• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHARMONISAN KELUARGA KATOLIK DAN MASALAHNYA

2. Perkawinan Secara Katolik

a. Perkawinan Merupakan Persekutuan Hidup dan Cinta

Persetujuan bebas adalah syarat mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa. Cinta mensyaratkan kebebasan dan tanggung jawab. Persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetiaan kepada pasangannya “dalam untung dan malang” dan bertanggung jawab dalam segala situasi. Persatuan suami-istri itu berciri dinamis,

Karena itu, suami dan istri sama-sama bertugas untuk tetap memupuk kesatuan mereka agar tahan uji (Gilarso, 1996:10).

b. Hakitat dan Tujuan Perkawinan

Hakikat dan tujuan perkawinan yang dipaparkan dalam Gaudium et Spes di atas ditegaskan kembali dalam Kitab Hukum Kanonik;

“Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, oleh Kristus Tuhan perjanjian pernikahan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (Kan. 1055 - §1). Dengan demikian diakui oleh Gereja bahwa hakikat pernikahan adalah persekutuan seluruh hidup dan tujuan pernikahan adalah kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak (KWI, 1994:44).

c. Perkawinan Merupakan Lembaga Sosial

Dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang menghalalkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan mendapatkan keturunan. Oleh karena itu, perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum Negara. Suami-istri dan anak-anak hanya diakui sah dalam wadah perkawinan yang sah. Perkawinan merupakan kenyataan yang juga melibatkan masyarakat luas, baik sanak-saudara maupun tetangga dan kenalan. Masyarakat ikut campur dalam urusan perkawinan, karena ikut berkepentingan

terkecil dalam masyarakat (Gilarso, 1996:10).

d. Perkawinan Merupakan Lembaga Hukum Negara

Perkawinan merupakan ikatan resmi yang perlu disahkan. Perkawinan bukan ikatan bebas menurut selera sendiri; bukan sekedar soal cinta sama cinta, lantas bersenang-senang bersama, melainkan soal masyarakat, soal sosial, soal keluarga keluarga besar, dan masa depan bangsa. Oleh karena itu, Negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Kebanyakan negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi, yang menghalalkan hubungan seks dan mengesahkan keturunan. Perzinahan harus dicegah; anak di luar nikah tidak diakui sebagai anak yang sah menurut hukum (Gilarso, 1996:10).

e. Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Drs. T. Gilarso, SJ dalam bukunya yang berjudul “Membangun Keluarga Kristiani – Pembinaan Persiapan Berkeluarga” memaparkan bahwa perkawinan katolik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Monogami

Seorang suami selayaknya hanya mempunyai satu istri, demikian pula istri mempunyai satu suami saja. Dengan demikian, cinta mereka penuh dan utuh, tak terbagi. Hal itu juga mencerminkan prinsip bahwa pria dan wanita mempunyai martabat yang sama.

Dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri dengan bebas, bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Cinta sejati adalah cinta yang setia, dalam keadaan bagaimanapun. Perceraian membuktikan bahwa suami dan istri gagal mengembangkan cinta yang sejati.

3) Terbuka bagi keturunan

Suami dan istri diharapkan bersedia mempunyai anak, bila Tuhan memberikannya. Adapun jumlah dan jarak kelahiran anak perlu direncanakan bersama dengan bijaksana. Segala bentuk pengguguran harus ditolak dengan tegas, kerena jelas-jelas merupakan sikap menolak keturunan yang sudah ada.

Perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidup (Gilarso, 1996:9). Istilah “persekutuan/persatuan hidup” dimaksudkan untuk menghindarkan bahwa seolah-olah perkawinan itu hanya persekutuan badani, persekutuan keluarga, persekutuan pangkat, harta, kekayaan, hobi saja, melainkan menunjukkan bahwa yang terpenting adalah hidup dua orang itu dipersatukan dengan cinta kasih (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:14). Kitab Hukum Kanonik juga menegaskan bahwa perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang mengandung unsur dinamis, intimitas, realis interpersonal dua pribadi yang berbeda seksualitas (Kan.1055).

Sakramen yaitu tanda cinta atau tanda mata dari pihak Tuhan kepada manusia. Dengan tanda itu Tuhan mau menyatakan kepada manusia bahwa Ia sungguh-sungguh mencintai manusia. Tetapi agar manusia menyadari dan menangkap bahwa tanda itu adalah tanda cinta Tuhan, maka manusia juga harus percaya lebih dahulu kepada Tuhan. Sebab orang yang tidak percaya kepada Tuhan sulit untuk dapat menangkap tanda cinta dari Tuhan. Hanya dan sejauh manusia percaya kepada Kristus, maka perkawinan itu berarti dan merupakan sakramen (tanda cinta) Tuhan. Kedatangan Tuhan ke dunia dan wafat-Nya di kayu salib itulah bukti cinta-Nya yang paling besar. Sebab dengan ini kita semua dimungkinkan lagi untuk kembali kepada-Nya (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:24).

Cinta Tuhan tidak abstrak, melainkan konkrit sekali, bahkan masuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Walaupun kehadiran Tuhan secara fisik tidak ada lagi, namun Tuhan mau metampakkan kehadiran-Nya di dunia ini dengan melalui tanda sampai sekarang. Maka sakramen itu tanda kehadiran Tuhan atau sarana (dari pihak Tuhan) untuk menghubungi manusia, agar manusia merasa selalu dekat dengan Tuhan dan merasa dicintai oleh Tuhan (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:25).

Dalam perkawinan tanda kehadiran Tuhan yang mencintai umat-Nya diwujudkan secara khusus. Ia tidak metampakkan cinta kasih-Nya melalui barang-barang dan benda mati, melainkan tanda hidup, yaitu hidup manusia itu sendiri. Dalam sakramen perkawinan Tuhan mau menggunakan hidup manusia itu sendiri

menjadi tanda cinta-Nya bagi si wanita dan Tuhan mengangkat hidup manusia-wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi si pria. Dengan lain kata di dalam perkawinan Tuhan mau menggunakan pria dan wanita seperti air, roti dan krisma menjadi alat-Nya, yaitu alat-Nya untuk menyalurkan cinta kasih-Nya. Maka dengan menerima sakramen perkawinan pria dan wanita ditetapkan menjadi alat milik Tuhan dan hanya dipakai untuk maksud metampakkan cinta Allah sendiri. Sebagaimana roti dan anggur di dalam Ekaristi menjadi alat Tuhan untuk metampakkan kehadiran, demikian pula pria dan wanita dengan diberkati oleh imam, dua-duanya menjadi alat Tuhan sendiri. Sebagai alat hidup pria harus metampakkan cinta kasih dan kebaikan Tuhan itu kepada si wanita, dan hidup si wanita juga harus metampakkan kebaikan Tuhan itu kepada si pria. Dengan demikian apabila mereka bertemu dan bersatu di dalam keluarga, mereka dapat saling merasakan kehadiran Tuhan itu sendiri. (Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986: 26)

Unsur pokok di dalam cinta-perkawinan adalah kesetiaan akan partnernya dalam segala situasi, dan bertanggungjawab dalam untung dan malang. Dengan “total” yang dimaksud ialah cinta yang menyeluruh tidak hanya pada bagian fisik tertentu, melainkan cinta pada manusianya seutuhnya dengan segala sifat yang ada padanya, entah itu baik, entah itu buruk (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:16). Agar terjadinya cinta yang sejati diperlukan persetujuan bebas, artinya tidak ada paksaan ataupun terpaksa. Tanpa persetujuan bebas sebenarnya tidak ada cinta kasih dan tidak ada hubungan pribadi, melainkan “sandiwara”. Cinta

kebebasan cinta menjadi lebih bernilai, lebih berarti, dan lebih mantap, karena atas dasar pilihannya sendiri (Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:16).

Dokumen terkait