• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Katolik yang Harmonis menurut Kitab Suci dan Ajaran Gereja

KEHARMONISAN KELUARGA KATOLIK DAN MASALAHNYA

2. Keluarga Katolik yang Harmonis menurut Kitab Suci dan Ajaran Gereja

Pada pemaparan di atas telah rinci dijelaskan pengertian dari keluarga yang harmonis dan beberapa aspek yang mempengaruhi bagi terwujudnya keluarga katolik yang harmonis. Selain teori-teori keharmonisan di atas, keluarga keluarga katolik yang harmonis juga diungkapkan dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja.

Menurut Kitab Kejadian 1:26-28 diceritakan bahwa Allah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan. Dari ungkapan tersebut menunjukkan bahwa adanya pria dan wanita adanya seksualitas (yang dimengerti sebagai kenyataan sebagai pria dan sebagai wanita). Seksualitas tersebut dikehendaki oleh Allah karena pria dan wanita diciptakan-Nya, sehingga dengan demikian seksualitas itu merupakan hal yang baik, berharga, dan suci (Purwa Hadiwardoyo, 1988:12).

Laki-laki dan perempuan kemudian diberkati oleh Allah, sehingga dengan demikian semakin menegaskan bahwa seksualitas itu berasal dari Allah dan dinilai baik oleh-Nya. (Purwa Hadiwardoyo, 1988:13).

Sedangkan berdasarkan Kitab Kejadian 2:18-25 yang menceritakan bahwa wanita diciptakan dari “tulang rusuk” pria menunjukkan bahwa secara kodrati pria dan wanita memiliki unsur kesatuan. Selanjutnya diceritakan bahwa wanita itu kemudian “dibawa” oleh Allah kepada pria. Hal tersebut mau mengungkapkan bahwa pertemuan seorang wanita dan seorang pria dalam perkawinan terjadi karena dorongan Allah sendiri (Purwa Hadiwardoyo, 1988:13).

Kitab Tobit dalam bab keenam hingga kedelapan menghisahkan bagaimana malaikat Raphael mendorong Tobias agar mengawini Sarah, putri Raguel, dan menegaskan bahwa perkawinan perlu dilaksanakan menurut hukum Musa serta dimeriahkan dengan pesta. Dalam hal ini hukum Musa dipahami sebagai hukum yang berasal dari Allah dan Allah sendirilah yang mendorong agar perkawinan dimeriahkan dengan perayaan. Dari kisah tersebut Kitab Tobit ingin

ditentukan oleh Allah sendiri, berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati, yang diawali dengan suatu peresmian hukum yang berlaku serta perayaan yang melibatkan seluruh keluarga (Purwa Hadiwardoyo, 1988:17).

Maleakhi 2:10-16 menegaskan bahwa Allah tidak berkenan atas praktek kawin campur agama dan perceraian yang dilakukan oleh orang-orang Israel. Kitab Maleakhi melihat bahwa kawin campur agama dapat merusak “perjanjian” antara Yahwe dan bangsa Israel karena perkawinan yang dilaksanakan oleh orang Israel mempunyai kaitan dengan “perjanjian” antara Yahwe dan Israel. Kitab Maleakhi juga menegaskan bahwa Allah tidak berkenan atas praktek perceraian antara suami-istri Israel. Perkawinan merupakan suatu “perjanjian” maka perceraian antara suami-istri merusak “perjanjian” yang mana Allah sendiri adalah saksi dari perjanjian itu (Purwa Hadiwardoyo , 1988:17).

Kitab Hosea 1-3 mengungkapkan makna lain dari perkawinan. Perkawinan suami-istri Israel dipandang sebagai lambang dari hubungan cinta antara Yahwe dan Israel. Yahwe meminta nabi Hosea untuk mengawini wanita sundal, untuk mewahyukan kebenaran bahwa Yahwe telah “mengawini” Israel, walaupun Israel sama sekali tidak pantas menerima kedudukan istimewa itu. Seperti istri Hosea yang kurang setia kepada “suami”nya yang begitu setia, Yahwe tetap setia kepada bangsa Israel meskipun bangsa Israel tidak setia kepada Allah yaitu menyembah dewa-dewi bangsa-bangsa kafir. Penyembahan berhala merupakan bentuk melawan kesetiaan kepada Allah. Begitu pula perzinahan berarti melawan kesetiaan kepada suami (Purwa Hadiwardoyo , 1988:19).

kesetiaan kepada Allah dilukiskan secara lebih terperinci dalam seluruh Kitab Kidung Agung. Dalam Kitab Kidung Agung kemesraan sebagai suami-istri tampak sangat jelas antara lain tampak dalam bab pertama di mana mempelai perempuan memuji mempelai pria yang dicintainya dengan sepenuh hati. Dalam bab berikutnya tampak bagaimana mempelai perempuan menyebut mempelai pria sebagai “milik”nya yang ditunjukkan dengan sikap takut akan kehilangan. Sikap mempelai perempuan tersebut ditanggapi oleh mempelai pria dengan menyebut mempelai perempuan sebagai “kegembiraan”nya. Secara keseluruhan Kitab Kidung Agung ingin menyampaikan segi-segi manusiawi dari cinta antara pria dan wanita yang siap menjadi suami-istri. Dengan demikian dari Kitab Kidung Agung ini memberikan pesan yaitu perkawinan harus didasarkan pada cinta yang kuat, dan perkawinan harus menyatukan suami-istri seerat mungkin, serta membangun kebahagiaan bagi keduanya (Purwa Hadiwardoyo , 1988:19).

Kitab Amsal memberi pesan lain bagi kehidupan keluarga. Amsal bab 5-6 memberi pesan kepada suami bahwa suami harus menjauhi wanita-wanita selain istrinya sendiri. Suami juga dihimbau untuk untuk tidak membiarkan istrinya berhubungan cinta dengan pria lain. Pernyataan bijak tersebut ingin menunjukan bahwa perkawinan berciri “eksklusif”, terutama dalam hal hubungan seksual sebagai ungkapan cinta suami suami-istri yang paling khas. Amsal menghubungkan ketidaksetiaan suami-istri dengan dosa yang berarti bahwa “eksklusivitas” cinta suami-istri merupakan kehendak Allah sendiri. Dalam bab 31, Amsal menunjukkan gambaran dari seorang istri yang baik. Seorang istri yang

bekerja keras, bersedia membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, dan takut akan Allah. Amsal ingin menegaskan bahwa cinta suami-istri tidak hanya menyangkut kemesraan dan hubungan seksual, melainkan juga menyangkut kebersamaan hidup sehari-hari (Purwa Hadiwardoyo , 1988:21).

Perjanjian Baru khususnya Matius 19:1-12 berbicara langsung mengenai masalah perceraian, dan secara tidak langsung bagian tersebut juga memperlihatkan pandangan Yesus tentang hakikat perkawinan. Menurut Yesus, perkawinan sebetulnya dipersatukan oleh Allah sendiri. Dialah yang menyatukan pria dan wanita sedemikian erat, sehingga keduanya menjadi “satu daging” saja (Purwa Hadiwardoyo , 1988:22).

Santo Paulus dalam Efesus 5:21-33 menegaskan bahwa hubungan suami-istri kristen harus dilaksanakan menurut hubungan antara Kristus dan Gereja. Seperti Kristus mencintai Gereja, demikianlah seorang suami kristen harus mencintai istrinya. Seperti Gereja menaati Kristus sebagai Kepalanya, demikian seorang istri kristen harus menaati suaminya. Dengan pernyataan itu Santo Paulus menunjukkan ciri “sakramentalis” dari perkawinan kristen, walaupun dalam arti yang amat luas, yakni bahwa perkawinan kristen merupakan “lambang” dari hubungan Kristus dan Gereja (Purwa Hadiwardoyo , 1988:24).

Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus yaitu pada bab 7 menegaskan bahwa suami istri harus menghindarkan diri dari godaan untuk berhubungan seksual dengan orang lain karena tubuh suami adalah milik istri dan tubuh istri adalah milik suami. Dengan demikian hakikat perkawinan yang ingin

antara seorang pria dan seorang wanita, yang memberikan kepada keduanya hak prerogatif atas hubungan seksual dengan partnernya, dan menjauhkan keduanya dari bahaya percabulan (Purwa Hadiwardoyo , 1988:26).

Dari uraian mengenai ajaran Kitab Suci di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hidup keluarga merupakan panggilan dari Allah sendiri. Allah yang mempersatukan seorang pria dan wanita untuk hidup dalam kesatuan cinta kasih. Oleh karena itu keluarga merupakan ikatan persekutuan suci yang diberkati dan dikehendaki oleh Allah. Suami-istri memiliki kewajiban untuk mengupayakan keutuhan hidup bersama itu dengan dituntut suatu kesetiaan. Keutuhan dan kebahagiaan dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak keharmonisan keluarga Katolik.

b. Keharmonisan Keluarga Katolik Menurut Dokumen Gereja

Hidup berkeluarga mendapat pembahasan penting dalam Konsili Vatikan II, seperti yang ditulis dalam Gaudium et Spes (GS). Gaudium et Spes khususnya artikel 47. Dalam GS 47, konsili melihat adanya tanda-tanda jaman yang dapat merusak kesucian perkawinan dan keutuhan keluarga. Konsili mengingatkan bahwa persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Pria dan wanita yang karena janji pernikahan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), hendaknya saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antar pribadi

dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami-istri yang sepenuhnya dan mengupayakan agar tidak kesatuan tersebut tak terceraikan (GS.47).

Yohanes Paulus II dalam Amanat Apostolik “Familiaris Consortio” dalam artikel 19 mengingatkan bahwa persatuan suami-istri berakar dalam kodrat saling melengkapi yang ada antara pria dan wanita, dan dikembangkan dengan kesediaan pribadi suami-istri untuk saling mengambil bagian dalam seluruh proyek hidup mereka, untuk saling membagi segala milik dan keberadaan mereka: maka persatuan seperti itu merupakan buah dan tanda dari kebutuhan yang sungguh bersifat manusiawi (Seri Bina Keluarga, 1994:42). Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa perkawinan sebagai pemberian diri timbal balik, persatuan mesra, maupun kesejahteraan anak-anak mewajibkan suami-istri untuk setia seutuh-utuhnya dan menuntut adanya kesatuan yang tak terceraikan antara mereka (Seri Bina Keluarga, 1994:43). Dari amanat Yohanes Paulus II ini tampak bahwa kebahagiaan keluarga terletak pada persatuan dan kesetiaan suami-isrti. Kesatuan dan kesetiaan yang terbangun akan membawa keluarga pada kekuatan untuk mewujudkan tujuan-tujuan perkawinan katolik yang membahagiakan.

Dokumen terkait