PENDAYAGUNAAN ZAKAT PADA
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL DALAM MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN UMAT
Disertasi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Doktor Ilmu Agama Islam
Oleh
HAMZAH
NIM: 02.3 00.1.08.01.0067
Promotor:
PROF. DR. KH. DIDIN HAFIDHUDDIN MA
’
TURIDI, MS.
DR. HJ. USWATUN HASANAH, MA.
TIM PENGUJI:
PROF. DR. M. ATHO
’
MUDZHAR, MSPD.
DR. IR. MUSLIMIN NASUTION, APU.
PROF. DR. ABD HAMID, MS.
DR. FUAD JABALI, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Dengan Rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan disertasi yang
berjudul PENDAYAGUNAN ZAKAT PADA BADAN AMIL ZAKAT
NASIONAL DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT untuk
memenuhi sebahagian syarat dalam menyelesaikan studi Program Doktor pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salam dan taslim, semoga tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW dan orang-orang yang mengikuti petunjuk agam Islam.
Berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam proses pendidikan penulis
dan termasuk dalam rangka mewujudkan karya ilmiah ini. Karena itu, kepada
mereka, sangat layak, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setiggi-tingginya.
1.
Bapak Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, MS. dan Ibu Dr. Hj.
Uswatun Hasanah, MA. yang keduanya merupakan promotor yang telah
mendampingi secara keilmuan dengan perhatian yang cukup besar, sejak
penulis ujian proposal sampai pada penyusunan disertasi dan ujian
pendahuluan, serta melakukan koreksi, arahan dan dorongan semangat.
Bapak-bapak penguji, Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD., Dr. Ir. Muslimin
Nasution, APU., Prof. Dr. Abd. Hamid, MS., Dr. Fuad Jabali, MA. yang
telah memberikan koreksi, perbaikan, arahan, dorongan semangat serta
kesediaan mereka menyiapkan waktu sehngga penulis dapat dengan tenang
dan bersemangat melakukan perbaikan terhadap disertasi ini.
2.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Kamaruddin
Hidayat, MA., yang ketika penulis sedang mengikuti pendidikan S3 menjabat
sebagai Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidyatullah Jakarta
sampai dengan tahun 2006.
3.
Direktur Sekolah Pascasarjana, Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.,
ketika penulis masuk pendidikan jenjang S3 tahun 2002 menjabat sebagai
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mempertegas arah
pengembangan almamater ini sebagai institusi pendidikan keislaman dengan
karakteristik kedalaman metodologis.
5.
Rektor UIN Alauddin Makassar, Bapak Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, MA. dan
para Pembantu Rektor yang telah memberi dukungan sepenuhnya dalam
mengikuti pendidikan S3 di UIN Jakarta.
6.
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Bapak Dr. H.
Baso Midong, MA. (Dekan lama) dan Bapak Drs. H. Lomba Sultan, MA
(Dekan Lama) Dr. H. Ambo Asse, M.Ag (Dekan Baru) yang banyak
memberikan bantuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3.
7.
Bapak Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar MA. dan Bapak Prof. Dr. H. Ahmad
Thib Raya, MA. yang keduanya telah memberikan dorongan moril kepada
penulis selama mengikuti pendidikan S3.
8.
Para dosen dan guru besar Sekolah Pascararjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mewakafkan ilmunya kepada penulis.
9.
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Bapak Prof. Dr. KH.
Didin Hafidhuddin Ma’turidi, MS. beserta jajarannya yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta mendorong para
pengurus lainnya menyiapkan waktu untuk mengadakan wawancara dengan
penulis.
10.
Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet Dhuafa Republika (DDR)
Bapak Yuli Pujihardi, beserta jajarannya, Bapak Drs. H. Hamri HAS. (Ketua
BAZDA Provinsi Kalimantan Timur) beserta jajarannya, Bapak Prof. Dr. H.
Suparman Usman (Ketua BAZDA Provinsi Banten) beserta jajarannya,
Bapak April Purwanto (Devisi Pendayagunaan Zakat BAZDA DI
Yogyakarta), Bapak HM. Kasim (Sekretaris Baitul Mal Provinsi Nanggro
Aceh Darussalam), Bapak Oki (Staf Adm.BAZDA Provinsi Jawa Tengah)
yang kesemuanya telah memberikan kesempatan kepada penulis mengadakan
wawancara dan pengumpan data pada Lembaga Amil Zakat Nasional dan
Badan Amil Zakat Provinsi dimaksud.
11.
Kepala Perpusataan UI di Depok dan di Salemba khususnya Program Kajian
Timur Tengah juga Kepala Perpustakaan Iman Jama, yang kesemuanya telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menelaah literatur yang
dibutuhkan.
12.
Kedua orang tua penulis H. Hasan dan Hj. Haeriah yang telah mendoakan,
mengasuh, mendidik dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat
memasuki pendidikan S3 dan dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini.
Selanjutnya, ayahanda dan ibu mertua H. Kuddus dan Hj. Dian yang telah
memberikan dukungan moril sehingga penulis dapat dengan tenang dan
terkonsentrasi dalam mengikuti program ini.
13.
Tidak lupa, kepada adinda Hamka Hasan, Lc. MA dan Haniah Hamka Hasan
Lc. M.Pd. serta adik Umrah Hasan MA. yang telah banyak memberikan
bantuan moril dan materil khususnya pada tahap-tahap awal penulis
mengikuti pendidikan ini. Juga kepada kakanda Hj. Rusnah, H. Bakri, adinda
Jumiati Kuddus, Hasbiah, S.Pd., Lukman, yang telah memberikan bantuan
moril dan materil, khususnya kepada kemanakan mereka yang secara biologis
anak penulis, selama mengikuti pendidikan ini.
disertasi. Secara khusus kepada al-Mukarram Prof. KH. Ali Yafi’i yang telah
meluangkan waktu memberikan wejangan kepada penulis tentang orientasi
kehidupan dan sikap ilmuan muslim, pada masa awal kedatangan penulis di
Jakarta untuk mengikuti program S3.
15.
Demikian juga kepada Ust. Mursalin, Dedi Asmara, Dr. Kaswad Sartono,
MA., A. Suriyani, MA., Bapak DR. H. Arief Halim., MA, Abd. Drs. H.
Kurdi, M.HI., Drs. Suwarning, MA., Abd. Rahman Bahnadi, S. Ag., Drs.
Muh, Tang Dg. Maggangka, Hasid Hasan, SH. MA., Machmud Sayuti, MA.,
Drs. Hasanuddin Parawangi MH., Drs. Amir Jannatin, Drs. Lahaji Khaedar,
MA, Azhar Arsyad SH.
16.
Juga kepada, teman-teman dan seperjungan di Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar, yang telah memberikan bantuan moril diantaranya
Dr.Irfan Idris, MA., Drs. Umar Muslim, MA. Halim Talli, S.Ag. MA. Arif
Alim, MA. Dr. Muslimin H. Kara, juga kepada Drs.Qasim P. Salenda,
SH.M.HI. dan Dr. Aisyah H. Kara. Teman-teman di Ciputat, di antaranya Ir.
H. Muhandis Natadiwirja, MM., Helmi, H. Abd.Rauf, Lc.MA. Drs. Abd.
Fattah, M. Pd. Drs. Hamid Laongso. Drs. Murni Badru, MA. Mursalin, MA.
Drs. Sabaruddin Garancang, MA., Drs. Hadi Dg. Mapunna MA., Dra.
Halimah Basri, MA., H. Zuhri Abunawas, Lc. MA.
17.
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs. HM. Yusuf Kalla (Wakil
Presiden RI) yang secara institusional telah memberikan bantuan materil
dalam rangka penyelesaian studi penulis.
18.
Terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan Yayasan Latimojong yang
telah memberikan perhatian pendanaan kepada penulis.
Berbagai pihak yang telah berpartisipasi kepada penulis dalam
memberikan kontribusi keilmuan yang pada akhirnya dapat mewujudkan karya
ilmiah tertinggi pada jenjang doktor, di antaranya para dosen penulis di S2 dan S1
serta para guru dalam berbagai jenjang pendidikan dan juga guru mengaji penulis.
Secara khusus penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Dra. Mariam
Kudus -isteri penulis- yang dengan tabah dan penuh perhatian yang diberikan
selama penulis mengikuti pendidikan S3 ini dan mengikhlaskan sebahagian
”hak-haknya” untuk tidak dipenuhi guna meringankan beban penulis, begitu pula
memberikan inspirasi yang begitu dalam bagi penulis sehingga semakin bergairah
dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Juga kepada ananda Mayliah Dian
Khaeriyah, yang telah memahami dengan betul, rendahnya kasih sayang yang
selama ini diterimanya dan secara tidak langsung menerima pembelajaran sejak
usia dini tentang cara hidup di negeri rantauan, khususnya di kota Metropolis
Jakarta.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis memohon agar mereka yang
telah memberikan kontribusi dalam rangka membina potensi keilmuan dan
kepribadian penulis yang telah melahirkan karya ilmiah tertinggi dalam jenjang
doktoral diberikan pahala dan dinilai oleh-Nya sebagai ibadah dan amal jariyah.
Jakarta, 17 September 2008
Penulis,
H A M Z A H
NIM: 02.3.00.1.08.01.0067
DAFTAR
ISI
SAMPUL ... i PERNYATAAN KEASLIAN ...ii
BERITA ACARA UJIAN PROMOSI...iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
KATA PENGANTAR ...xi
DAFTAR ISI ... xvi
ABSTRAK ... xix
DAFTAR TABEL ... xxii
DAFTAR BAGAN ...xxiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan ... 17
C. Tujuan Penelitian ...19
D. Manfaat Peneli an ...20
E. Definisi Operasional ...20
F. Kajian Pustaka ...21
G. Kerangka Teori ...25
H. Metodologi Penelitian ... 26
1. Pendekatan dan data Peneli an...26
2. Studi Lapangan Peneli an ... 27
3. Konsep Pengukuran (Indikator) Pendayagunaan Zakat ... 28
I. Sistematika Penulisan ...30
BAB II PENDAYAGUNAAN ZAKAT DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN DAN EKONOMI ISLAM UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT...31
A. Pendayagunaan Zakat sebagai Implementasi Manajemen Pada Masa Rasul ... 31. 1. Pengertian dan Fungsi‐Fungsi Manajemen ... 32. 2. Penger an dan Tujuan Pendayagunaan Zakat ... 41 3. Faktor‐Faktor Berpengaruh dalam Pendayagunaan Zakat 44 4. Amil : Otoritas Manajmen Pendayagunaan Zakat ... 47. 5. Prinsip‐ Prinsip Pendayagunaan Zakat Pada Masa Rasul ...53
B. Zakat sebagai Instrumen Ekonomi Islam dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat ... 57
2. Zakat sebagai Instrumen Ekonomi... 72
3. Kesejahteraan Umat melalui Instrumen Ekonomi Zakat.... 78
BAB III ASPEK KELEMBAGAAN, SUMBER‐SUMBER PENDA NAAN DAN PELAKSANAAN PROGAM BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL SERTA PENDAYAGUNAAN ZAKAT PADA BERBAGAI PENGELOLA ZAKAT DI INDONESIA...84
A. Aspek Kelembagaan dan Sumber‐Sumber serta Pelaksanaan Program Pendayagunaan Badan Amil Zakat Nasional ...84
1. Aspek Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional...84
2. Sumber‐Sumber Penghimpunan Dana ... 91
3. Pelaksanaan Program ... 92
B. Pendayagunaan Zakat Pada Berbagai Pengelola Zakat di Indonesia …...104
1. Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI Jakarta…...104
2 BAZDA Provinsi Banten ...106
3. Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) …... 109
4. Dompet Dhuafa Republika (DDR)...111
BAB IV IMPLEMENTASI POLA‐POLA PENDAYAGUNAAN ZAKAT ZAMAN RASUL PADA PENDAYAGUNAAN ZAKAT BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL ... 119
A. Penetapan Status, Prototipe, Kewenangan serta Pertanggungjawaban Amil ………...119
1. Penetapan dan Status Amil ... 119
2. Proto pe Amil ... 121
3. Kewenanan Amil ... 130
B. Perwujudan Fungsi Amil, Prinsip Desentralisasi dan Mempertegas
Zakat Sebagai Hak Mustahik...133
1. Perwujudan Fungsi Amil ... 133
2. Prinsip Desentralisasi...141
3. Prinsip Mempertegas Zakat Sebagai Hak Mustahik... 145
BAB V IMPLEMENTASI FUNGSI‐FUNGSI MANAJEMEN DALAM PENDAYAGUNAAN ZAKAT BAG PENING‐ KATAN KESEJAHTERAAN UMAT PADA BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL... 149
A. Implementasi Fungsi Perencanaan ... 149
1. Gambaran Umum Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam Pencaaian Tujuan dan Cara Mencapainya ...152
2. Arah Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam Pendayagunaan Zakat...158
3. Penyusunan Rumusan tentang Makna Zakat ...160
B. Impelementasi Fungsi Pengorganisasian dan Pelaksanaan ...163
1. Fungsi Pengorganisasian ...163
2. Fungsi Pelaksanaan ... 180
C. Implementasi Fungsi Kepemimpinan dan Pengawasan...189
1. Fungsi Kepemimpinan. ... .189
2. Fungsi Pengawasan...211
KESEJAHTERAAN
UMAT... 214
A. Kendala Lingkungan Eksternal Struktural... 215
1. Model Kelembagaan ... 215
2. Sumber Pendanaan Non Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Belum Memadai ... 224
3. Belum Terbit Kebijakan Pemerintah tentang Zakat sebagai Pengganti Pajak Penghasilan ... 228
4. Belum Ada Ketentuan Penyetoran dana zakat UPZ ke Badan Amil Zakat Nasional ...229
5. Lemahnya UU NO.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat ... 230
6. Belum Terbit Peraturan Pemerintah tentang Koordinasi Badan Amil Zakat Nasional dan Pengelola Zakat ...233
B. Kendala Lingkungan Eksternal Kultural dan Internal Kelembagaan...235
1. Lingkungan Eksternal Kultural ...235
2. Kendala Lingkungan Internal Kelembagaan... .244
BAB VII PENUTUP ...250
A. Kesimpulan...250
B. Rekomendasi ...253
DAFTAR PUSTAKA ...255
LAMPIRAN‐LAMPIRAN ... 266
1. Tabel ...266
2. Bagan ...280
3 Da ar Informan ...282
5. Keterangan Wawancara ... 285
6. Surat Keterangan Penelitian ... 293
7 Surat Permohonan Penelitian ... 295
8 SK. Presiden tentang Pembentukan BAZNAS ...296
9 UU. No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat... ..…307
10 Daftar Riwayat Hidup ... 319
ABSTRAK
Kesimpulan besar disertasi ini membuktikan bahwa Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada dasarnya telah melakukan pendayagunaan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat sesuai dengan pola yang dilakukan Rasulullah SAW. Pada satu sisi dan pada saat yang sama dalam batas-batas tertentu, BAZNAS dipandang telah mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen. Namun, dalam hal pengembangan, baik aspek kelembagaan maupun pada program yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan umat, ditemukan sejumlah kendala yang menjadikan kinerja badan ini tidak optimal.
Kesimpulan ini berimplikasi bahwa pada dasarnya badan ini dapat dinyatakan sebagai institusi kesejahteraan umat dan telah menampilkan diri sebagai institusi pengelola zakat yang menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern. Prototipe institusi BAZNAS dan kinerjanya yang demikian itu telah membantah pandangan sebagian pengamat terhadap citra pengelola zakat yang semula menempatkan amil sebagai ”pekerjaan sambilan” dan ”terkesan membagi-bagi uang zakat” menjadi sebuah pekerjaan yang profesional dan akuntabel.
Hasil penelitian disertasi ini tidak dimaksudkan untuk memperlemah dan memperkuat terhadap teori tertentu dalam objek penelitian yang sama yakni pada BAZNAS, karena belum ada penelitian yang dilakukan sebelumnya. Namun, dilihat dari sisi bidang kajian disertasi ini, yakni pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh lembaga zakat, maka ditemukan pandangan-pandangan tertentu yang dapat dikaitkannya. Disertasi ini, di antaranya, telah memperkuat pandangan yang menginginkan agar dikembangkan pengelolaan zakat yang menganut pendekatan partisipasi. Menurut Palmawati (Disertasi 2004) penggagas pendekatan ini, keterlibatan stakeholder untuk berpartisipasi dalam pengelolaan zakat sangat diperlukan. Disertasi ini membuktikan bahwa BAZNAS dalam pendayagunaan zakat, telah melibatkan mustahik—sebagai bagian stakeholder— berpeluang dalam posisi untuk tidak saja secara pasif menerima zakat, tetapi berkesempatan untuk memberdayakan dirinya.
Selain itu, disertasi ini mendukung gagasan yang diusung oleh Yusuf Qardawy (1985) yang menetapkan dasar-dasar struktur bagi organisasi pengelola zakat yang mengarah pada pendayagunaan zakat. Afzalur Rahman (1992) memberikan penekanan yang lebih tajam tentang eksistensi pengelola zakat, agar zakat dapat berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi, maka diperlukan badan zakat.
Data penelitian ini disumberkan dari selain data kepustakaan juga data lapangan
ABSTRACT
The main conclusion of this dissertation proves that (Badan Amil Zakat Nasional) BAZNAS used zakat to encourage social welfare based on the practices and forms of Rasulullah saw. In a hand, in the same time, BAZNAS implemented managerial function. However, in the development context, either institution aspect or programs related to encouraging social welfare, it found many obstacles causing this institution not favorable.
Thin conclusion implicates that this institution could be mentioned as social welfare institution. This dissertation proves that BAZNAS appears as an institution which manages modern zakat and its duties utilizing zakat based on managerial principle. The prototype of BAZNAS and its duties encounter the views of many thinkers about the image of zakat managing that previously placed ‘âmil as “secondary activity” and apparently just “distributes zakat” become a professional and accountable activity. The result of this research does not intended to weaken nor strengthen to certain theory in the same research object, which is at BAZNAS, because there is no previously research conducted yet. However, seen from this dissertation study area, that is zakat utilization conducted by zakat institute, hence found certain approaches that able to correlate of. This dissertation, strengthened view those who wished zakat management to be develop embracing participative approach, as Palmawati conception
in her disserta on (2004), the stakeholder involvement to par cipate in zakat
management is much needed. This dissertation also proves that with BAZNAS policy in zakat utilization, hence, mustahiq, as part of stakeholder, has opportunity in just position, not only quiescently accept zakat, but also having chance to power himself.
This dissertation also supports Yusuf Qardawy (1985) who determines the
structural bases of zakat organizer institutions that lead to zakat utilization. Afzalur Rahman urges regarding the existence of zakat organizer, so zakat might effect to economical development, indeed needs a zakat institutions.
Sources of this research data come from bibliography and field. Field data
conducted by interviewing five internal informants from BAZNAS and seven external informants as BAZDA and LAZ activists and studying eleven BAZNAS documents. In analyzing research data, the approach used.[]
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penerimaan Badan Amil Zakat Nasional
Tahun 2005‐2007... 91
Tabel 2 Program Mitra Solidaritas Isteri Kabinet Indonsia Bersatu (SIKIB) dan Badan Amil Zakat Nasional ...101
Tabel 3 Pemasukan Dana Dompet Dhuafa Republika
1426‐1427 H ...113
Tabel 4 Sumber Daya Personal Badan Amil Zakat Nasional
Dari sisi Latar Belakang Keilmuan dan Profesi ... 124
Tabel 5 Hasil Analisis Terhadap Konsep Amil Badan Amil Zakat
Nasional: Dimensi, Sumber Pembentukan Persepsi, Katego
Risasi... 126 ..
Tabel 6 Iden fikasi Unsur‐Unsur Konsep Mustahik dalam Persepsi
Badan Amil Zakat Nasional dan Peluang Program Penda‐
yagunaan Zakat ... 134
Tabel 7 Program dan Prosentase Pendayagunaan Zakat Badan
Amil Zakat Nasional ... 146
Tabel 9 Perbandingan Prosentase Antar Sektor pada Pendayagunaan
Zakat Infak dan Sedekah Lembaga Pengelola Zakat
Di Indonesia ... 156
Tabel 10 Sintesis antara Unsur dalam Fungsi Pengorganisasian
dengan Indikator Penelitian ... 165
Tabel 11 Perbandingan Pendayagunaan Zakat versi Badan Amil
Zakat Nasional dan Keputusan Dirjend. Bimas Islam dan
Urusan Haji ... 182
Tabel 12 Sistensis antara Unsur‐Unsur pada Sumber‐Sumber Ke‐
pemimpinan dalam Fungsi Kepemimpinan dengan
Indikator Penelitian ... ... 190
Tabel 13 Subsidi Departemen Agama RI terhadap Badan Amil Zakat Nasional 2001‐2006 (dalam Rupiah) ... 225
Tabel 14 Anggaran Dari Program Kerjasama Terhadap Badan Amil Zakat Nasional 2001‐2006... .... 227
Tabel 15 Dana Zakat yang Dihimpun BAZNAS 2005‐ 2006...227
Tabel 16 Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang
dihimpun BAZNAS dengan Penerimaan Secara Nasional
Tabel 17 Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang
dihimpun Badan Amil Zakat Nasional 2005‐2006 ...244
Tabel 18 Perkembangan Kemiskinan di Indonesi 2000‐2006 ... 266
Tabel 19 Da ar Lembaga Pengelola dan Kegiatan Pendist‐
ribusian Zakat, Infakdan Sedekah ... 267
Tabel 20 Distribusi Kata Ămil dalam Al‐Qur’an dan Ide yang
Dipahami ... 268
Tabel 21 Distribusi Kata Ămilîn dalam Al‐Qur’an dan Ide yang
Dipahami ... 269
Tabel 22 Iden fikasi Penggunaan Ulama/ Cendekiawan Muslim
tentang Is lah Prinsip Ekonomi Islam ... 270
Tabel 23 Program Peduli BUMN ... 271
Tabel 24 Program PSPU ...272
Tabel 25 Penerimaan Dana BAZIS DKI Jakarta ...273
Tabel 26 Penggunaan Dana Baziz DKI Jakarta ...273
Tabel 28 Penyebaran Unit Zalur Zakat Menurut Provinsi ... 275
Tabel 29 Program Baznas Sinergi Center ...276
Tabel 30 Penggunaan Dana BAZDA Banten ... 277
Tabel 31 Penggunaan Dana Dompet Dhuafa ... 278
Tabel 32 Penggunan Dana Zakat BAZNAS 2002‐2006... 279
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Unsur dalam Fungsi Perencanaan ... 151
Bagan 2 Alur Kerangka Pikir Peneli an ………. 279
Bagan 3 Konsep Indikator Terhadap Pendayagunaan Zakat ... 280
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah Indonesia, telah menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai suatu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Gunawan, pada masa
Orde Baru kebijakan pemerintah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di
departemen untuk merumuskan kebijakan pengen tasan kemiskinan seperti departemen pertanian bertanggungjawab terhadap go longan miskin dari keluarga yang berada di sektor pertanian. Sedangkan terakhir berkaitan dengan pembagian wilayah seperti Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur yang antara lain melalui
program inpres. Khusus daerah yang belum terjangkau program itu pemerintah
menetapkn PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu) dengan menetapkan kecamatan
sebagai unit kerjanya.1
Data tabel delapan belas (18), menunjukkan peningkatan angka kemiskinan
2006 melampaui angka 2001. Perbandingan ini menunjukkan bahwa justru
perkembangan kemiskinan mengalami peningkatan. Menurut hasil peneli‐ tian Jasmina
dkk. seperti dinyatakan oleh Mustafa Edwin Nasu on bahwa, dari 268 kabupaten /kota
yang diteli hanya 93 kabuaten/ kota yang mengembangkan kebijakan anggaran
belanja daerah yang pro kepada orang miskin.2
Berdasarkan uraian di atas, telah memberikan informasi bahwa terdapat
hubungan antara ketidakmandirian masyarakat dalam kaitannya dengan program
penanggulangan kemiskinan dengan pengalokasian anggaran yang dibangun oleh
pemerintah. Program yang dibangun oleh pemerintah pusat seperti dinyatakan oleh
Gunawan memiliki persamaan dengan perilaku pemerintah daerah dalam penyusunan
anggaran belanja daerah. Karena itu, ketidakmandirian masyarakat dalam program‐
program pengentasan kemiskinan, tidak dapat sepenuhnya dilihat dari ketidakmampuan
masyarakat itu sendiri tetapi terkait dengan perilaku pengembangan masyarakat yang dibangun oleh pemerintah.
1
Berbagai kebijakan pemerintah berkaitan pengentasan kemiskinan menurut Gunawan dapat dilihat pada terjadinya proses perubahan struktural dalam kehiduan sosial ekonomi masyarakat. Namun secara empirik program-program yang dikembangkan oleh pemerintah dirasa belum mampu menanggulangi kemiskinan secara sistemik. Program yang ada kurang memberikan dampak pada penguatan kapasitas sosial ekonomi masyarakat lokal guna mendukung membangun kemandirian. Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: Inpac, 1999), h. 66. Menurutnya, Inpres sebagai kebijakan termasuk di dalamnya IDT (Inpres Desa Tertinggal).
2
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono
mengharapkan “kiranya dilakukan sinergitas kebijakan antara pemerintah pusat dan
pemda dengan melibatkan swasta dan masyarakat luas.”3
Keikutsertaan umat Islam Indonesia dalam pengentasan kemiskinan dipandang
sangat strategis karena selain dengan argumen sosiologis juga perintah agama.45 Dalam perkembangan keislaman di Indonsia, salah satu institusi yang berpengaruh adalah zakat. Zakat dalam doktrin Islam, yaitu rukun Islam yang keempat, dan dibangun sebelum syahadat, shalat dan puasa. Karena itu, sangat diduga bahwa, pelaksanaan zakat di kalangan umat Islam, telah dilakukan di nusantara ini bersamaan dengan
eksistensi mereka dan dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan agama Islam.
Berkaitan dengan pelaksanaan agama Islam terhadap zakat di Republik Indonesia,
Uswatun Hasanah, menyatakan bahwa umat Islam yang merupakan mayoritas
penduduk di Indonesia telah lama melaksanakan lembaga zakat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa, pelaksanaan zakat disamping perintah agama juga salah satu upaya untuk
mewujudkan keadilan
sosial di bidang ekonomi.6
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa, dari aspek ekonomi, lembaga zakat
memegang peran yang sangat penting dalam membangun keadilan sosial. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan misalnya, pembangunan gedung madrasah,
pembinaan dai, pembangunan masjid telah ditunjang oleh dana zakat. Hal yang sama berlaku pula dalam kehidupan sosial ekonomi yang bersifat bantuan “sesaat” ekonomi
terhadap umat Islam yang membutuhkan.
3
Pengarahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dalam rapat Rakortas di Gedung Agung Istana Negara Yogyakarta, 14 Desember 2006, tenang Pembukaan Lapangan Kerja dan Pengurangan Kemiskinan, “Pemerintah Buka Lapangan Kerja.” Republika, 15 desember 2006.
4
Pertama, mayoritas penduduk Indoneia menganut agama Islam. Karena itu, secara sosio-ekonomi, umat Islam, merupakan umat yang paling mayoritas dilanda kemiskinan di Indonesia dibanding umat yang lain, dan dengan kebijakan ini, maka mereka berpeluang untuk memperoleh dampak kebijakan. Kedua, gagasan pengentasan kemiskinan dipandang sesuai dengan agama Islam. Menurut Alquran, dari berbagai ayatnya terdapat sejumlah ayat dipandang mendorong perlunya pengentasan kemiskian. Di antaranya, kecaman bagi ornag yang tidak memperhatikan nasib anak yatim (QS.Al-Mâ’un: 1-3), perintah untuk memperhatikan nasib keluarga, orang dekat dan orang-orang miskin (QS.Al-Isra :26)
.
6
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa dari sisi efektifitas pengelolaan
zakat, maka memberlakukan zakat dengan mengembangkan pola kedua (tidak langsung)
merupakan pola yang tepat. Argumen yang dikemukakan oleh pengelolaan zakat yang pro pada pola ini adalah dana zakat dapat terkumpul dan dapat dikelola dengan melihat skala prioritas, mengurangi rasa rendah diri bagi musthaik karena tidak berhadapan langsung dengan muzakki.7 Dengan dasar efektifitas pengelolaan zakat ini,
tampaknya, kehadiran amil dalam arti organisasi pengelola zakat menjadi sangat
penting.
Pada era kepemimpinan BJ. Habibie sebagai Prsden RI, pengelolaan zakat di Indonesia telah memasuki babak baru. Babak baru pengelolalan zakat dalam era ini,
ditandai dengan lahirnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU ini
menetapkan bahwa, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemeritah (Pasal 6) dan lembaga amil zakat yang dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah (Pasal 7). Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional dilakukan oleh Presiden atas usul Menteri Agama, sesuai UU NO. 38 Tahun 1999 Pasal 2. Untuk
pertama kalinya Badan Amil Zakat Nasional dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 8/ 2001 tanggal 17 Januari. Dalam UU ini selain aspek pengumpulan dana juga diatur tentang pendayagunaan zakat. Karenanya, sangat diduga kuat bahwa UU ini memiliki relevansi dengan pandangan Islam yang melihat bahwa zakat sebagai instrumen ekonomi.
Instrumen ini dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan.
Sebagai instrumen ekonomi Islam, dengan potensi zakat yang besar di Indonesia
memungkinkan secara ekonomi diterima sebagai salah satu sumber dana dalam
pengentasan kemiskinan. Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa, “Apabila hasil
penerimaan zakat pada tahun 1999 sebesar Rp. 10 trilyun maka diperkirakan Rp. 6.7 trilyun untuk pengentasan kemiskinan dan sisanya untuk kegiatan sektor ril.”8
Pandangan terakhir ini, hanya menggambarkan betapa zakat dapat berfungsi dalam
pengentasan kemiskinan dan tidak mencerminkan angka potensi zakat sebenarnya.
7
Didin Hafidhuddin Ma’turdi, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Shadaqah, (Ja- karta: Baznas, 2005), h. 32.
8
Selain aspek pengentasan kemiskinan dalam dimensi ekonomi, perhatian
terhadap masalah‐masalah bencana alam, bantuan terhadap dunia pendidikan,
lembaga pengelola zakat juga dalam batas‐batas kemampuannya telah berkiprah dalam
aspek ekonomi sosial dan religius dan karenanya memungkinkan ditelaah dalam
perspektif peningkatan kesejahteraan umat.
Mencermati keberadaan lembaga pengelola zakat di Indonesia, yang telah
banyak berbuat ‐dalam batas‐batas tertentu dan masih menyisakan berbagai kendala
seperti yang akan dikemukakan‐ secara fungsional ekonomi khususnya dalam
pengentasan kemiskinan, juga dalam transformasi pengetahuan dan spritual, namun
terdapat suatu hal yang sangat disayangkan karena partisipasi ini kurang mendapat respon dari publik terutama dari pemerintah. Kondisi ini terukur dari tidak adanya
Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan Undang‐Undang dimaksud. Secara politis,
posisi zakat selalu ditempatkan sebagai bagian dari Islam dan tidak dimasukkan sebagai
bagian instrumen pengentasan kemiskinan. Kondisi ini sebenarnya tidak
menguntungkan umat Islam, terlebih lagi mereka secara nasional merupakan populasi
terbanyak yang terjebak dalam kemiskinan. Terkesan bahwa, pengentasan kemiskinan,
hanya dilaksanakan secara “tunggal” oleh pemerintah, sementara umat Islam, khususnya pengelola zakat
tidak terkait dengan pengentasan kemiskinan .
Kondisi ini juga berpengaruh terhadap kecenderungan kajian zakat.
Kajian‐kajian zakat selama ini cenderung hanya dipandang dari aspek syari’ah, tanpa dilihat dari aspek aspek lainnya seperti ekonomi sosial politik. Pada hal sesungguhnya, kajian‐kajian zakat tidak dapat dipokuskan semata pada aspek syari’ah sebagaimana yang mewarnai kajian zakat dewasa ini. tetapi kajian non syar’ah dalam antar disiplin
ilmu mutlak diperlukan. Dalam aspek syari’ah misalnya, zakat dipandang sebagai
kewajiban bagi muzakki, dan hak menerima bagi mustahik serta hak pengelolaan bagi amil. Tetapi, zakat tidak hanya berbicara tentang hak dan kewajiban antar ketiga unsur di atas, tetapi dapat dikaji lebih jauh agar zakat memiliki keterkaitan dengan
mengembangkan hak‐hak mustahik. Dengan demikian, maka kajian zakat,
Sebagai salah satu sumber keuangan Islam, perhatian terhadap kajian zakat
seyogianya tidak hanya tertuju pada aspek pengumpulan semata. Namun aspek
pendayagunaan dipandang sangat penting. Pentingnya aspek pendayagunaan karena:
(a). Zakat yang terkumpul pada amil yang diserahkan oleh muzakki, maka dengan
pada aspek pengumpulan hanya memiliki “beban tunggal “yaitu bagimana upaya
pengumpulan dana zakat dari muzakki. Selanjutnya, dengan dana zakat yang
didayagunakan kepada mustahik sesuai dengan petunjuk syari’at, maka akan
memberikan pengaruh tidak hanya kepada mustahik, namun juga terhadap muzakki
untuk mengeluarkan zakat mereka pada satu sisi dan akan mendorong amil dalam
meningkatkan kwalitas pengelolaan dana zakat.
Berkaitan dengan pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, maka
ditemukan hasil penelitian yang kurang menggembirakan. Di antara hasil penelitian itu: Pertama, Uswatun Hasanah, menetapkan bahwa terdapat kendala yang dihadapi oleh BAZIS DKI Jakarta antara lain lemahnya aspek organisasi, kurangnya sumber daya manusia, pengawasan, pembinaan terhadap mustahik dan biaya operasional yang tidak cukup.9 Kedua, hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Basril menunjukkan bahwa hanya sekitar 30 % dari dana bergulir yang diberikan oleh Bazis DKI Jakarta, dapat dikembalikan dengan baik oleh kelompok usaha yang berasal dari mustahik.10
9
Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 196. Hemat penulis, penelitian ini dilakukan sebelum lahirnya UU dimaksud, namun substansi kendala lembaga pengelola zakat pasca UU ini masih dipandang relevan dengan hasil penelitian ini.
10
Dalam tabel sembilan belas (19) terlihat bahwa sejumlah lembaga pengelola
zakat yang sudah menerapkan manajemen. Penerapan manajemen paling tidak terukur
pada ditemukannya prosentase dalam sektor‐sektor pendayagunaan zakat. Pengelola
zakat dimaksud belum ditemukan adanya keseragaman prosentase dalam aspek
pendayagunaan zakat. Terdapat pengelola zakat yang memberikan prosentase tertinggi
pada asepk tertentu, sedang pengelola lainnya memilih prosentase tertinggi pada aspek lainnya. Hasil analisis dalam tabel sembilan (9) menunjukkan bahwa sektor usaha
produk f 10‐50 %; pengembangan sumber daya manusia 25‐50 %; prasarana
pendidikan/ rumah ibadah bantuan sosial 10‐24 % serta sektor amil 10‐12.5 %. Secara
umum terdapat kecenderungan bahwa pengelola zakat, belum memiliki kesamaan
prosentase dalam menetapkan pendayagunaan zakat terhadap mustahik.
Berkaitan dengan upaya perbaikan pendayagunaan zakat, telah dikembang kan oleh kalangan tertentu berbagai gagasan. Gagasan tersebut antara lain,
perlunya dilakukan pendekatan transformatif dalam mengembangkan
masyarakat sadar zakat.11
Selain gagasan yang dikemukakan di atas, Palmawati menawarkan pendekatan
partisipatif. Menurutnya, pendekatan ini mengandung arti agar berbagai berpihak pihak yang terlibat dan memiliki kepentingan yakni pemerintah, amil, muzakki serta mustahik, berpartisipasi secara aktif serta memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan kewajiban zakat.”12 Oleh Zukâri menyatakan bahwa seharusnya zakat berfungsi sebagai instrumen kesejahteraan sosial (al‐Rifâhah aIjtimâiyah) namun yang terjadi dewasa ini masih sebatas pada fungsi bantuan (Had al‐kâfi).13
11
Safwan Idris sang penggagas pendekatan ini, menyatakan bahwa, tujuan akhir dari upaya gerakan sadar zakat adalah menciptakan suatu masyarakat baru yang memiliki kesadaran tinggi terhadap dimensi-dimensi yang terkandung dalam zakat yang meliputi : ibadah, hukum, sosial, ekonomi, politik dan pendidikan. Menurutnya, dewasa ini terjadi kecenderungan masyarakat memahami zakat dalam dimensi hukum dan ibadah saja.Safwan Idris, Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Pendekatan Transformatif (Jakarta: Cita Putra Bangsa , 1997), h. 315-320..
12
Palmawati Tahir, “Zakat dan Negara (Studi tentang Prospek Zakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan Berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat),” (Disertasi S3 Konsentrasi Ilmu Hukum PPS. Universitas Indonesia Jakarta, 2004), h. 435.
13
Selain pandangan di atas kalangan tertentu seperti ulama,14 akademisi 15 serta pengamat sosial ekonomi umat Islam16 menaruh perhatian dalam pendayagunaan zakat. Selain mereka yang berlatar belakang akademisi, pengamat sosial ekonomi umat Islam
dan pemimpin ormas, kalangan perbankan juga memberikan perhatian di antaranya
bahwa ”selama ini zakat terkesan kurang diperhatikan sehingga penangannya dilakukan
tidak efektif dan karenanya perlu pengawasan yang ketat untuk menjaga tingkat
kepercayaan masyarakat luas”.17 Gagasan yang lain, perlunya pendampingan kepada
mustahik agar dana yang diberikan oleh pengelola zakat tidak hanya berfungsi sebagai karitatif finansial yang dapat habis begitu saja.18
Memperhatikan uraian sebelumnya, baik yang bersumber dari hasil pene litian maupun dari berbagai gagasan dari sumber latar belakang yang beragam di atas, maka ditemukan bahwa salah satu masalah mendasar yang dialami oleh pengelola zakat di
Indonesia, khususnya dalam hal pendayagunaannya adalah aspek manajemen.
Berkaitan dengan lemahnya aspek manajemen dalam pendayagunaan zakat
bagi pengelola zakat, Emmy Hamidiyah melakukan identifikasi.19 Uraian berkaitan
identifikasi kelemahan dari aspek manajemen pendayagunaan zakat yang menunjukkan
14
Menurut Ali Yafie bahwa, ”sesuatu yang baru dalam pengelolaan zakat adalah menjadikan lembaga itu identik dengan lembaga keuangan...” Ali Yafie, dalam Aries Mufti, dkk.,
Problem Kemiskinan, (Jakarta: Blantika, 2004), h. xxiv. Didin Hafidhuddin dalam konteks sebagai ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional, ”...harus dikelola dengan melibatkan orang yang memiliki amanah, waktu yang cukup dan profesional... ” dan menurutnya pandangan ini dapat memberikan solusi atas keberadaan lembaga zakat yang masih rendah di mata masyarakat. Didin Hafidhuddin, dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, h.xxx.
15
Dalam konteks pendayagunaan zakat untuk jangka panjang Syafii Maarif dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa ”... pendayagunan zakat di Indonesia masih dalam batas untuk jangka pendek, belum ke arah jangka panjang dan bergulir....” A. .Syafi’i Maarif, ”Kata Pengantar ” dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, h. xiv.
16
Masdar F.Mas'udi dalam kapasitas sebagai Ketua PB. Nahdhatul Ulama menyatakakan bahwa ”...zakat memiliki dampak sosial yang harus riil dan ia mengandung konsep dinamis dan karenanya dari sasaran distribusi zakat tidak harus persis sama dengan penerapan pada masa Rasul....” Masdar F. Mas'udi, dalam, Aries Mufti., dkk., Problem Kemiskinan, h. xx-xxi.
17
Mulya E. Siregar, Kepala Biro Peneltian, Pengembangan dan Peraturan Perbankan Syari’ah, Direktorat Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Makalah, dalam seminar Lembaga Keuangan Sosial Islam, di UIN Jakarta, 17 Januari, 2007, h. 3.
18
A. Ridwan Amin, dkk., “Katup Pengaman Bila Instrumen Ekonomi Tidak Jalan,”dalam
Syari’ah dalam Sorotan (Jakarta: Yayasan Amanah, 2003), h. 126-127.
19
bahwa pendayagunaan zakat tidak hanya memiliki dimensi beridiri sendiri tetapi terkait dengan dimensi lainnya. Namun demikian, cara pandang pengelola zakat terhadap zakat
itu sendiri dipandang juga berpengaruh dalam meramaikan lemahnya pendayagunaan
zakat. Cara pandang mereka ter‐ hadap zakat, akan berpengaruh pula dalam memaknai organisasi pengelola zakat.
Berkaitan posisi zakat sebagai salah satu rukun Islam Uswatun Hasanah menyatakan bahwa zakat mengandung pengabdian moral dan ekonomi, bagi muzakki. Menurutnya, dari sisi pertama ia akan membangun perilaku positif bagi
muzakki dan membantu secara ekonomi bagi mustahik.20 Namun, terdapat pandangan
lain yang menempatkan zakat sebagai sebuah instrumen yang bersifat karitatif. Yaitu suatu pandangan yang melihat zakat sebagai instrumen yang bersifat penyantun bagi mustahik.21 Walaupun tidak ditemukan penelitian secara empirik tentang pengaruh pandangan terakhir ini dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi diduga kuat bahwa
pandangan ini membawa pengaruh bagi perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia
khususnya terhadap pengelola zakat.
Menempatkan zakat sebagai instrumen karitatif, akan mengantar pengelola
zakat memandangnya sebagai bagian dari aktifitas sosial semata. Akibatnya,
pengelolaan zakat, diarahkan untuk kepentingan sosial semata serta dikelola dengan
pola kesukarelaan. Hasil penelitian yang dilakukan Umratul Khasanah menyimpulkan
mustahik hanya sebatas objek dan tidak dirasakan mustahi secara permanen. Ketiga, dari sisi regulasi. Yaitu, belum ditetapkan fungsi regulator dan pengawasan bagi pengelola zakat yang bertugas untuk antara lain : (1) Menetapkan kebijakan penyaluran zakat; (2) menetapkan skala prioritas pendayagunaan zakat yang didukung dengan perencaan yang komprehenshif; (3) membangun sinergi dan koordinasi antar lembaga pengelola zakat maupun; (4) menentukan kriteria keberhasilan program (5) melakukan evaluasi pelaksanaan program. Emmy Hamidiyah, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf & Kurban Pada lembaga Pengelola Zakat (Studi Kasus: Dompet Dhuafa Republika)”, (Tesis S2 Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam UI, 2004), h. 8.
20
Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 75.
21
Salah satu buku yang membahas tentang karitas adalah pandangan Maulana Muhammad Ali. Dalam bab zakat dia memberikan judul Zakât or Charity. Namun dalam pembahasannya, ia menjelaskan bahwa zakat tidak sekedar pemberian karitatif semata, tetapi merupakan suatu institusi yang lama dalam Islam. Ia mencontohkan, kebijakan Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat pada jamannya. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam,
terdapat empat ragam badan amil zakat dan amil zakat di Indonesia yaitu : “model birokrasi, organisasi bisnis, ormas serta model amil tradisional.”22
Keragaman model pengelolaan zakat di atas dipandang akan memberikan akibat pada pengelolaan zakat. Tentu saja, dilihat dari aspek pendayagunaan zakat, dikaitkan dengan keempat ragam pengelolaan zakat tersebut, maka diperlukan suatu upaya agar
dalam pengelolaannya harus terpenuhi kriteria dasar. Kriteri dasar ini, dapat
dihubungkan pandangan Uswatun Hasanah dalam menilai zakat dalam konteks
pendayagunaan yaitu “terwujudnya zakat yang efektif sesuai dengan fungsi dan
tujuannya.”23
Berkaitan dengan pandangan Umratul Khasanah di atas tentang model pengelolaan zakat, secara umum dapat dinyatakan bahwa pengelolaan zakat di
Indonesia masih menganut manajemen yang berparadigma ”kesukarelaan”. Manajemen
”kesukarelaan” mengandung arti bahwa pengelolaan zakat dikelola dengan pola sebagai
lembaga sosial yang tidak menerapkan prinsip‐prinrip manajemen. Zakat merupakan
lembaga sukarela yang diurus dengan waktu yang belum optimal, pengurusannya
bersifat ala kadarnya, serta mendistribusikannya sebagai dana yang kurang memberi hasil guna kepada mustahik. Sikap pengelola zakat yang tidak memperhitungkan daya
guna zakat kepada mustahik dan hanya mereka memandang –pengelola—tugas mereka
sebagai sekadar menyerahkan saja (zakat) adalah sebuah cerminan dari rasa
kesukarelaan yang dimiliki pengelola lembaga zakat. Implikasi secara manajerial, bahwa
pengelola hanya bertugas untuk menyampaikan zakat secara benar (menurut kriteria
mustahik dalam fikih), baik (memberikan dengan penuh perhatian dan sopan), lalu mustahik menerimanya pula. Cara pandang seperti ini, jelas bertentangan dengan nilai
dasar zakat. Nilai dasar menghendaki bahwa zakat itu harus membawa dampak
sosial‐ekonomi‐religius kepada penerimanya dan masyarakat sekitar sebagaimana yang dipahami dari makna dasar zakat yang berarti ”pengembangan.”24 Yaitu terjadinya perubahan ke arah produktif bagi mustahik.
22
Umratul Khasanah, “Analisis Model... ” Tesis, 2004, h. 177.
23
Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 152.
24
Dalam perkembangan pendayagunaan zakat di Indonesia, kehadiran UU
dimaksud, secara yuridis formal, merupakan sebuah aset. Harapan untuk melakukan
perbaikan pendayagunan zakat yang diusung oleh UU ini, tampaknya mengalami
kendala internal dan ekternal. Dari sisi internal, UU ini tidak sepenuhnya memberikan
landasan pendayagunaan zakat dalam nuansa sosial‐ekonomi‐ religius terhadap
mustahik. Pengembangan dimensi sosio‐ekonomi‐religius, yang diusung oleh UU ini,
dipandang bersifat alternatif dan tidak bersifat keniscayaan. Namun dalam
pelaksanaannya UU ini mengalami kendala eksternal.25
Pergeseran pola ”kepercayaan personal” ke ”kepercayaan kolektifitas
organisatoris ” yang dialami oleh umat Islam khususnya muzakki pada satu sisi dan
pada sisi lain, kemampuan pengelola zakat untuk menampilkan diri dalam sosok
institusional sebagai perwujudan kepercayaan kolektifitas, harus diwujudkan dan
merupakan beban baru bagi pengelola zakat. Menurut, hasil survey yang dilakukan Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, filantropi Islam secara kelembagaan termasuk
pengelolaan zakat, masih ditemukan“...mengandal kan relasi inter‐personal dan
kapasitas individual”. Namun terdapat lembaga tertentu yang tidak lagi
mengembangkan pola relasi ini.26
Dalam perkembangan memasuki ”babak baru” bagi lembaga pengelola
zakat, tampaknya, terdapat kecenderungan nuansa pergeseran seperti dikemukakan di
atas belum terasa kental dalam atmosfir manajemen pengelola zakat. Peneliti Pusat
Bahasa UIN Jakarta, berpendapat bahwa pengaruh agama Islam dalam pelaksanaan
filantropi Islam secara umum dan termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan zakat sangat kuat.27 Menjadikan doktrin sebagai argumen dalam melihat pengaruhnya dalam pelaksanaan zakat misalnya, dapat saja diterima dengan pendekatan sosiologis, dengan
25
Adapun kendala dari sisi ekstenal yang dihadapi UU ini, lebih bersifat psikososial. Sebelum UU ini, secara sosilogis, umat Islam terbiasa menyerahkan zakatnya kepada mustahik dengan menganut pola kepercayaan personal. Kepercayan personal adalah muzakki mengeluarkan zakatnya dengan menyerahkan kepada seseorang yang bertindak sebagai amil.
26
Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, ( Ed.), Pengantar Editor dalam Revitalisasi Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2005), h. ix.
27
catatan bahwa, secara konsepsional zakat merupakan ibadah dalam Islam dan dalam tataran praksis nabi dan para sahabat serta berbagai petunjuk al‐Qur’an dapat
dilakukan kajian ulang dalam memahami pandangan berkenaan dengan zakat itu.
Dengan kata lain, menjadikan zakat sebagai doktrin memang demikian adanya, tetapi
berbagai perspektif dapat diberikan kepadanya, baik dalam konteks pengembangan
konsep maupun dalam pelaksanaannya.
Dalam aspek pendayagunaan misalnya, kelompok mustahik sebagai kelompok
penerima, secara permanen ditetapkan oleh al‐Qur’an, namun dari sisi kriteria, perilaku dan motivasi mereka, masih terbuka peluang untuk melakukan pengkajian lebih lanjut dalam berbagai perspektif. Perilaku mustahik, pada masyarakat awal Islam, boleh jadi memiliki karakteristik yang sama dalam seluruh masa dilihat dari tingkat kebutuhan mereka terhadap zakat, namun yang berbeda adalah sejauh mana terhadap motivasi,
penggunaan dan penghayatan nilai‐nilai yang mereka kembangkan dari penerimaan
mereka terhadap zakat. Unsur‐unsur perbedaaan ini, tidak sepenuhnya, dapat dilihat sebagai perilaku permanen bagi mustahik, tetapi perilaku itu merupakan konstruk dari
berbagai elemen yang membangunnya. Elemen‐elemen yang membangun perilaku
mereka mencakup pengaruh lingkungan sosial, ekonomi dan politik juga keterlibatan amil zakat atau pengelola zakat.28
Dalam upaya melakukan perbaikan dalam aspek pendayagunaan zakat, Didin
Hafidhuddin merumuskan delapan langkah untuk proses akselerasi penguatan
kelembagaan zakat di Indonesia yaitu: optimalisasi zakat, membangun citra
kelembagaan zakat yang amanah dan professional, membangun sumber daya manusia
pengelola zakat, amandemen UU No. 38/1999 dan peraturan terkait dengannya,
membangun database mustahik dan muzakki, menciptakan standarisasi mekanisme
kerja pengelola zakat, memperkuat sinergi antar lembaga pengelola, membangun sistem zakat. 29
28
Pertimbangan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi perilaku mustahik, dapat menjadi landasan bagi pengelola zakat dalam merumuskan kebijakan mengenai pendayagunaan zakat. Kecermatan pengelola zakat dalam memahami perilaku mustahik akan memberikan dampak bagi perkembangan pengelolaan zakat dan juga bagi perubahan mustahik ke arah yang positif serta merupakan tantangan yang dihadapi oleh pengelola zakat.
29
Uraian berkaitan mustahik dalam sudut ekonomi dapat dikelompokkan; a. Kelompok yang secara tegas membutuhkan harta dalam hal ini orang miskin; orang fakir; kelompok Fī sabīlillah; al‐Ġhârimīn, al‐Riqåb; b. Kelompok yang secara tidak tegas
membutuhkan harta, dalam arti bahwa boleh jadi memerlukan bantuan ekonomi dan
boleh jadi tidak, dan karenanya, sangat ditentukan oleh kondisi objektif perekonomian yang mereka miliki.. Kelompok ini adalah ibn
al‐sabīl dan al‐’â milīn.30
Penelitian terhadap pendapat ulama khususnya yang berkenaan dengan
ekonomi Islam menunjukkan adanya konsep yang berkenaan dengan pendayagunaan
zakat dalam perspektif yang berbeda‐beda. Mahmud Matrajî misalnya, menyatakan
menurut Syafii, bahwa zakat wajib didistribusikan kepada mustahik dan Mâlik,
berpendapat bahwa kepada mereka diberikan dengan pola perwakilan saja‐ tidak
diberikan kepada semua kelompok mustahik‐.31 Abū Zahrah berpendapat bahwa hukum
zakat pada asalnya diberikan kepada negara untuk mengaturnya dan diperbolehkan
untuk memberikan wewenang kepada muzakki untuk mendistribusikannya.32 Namun
demikian, Abū Zahrah mengakui peran amil sebagai pihak yang mengurus pengumpulan
zakat, memilih, meniliti calon mustahik yang berhak menerimanya serta
membagikannya.33
30
Dalam Alquran, terdapat delapan sasaran pendayagunaan zakat atau mustahik, QS. Attaubah/9: : 60
و بﺎ ﺮ ا و ﻬ ﻮ ﺔ ﺆ او ﺎﻬ ﺎ او آﺎ او ءاﺮ تﺎ ﺪ ا ﺎ إ
اوﷲا و رﺎ ا
ﻜ ﷲاوﷲا ﺔ ﺮ ا
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
31
Mahmud Matrajî dalam Muhammad Idrîs al-Syâfiî, al-Um, Juz I, (Bairut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), cet. II, h 94.
32
Muhammad Abu Zahrah, Zakat, diterjemahkan Zawawy (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004) cet.III, h. 163.
33
Muhammad Abu Zahrah, Zakat, h. 151. Menurut al-Qurtubî, Syâfiî dan Mujâhid berpandangan bahwa bagian amil adalah seperdelapan dari total dana zakat yang terkumpul sedang Ibnu ’Umar dan Mâlik diberikannya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya, selain itu terdapat pendapat yang lain bahwa ia diberikan dari baitul mal.33 Abû Hanifah, tidak memberikan prosentase, tetapi dia menyatakan bahwa amil berhak memperoleh bagian dana zakat secara ma’ruf menurut kemungkinan kelancaran tugas-tugasnya sebagai amil. Muhammad Abu Zahrah,
Al‐’Assâl dan Fathy Ahmad menyatakan bahwa zakat bertujuan untuk meratakan jaminan sosial dan dengan demikian zakat yang diterima, mustahik akan menahan diri untuk tidak mengganggu harta orang kaya.34
Perbedaan pendapat ulama dan cendekiawan muslim di atas berkaitan
dengan pendayagunaan zakat, pada satu sisi menggambarkan terjadinya perkembangan
pemikiran di kalangan mereka, namun pada sisi lain, secara aplikatif khususnya
berkaitan dengan pendayagunaan zakat, tampaknya tidak menguntungkan umat Islam.
Pandangan terakhir di atas, menunjukkan bahwa dengan perbedaaan
pandangan itu menimbulkan beragamnya interpretasi bagi pengelola zakat dalam
pendayagunaan zakat. Pada tataran ini, pengelola zakat, melakukan interpretasi sendiri‐ sendiri seiring dengan tingkat pengetahuan mereka baik dari sisi fiqhiyah maupun dari sisi manajemen. Akibat interpretasi sendiri‐sendiri ini, berimplikasi terhadap mustahik. Bagi mustahik sebagai kelompk sasaran, boleh jadi dengan pendayagunaan zakat yang ada pada satu sisi akan memberikan dampak material yang memuaskan, tetapi pada satu sisi kering dari aspek spritual, sebaliknya, dengan material zakat –dana‐ yang diterima yang sedikit tetapi didukung oleh pembinaan spritualitas yang tinggi dari pengelola zakat.
Dengan kondisi pengetahuan pengelola zakat dari aspek fiqhiyah dan
manajemen dalam pendayagunaan zakat, berikut implikasi pendayagunaan yang
ditimbulkannya, menunjukkan bahwa ajaran zakat belum dapat menduduki fungsinya
dalam realitas masyarakat –mustahik – dalam kehidupan sosio‐ekonomi‐religius secara sinergis, dan dari sisi ini maka Islam sebagai rahmat li al‐‘Ălamin belum terwujud.
Idealisme mengenai pendayagunaan zakat di atas, dan dikaitkan dengan
perbedaan pendapat di kalangan ulama dan cendekiawan muslim yang berpengaruh
kuat bagi pendayagunaan zakat bagi pengelola zakat, maka implikasinya diperlukan
merupakan salah satu model jaminan sosial Islam dan karenanya, zakat paling utama didistribusikan untuk kepentingan fakir dan miskin. Lihat, Muhammad Muhammad Amin al-Sya’râny, al-Damân al-Ijtimâiy fi al-Islam, (t.tp: t.p., 1975), h. 127.
34
penggalian secara konsepsional mengenai pendayagunaan zakat dengan menerapakan
aspek metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan, dipandang sangat mendesak.
Dalam konteks pendayagunaan zakat di Indonesia, tidak dapat dilihat dari perspektif ibadah semata, tetapi zakat memiliki kaitan yang erat dengan dimensi
peningkatan kesejahteraan umat. Partisipasi pengelola zakat dalam melakukan
“pembaharuan” sebagaimana yang dikemukakan di atas, dalam pendayagunaan zakat
juga dipahami sebagai bagian yang memiliki relevansi dengan upaya peningkatan
kesejahteraan umat.
Dengan memperhatikan uraian terdahulu, maka dapat dikemukakan
pertimbangan pemilihan judul ini yaitu: Pertama, untuk merespon berbagai ga‐ gasan
mengenai peningkatan pendayagunaan zakat yang secara umum mereka menghendaki
perlunya dilakukan perbaikan dalam manajemen pendayagunaan zakat oleh lembaga
pengelola zakat. Kedua, dilihat dari sisi karakteristik dana zakat dibanding dengan sumber dana lainnya, seperti infak dan sadaqah, maka dana yang disebutkan pertama, memiliki karakterisitik tersendiri yakni sebagai dana zakat dari muzakki yang diimplementasikan sebagai bentuk pelaksanaan rukun Islam. Karena itu, kegagalan dana zakat untuk mewujudkan fungsinya, dapat saja dipandang sebagai bagian kegagalan umat Islam merespon makna rukun Islam dimaksud dalam kehidupan sosial ekonomi sosial relegius. Ketiga, pendayagunaan zakat oleh pengelola zakat dipandang belum memberikan hasil maksimal bagi mustahik. Manfaat zakat bagi mustahik, selama
ini baru pada tingkat minimal. Dengan pendayagunaan yang berbasis manajemen,
maka pengelola zakat berpeluang untuk mengembangkan dana mencapai manfaat
maksimal bagi mustahik. Keempat, kondisi dalam negeri yang mengalami keterpurukan
dalam bidang sosial ekonomi, dengan jumlah miskin yang mengalami peningkatan,
maka pendayagunaan zakat sebagai instrumen sosial ekonomi dipandang sangat
mendesak untuk dilakukan.
mereka terhadap pendayagunaan zakat. Dalam hal perspektif pendayagunaan zakat, maka sikap kritis umat Islam terhadap pengelola zakat selain membutuhkan tertib
akuntansi atas laporan‐laporan keuangan pendayagunaan dana zakat juga
membutuhkan pembuktian empiris atas dampak‐dampak sosial ekonomi religius atas dana zakat terhadap
mustahik.
Pemilihan Badan Amil Zakat Nasional, dalam penelitian ini sebagai objek kajian karena: Pertama, secara politis badan ini didirikan oleh pemerintah. Badan Amil Zakat Nasional didirikan dengan mengacu pada Surat Keputusan Presiden RI. No. 8 Tahun 2001. Berbeda dengan lembaga amil zakat yang hanya dibentuk oleh masyarakat; Kedua, secara geografis, Badan Amil Zakat Nasional berkedudukan di Jakarta Ibu kota negara, yang secara langsung bersentuhan dengan kehidupan metropolis; Ketiga, ia dibiayai oleh pemerintah. Dalam UU No. 38/1999 dan SK Presiden No.9 / 2001 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional disebutkan bahwa ”... Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanan tugas Badan Amil Zakat Nasional dibebankan pada Anggaran Departemen Agama....”; Keempat, visi BAZNAS yang sangat strategis yaitu ”...Menjadi Pusat Zakat Nasional yang memiliki peran dan posisi yang sangat strategis di dalam uaya
pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan ....”35
Dengan visi ini, maka secara kelembagaan badan ini mengakui perlunya perhatian yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan umat dan dengan demikian badan ini dapat diidentifikasi sebagai lembaga kesejahteraan umat.
Keempat dasar pertimbangan dalam pemilihan Badan Amil Zakat Nasional
sebagai objek penelitian, merupakan karakteristik yang tidak dimiliki oleh badan amil zakat daerah dan lembaga pengelola zakat lainnya. Hemat penulis, dasar pertimbangan ini mengandung faktor internal dan eksternal. Eksternal mencakup dukungan politis, sedang internal adalah perumusan visi dan tempat kedudukan organisasi. Jika dua faktor
itu dihubungan dengan aspek manajemen, maka dapat diasumsikan bahwa Badan Amil
Zakat Nasional memiliki posisi yang sangat kuat dan strategis baik dari sisi kelembagaan, maupun harapan‐harapan sebagai lembaga yang pro pada peningkatan kesejahteraan di tengah bangsa Indonesia yang sebahagian penduduk dilanda berbagai permasa lahan ekonomi sosial dan budaya.
35
Berdasarkan uraian di atas berkenaan dengan kondisi pendayagunaan zakat
serta kecederungan pemikiran ulama yang dapat dinyatakan sebagai pembawa gagasan
ekonomi Islam yang menjadikan zakat mempunyai dampak sosial‐ekonomi‐relegius bagi
mustahik serta gagasan untuk memperbaiki pengelolaan zakat, maka penelitian ini
dipandang laik untuk dilakukan.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Penelitian yang diberi judul Pendayagunaan Zakat Pada Badan Amil Zakat
Nasional dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat, bermula dari keinginan untuk
memperoleh jawaban terhadap pendayagunaan zakat yang dikembangkan oleh Badan
Amil Zakat Nasional dalam peningkatan kesejahteraan umat. Terhadap judul tersebut,
memungkinkan akan timbul sejumlah permasalahan yang dapat didentifikasi sebagai
berikut :
a. Aspek Fungsi Badan Amil Zakat Nasional. Secara umum Badan Amil Zakat
Nasional dapat dinyatakan sebagai pelopor pembaharuan zakat dalam perspek f UU 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam UU 38/1999 disebutkan bahwa dari sisi
struktural badan pengelola zakat terdiri dari Badan Amil Zakat Nasional yang
berkedudukan di ibu kota Negara; Badan Amil Zakat Daerah Propinsi yang berkedudukan di Ibu kota Provinsi; Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten atau Kota berkedudukan di Ibu kota Kabupaten atau Kota; Badan Amil Zakat Kecamatan yang berkedudukan di Ibu kota kecamatan. Pola struktur organisasi ini, menunjukkan bahwa terdapat keinginan UU ini
untuk menjadikan Badan Amil Zakat Nasional sebagai pelopor pendayagunaan zakat
secara nasional. Dengan demikian, badan ini diharapkan dapat berperan sebagai
percontohan zakat dalam berbagai hal di antaranya manajemen pendayagunaan zakat
dan penggunaan dalil syar’iy sebagai landasan dalam pendayagunaan zakat.
Dengan melihat posisi Badan Amil Zakat Nasional yang demikian strategis, maka pertanyaan kemudian adalah apakah posisi yang diamanatkan UU itu telah disandang oleh Badan Amil Zakat Nasional?. Pertanyaan ini menarik, karena di luar institusi ini, UU
telah mengakomodir berdirinya institusi lain dengan tugas yang sama dalam hal