• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN KOMUNIKASI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

F. Tahapan dalam Komunikasi

1. Berusaha Memahami Lebih Dahulu

Untuk benar-benar memahami orang lain maka seseorang harus pertama-tama berusaha mendengarkan. Seseorang sulit untuk mencapai kedalaman dari komunikasi ini karena orang biasanya berusaha lebih dahulu untuk dimengerti. kebanyakan orang tidak mendengar dengan maksud untuk mengerti; orang mendengar dengan maksud untuk menjawab atau dengan kata lain orang lebih cenderung ingin banyak berbicara dari pada mendengarkan untuk memahami. Selain itu orang biasanya menyaring apa yang disampaikan oleh orang lain melalui paradigmanya sendiri yaitu membacakan autobiografinya sendiri ke dalam kehidupan orang lain. Orang seringkali dipenuhi dengan kebenarannya sendiri, sehingga komunikasi menjadi monolog kolektif, dan kita tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang berlangsung dalam diri orang lain (Covey, 2010:272).

Dengan melihat banyaknya hambatan dan kecenderungan buruk manusia dalam mendengarkan maka pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya mendengarkan yang baik. Mendengar yang baik yaitu mendengarkan secara empatik. Mendengarkan secara empatik yang dimaksud adalah mendengar dengan tujuan untuk mengerti yaitu berusaha terlebih dahulu untuk mengerti, untuk benar-benar mengerti. Selain itu mendengarkan secara empatik berarti seseorang masuk ke dalam kerangka berfikir orang lain, melihat dunia dengan cara orang lain

perasaan orang lain (Covey, 2010:274). Berikut akan dipaparkan mengenai bagaimana mendengarkan dengan empatik:

a. Mendengarkan dengan Empatik

Inti dari mendengarkan empatik bukanlah bahwa seseorang setuju dengan orang lain, tetapi bahwa seseorang sepenuhnya, secara mendalam, mengerti orang lain, secara emosional sekaligus intelektual. Dalam mendengar secara empatik, seseorang mendengarkan dengan telinganya, tetapi lebih penting lagi, seseorang juga mendengarkan dengan mata dan hatinya. Orang memperhatikan perasaan, makna, dan memperhatikan perilaku orang lain. Mendengarkan secara empatik berarti seseorang menggunakan otak kanan sekaligus otak kirinya yaitu ia memahami, berintuisi, dan merasa (Covey, 2010:274).

Mendengar secara empatik begitu kuat karena memberi data yang akurat untuk dikerjakan karena seseorang menjadi berhubungan dengan realitas di dalam kepala dan hati orang lain yang sedang berbicara. Dengan mendengarkan secara empatik berarti seseorang mendengarkan untuk mengerti yaitu seseorang memfokuskan diri untuk menerima komunikasi terdalam dari jiwa manusia lain (Covey, 2010:275).

Mendengar secara empatik itu sendiri memberi terapi dan menyembuhkan karena memberi “udara psikologis” (psychological air) kepada seseorang karena di samping kelangsungan hidup fisik, kebutuhan terbesar manusia adalah kelangsungan hidup psikologis yaitu untuk dimengerti, untuk diteguhkan, untuk

empatik, berarti orang tersebut memberi orang lain udara psikologis yaitu membuat orang lain merasa nyaman untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ingin diungkapkannya (Covey, 2010:275). Seorang pendengar empatik yang cerdas dapat membaca apa yang sedang terjadi secara mendalam dan cepat, dan dapat memperlihatkan penerimaan sebegitu rupa, pengertian sedemikian rupa, sehingga orang lain merasa aman untuk membuka lapis demi lapis sampai orang tiba pada inti terdalam yang lunak tempat masalah benar-benar ada (Covey, 2010:289).

Mendengarkan secara empatik juga mengandung risiko. Dibutuhkan banyak sekali rasa aman untuk mendengarkan secara mendalam karena seseorang membuka dirinya untuk dipengaruhi. Orang tersebut menjadi rentan karena sedikit banyak orang lain memberi pengaruh yang bisa menggoyahkan pusat prinsip orang tersebut. Agar seseorang memiliki pengaruh bagi orang lain, orang tersebut harus harus dapat dipengaruhi, tetapi bukan berarti harus kehilangan prinsip (Covey, 2010:274).

Ada bentuk mendengarkan yang lebih baik yang mencerminkan mendengarkan secara empatik. Gaya mendengarkan ini disebut “mendengarkan dengan tulus”. Gaya mendengarkan inilah yang seharusnya digunakan. Untuk mendengarkan dengan tulus, orang perlu melakukan tiga hal berikut ini:

53%

40%

7%

Gambar 1.

Kemampua n manusia dalam mendengarkan (Covey, 2010)

Bahasa Tubuh (53%) Nada / Perasaan (40%) Kata-kata (7 %)

Mendengarkan hanya dengan telinga saja tidak cukup baik, karena hanya 7 persen komunikasi yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan, sedangkan selebihnya berasal dari bahasa tubuh (53 persen) dan 40 persen adalah tanggapan lawan bicara berupa kata, atau nada serta perasaan yang mencerminkan kata-kata yang yang disampaikan orang tersebut (Gambar 1). Untuk mendengar apa yang sebenarnya dimaksudkan orang yang sedang berbicara, lawan bicara perlu mendengarkan apa yang tidak orang tersebut ucapakan. Seberapa keras pun orang tampaknya dari luarnya, kebanyakan orang lembut hatinya dan punya kebutuhan besar untuk dipahami.

2) Menyelami perasaan orang yang sedang berbicara.

Untuk menjadi pendengar yang tulus, lawan bicara perlu mengesampingkan perasaannya dan menyelami perasaan orang yang sedang berbicara. Lawan bicara harus berusaha memandang dunia dari kacamata orang

memandang percakapan sebagai persaingan di mana lawan bicara seringkali merasa bahwa pandanganya dengan pandangan orang lain tidak sama.

3) Mencoba bersikap seperti cermin

Bersikap seperti cermin berarti sebagai lawan bicara tidak menunjukan sikap menghakim atau tidak memberi nasihat, yaitu seperti cermin yang hanya memantulkan. Contoh bersikap seperti cermin misalnya mengulangi dengan kata-kata sendiri, apa yang diucapkan dan dirasakan oleh orang yang sedang berbicara. Bersikap seperti cermin bukanlah meniru. Dikatakan meniru jika lawan bicara mengulang persis apa yang diucapkan seseorang.

Mendengarkan dengan tulus ada tempat dan waktunya. Orang perlu melakukannya jika sedang membicarakan suatu persoalan penting atau peka, seperti kalau seorang teman butuh pertolongan atau sedang menghadapi masalah. Seseorang tidak perlu serius mendengarkan apabila sedang dalam percakapan santai atau obrolan sehari-hari (Covey, 2002:254).

Seringkali orang merasa bahwa ketakutan utama adalah “biacara di depan umum”. Dibutuhkan keberanian untuk bicara di depan umum, namun juga dibutuhkan keberanian untuk bicara secara umum. Berusaha memahami terlebih dahulu menuntut pertimbangan, tetapi minta dipahami menuntut keberanian. Jika seseorang meluangkan waktu untuk mendengarkan, kemungkinan orang tersebut akan didengarkan lebih baik (Covey, 2002:258-259). Di samping mendengarkan

yang buruk, seperti yang dijabarkan berikut ini:

b. Hambatan dalam Komunikasi

Menurut Anthony de Mello (1990) dalam bukunya yang berjudul “Doa Sang Katak 2” ketidakmampuan seseorang dalam mendengarkan dan memahami pesan merupakan hambatan dalam dalam komunikasi (de Mello, 1990:157-167). Hambatan tersebut terjadi antara lain karena:

1) Seringkali pendengar banyak berbicara dari pada banyak mendengarkan. Banyak yang dapat dihasilkan kalau pertama-tama orang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan

2) Pendengar seringkali ingin cepat-cepat menanggapi dan mengambil keputusan atas apa yang dibicarakan oleh si pembicara.

3) Pendengar seringkali ingin memberi tanggapan berdasarkan pengandaian dirinya sendiri.

4) Pendengar sering merasa dirinya lebih mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh orang lain.

5) Pendengar seringkali mengartikan kata-kata orang lain dengan pengertiannya sendiri, padahal belum tentu apa yang diartikannya tersebut sesuai dengan yang dimaksud oleh di pembicara.

Covey (2002) dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective Teens juga menjelaskan tentang hambatan-hambatan dalam komunikasi yang disebut dengan

sebagi berikut:

1) Mengawang-awang

Mengawang-awang adalah ketika seseorang berbicara tetapi lawan bicara tidak menggubrisnya karena pikiran lawan bicara sedang melamun atau sedang memikirkan hal lain. Orang tersebut mungkin ingin mengatakan sesuatu yang penting, tetapi lawan bicara terperangkap dalam pikirannya sendiri.

2) Pura-pura mendengarkan lebih umum lagi

Maksud dari gaya mendengarkan ini adalah ketika seseorang sedang berbicara namun lawan bicara seperti mendengarkan tetapi sesunggguhnya tidak terlalu memperhatikan orang tersebut. Contoh dari gaya mendengarkan ini yaitu lawan bicara akan melotarkan tanggapan seperti “ya sih”, “uh-huh”, “hebat”, “kedengarannya boleh juga”. Biasanya orang yang berbicara tersebut akan tahu dan merasa bahwa ia tidak cukup penting untuk didengarkan.

3) Mendengarkan secara selektif

Mendengarkan secara selektif adalah ketika lawan bicara hanya memperhatikan bagian percakapan yang menarik untuknya saja. Biasanya lawan bicara selalu akan membicarakan apa yang ingin dibicarakannya, bukan apa yang ingin dibicarakan oleh orang tersebut. Kemungkinan besar orang yang sering kali

langgeng.

4) Mendengarkan kata per kata

Mendengarkan kata per kata artinya lawan bicara sungguh-sungguh memperhatikan apa yang diucapkan, tetapi yang didengarkan hanyalah kata-kata, bukan bahasa tubuh, perasaan, atau makna sesungguhnya dibalik kata-kata itu. Akibatnya, lawan bicara melewatkan makna sesungguhnya. Jika lawan bicara hanya fokus pada kata-katanya saja, maka orang tersebut jarang bisa memahami perasaan yang lebih dalam dari lawan bicaranya.

5) Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri

Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri adalah kalau lawan bicara hanya memandang segalanya dari kacamatanya sendiri. Lawan bicara tidak mencoba menyelami perasaan orang yang sedang berbicara, tetapi lawan bicara menuntut agar orang tersebut menyelami perasaannya. Kalau lawan bicara hanya mendengarkan dari sudut pandangnya sendiri, biasanya lawan bicara akan menanggapi dengan cara-cara yang pasti membuat orang tersebut berhenti berbicara. Cara-cara tersebut antara lain:

Menghakimi, sebagai lawan bicara terkadang tanpa disadari muncul rasa ingin menghakimi (di dalam hatinya) terhadap orang yang sedang berbicara dan apa yang diucapkannya. Kalau lawan bicara sibuk menghakimi, maka tidak mungkin ia benar-benar mendengarkan. Berikut ini ilustrasi dari buku

mencerminkan sikap menghakimi:

Peter : Semalam asyik lho sama si Katherine

Karl : Oh, syukur deh. (Katherine? kok kamu mau sih kencan sama si Katherine?)

Peter : Tidak aku sangka dia begitu hebat

Karl : Oh ya? (Tuh gitu lagi deh. Semua cewek juga kamu anggap hebat)

Peter : Iya. Mungkin aku ajak dia saja deh ke pesta wisuda nanti! Karl : Aku kira kamu mau ajak Jessica. (Kamu gila ya? Jessica

kan jauh lebih cantik daripada Katherine).

Peter : Tadinya iya sih. Tetapi sekarang rasanya aku mau ajak katherine saja deh.

Karl : Silahkan deh. (Besok juga kamu berubah pikiran lagi). ( Covey, 2002:246)

Menasihati yaitu jika lawan bicara memberikan nasihat menurut pengalamannya sendiri. Misalnya ada seorang adik yang becerita kepada kakaknya tentang pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolah, kemudian sang kakak malah menceritakan bahkan membangga-banggakan dirinya ketika dulu di sekolah.

Menggali adalah ketika lawan bicara menggali perasaan-perasaan orang sebelum orang tersebut siap mengungkapkannya seolah-olah sedang mengiterogasi. Jika lawan bicara terlalu banyak tanya dan tidak terlalu menanggapai apa yang sedang orang lain bicarakan, maka hal tersebut merupakan bentuk sikap yang terlalu menggali. Terkadang orang tidak siap untuk membuka diri dan tidak mau bicara, maka lawan bicara sebaiknya belajar untuk menjadi pendengar yang baik.

Ketika seseorang sudah berusaha untuk mengerti orang lain maka kemudian akan dipahami, namun kebanyakan orang, dalam membuat presentasi, langsung menuju logos yaitu logika otak kiri atau gagasan yang mereka pikirkan bukan orang lain pikirkan. Mereka berusaha meyakinkan orang lain akan keabsahan logika atau gagasan tersebut tanpa lebih dahulu mempertimbangkan ethos dan pathos. Agar satu gagasan dapat diterima oleh orang lain tentunya sebelum membuat presentasi haruslah memperhatikan phatos yaitu melihat kemampuan diri dalam menyampaikannya dan memperhatikan ethos yaitu memperhatikan kemampuan atau kebutuhan orang yang akan diberi gagasan. Untuk dapat menyampaikan gagasan dengan jelas, spesifik, visual, dan yang paling penting adalah konstektual dengan kebutuhan orang lain maka, pertama-tama haruslah memiliki pengertian yang mendalam akan situasi si penerima gagasan tersebut (Covey, 2010:293).

Ethos ialah bagaimana seseorang berusaha membuat orang lain percaya, karena ketika orang lain percaya kepada seseorang maka akan mudah baginya mengungkapkan apa yang orang tersebut rasakan. Ethos juga berarti bagaimana seseorang mampu atau terampil dalam mengungkapkan pikirannya sehingga mudah dipahami orang lain. Pathos ialah bagaimana seseorang mampu memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan ketika ada orang lain yang bersusaha mengungkapkan isi hatinya. Sedangkan logos ialah logika.

Seseorang dapat meningkatkan hubungan yang intim dengan orang lain dengan cara berusaha mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh orang

memahami dan mendengarkan maka akan terjadi dua hal yang luar biasa. Pertama, orang menjadi pendengar tersebut akan lebih dihargai. Kedua, orang yang sedang berbicara akan merasa dipahami sehingga orang yang berbicara tersebut akan bersikap lebih fleksibel dan lebih percaya kepada orang yang mendengarkan itu (Covey, 2002:255-257).

Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Anthony de Mello (1990) dalam bukunya yang berjudul “Doa Sang Katak 1” bahwa ada empat tahapan dalam doa yaitu:

“Aku bicara, engkau mendengarkan. Engkau bicara, aku mendengarkan.

Tak ada yang bicara, keduanya mendengarkan.

Tak ada yang bicara, tak ada yang mendengarkan: Hening.” (de Mello, 1990:25)

Dari kutipan di atas Anthony de Mello tidak secara langsung memaparkan mengenai kedalaman atau nilai penting dari komunikasi, tetapi dari situ tampak bahwa nilai penting dari komunikasi adalah terciptanya suasana yang memungkinkan untuk saling terbuka dan percaya, sehingga orang kemudian menemukan, memahami, dan memaknai suatu pesan. Suatu pesan akan diterima jika salah satu pihak ada yang mendengarkan dan satu pihak menyampaikan pesan. Jika kedua pihak sama-sama berbicara tentunya tidak ada pesan yang bisa ditangkap karena keduanya sama-sama ingin didengarkan. Tetapi ketika seseorang telah mampu masuk dalam keheningan yaitu di mana orang tersebut terlibat secara penuh dengan lawan bicara maka tanpa berkata-kata pun orang tersebut akan mampu menemukan dan merasakan pesan yang ingin disampaikan.

Anthony de Mello dalam bukunya yang berjudul Doa Sang Katak 2 mengungkapkan bahwa dialog adalah jiwa suatu hubungan karena dalam dialog orang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan (de Mello, 1990:157). Dalam pengertian yang hampir sama, dialog bukan tukar-menukar pikiran semata-mata, melainkan merupakan dasar dari tiap tindakan manusia yang bijaksana yaitu melihat, menimbang dan memutuskan tindakan seefektif mungkin. Oleh karena itu dialog dalam arti sesungguhnya ialah saling menunjukkan sikap batin yang terbuka dalam soal apapun (Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:100). Dialog merupakan pengungkapan diri pribadi kepada orang lain. Dialog mengandaikan kerelaan untuk penyerahan diri kepada orang lain dan sebaliknya mau menerima orang lain. Dengan kata lain dialog adalah usaha bersama untuk saling mengerti. Untuk dapat saling mengerti maka diperlukan kemauan untuk mendengarkan dengan empatik sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.

Persoalan-persoalan yang muncul dalam keluarga biasanya diakibatkan karena kurangnya komunikasi yang baik yaitu keterbukaan, kurang keberanian untuk jujur, saling menutup diri, sombong, angkuh dan sebagainya. Dengan demikian dialog merupakan bentuk komunikasi yang ideal dalam keluarga karena dialog menekankan keterbukaan dan kepercayaan dalam berkomunikasi.

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kesulitan dalam membangun suatu komunikasi yang baik adalah keterbukaan, kepercayaan, dan sikap mau mendengarkan. Persoalan komunikasi yang seperti itu seringkali juga terjadi dalam keluarga. Persoalan dalam keluarga seringkali muncul hanya karena kurang terciptanya komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik dalam keluarga dapat dilakukan dengan mendengarkan dengan empatik. Dari sikap mau mendengarkan dengan empatik maka akan memunculkan rasa nyaman dan keterbukaan dalam komunikasi.

Dengan mengetahui dan melakukan komunikasi yang baik dan akrab dengan pasangan, pasangan akan mampu memahami, menghargai, dan menerima pasangan apa adanya. Artinya, pasangan bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan mereka tanpa mensyaratkan penyempurnaan atas kekurangan dan kelemahannya. Justru karena mengetahui ketidaksempurnaan pasangan, pasangan akan lebih mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan dan tindakan yang melukai diri mereka. Perjalanan hidup keluarga yang sarat dengan bentuk sakit dan luka hati serta kekecewaan yang terjadi, mudah diatasi secepatnya dengan rekonsiliasi dan saling mengampuni. Dengan demikian, terciptalah kebahagiaan yang dicita-citakan dalam hidup berkeluarga.

Ketika suatu komunikasi yang baik ternyata tidak tercapai di dalam sebuah keluarga maka hal penting yang perlu diingat oleh setiap anggotanya baik antara suami dan istri atau dengan orang tua dan anak ialah berdoa bersama. Doa menjembatani seseorang atau manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

keluar yang baik. Doa bersama pun merupakan sarana bagi sebuah keluarga untuk bersatu dalam iman, saling mendoakan, saling memberi berkat, dan tentunya sarana untuk secara bersama-sama berkomunikasi dengan Tuhan.

Dokumen terkait