atau mustahik sesuai dengan ketentuan zakat. Zakat dapat dipandang berdayaguna jika dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pemenuhan kebutuhan
PENDAYAGUNAAN ZAKAT PADA BERBAGAI PENGELOLA ZAKAT DI
A. Aspek Kelembagaan dan Sumber ‐ Sumber Pendanaan serta Pelaksanaan Program
Bab ini akan memberikan penjelasan tentang Badan Amil Zakat Nasional baik
dari aspek kelembagaan, sumber‐sumber pendapatan dan pelaksanaan program.
Sebagai objek penelitian maka, bab ini diharapkan memberikan gambaran secara umum
Badan Amil Zakat Nasional karena akan menjadi landasan dalam memahami lanjut
kiprah pendayagunaan zakat .
Untuk menambah wawasan mengenai pengelolaan zakat khususnya dari aspek
pendayagunaan zakat di Indonesia, baik yang dilakukan oleh badan amil zakat daerah,
maupun lembaga amil zakat lainnya, maka dijelaskan BAZIS DKI Jakarta dan BAZDA
Provinsi Banten yang dipandang mewakili badan amil zakat daerah tingkat provinsi.
Kedua Badan ini, walaupun memililiki persamaan dari sisi status, yakni sebagai badan
dalam tingat provinsi, namun mempunyai karakteristi yang berbeda. BAZIS DKI Jakarta,
dipandang sebagai badan perintis karena kehadirannya lebih awal awal di Indonesia di
banding dengan badan lainnya dan bahkan sebelum UU No. 38/1999. Sedangkan BAZDA
Banten merupakan badan yang lahir pasca UU dimaksud.
Lembaga amil zakat yang dikemukakan yakni Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
dan Dompet Dhuafa Republika (DDR). Kedua lembaga ini merupakan lembaga amil zakat
tingkat nasional. Pemilihan kedua pengelola zakat dipandang mewakili lembaga aml
lainnya, karena keduanya secara sosiologis relatif diterima oleh masyarakat sebagai
lembaga pengelola zakat yang transparan dan kredibel.
A. Aspek Kelembagaan dan Sumber‐Sumber Pendanaan serta Pelaksanaan Program
Badan Amil Zakat Nasional 1. Aspek Kelembagaan
Kehadiran Badan Amil Zakat Nasional yang disingkat BAZNAS, tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan perzakatan di Indonesia, khususnya terhadap
keterlibatan pemerintah. Pernyataan ini didasarkan pada pertimbangan: a. Secara
kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dibentuk oleh Pemerintah dalam hal ini
Prsiden RI dan merupakan penjabaran UU. No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat; b.
Sebagai lembaga zakat, badan ini tidak dapat dilepaskan dari sisi perkembangan
kebijakan pemerintah terhadap umat Islam.
Pertama, sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah. Badan Amil Zakat
Nasional didirikan berdasarkan surat kepuusan Presiden RI No No. 8 tahun 2001
tertanggal 17 Januari 2001 yang waktu itu ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman
Wahid. Surat keputusan ini merupakan penjabaran UU. No. 38 /1999 tentang
Pengelolaan Zakat dalam diktum huruf (b) surat keputusan itu, disebutkan ”bahwa
Undang‐Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolalan Zakat mengamatkan untuk
membentuk Badan Amil Zakat Nasional yang pelaksanannya dilakukan presiden.” Kedua, keterkaitan Badan Amil Zakat Nasional dengan kebijakan pemerintah
Badan Amil Zakat Nasional, dapat dikatakan sebagai puncak dari akomodir kebijakan
pemerintah terhadap pengelolaan zakat di Indonesia. Dalam sejarah perzakatan di
Indonesia, campur tangan pemerintah sangat kuat. Menurut Daud, zaman penjajahan
Belanda, langkah pertama yang diambilnya dengan mengeluarkan Biljblad nomor 1892
tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijakan pemeritah Belanda tentang pengelolalan
zakat. Kebijakan ini bertujuan untuk membatasai gerak pengelola zakat yakni agar dana
zakat tidak diselewengkan oleh pengelola zakat dan kemudian imam/penghulu
dipekerjakan untuk mengelola administrasi keuangan kolonial, tetapi tidak diberi gaji
dan tunjangan untuk membiayai kehidupan keluarga mereka. Sebelumnya, dana zakat
dimanfaatkan untuk kepentingan fi sabilillah yang merupakan bagian kelompok salah
satu mustahik, karena dana ini dipergunakan untuk menentang penjajahan.214
Tahun 1905 kolonial Belanda mengeluarkan Bijblad Nomor 6200 tanggal 28
Nopember, yang intinya adalah melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi
pribumi untuk tidak ikut serta membantu pelaksanaan zakat.215 Tahun 1959 menteri
keuangan RI. Memiliki gagasan dalam sebuah makalah untuk memasukkan zakat
sebagai salah satu komponen sistem perekonomian keuangan Indonesia, dan
214
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: UI Pres, 1988), h. 32-33. 215
pandangan yang sama juga pada kalangan anggota perlemen (DPRS) menginginkan agar
zakat diatur dengan peraturan perundang‐undangan dan diurus oleh pemeritah atau
negara.216
Tahun 1967 Pemerintah RI., dalam hal ini Menteri Agama telah menyiapkan
rancangan UU Zakat yang diajukan kepada pimpinan DPGR dengan surat Menteri Agama
Nomor MA/ 095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Dalam surat itu Menteri Agama antara lain
menyatakan: “Mengenai rancangan undang‐undang zakat pada prinsipnya, oleh karena
materinya mengenai hukum Islam yang berlaku bagi agama Islam, maka diatur dengan
undang‐undang, ketentuan hukum Islam tersebut harus berlaku bagi Umat Islam, dalam
hal mana Pemerintah wajib membantunya. Namun demikian Pemerintah berkewajiban
moril untuk meningkatkan manfaat dari pada penduduk Indonesia, maka inilah perlunya
diatur dalam undang‐undang.”217
Berkaitan dengan rancangan UU Zakat itu, Menteri Agama mengirimkan juga
kepada Menteri Sosial dan Menteri Keuangan, dengan surat Nomor MA/099/67 tanggal
14 Juli 1967. dalam surat Menteri Agama itu, Menteri Sosial diharapkan memberikan
pendapat berupa saran dan tanggapan, karena zakat dilihat dari sisi penggunaannya juga
untuk kepentingan dan tujuan sosial. Hal yang sama juga Menteri Agama
mengharapkan Menteri Keuangan karena departemen ini mempunyai pengalaman dan
wewenang dalam bidang pemungutan. Menteri yang terkahir ini menjawab dengan
surat Nomor D. 15‐1‐5‐25, agar masalah zakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Agama.218
Tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1968 (PMA)
tentang Pembentukan Badan Amil Zakat. Pada tahun yang sama dikeluarkan PMA
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal. Baitul Mal yang dimaksud ini
berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. Kedua PMA ini memiliki ikaitan yang erat dan
Baitul Mal inilah yang menampung dan menerima zakat yang disetorkan oleh Badan
Amil Zakat seper dimaksud PMA Nomor 4 Tahun 1968.219
216
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 35. 217
Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, 2002), h. 285.
218
Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 285 219
Belum berselang lama pelaksanaan PMA di atas, keluarlah anjuran Presiden
Soeharto dalam peringatan Isra’ Mi’raj tanggal 22 Oktober 1968 di Istana Negara
tentang pelaksanan zakat. Presiden dalam pidatonya, menganjurkan terwujudnya
pengelolaan zakat secara sistimatis dan terorganisir. Secara pribadi
Presiden menyatakan diri bersedia menjadi amil zakat tingkat nasional.220
Masih dalam tahun yang sama, Presiden mengeluarkan Surat Perintah Nomor
07/PRIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968 dan menugaskan kepada Mayjen TNI
Alamsyah Ratuprawiranegara, Kol. Azwar Hamid dan Kol. Ali Affandi untuk membantu
dalam pelaksanaan seruan Presiden pada peringatan isra mi’raj. Seruan dan dorongan
itu dikumandangkan kembali oleh Presiden pada sambutan pelaksanaan shalat Idul Fitri
21 Desember 1968 di halaman Istana Negara.221
Tahun 1969 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969 tentang
Penundaan Peraturan Menteri Nomor 4 dan 5 Tahun 1968, sebagai akibat
dikeluarkannya anjuran dan Surat Perintah Presiden RI Nomor 07/PRIN/10/1968 tanggal
31 Oktober 1968. Pada tahun ini pula dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44
tertanggal 21 Mei 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang
diketuai oleh Menko Kesra KH. Idham Chalid. Tahun 1969 Menteri Agama mengeluarkan
seruan Nomor 3 Tahun 1969, yang bermaksud agar mengirimkan hasil pengumpulan
uang zakat kepada Jenderal Soeharto Presiden RI melalui rekening Giro Pos Nomor A.
10.00.222
Tahun 1989 telah dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 Tahun tanggal
12 Desember 1989, tentang Pembinaan Zakat, Infaq dan Shadaqah. Instruksi ini
menetapkan seluruh jajaran Departemen Agama (KANWIL, KANDEPAG, KUA) membantu
lembaga‐lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah
agar menggunakan uang hasil pengelolaannya untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain‐
lain.223
Tahun 1991 telah dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri dalam Negeri dan
Menteri Agama RI Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat,
220
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 37. 221
Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 286 222
Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 286 223
Infaq dan Sedekah. Keputusan bersama ini ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri
Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat,
Infaq dan Sedekah. Selain itu terdapat Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun
1989 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah.224
Tahun 1999 telah disahkan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Sebagai tindak lanjut UU ini Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 581
Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
dan sebagai petunjuk teknis telah dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat.
Tahun 2000 telah disahkan UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ke ga
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang di antaranya mengatur
tentang pembayaran zakat yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak.
Dilihat dari uraian kronologis terhadap peraturan perundang‐undangan
mengenai pengelolaan zakat di Indonesia dalam kaitannya dengan Badan Amil Zakat
Nasional, terdapat dua hal yang perlu dikemukakan: a. Badan Amil, bukan merupakan
istilah baru dalam dunia perzakatan di Indonesia. Terbuk tahun 1968 dikeluarkan
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1968 (PMA) tentang Pembentukan Badan
Amil Zakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pidato Presiden Soeharto pada
peringatan Isra’ Mi’raj kemudian menjadi pendorong terwujudnya Badan Amil Zakat
pada berbagai provinsi dan dipelopori oleh Pemerintah DKI Jakarta. Istilah ini kemudian
menjadi nama bagi sejumlah pengelola zakat di berbagai provinsi di Indonesia. Pada
tahun 1968 terbentuklah Bazis DKI Jakarta, 1972 Kalimantan Timur, 1973 Sumatera
Barat, 1974 Jawa Barat, 1975 Baz Provinsi Aceh, 1977 Kalimantan Selatan, 1985
Sulawesi Selatan. Menurut Daud Ali, Badan yang terbentuk itu, memiliki nama yang
berbeda‐beda namun pada dasarnya mengambil nama Baz, Bazis, Bazid (Badan Amil
Zakat dan Derma).225
b. Perkembangan Kelembagaan, Visi dan Misi Badan Amil Zakat Nasional 1) Perkembangan Kelembagaan
224
Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 286 225
Dilihat dari sisi perkembangan Baznas, maka secara organisatoris telah dua kali
mengalami pergantian kepengurusan. Yaitu periode I, 2001‐2004 ketua umum badan
pelaksanan, oleh Ahmad Subiyanto dan periode II, 2004‐2007 ketua umum badan
pelaksananya, oleh Didin Hafidhuddin Ma’turidi. 2). Visi dan Misi
Visi organisasi: ”Menjadi pusat zakat nasional yang memiliki peran dan posisi
yang sangat strategis di dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui pengelolaan zakat nasional yang
amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan syari’at Islam”.226
Dalam visi ini mengandung arah organisasi yaitu Badan Amil Zakat Nasional
selain melakukan kegiatan pengelolaan zakat juga ingin beperan lebih besar dalam
penbangunan bangsa. Dengan kata lain, eksistensi Badan Amil Zakat Nasional tidak
hanya sekedar melakukan fungsi konvensional yakni memenej pengelolaan zakat yang
merupakan tugas utama tetapi juga ingin mengambil peran yang lebih luas dalam
pembangunan bangsa, yaitu peningkatan kesejahteran masyarakat.
Misi yang dibangun Badan Amil Zakat Nasional yaitu:
Meningkatkan kesadaran umat untuk berzakat melalui amil zakat, sekaligus
mengarahkan dan membimbing masyarakat untuk dapat mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan sosial.
a) Menjadi regulator zakat nasional
b) Menjadi koordinator badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat, melalaui
upaya sinergi yang efektif
c) Menjadi pusat data zakat nasional
d) Menjadi pusat pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia zakat
nasional.227
c. Aspek Karakteristik
226
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 17. 227
Yang dimaksud dengan karakteristik Badan Amil Zakat Nasional adalah ciri‐ciri
yang dimiliki oleh lembaga ini yang membedakannya dengan lembaga pengelola zakat
lainnya. Karakteritik itu meliputi : Pertama, sisi dukungan yuridis formal. Dari sisi
dukungan yuridis formal, yang kehadirannya didukung oleh UU NO. 38/1999 tentang
Pengelolalan Zakat dan peraturan lainnya setingkat menteri, serta Kepres, menunjukkan
bahwa Badan Amil Zakat Nasional secara politis memiliki posisi yang sangat strategis.
Posisi ini secara yuridis formal, sebanding dengan badan‐badan dan lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah, seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kedua, sisi peran lembaga. Dengan
dukungan yuridis formal, maka peran Badan Amil Zakat Nasional akan memberikan
karakteristik tersendiri dibanding dengan pengelola zakat lainnya. Dengan begitu Badan
Amil Zakat Nasional telah menetapkan peran‐peran strategis di antaranya sebagai
kordinator pengelola zakat tingkat nasional bagi pengelola zakat. Ketiga, Dukungan
politis. Keterlibatan presiden baik dalam berbagai forum yang diadakan oleh Badan Amil
Zakat Nasional memberikan bukti bahwa secara politis kepala negara telah memberikan
perhatian yang cukup signifikan bagi pengembangan Badan Amil Zakat Nasional.
Keterlibatan presiden pada kegiatan yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional di
antaranya, pencanngan gerakan sadar zakat oleh presiden,228 penyerahan zakat pribadi
presiden kepada Badan Amil Zakat Nasional dan sejumlah pejabat negera.229 2. Sumber‐Sumber Penghimpunan Dana Badan Amil Zakat Nasional
Sumber‐sumber penghimpunan dana Badan Amil Zakat Nasional meliputi:
zakat, infak, sedekah, program kerjasama, infak operasional serta subsidi Departemen
Agama
Tabel 1: Penerimaan Badan Amil Zakat Nasional Tahun 2005‐2006 Pemasukan 2005 2006 Zakat 2.540.588.847 4.825.501.587 228
Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah Terima, h. 4.
229
Infak 704.608.282 1.924.976.510
Infak Muqayyad 27.885.238.113 11.122.185.490
Infak Pemerintah 100.000.000 1.550.000.000
Infak Operasional 180.845.000 490.303.000
Jumlah 31.411.280.242 19.912.966.587
Sumber: Data Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2007
Dalam tabel di atas tentang penerimaan Badan Amil Zakat Nasional untuk tahun
2005‐2006 dalam setiap sektor relatif mengalami perbedaan. Untuk sektor zakat pada
2006 dimaksud telah mengalami peningkatan penerimaan. Khusus pengaruh musibah
tsunami 2005 yang telah melanda kawasan Aceh telah mengetuk banyak pihak untuk
menyalurkan infaknya guna membantu korban tsunami. BUMN Peduli, UPZ dan
lembaga‐lembaga lainnya mempercayakan penyalurannya melalui Baznas, sehingga
pengumpulan infak muqayyadah di tahun 2005 melonjak dibandingkan tahun sebelum
dan sesudahnya. Pengaruh gempa di Yogya tahun 2006, memberikan pengaruh besar
juga bagi pengumpulan infak muqayyadah. Tahun 2007 musibah banjir yang melanda
sejumlah daerah, tetapi tidak terlalu memberikan pengaruh yang besar bagi
pengumpulan infak muqayyadah.230
Untuk pemasukan dari pos infak, biasanya dilakukan oleh perorangan dan
diserahkan kepada Badan Amil Zakat Nasional tanpa menyebut sasaran peruntukannya
secara khusus. Waktu penyerahan dana infak ke Badan Amil Zakat Nasional biasanya
diinfakkan pada saat muzaki membayar zakat.231
Infak pemerintah merupakan subsidi Departemen Agama, dan hal ini
perwujudan UU NO. 33/1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang menetapkan bahwa
(pasal 23) ”Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana
230
Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, 2007, h. 6. 231
Wawancara Pibadi dengan Ahmad Sholeh, Staf Divisi Pengumpulan Pengurus Pelaksana Harian BAZNAS, Jakarta, 21 September 2007.
dimaksud dalam pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil
zakat.” Secara subtan f, pasal ini dijabarkan oleh Kepres No. 8/2001 tentang Badan Amil
Zakat Nasional, pasal 17 ”Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas
Badan Amil Zakat Nasional dibebankan pada Anggaran Departemen Agama.”
3. Pelaksanaan Program Badan Amil Zakat Nasional
a. Penanggulangan Sektor Bencana
Dalam pelaksanaan program Badan Amil Zakat Nasional dilihat dari sisi
pelaksana, maka menganut tiga pola. Pertama, pola kemitraan eksternal, yaitu suatu
program yang dikerjakan oleh Badan Amil Zakat Nasional dengan mitra lembaga lain,
misalnya, BUMN atau Forum zakat. Dalam prakteknya, sebelum program dilakukan,
Badan Amil Zakat Nasional membuat proposal program dan kemudian diajukan kepada
lembaga tertentu untuk diajak bermitra. Kedua, Badan Amil Zakat Nasional sebagai
pelaksana tunggal. Yaitu suatu program, Badan Amil Zakat Nasional sebagai inisiator dan
juga sebagai pelaksana.232
Dilihat dari sisi bentuk program, meliputi. Pertama, kemanusiaan. Yang
dimaksud dengan program kemanusiaan menurut Badan Amil Zakat Nasional adalah
pemberian bantuan untuk meringankan masyarakat yang terkena bencana seperti
seperti evakuasi, penyediaan logistik, pelayanan kesehatan dan rehabilitasi tempat.
Juga bantuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan asasi masyarakat.233 Dilihat
dari sisi objeknya, bantuan ini ditujukan untuk masyarakat
yang terkena musibah, maupun masyarakat yang tidak dilanda bencana tetapi
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Dalam tahun 2006,
Badan Amil Zakat Nasional telah melakukan bantuan kemanusian pada berbagai tempat
di Indonesia
1). Gempa Bumi Yogyakarta dan sekitarnya
Gempa yang terjadi 27 Mei 2006 di Yogyakarta telah memberikan dampak
negatif bagi kehidupan masyarakat setempat. Badan Amil Zakat Nasional telah
melakukan program kemanusiaan meliputi pemberian kebutuhan pokok, pemasangan
232
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007.
233
tenda darurat, mendatangkan guru bantu, siraman rohani di Dusun Dahrono Kab.
Bantul.234 Sedang di Wonokromo, Badan Amil Zakat Nasional bekerjasama dengan PT.
Permodalan Nasional Madani (PNM) telah menyalurkan bantuan berupa penyediaan
sekolah tenda dan fasilitasnya untuk menggan kan 6 lokal kelas yang hancur. Konstruksi
bangunan berupa, material kayu meranti, atap seng dengan dinding ethernik telah
dibangun dalam waktu lima hari dengan dukungan 20 pekerja lokal.235 2). Banjir Bandang di Sinjai
Pada tanggal 20 Juni 2006, terjadi bencana tanah longsor pada tujuh kecamatan
di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Korban bencana ini menelan rumah penduduk,
sarana pendidikan, korban jiwa, ratusan hektar. Terdapat lima kecamatan yang terkena
musibah yaitu: Kecamatan Sinjai Utara, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, Sinjai Timur,
Tellulimpoe. Tim kemanusiaan Badan Amil Zakat Nasional melakukan pendistribusian
logistik, pelayanan kesehatan. Selain bersifat pelayanan, tim Badan Amil Zakat Nasional
juga melakukan kegiatan pengkordinasian antar lembaga pengelola zakat dan lembaga
swadaya masyarakat, guna distribusi bantuan dan pelayanan yang efektif.236 3). Gempa Pangandaran
Tahun 2006 telah terjadi gempa yang diiringi dengan tsunami di Desa
Sindangwangi, Desa Bukit Babakan serta 7 k pada Kecamatan Pangandaran serta
sepanjang pantai selatan Jawa, Ciamais, Cilacap, Garut, Tasikmalaya, Kebumen, Bantul
dan Gunung Kidul. Tim kemanusiaan Badan Amil Zakat Nasional telah memberikan
bantuan kepada korban gempa di Desa Sindangwangi, Desa Bukit Babakan, Cimeret,
Parigi, Sidomulyo, Silujang, Kalipulang dan Legok
Jawa. Bantuan diberikan berupa layanan kesehatan.237 4). Pelayanan Gizi Anak Gunung Sitoli
Pulau Nias di Provinsi Sumatera Utara, merupakan daerah yang terkena bencana
tsunami pada tahun 2004 dan 2005. Pasca tsunami, kehidupan sosial ekonomi pada
lokasi dimaksud sangat memperihatinkan. Tim Badan Amil Zakat Nasional melakukan
234
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 37. 235
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 36. 236
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 38. 237
pemberian bantuan dengan kerjasama Islamic Develompment Bank (IDB). Bantuan yang
diberikan berupa membagikan makanan tambahan untuk anak usia 12 tahun sebanyak
2.409 anak di 16 desa di Kecamatan Sunung Sitoli.238 5). Bingkisan Lebaran
Pada tahun 2006 Badan Amil Zakat Nasional melakukan program kemanusiaan
dengan nama kegiatan “bingkisan lebaran ceria”. Kegiatan ini bertujuan untuk
meringankan beban kehidupan para duafa serta dai agar mereka dapat menyambut hari
lebaran dengan kegembiraan. Untuk itu, tim Badan Amil Zakat Nasional tahun 2006
membagikan 10.000 paket sembako kepada mereka di daerah terpencil pada 33
provinsi di seluruh Indonesia.239
Untuk sektor kemanusiaan sebagaimana terlihat dalam tabel delapan (8) bahwa
pada tahun 2006 dilihat dari sisi sebab bantuan pada dasarnya ada dua yaitu, untuk
meringankan beban korban bencana alam dan kelompok miskin yang tidak terkena
bencana alam.
b. Sektor Ekonomi Produktif
1). Pemberdayaan Perempuan Danau Maninjau
Badan Amil Zakat Nasional bekerjasama dengan Korps Perempuan Dakwah
Islamiyah (KPMD) yang telah diserifikasi menjadi unit salur zakat dan bertindak sebagai
lembaga pendamping. Bentuk perekonomian yaitu kaum perempuan melakukan
penangkapan ikan, pengolahan dan pengemasan. Selanjutnya, ikan‐ikan itu dipasarkan
ke toko‐toko yang menjual makanan khas daerah yang telah diorganisir oleh koperasi.240
Program ini berlangsung di Nagari Jorang Sasar, Kec. Tanjung Kab. Agam
Sumatera Barat, yang pelaksana program merupakan mustahik yang memperoleh dana
238
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 40. 239
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 41. Menurut Fuad, bencana mengantar seseorang untuk mencapai sesuatu, namun dalam kenyataannya terdapat juga mustahik yang tidak dilanda bencana tetapi mengalami kesulitan dalam melaksanakan ”ibadah” dan aktifitas lainnya. Bagi BAZNAS,kedua model ini diberikan bantuuan kemanusiaan. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007..
240
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 42. Program ini mendorong perempuan untuk berusaha secara ekonomi dan tetap memperhatikan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007..
zakat. Laba bersih menjadi milik mustahik yang sebelumnya dibayar 10 % kepada
pendamping (KPMDI). Selanjutnya, dana bantuan yang kembali, akan digulirkan oleh
Badan Amil Zakat Nasional kepada mustahik yang lain melalui program yang sama.
Dalam pelaksanaannya, program ini telah dievaluasi oleh Badan Amil Zakat Nasional
pertiga bulan.241
2) Pemberdayaan Peternak Domba Cililin
Program ini merupakan upaya peningkatan kehidupan ekonomi wali santri yang
hidup dalam kelompok mustahik melalui kerjasama Badan Amil Zakat Nasional dengan
Pondok Pesantren Dâr al‐Najâh Cipining Bogor. Proyek ini melibakan Pondok Pesantren
sebagai penanggungjawab dan pendamping dengan tugas antara lain memilih wali
santri yang dipandang layak sebaga calon pekerja; mengawasi jalannya proyek; sedang
wali santri bertindak sebagai pekerja yakni pemelihara kambing dan Badan Amil Zakat
Nasional sebagai penyedia kambing.242 Pola pembagian hasil dilakukan dengan cara: (a)
Pengembalian modal awal (berupa harga kambing) ke pihak pendamping; (b) Hasil
penjualan induk itu yang berumur pemeliharaan empat semester, akan dibagi dua
dengan pendamping dan pekerja (mustahik); (c) Pendamping dan pekerja (mustahik)
memperoleh masing‐masing lima puluh prosen dari hasil penjualan anak kambing; (d)