuk dapat menyampaikan gagasan dengan jelas, spesifik, visual, dan yang paling penting adalah konstektual dengan kebutuhan orang lain maka, pertama-tama haruslah memiliki pengertian yang mendalam akan situasi si penerima gagasan tersebut (Covey, 2010:293).

Ethos ialah bagaimana seseorang berusaha membuat orang lain percaya, karena ketika orang lain percaya kepada seseorang maka akan mudah baginya mengungkapkan apa yang orang tersebut rasakan. Ethos juga berarti bagaimana seseorang mampu atau terampil dalam mengungkapkan pikirannya sehingga mudah dipahami orang lain. Pathos ialah bagaimana seseorang mampu memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan ketika ada orang lain yang bersusaha mengungkapkan isi hatinya. Sedangkan logos ialah logika.

(54)

memahami dan mendengarkan maka akan terjadi dua hal yang luar biasa. Pertama, orang menjadi pendengar tersebut akan lebih dihargai. Kedua, orang yang sedang berbicara akan merasa dipahami sehingga orang yang berbicara tersebut akan bersikap lebih fleksibel dan lebih percaya kepada orang yang mendengarkan itu (Covey, 2002:255-257).

Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Anthony de Mello (1990) dalam bukunya yang berjudul “Doa Sang Katak 1” bahwa ada empat tahapan dalam doa

yaitu:

“Aku bicara, engkau mendengarkan. Engkau bicara, aku mendengarkan.

Tak ada yang bicara, keduanya mendengarkan.

Tak ada yang bicara, tak ada yang mendengarkan: Hening.” (de Mello, 1990:25)

(55)

Anthony de Mello dalam bukunya yang berjudul Doa Sang Katak 2 mengungkapkan bahwa dialog adalah jiwa suatu hubungan karena dalam dialog orang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan (de Mello, 1990:157). Dalam pengertian yang hampir sama, dialog bukan tukar-menukar pikiran semata-mata, melainkan merupakan dasar dari tiap tindakan manusia yang bijaksana yaitu melihat, menimbang dan memutuskan tindakan seefektif mungkin. Oleh karena itu dialog dalam arti sesungguhnya ialah saling menunjukkan sikap batin yang terbuka dalam soal apapun (Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:100). Dialog merupakan pengungkapan diri pribadi kepada orang lain. Dialog mengandaikan kerelaan untuk penyerahan diri kepada orang lain dan sebaliknya mau menerima orang lain. Dengan kata lain dialog adalah usaha bersama untuk saling mengerti. Untuk dapat saling mengerti maka diperlukan kemauan untuk mendengarkan dengan empatik sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.

(56)

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kesulitan dalam membangun suatu komunikasi yang baik adalah keterbukaan, kepercayaan, dan sikap mau mendengarkan. Persoalan komunikasi yang seperti itu seringkali juga terjadi dalam keluarga. Persoalan dalam keluarga seringkali muncul hanya karena kurang terciptanya komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik dalam keluarga dapat dilakukan dengan mendengarkan dengan empatik. Dari sikap mau mendengarkan dengan empatik maka akan memunculkan rasa nyaman dan keterbukaan dalam komunikasi.

Dengan mengetahui dan melakukan komunikasi yang baik dan akrab dengan pasangan, pasangan akan mampu memahami, menghargai, dan menerima pasangan apa adanya. Artinya, pasangan bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan mereka tanpa mensyaratkan penyempurnaan atas kekurangan dan kelemahannya. Justru karena mengetahui ketidaksempurnaan pasangan, pasangan akan lebih mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan dan tindakan yang melukai diri mereka. Perjalanan hidup keluarga yang sarat dengan bentuk sakit dan luka hati serta kekecewaan yang terjadi, mudah diatasi secepatnya dengan rekonsiliasi dan saling mengampuni. Dengan demikian, terciptalah kebahagiaan yang dicita-citakan dalam hidup berkeluarga.

(57)
(58)

KEHARMONISAN KELUARGA KATOLIK DAN MASALAHNYA

Hidup berkeluarga seringkali dipandang sebagai bagian dari rangkaian perjalanan hidup manusia yang harus dilewati. Perjalanan hidup manusia dimulai dari masa bayi, kemudian berlanjut ke masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Pada masa dewasa manusia mulai berfikir bahwa hidupnya tidak akan selamanya bergantung pada orang tua karena pada usia tertentu orang tua akan menghadapi masa usia lanjut di mana mereka tidak mampu untuk banyak beraktifitas dan bahkan kemudian akan meninggalkan dunia. Atas kesadaran tersebut manusia dewasa memikirkan bagaimana ia harus melangsungkan hidupnya terutama mencari orang lain sebagai teman hidup pengganti orang tua. Oleh karena kebutuhan itulah manusia membangun hidup keluarga. Seseorang membangun hidup keluarga tentunya tidak hanya sekedar melewati masa hidupnya saja tetapi juga ingin memperoleh kebahagiaan selama hidupnya.

(59)

1. Pengertian Keluarga Secara Umum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga diartikan sebagai sanak saudara, kaum kerabat, orang seisi rpumah (Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1997). Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu dan anak yang disebut dengan keluarga inti. Keluarga sebagai suatu kumpulan manusia terbentuk karena proses penyatuan yang disebut dengan perkawinan. Hal ini tampak dari pengertian perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang kemudian disebut suami-isteri. Ikatan lahir batin mutlak diperlukan untuk membina keluarga yang bahagia dan sejahtera (Pratiwi Knys, 1985:8). Keluarga terjadi karena perkawinan. Perkawinan merupakan proses disatukannya pria dan wanita dalam suatu ikatan sehingga setelah itu terbentuklah sebuah keluarga. Untuk menjelaskan tentang keluarga maka pertama-tama di bawah ini akan dibahas tentang perkawinan terlebih dahulu:

2. Perkawinan Secara Katolik

a. Perkawinan Merupakan Persekutuan Hidup dan Cinta

(60)

Karena itu, suami dan istri sama-sama bertugas untuk tetap memupuk kesatuan mereka agar tahan uji (Gilarso, 1996:10).

b. Hakitat dan Tujuan Perkawinan

Hakikat dan tujuan perkawinan yang dipaparkan dalam Gaudium et Spes di atas ditegaskan kembali dalam Kitab Hukum Kanonik;

“Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, oleh Kristus Tuhan perjanjian pernikahan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (Kan. 1055 - §1).

Dengan demikian diakui oleh Gereja bahwa hakikat pernikahan adalah persekutuan seluruh hidup dan tujuan pernikahan adalah kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak (KWI, 1994:44).

c. Perkawinan Merupakan Lembaga Sosial

(61)

terkecil dalam masyarakat (Gilarso, 1996:10).

d. Perkawinan Merupakan Lembaga Hukum Negara

Perkawinan merupakan ikatan resmi yang perlu disahkan. Perkawinan bukan ikatan bebas menurut selera sendiri; bukan sekedar soal cinta sama cinta, lantas bersenang-senang bersama, melainkan soal masyarakat, soal sosial, soal keluarga keluarga besar, dan masa depan bangsa. Oleh karena itu, Negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Kebanyakan negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi, yang menghalalkan hubungan seks dan mengesahkan keturunan. Perzinahan harus dicegah; anak di luar nikah tidak diakui sebagai anak yang sah menurut hukum (Gilarso, 1996:10).

e. Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Drs. T. Gilarso, SJ dalam bukunya yang berjudul “Membangun Keluarga

Kristiani – Pembinaan Persiapan Berkeluarga” memaparkan bahwa perkawinan katolik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Monogami

(62)

Dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri dengan bebas, bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Cinta sejati adalah cinta yang setia, dalam keadaan bagaimanapun. Perceraian membuktikan bahwa suami dan istri gagal mengembangkan cinta yang sejati.

3) Terbuka bagi keturunan

Suami dan istri diharapkan bersedia mempunyai anak, bila Tuhan memberikannya. Adapun jumlah dan jarak kelahiran anak perlu direncanakan bersama dengan bijaksana. Segala bentuk pengguguran harus ditolak dengan tegas, kerena jelas-jelas merupakan sikap menolak keturunan yang sudah ada.

Perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidup (Gilarso, 1996:9). Istilah “persekutuan/persatuan hidup” dimaksudkan untuk

(63)

Sakramen yaitu tanda cinta atau tanda mata dari pihak Tuhan kepada manusia. Dengan tanda itu Tuhan mau menyatakan kepada manusia bahwa Ia sungguh-sungguh mencintai manusia. Tetapi agar manusia menyadari dan menangkap bahwa tanda itu adalah tanda cinta Tuhan, maka manusia juga harus percaya lebih dahulu kepada Tuhan. Sebab orang yang tidak percaya kepada Tuhan sulit untuk dapat menangkap tanda cinta dari Tuhan. Hanya dan sejauh manusia percaya kepada Kristus, maka perkawinan itu berarti dan merupakan sakramen (tanda cinta) Tuhan. Kedatangan Tuhan ke dunia dan wafat-Nya di kayu salib itulah bukti cinta-Nya yang paling besar. Sebab dengan ini kita semua dimungkinkan lagi untuk kembali kepada-Nya (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:24).

Cinta Tuhan tidak abstrak, melainkan konkrit sekali, bahkan masuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Walaupun kehadiran Tuhan secara fisik tidak ada lagi, namun Tuhan mau metampakkan kehadiran-Nya di dunia ini dengan melalui tanda sampai sekarang. Maka sakramen itu tanda kehadiran Tuhan atau sarana (dari pihak Tuhan) untuk menghubungi manusia, agar manusia merasa selalu dekat dengan Tuhan dan merasa dicintai oleh Tuhan (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:25).

(64)

menjadi tanda cinta-Nya bagi si wanita dan Tuhan mengangkat hidup manusia-wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi si pria. Dengan lain kata di dalam perkawinan Tuhan mau menggunakan pria dan wanita seperti air, roti dan krisma menjadi alat-Nya, yaitu alat-Nya untuk menyalurkan cinta kasih-Nya. Maka dengan menerima sakramen perkawinan pria dan wanita ditetapkan menjadi alat milik Tuhan dan hanya dipakai untuk maksud metampakkan cinta Allah sendiri. Sebagaimana roti dan anggur di dalam Ekaristi menjadi alat Tuhan untuk metampakkan kehadiran, demikian pula pria dan wanita dengan diberkati oleh imam, dua-duanya menjadi alat Tuhan sendiri. Sebagai alat hidup pria harus metampakkan cinta kasih dan kebaikan Tuhan itu kepada si wanita, dan hidup si wanita juga harus metampakkan kebaikan Tuhan itu kepada si pria. Dengan demikian apabila mereka bertemu dan bersatu di dalam keluarga, mereka dapat saling merasakan kehadiran Tuhan itu sendiri. (Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986: 26)

Unsur pokok di dalam cinta-perkawinan adalah kesetiaan akan partnernya dalam segala situasi, dan bertanggungjawab dalam untung dan malang. Dengan “total” yang dimaksud ialah cinta yang menyeluruh tidak hanya pada bagian fisik

(65)

kebebasan cinta menjadi lebih bernilai, lebih berarti, dan lebih mantap, karena atas dasar pilihannya sendiri (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:16).

3. Keluarga dalam Pandangan Katolik

Dalam pandangan Katolik keluarga adalah suatu persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita berdasar ikatan cinta kasih yang total demi penyempurnaan dan perkembangan pribadi masing-masing dan kelangsungan umat manusia (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2006:39).

Keluarga Katolik juga adalah “Gereja mini”, artinya adalah persekutuan

dasar iman dan tempat persemaian iman sejati. Maka dalam keluarga Katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman yang menghangatkan suasana. Iman di sini bukan pertama-tama berarti pengetahuan agama (meskipun itu penting) tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian, kerjasama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya. (Gilarso:1996-11).

(66)

masyarakat (Konferensi Wali Gereja Indonesia, 1994:135). Keluarga sebagai unit terkecil lebih diperjelas lagi dengan pengertian bahwa keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala. Oleh karena, keluarga merupakan kumpulan dari beberapa individu yang saling berinteraksi, maka dalam pengertian yang lain keluarga merupakan tempat pembentukan manusia atau lebih tepat tempat memanusiakan manusia (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:19).

Persekutuan hidup dapat terwujud apabila adanya cinta kasih diantara pria dan wanita. Cinta kasih merupakan panggilan yang asasi dan ada sejak lahir pada setiap manusia karena Allah menciptakan manusia dengan cinta kasih menurut citra-Nya. Allah menciptakan pria dan wanita dengan memberikan kemampuan dan tanggungjawab untuk mengasihi dan bersatu agar mereka dapat melangsungkan kehidupannya (Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, 1994:27).

Dalam Dokumen Konsili Vatikan II yaitu dokumen Gaudium et Spes (GS) Gereja menyatakan bahwa “persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra,

yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya, dibangun oleh perjanjian pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. … Ikatan suci demi kesejahteraan suami istri dan anak maupun

(67)

48).

4. Mengapa Orang Membangun Keluarga?

Menurut Ny. Pratiwi Knys (1985) dalam bukunya yang berjudul “Berkeluarga Secara Arif” menyebutkan empat macam kebutuhan dasar manusia.

Pertama manusia ingin hidup selama mungkin. Kedua, manusia ingin menjadi orang penting di mana manusia ingin dihormati, dikagumi, berkuasa, diakui, dan dihargai. Ketiga, manusia ingin memiliki partner hidup karena semua manusia ingin cinta. Dan dasar kebutuhan yang keempat adalah “ingin variasi” atau hiburan (Pratiwi Knys, 1985:4). Dari salah satu kebutuhan tersebut tampak bahwa membangun keluarga merupakan suatu pemenuhan dari kebutuhan manusia yaitu untuk memiliki partner hidup.

Menurut sumber lain yaitu dalam buku “Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga” yang disusun oleh Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat

Minulyo” (2007) dijelaskan bahwa membangun hidup keluarga merupakan salah

(68)

1. Pengertian Keluarga Katolik Harmonis

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “harmonis” memiliki

arti selaras atau serasi, sedangkan keharmonisan berarti keadaan selaras atau serasi (Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1997). Penggunaan kata “harmonis” familiar digunakan dalam berbagai istilah seperti dalam bidang musik kata “harmonis” seringkali digunakan untuk menyebutkan

“irama yang harmonis”, artinya keserasian dari berbagai sumber suara (alat

musik) sehingga menghasilkan bunyi yang indah. Istilah lain yang sering kali disertai dengan kata “harmonis” adalah kehidupan berkeluarga di mana kata “harmonis” merupakan suatu tujuan dari hidup berkeluarga (keluarga sakina).

Kata “harmonis” memang sangat familiar digunakan dalam kehidupan

(69)

(Purwo Hadiwardoyo, 1988:21).

Keharmonisan keluarga dalam Kitab Hukum Kanonik (kan. 1055) tampak dari tujuan perkawinan yaitu untuk kesejahteraan suami istri, prokreasi, dan pendidikan anak (Rubiyatmoko, 2011:19). Dari kanon ini tampak suatu gambaran bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga yang mampu mencapai tujuan dari perkawinan yaitu di mana pasangan suami-istri mampu mengungkapkan cintanya, kemudian cinta itu disempurnakan dengan kehadiran buah hati dan mendidiknya menjadi generasi yang baik (Gilarso, 1996:11). Dengan kata lain, kebahagiaan keluarga sangat tergantung kepada kebersamaan yang serasi antara semua anggota keluarga, yaitu pasangan suami-istri, dan semua anak-anak (Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia, 1981:21). Secara sederhana keluarga harmonis dapat dimengerti sebagai situasi di mana semua anggota keluarga saling menghargai dan mensyukuri serta terciptanya kasih sayang satu sama lain (Seks Bukan Penyebab Utama Perceraian).

2. Keluarga Katolik yang Harmonis menurut Kitab Suci dan Ajaran Gereja

Pada pemaparan di atas telah rinci dijelaskan pengertian dari keluarga yang harmonis dan beberapa aspek yang mempengaruhi bagi terwujudnya keluarga katolik yang harmonis. Selain teori-teori keharmonisan di atas, keluarga keluarga katolik yang harmonis juga diungkapkan dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja.

(70)

Menurut Kitab Kejadian 1:26-28 diceritakan bahwa Allah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan. Dari ungkapan tersebut menunjukkan bahwa adanya pria dan wanita adanya seksualitas (yang dimengerti sebagai kenyataan sebagai pria dan sebagai wanita). Seksualitas tersebut dikehendaki oleh Allah karena pria dan wanita diciptakan-Nya, sehingga dengan demikian seksualitas itu merupakan hal yang baik, berharga, dan suci (Purwa Hadiwardoyo, 1988:12).

Laki-laki dan perempuan kemudian diberkati oleh Allah, sehingga dengan demikian semakin menegaskan bahwa seksualitas itu berasal dari Allah dan dinilai baik oleh-Nya. (Purwa Hadiwardoyo, 1988:13).

Sedangkan berdasarkan Kitab Kejadian 2:18-25 yang menceritakan bahwa wanita diciptakan dari “tulang rusuk” pria menunjukkan bahwa secara kodrati pria

dan wanita memiliki unsur kesatuan. Selanjutnya diceritakan bahwa wanita itu kemudian “dibawa” oleh Allah kepada pria. Hal tersebut mau mengungkapkan

bahwa pertemuan seorang wanita dan seorang pria dalam perkawinan terjadi karena dorongan Allah sendiri (Purwa Hadiwardoyo, 1988:13).

Gambar

Gambar 1. Kemampua n manusia dalam mendengarkan (Covey,

Referensi

Dokumen terkait

Setiap keluarga pasti mendambakan kehidupan dengan keluarga kecil yang bahagia. Untuk mencapai hal tersebut dapat didasari dengan sikap saling menghargai dan pengertian

Perusahaan menetapkan target dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial terkait konsumen antara lain dengan menyelesaikan setiap masalah pekerjaan dan ide inovasi dengan metode program

1) Prinsip tanggung jawab, Setiap pengawas yang telah profesional sudah seharusnya bekerja dengan diliputi rasa tanggung jawab yang besar. Pekerjaannya harus

2.1 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru sebagai perwujudan nilai dan

1) Prinsip tanggung jawab, Setiap supervisor yang telah profesional sudah seharusnya bekerja dengan diliputi rasa tanggung jawab yang besar. Pekerjaannya harus

Berdasarkan hasil dari penelitian ini bahwa setiap keluarga memiliki cara yang berbeda-beda dalam membangun kepercayaan, akan tetapi pengalaman aktual yang dilakukan secara

Korban mampu untuk bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat seperti saat sebelum terjadinya tindak pidana, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah

Meskipun memiliki pola komunikasi yang berbeda, ketiga keluarga pasangan Tenaga Kerja Indonesia dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yang harmonis, walaupun setiap unsur keharmonisan