• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hamzah Pendayagunaan Zakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hamzah Pendayagunaan Zakat"

Copied!
286
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAYAGUNAAN ZAKAT PADA

BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL DALAM MENINGKATKAN

KESEJAHTERAAN UMAT

Disertasi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Doktor Ilmu Agama Islam

Oleh

HAMZAH

NIM: 02.3 00.1.08.01.0067

Promotor:

PROF. DR. KH. DIDIN HAFIDHUDDIN MA

TURIDI, MS.

DR. HJ. USWATUN HASANAH, MA.

TIM PENGUJI:

PROF. DR. M. ATHO

MUDZHAR, MSPD.

DR. IR. MUSLIMIN NASUTION, APU.

PROF. DR. ABD HAMID, MS.

DR. FUAD JABALI, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan disertasi yang

berjudul PENDAYAGUNAN ZAKAT PADA BADAN AMIL ZAKAT

NASIONAL DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT untuk

memenuhi sebahagian syarat dalam menyelesaikan studi Program Doktor pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salam dan taslim, semoga tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad

SAW dan orang-orang yang mengikuti petunjuk agam Islam.

Berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam proses pendidikan penulis

dan termasuk dalam rangka mewujudkan karya ilmiah ini. Karena itu, kepada

mereka, sangat layak, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih

dan penghargaan yang setiggi-tingginya.

1.

Bapak Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, MS. dan Ibu Dr. Hj.

Uswatun Hasanah, MA. yang keduanya merupakan promotor yang telah

mendampingi secara keilmuan dengan perhatian yang cukup besar, sejak

penulis ujian proposal sampai pada penyusunan disertasi dan ujian

pendahuluan, serta melakukan koreksi, arahan dan dorongan semangat.

Bapak-bapak penguji, Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD., Dr. Ir. Muslimin

Nasution, APU., Prof. Dr. Abd. Hamid, MS., Dr. Fuad Jabali, MA. yang

telah memberikan koreksi, perbaikan, arahan, dorongan semangat serta

kesediaan mereka menyiapkan waktu sehngga penulis dapat dengan tenang

dan bersemangat melakukan perbaikan terhadap disertasi ini.

2.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Kamaruddin

Hidayat, MA., yang ketika penulis sedang mengikuti pendidikan S3 menjabat

sebagai Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

sampai dengan tahun 2006.

3.

Direktur Sekolah Pascasarjana, Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.,

ketika penulis masuk pendidikan jenjang S3 tahun 2002 menjabat sebagai

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mempertegas arah

pengembangan almamater ini sebagai institusi pendidikan keislaman dengan

karakteristik kedalaman metodologis.

(3)

5.

Rektor UIN Alauddin Makassar, Bapak Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, MA. dan

para Pembantu Rektor yang telah memberi dukungan sepenuhnya dalam

mengikuti pendidikan S3 di UIN Jakarta.

6.

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Bapak Dr. H.

Baso Midong, MA. (Dekan lama) dan Bapak Drs. H. Lomba Sultan, MA

(Dekan Lama) Dr. H. Ambo Asse, M.Ag (Dekan Baru) yang banyak

memberikan bantuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3.

7.

Bapak Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar MA. dan Bapak Prof. Dr. H. Ahmad

Thib Raya, MA. yang keduanya telah memberikan dorongan moril kepada

penulis selama mengikuti pendidikan S3.

8.

Para dosen dan guru besar Sekolah Pascararjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah mewakafkan ilmunya kepada penulis.

9.

Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Bapak Prof. Dr. KH.

Didin Hafidhuddin Ma’turidi, MS. beserta jajarannya yang telah memberikan

izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta mendorong para

pengurus lainnya menyiapkan waktu untuk mengadakan wawancara dengan

penulis.

10.

Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet Dhuafa Republika (DDR)

Bapak Yuli Pujihardi, beserta jajarannya, Bapak Drs. H. Hamri HAS. (Ketua

BAZDA Provinsi Kalimantan Timur) beserta jajarannya, Bapak Prof. Dr. H.

Suparman Usman (Ketua BAZDA Provinsi Banten) beserta jajarannya,

Bapak April Purwanto (Devisi Pendayagunaan Zakat BAZDA DI

Yogyakarta), Bapak HM. Kasim (Sekretaris Baitul Mal Provinsi Nanggro

Aceh Darussalam), Bapak Oki (Staf Adm.BAZDA Provinsi Jawa Tengah)

yang kesemuanya telah memberikan kesempatan kepada penulis mengadakan

wawancara dan pengumpan data pada Lembaga Amil Zakat Nasional dan

Badan Amil Zakat Provinsi dimaksud.

11.

Kepala Perpusataan UI di Depok dan di Salemba khususnya Program Kajian

Timur Tengah juga Kepala Perpustakaan Iman Jama, yang kesemuanya telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menelaah literatur yang

dibutuhkan.

12.

Kedua orang tua penulis H. Hasan dan Hj. Haeriah yang telah mendoakan,

mengasuh, mendidik dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat

memasuki pendidikan S3 dan dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini.

Selanjutnya, ayahanda dan ibu mertua H. Kuddus dan Hj. Dian yang telah

memberikan dukungan moril sehingga penulis dapat dengan tenang dan

terkonsentrasi dalam mengikuti program ini.

13.

Tidak lupa, kepada adinda Hamka Hasan, Lc. MA dan Haniah Hamka Hasan

Lc. M.Pd. serta adik Umrah Hasan MA. yang telah banyak memberikan

bantuan moril dan materil khususnya pada tahap-tahap awal penulis

mengikuti pendidikan ini. Juga kepada kakanda Hj. Rusnah, H. Bakri, adinda

Jumiati Kuddus, Hasbiah, S.Pd., Lukman, yang telah memberikan bantuan

moril dan materil, khususnya kepada kemanakan mereka yang secara biologis

anak penulis, selama mengikuti pendidikan ini.

(4)

disertasi. Secara khusus kepada al-Mukarram Prof. KH. Ali Yafi’i yang telah

meluangkan waktu memberikan wejangan kepada penulis tentang orientasi

kehidupan dan sikap ilmuan muslim, pada masa awal kedatangan penulis di

Jakarta untuk mengikuti program S3.

15.

Demikian juga kepada Ust. Mursalin, Dedi Asmara, Dr. Kaswad Sartono,

MA., A. Suriyani, MA., Bapak DR. H. Arief Halim., MA, Abd. Drs. H.

Kurdi, M.HI., Drs. Suwarning, MA., Abd. Rahman Bahnadi, S. Ag., Drs.

Muh, Tang Dg. Maggangka, Hasid Hasan, SH. MA., Machmud Sayuti, MA.,

Drs. Hasanuddin Parawangi MH., Drs. Amir Jannatin, Drs. Lahaji Khaedar,

MA, Azhar Arsyad SH.

16.

Juga kepada, teman-teman dan seperjungan di Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Alauddin Makassar, yang telah memberikan bantuan moril diantaranya

Dr.Irfan Idris, MA., Drs. Umar Muslim, MA. Halim Talli, S.Ag. MA. Arif

Alim, MA. Dr. Muslimin H. Kara, juga kepada Drs.Qasim P. Salenda,

SH.M.HI. dan Dr. Aisyah H. Kara. Teman-teman di Ciputat, di antaranya Ir.

H. Muhandis Natadiwirja, MM., Helmi, H. Abd.Rauf, Lc.MA. Drs. Abd.

Fattah, M. Pd. Drs. Hamid Laongso. Drs. Murni Badru, MA. Mursalin, MA.

Drs. Sabaruddin Garancang, MA., Drs. Hadi Dg. Mapunna MA., Dra.

Halimah Basri, MA., H. Zuhri Abunawas, Lc. MA.

17.

Terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs. HM. Yusuf Kalla (Wakil

Presiden RI) yang secara institusional telah memberikan bantuan materil

dalam rangka penyelesaian studi penulis.

18.

Terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan Yayasan Latimojong yang

telah memberikan perhatian pendanaan kepada penulis.

Berbagai pihak yang telah berpartisipasi kepada penulis dalam

memberikan kontribusi keilmuan yang pada akhirnya dapat mewujudkan karya

ilmiah tertinggi pada jenjang doktor, di antaranya para dosen penulis di S2 dan S1

serta para guru dalam berbagai jenjang pendidikan dan juga guru mengaji penulis.

Secara khusus penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Dra. Mariam

Kudus -isteri penulis- yang dengan tabah dan penuh perhatian yang diberikan

selama penulis mengikuti pendidikan S3 ini dan mengikhlaskan sebahagian

”hak-haknya” untuk tidak dipenuhi guna meringankan beban penulis, begitu pula

memberikan inspirasi yang begitu dalam bagi penulis sehingga semakin bergairah

dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Juga kepada ananda Mayliah Dian

Khaeriyah, yang telah memahami dengan betul, rendahnya kasih sayang yang

selama ini diterimanya dan secara tidak langsung menerima pembelajaran sejak

usia dini tentang cara hidup di negeri rantauan, khususnya di kota Metropolis

Jakarta.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis memohon agar mereka yang

telah memberikan kontribusi dalam rangka membina potensi keilmuan dan

kepribadian penulis yang telah melahirkan karya ilmiah tertinggi dalam jenjang

doktoral diberikan pahala dan dinilai oleh-Nya sebagai ibadah dan amal jariyah.

(5)

Jakarta, 17 September 2008

Penulis,

H A M Z A H

  NIM: 02.3.00.1.08.01.0067  

                               

DAFTAR

 

ISI

 

 

 

SAMPUL  ... i  PERNYATAAN  KEASLIAN ...ii 

(6)

BERITA  ACARA  UJIAN  PROMOSI...iv 

PEDOMAN  TRANSLITERASI ... v 

KATA PENGANTAR ...xi 

DAFTAR ISI  ... xvi 

ABSTRAK  ... xix 

DAFTAR TABEL  ... xxii 

DAFTAR BAGAN ...xxiv 

  BAB  I   PENDAHULUAN  ... 1 

A. Latar Belakang Masalah ... 1 

B. Permasalahan ... 17 

C. Tujuan Penelitian ...19 

D. Manfaat Peneli an ...20 

E. Definisi Operasional ...20 

F. Kajian Pustaka ...21 

G. Kerangka Teori ...25 

H. Metodologi Penelitian ... 26 

1. Pendekatan dan data Peneli an...26  

      2. Studi Lapangan Peneli an ...  27  

      3. Konsep Pengukuran (Indikator) Pendayagunaan Zakat ... 28 

I. Sistematika Penulisan ...30 

  BAB II     PENDAYAGUNAAN   ZAKAT DALAM  PERSPEKTIF MANAJEMEN  DAN  EKONOMI ISLAM  UNTUK PENINGKATAN    KESEJAHTERAAN  UMAT...31 

A. Pendayagunaan Zakat sebagai Implementasi Manajemen Pada Masa  Rasul ...   31.  1.    Pengertian dan Fungsi‐Fungsi Manajemen ...  32.   2.    Penger an dan Tujuan  Pendayagunaan Zakat ...  41 3.    Faktor‐Faktor Berpengaruh dalam Pendayagunaan  Zakat  44 4.   Amil :  Otoritas Manajmen Pendayagunaan Zakat ...  47.   5.   Prinsip‐ Prinsip Pendayagunaan Zakat Pada  Masa Rasul ...53      

       B.   Zakat sebagai  Instrumen Ekonomi Islam dalam Peningkatan    Kesejahteraan Umat ...   57  

(7)

      2.   Zakat sebagai Instrumen Ekonomi...   72 

      3.   Kesejahteraan Umat melalui Instrumen Ekonomi Zakat....  78   

  BAB III    ASPEK  KELEMBAGAAN,   SUMBER‐SUMBER  PENDA NAAN   DAN    PELAKSANAAN   PROGAM     BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL SERTA  PENDAYAGUNAAN  ZAKAT PADA BERBAGAI PENGELOLA ZAKAT DI  INDONESIA...84 

A. Aspek Kelembagaan dan Sumber‐Sumber serta Pelaksanaan Program  Pendayagunaan  Badan Amil Zakat Nasional ...84 

       1.  Aspek Kelembagaan  Badan  Amil Zakat Nasional...84  

      2.   Sumber‐Sumber Penghimpunan Dana ...  91   

      3.   Pelaksanaan Program ... 92   

    B.  Pendayagunaan Zakat Pada Berbagai Pengelola Zakat di   Indonesia …...104   

      1.  Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS)          DKI   Jakarta…...104 

      2   BAZDA Provinsi Banten ...106 

      3.  Pos Keadilan Peduli Umat  (PKPU) …... 109 

      4.  Dompet Dhuafa Republika   (DDR)...111 

  BAB IV   IMPLEMENTASI  POLA‐POLA PENDAYAGUNAAN          ZAKAT ZAMAN RASUL PADA PENDAYAGUNAAN ZAKAT BADAN AMIL ZAKAT  NASIONAL  ... 119  

A. Penetapan Status, Prototipe, Kewenangan serta   Pertanggungjawaban Amil  ………...119 

1.  Penetapan dan Status Amil  ...  119  

      2.  Proto pe Amil ... 121 

3.  Kewenanan Amil ... 130 

(8)

B. Perwujudan  Fungsi   Amil,  Prinsip Desentralisasi  dan Mempertegas 

Zakat Sebagai Hak Mustahik...133 

      1.   Perwujudan Fungsi Amil ... 133 

      2.   Prinsip Desentralisasi...141 

      3.   Prinsip  Mempertegas Zakat Sebagai Hak Mustahik... 145    

       BAB     V   IMPLEMENTASI  FUNGSI‐FUNGSI MANAJEMEN          DALAM PENDAYAGUNAAN ZAKAT  BAG  PENING‐         KATAN  KESEJAHTERAAN  UMAT   PADA BADAN          AMIL ZAKAT NASIONAL...  149 

      A.   Implementasi Fungsi Perencanaan ...   149 

       1. Gambaran Umum Kelembagaan Badan Amil Zakat         Nasional dalam Pencaaian Tujuan dan Cara         Mencapainya ...152       

       2.  Arah Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam          Pendayagunaan Zakat...158 

       3.  Penyusunan Rumusan tentang Makna Zakat ...160 

           B.    Impelementasi Fungsi Pengorganisasian dan          Pelaksanaan ...163 

       1. Fungsi Pengorganisasian ...163 

       2. Fungsi Pelaksanaan ... 180       

      C.   Implementasi Fungsi Kepemimpinan dan Pengawasan...189 

       1. Fungsi Kepemimpinan. ... .189  

       2. Fungsi Pengawasan...211   

(9)

KESEJAHTERAAN 

UMAT... 214 

      A.   Kendala Lingkungan Eksternal Struktural... 215  

      1.  Model Kelembagaan ... 215 

      2.   Sumber Pendanaan Non Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS)         Belum Memadai ... 224  

      3.   Belum Terbit Kebijakan Pemerintah tentang Zakat          sebagai Pengganti  Pajak Penghasilan ... 228  

      4.   Belum Ada Ketentuan Penyetoran dana zakat         UPZ  ke Badan Amil Zakat Nasional  ...229 

      5.   Lemahnya UU NO.38/1999 tentang Pengelolaan         Zakat ... 230 

      6.   Belum Terbit Peraturan  Pemerintah tentang Koordinasi         Badan Amil Zakat Nasional dan Pengelola Zakat  ...233 

       B.   Kendala Lingkungan Eksternal Kultural dan Internal      Kelembagaan...235 

       1. Lingkungan Eksternal Kultural ...235 

       2. Kendala Lingkungan Internal Kelembagaan... .244 

  BAB VII  PENUTUP ...250 

A. Kesimpulan...250 

B. Rekomendasi ...253 

  DAFTAR PUSTAKA ...255 

LAMPIRAN‐LAMPIRAN ... 266 

1.   Tabel ...266 

2.    Bagan ...280    

3     Da ar Informan ...282 

(10)

5.   Keterangan Wawancara ... 285 

6.   Surat Keterangan Penelitian  ... 293 

7    Surat Permohonan Penelitian  ... 295 

8    SK. Presiden tentang Pembentukan BAZNAS ...296 

9   UU. No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat... ..…307 

10  Daftar Riwayat Hidup  ... 319 

(11)

ABSTRAK

Kesimpulan besar disertasi ini membuktikan bahwa Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada dasarnya telah melakukan pendayagunaan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat sesuai dengan pola yang dilakukan Rasulullah SAW. Pada satu sisi dan pada saat yang sama dalam batas-batas tertentu,  BAZNAS dipandang telah mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen. Namun, dalam hal pengembangan, baik aspek kelembagaan maupun pada program yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan umat, ditemukan sejumlah kendala yang menjadikan kinerja badan ini tidak optimal.

Kesimpulan ini berimplikasi bahwa pada dasarnya badan ini dapat dinyatakan sebagai institusi kesejahteraan umat dan telah menampilkan diri sebagai institusi pengelola zakat yang menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern. Prototipe institusi BAZNAS dan kinerjanya yang demikian itu telah membantah pandangan sebagian pengamat terhadap citra pengelola zakat yang semula menempatkan amil sebagai ”pekerjaan sambilan” dan ”terkesan membagi-bagi uang zakat” menjadi sebuah pekerjaan yang profesional dan akuntabel.

Hasil penelitian disertasi ini tidak dimaksudkan untuk memperlemah dan memperkuat terhadap teori tertentu dalam objek penelitian yang sama yakni pada BAZNAS, karena belum ada penelitian yang dilakukan sebelumnya. Namun, dilihat dari sisi bidang kajian disertasi ini, yakni pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh lembaga zakat, maka ditemukan pandangan-pandangan tertentu yang dapat dikaitkannya. Disertasi ini, di antaranya, telah memperkuat pandangan yang menginginkan agar dikembangkan pengelolaan zakat yang menganut pendekatan partisipasi. Menurut Palmawati (Disertasi 2004) penggagas pendekatan ini, keterlibatan stakeholder untuk berpartisipasi dalam pengelolaan zakat sangat diperlukan. Disertasi ini membuktikan bahwa BAZNAS dalam pendayagunaan zakat, telah melibatkan mustahik—sebagai bagian stakeholder— berpeluang dalam posisi untuk tidak saja secara pasif menerima zakat, tetapi berkesempatan untuk memberdayakan dirinya.

Selain itu, disertasi ini mendukung gagasan yang diusung oleh Yusuf Qardawy (1985)  yang menetapkan dasar-dasar struktur bagi organisasi pengelola zakat yang mengarah pada pendayagunaan zakat. Afzalur Rahman (1992) memberikan penekanan yang lebih tajam tentang eksistensi pengelola zakat, agar zakat dapat berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi, maka diperlukan badan zakat.

Data penelitian ini disumberkan dari selain data kepustakaan juga data lapangan

(12)

 

(13)

ABSTRACT   

The main conclusion of this dissertation proves that (Badan Amil Zakat Nasional)  BAZNAS used zakat to encourage social welfare based on the practices and forms of  Rasulullah saw. In a hand, in the same time, BAZNAS implemented managerial function.  However, in the development context, either institution aspect or programs related to  encouraging  social  welfare,  it  found  many  obstacles  causing  this  institution  not  favorable. 

Thin conclusion implicates that this institution could be mentioned as social  welfare institution. This dissertation proves that BAZNAS appears as an institution which  manages modern zakat and its duties utilizing zakat based on managerial principle. The  prototype of BAZNAS and its duties encounter the views of many thinkers about the  image of zakat managing that previously placed ‘âmil as “secondary activity” and  apparently just “distributes zakat” become a professional and accountable activity.          The result of this research does not intended to weaken nor strengthen to  certain theory in the same research object, which is at BAZNAS, because there is no  previously research conducted yet. However, seen from this dissertation study area, that  is zakat utilization conducted by zakat institute, hence found certain approaches that  able to correlate of. This dissertation, strengthened view those who wished zakat  management to be develop embracing participative approach, as Palmawati conception 

in  her  disserta on  (2004),  the  stakeholder  involvement  to  par cipate  in  zakat 

management is much needed. This dissertation also proves that with BAZNAS policy in  zakat utilization, hence, mustahiq, as part of stakeholder, has opportunity in just  position, not only quiescently accept zakat, but also having chance to power himself. 

  This dissertation also supports Yusuf Qardawy (1985) who determines the 

structural bases of zakat organizer institutions that lead to zakat utilization. Afzalur  Rahman urges regarding the existence of zakat organizer, so zakat might effect to  economical development, indeed needs a zakat institutions.  

  Sources of this research data come from bibliography and field. Field data 

conducted by interviewing five internal informants from BAZNAS and seven external  informants as BAZDA and LAZ activists and studying eleven BAZNAS documents. In  analyzing research data, the approach used.[] 

 

(14)
(15)
(16)

DAFTAR TABEL    

Tabel    1     Penerimaan Badan Amil Zakat Nasional  

       Tahun 2005‐2007...   91    

Tabel    2      Program Mitra Solidaritas Isteri Kabinet Indonsia Bersatu         (SIKIB) dan Badan Amil Zakat Nasional ...101   

Tabel    3      Pemasukan Dana Dompet Dhuafa Republika  

      1426‐1427 H ...113    

Tabel    4      Sumber  Daya Personal Badan Amil Zakat Nasional   

      Dari sisi Latar Belakang  Keilmuan dan Profesi  ... 124     

Tabel    5     Hasil Analisis Terhadap Konsep Amil Badan Amil Zakat  

       Nasional: Dimensi, Sumber Pembentukan Persepsi, Katego 

       Risasi... 126   .. 

Tabel    6    Iden fikasi UnsurUnsur Konsep Mustahik dalam Persepsi 

      Badan Amil Zakat Nasional dan Peluang Program Penda‐ 

      yagunaan Zakat   ... 134    

Tabel    7    Program dan Prosentase Pendayagunaan Zakat Badan  

       Amil  Zakat Nasional ... 146    

(17)

 

Tabel   9     Perbandingan Prosentase Antar Sektor pada Pendayagunaan 

       Zakat Infak dan Sedekah Lembaga Pengelola Zakat  

      Di Indonesia ... 156    

Tabel 10     Sintesis antara Unsur dalam Fungsi Pengorganisasian 

      dengan Indikator Penelitian ...    165   

Tabel 11     Perbandingan Pendayagunaan Zakat versi Badan Amil 

      Zakat Nasional dan Keputusan Dirjend. Bimas Islam dan  

      Urusan Haji ...    182   

Tabel  12    Sistensis antara Unsur‐Unsur pada Sumber‐Sumber Ke‐ 

      pemimpinan dalam Fungsi Kepemimpinan dengan  

      Indikator Penelitian ... ...  190    

Tabel 13     Subsidi Departemen Agama RI terhadap Badan Amil Zakat          Nasional  2001‐2006 (dalam  Rupiah)  ...     225   

Tabel 14    Anggaran Dari Program Kerjasama Terhadap Badan Amil          Zakat Nasional  2001‐2006... ....  227   

Tabel 15    Dana Zakat yang Dihimpun  BAZNAS 2005‐ 2006...227   

Tabel 16    Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang  

       dihimpun  BAZNAS dengan  Penerimaan Secara Nasional  

(18)

 

Tabel 17   Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang  

       dihimpun  Badan Amil Zakat Nasional 2005‐2006 ...244       

Tabel 18   Perkembangan Kemiskinan di Indonesi  2000‐2006  ... 266   

Tabel  19  Da ar Lembaga Pengelola  dan  Kegiatan Pendist‐ 

       ribusian  Zakat, Infakdan Sedekah    ... 267    

Tabel  20  Distribusi Kata Ămil dalam Al‐Qur’an dan Ide  yang  

       Dipahami ...   268   

Tabel  21  Distribusi Kata Ămilîn  dalam Al‐Qur’an dan Ide yang  

       Dipahami  ...  269   

Tabel  22  Iden fikasi Penggunaan Ulama/ Cendekiawan Muslim  

       tentang Is lah  Prinsip Ekonomi Islam ...  270   

Tabel  23  Program Peduli BUMN ...  271      

Tabel  24  Program PSPU ...272   

Tabel  25  Penerimaan Dana BAZIS DKI Jakarta ...273   

Tabel  26  Penggunaan Dana Baziz DKI Jakarta ...273    

(19)

 

Tabel  28  Penyebaran Unit Zalur Zakat Menurut Provinsi ... 275   

Tabel  29   Program Baznas  Sinergi Center ...276   

Tabel  30   Penggunaan Dana BAZDA Banten ... 277   

Tabel  31   Penggunaan Dana Dompet Dhuafa ... 278   

Tabel  32   Penggunan Dana Zakat BAZNAS 2002‐2006... 279   

DAFTAR  BAGAN   

Bagan  1     Unsur dalam Fungsi Perencanaan   ... 151         

Bagan  2    Alur Kerangka Pikir Peneli an ………. 279   

Bagan  3    Konsep Indikator Terhadap Pendayagunaan Zakat ...  280      

BAB I 

PENDAHULUAN 

A.   Latar Belakang Masalah  

Pemerintah Indonesia, telah menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai suatu 

upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Gunawan,  pada  masa 

Orde  Baru  kebijakan  pemerintah  berkaitan  dengan  pengentasan  kemiskinan  di 

(20)

departemen  untuk  merumuskan  kebijakan  pengen  tasan  kemiskinan  seperti  departemen pertanian bertanggungjawab terhadap go longan miskin dari keluarga yang  berada di sektor pertanian. Sedangkan terakhir berkaitan dengan pembagian wilayah  seperti Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur   yang antara lain melalui 

program  inpres.  Khusus  daerah  yang  belum  terjangkau  program  itu  pemerintah 

menetapkn PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu) dengan   menetapkan kecamatan  

sebagai unit kerjanya.1 

Data tabel delapan belas (18), menunjukkan peningkatan angka kemiskinan 

2006  melampaui  angka    2001.  Perbandingan  ini  menunjukkan  bahwa  justru 

perkembangan kemiskinan mengalami peningkatan.  Menurut hasil peneli‐ tian Jasmina 

dkk. seperti dinyatakan oleh Mustafa Edwin Nasu on bahwa, dari 268 kabupaten /kota 

yang   diteli  hanya 93 kabuaten/ kota yang   mengembangkan kebijakan anggaran 

belanja daerah yang pro kepada orang miskin.2    

Berdasarkan uraian di atas, telah   memberikan    informasi bahwa terdapat  

hubungan antara  ketidakmandirian  masyarakat  dalam kaitannya dengan program  

penanggulangan  kemiskinan  dengan  pengalokasian  anggaran  yang  dibangun  oleh 

pemerintah. Program yang dibangun oleh pemerintah pusat seperti dinyatakan oleh 

Gunawan memiliki persamaan dengan perilaku pemerintah daerah dalam penyusunan 

anggaran belanja daerah. Karena itu, ketidakmandirian masyarakat dalam program‐

program pengentasan kemiskinan, tidak dapat sepenuhnya dilihat dari ketidakmampuan 

masyarakat itu sendiri tetapi terkait dengan perilaku  pengembangan masyarakat yang  dibangun oleh pemerintah.   

      

1

Berbagai kebijakan pemerintah berkaitan pengentasan kemiskinan menurut Gunawan dapat dilihat pada terjadinya proses perubahan struktural dalam kehiduan sosial ekonomi masyarakat. Namun secara empirik program-program yang dikembangkan oleh pemerintah dirasa belum mampu menanggulangi kemiskinan secara sistemik. Program yang ada kurang memberikan dampak pada penguatan kapasitas sosial ekonomi masyarakat lokal guna mendukung membangun kemandirian. Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: Inpac, 1999), h. 66. Menurutnya, Inpres sebagai kebijakan termasuk di dalamnya IDT (Inpres Desa Tertinggal).

2

(21)

Dalam upaya pengentasan   kemiskinan,   Presiden Susilo Bambang Yudoyono 

mengharapkan “kiranya dilakukan sinergitas kebijakan antara   pemerintah pusat dan 

pemda dengan melibatkan swasta dan masyarakat luas.”3 

  Keikutsertaan umat Islam Indonesia dalam pengentasan kemiskinan dipandang 

sangat strategis karena selain dengan argumen sosiologis juga perintah agama.45   Dalam  perkembangan keislaman di Indonsia,   salah satu institusi yang berpengaruh adalah  zakat. Zakat dalam doktrin Islam, yaitu rukun Islam yang keempat, dan dibangun  sebelum syahadat, shalat dan puasa.   Karena itu, sangat diduga bahwa, pelaksanaan  zakat di kalangan umat Islam, telah dilakukan di nusantara ini bersamaan dengan 

eksistensi  mereka  dan  dipandang  sebagai  bagian  dari  pelaksanaan  agama  Islam.    

Berkaitan   dengan pelaksanaan agama Islam terhadap zakat di Republik Indonesia, 

Uswatun  Hasanah,    menyatakan  bahwa  umat  Islam  yang  merupakan  mayoritas 

penduduk di Indonesia telah lama melaksanakan lembaga zakat. Lebih lanjut dinyatakan  bahwa, pelaksanaan zakat disamping   perintah   agama juga salah   satu   upaya   untuk  

mewujudkan  keadilan  

sosial di bidang ekonomi.6   

   Pernyataan di atas menunjukkan bahwa,  dari  aspek ekonomi, lembaga  zakat 

memegang peran yang sangat penting dalam membangun     keadilan sosial.   Dalam 

kehidupan  sosial  kemasyarakatan  misalnya,  pembangunan  gedung    madrasah, 

pembinaan dai, pembangunan masjid  telah ditunjang oleh dana zakat. Hal yang sama  berlaku pula dalam kehidupan sosial  ekonomi yang bersifat bantuan “sesaat” ekonomi 

terhadap umat Islam yang membutuhkan.  

       3

Pengarahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dalam rapat Rakortas di Gedung Agung Istana Negara Yogyakarta, 14 Desember 2006, tenang Pembukaan Lapangan Kerja dan Pengurangan Kemiskinan, “Pemerintah Buka Lapangan Kerja.” Republika, 15 desember 2006.

4

Pertama, mayoritas penduduk Indoneia menganut agama Islam. Karena itu, secara sosio-ekonomi, umat Islam, merupakan umat yang paling mayoritas dilanda kemiskinan di Indonesia dibanding umat yang lain, dan dengan kebijakan ini, maka mereka berpeluang untuk memperoleh dampak kebijakan. Kedua, gagasan pengentasan kemiskinan dipandang sesuai dengan agama Islam. Menurut Alquran, dari berbagai ayatnya terdapat sejumlah ayat dipandang mendorong perlunya pengentasan kemiskian. Di antaranya, kecaman bagi ornag yang tidak memperhatikan nasib anak yatim (QS.Al-Mâ’un: 1-3), perintah untuk memperhatikan nasib keluarga, orang dekat dan orang-orang miskin (QS.Al-Isra :26)

.

6

(22)

  Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa dari sisi efektifitas   pengelolaan 

zakat, maka memberlakukan zakat dengan mengembangkan pola kedua (tidak langsung) 

merupakan  pola yang tepat. Argumen yang dikemukakan oleh pengelolaan zakat yang   pro pada pola ini adalah dana zakat   dapat terkumpul dan   dapat dikelola dengan  melihat  skala  prioritas,  mengurangi  rasa  rendah  diri  bagi  musthaik  karena  tidak  berhadapan langsung dengan muzakki.7  Dengan dasar efektifitas  pengelolaan zakat ini, 

tampaknya,  kehadiran  amil  dalam  arti  organisasi  pengelola  zakat  menjadi  sangat 

penting.  

Pada era kepemimpinan BJ. Habibie sebagai Prsden RI, pengelolaan zakat di  Indonesia telah memasuki babak baru. Babak baru pengelolalan zakat dalam era ini, 

ditandai  dengan  lahirnya  UU  No.  38/1999  tentang  Pengelolaan  Zakat.  UU  ini 

menetapkan bahwa, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang  dibentuk  oleh pemeritah (Pasal 6) dan lembaga amil zakat yang dikukuhkan, dibina dan dilindungi  oleh pemerintah (Pasal 7). Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional dilakukan oleh  Presiden atas usul Menteri Agama, sesuai UU NO. 38 Tahun   1999 Pasal 2. Untuk 

pertama kalinya Badan Amil Zakat Nasional dibentuk berdasarkan Surat Keputusan 

Presiden Nomor 8/ 2001 tanggal 17 Januari. Dalam UU ini selain aspek pengumpulan  dana juga diatur tentang pendayagunaan zakat.  Karenanya, sangat diduga kuat bahwa  UU ini memiliki relevansi dengan pandangan    Islam  yang    melihat   bahwa   zakat    sebagai   instrumen  ekonomi.   

Instrumen ini  dapat dimanfaatkan untuk pengentasan  kemiskinan.   

Sebagai instrumen ekonomi Islam, dengan potensi zakat yang besar di Indonesia 

memungkinkan  secara  ekonomi  diterima  sebagai  salah  satu  sumber  dana  dalam 

pengentasan kemiskinan. Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa, “Apabila hasil 

penerimaan zakat pada tahun 1999 sebesar   Rp. 10 trilyun maka diperkirakan Rp. 6.7  trilyun    untuk  pengentasan  kemiskinan  dan  sisanya  untuk  kegiatan  sektor  ril.”8  

Pandangan terakhir ini, hanya menggambarkan betapa zakat dapat berfungsi dalam 

pengentasan  kemiskinan dan tidak mencerminkan angka potensi zakat sebenarnya.        

7

Didin Hafidhuddin Ma’turdi, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Shadaqah, (Ja- karta: Baznas, 2005), h. 32.

8

(23)

  Selain  aspek  pengentasan  kemiskinan  dalam  dimensi  ekonomi,  perhatian 

terhadap  masalah‐masalah  bencana  alam,  bantuan  terhadap  dunia  pendidikan,   

lembaga pengelola zakat juga dalam batas‐batas kemampuannya telah berkiprah dalam 

aspek   ekonomi sosial  dan religius dan karenanya memungkinkan ditelaah dalam 

perspektif peningkatan kesejahteraan umat.  

  Mencermati  keberadaan lembaga pengelola  zakat di Indonesia, yang telah 

banyak berbuat  ‐dalam batas‐batas tertentu dan masih menyisakan berbagai kendala 

seperti  yang  akan  dikemukakan‐    secara  fungsional  ekonomi  khususnya  dalam 

pengentasan kemiskinan, juga dalam transformasi pengetahuan dan spritual, namun 

terdapat suatu hal yang sangat disayangkan karena partisipasi ini kurang mendapat  respon dari publik terutama dari pemerintah. Kondisi ini terukur dari tidak adanya 

Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan Undang‐Undang dimaksud.  Secara politis, 

posisi zakat selalu ditempatkan sebagai bagian dari Islam dan tidak dimasukkan sebagai 

bagian  instrumen  pengentasan    kemiskinan.  Kondisi  ini  sebenarnya  tidak 

menguntungkan umat Islam, terlebih lagi  mereka secara nasional  merupakan populasi 

terbanyak yang terjebak dalam kemiskinan. Terkesan bahwa, pengentasan kemiskinan, 

hanya dilaksanakan secara “tunggal” oleh      pemerintah,    sementara   umat     Islam,     khususnya     pengelola   zakat  

tidak terkait dengan pengentasan kemiskinan .    

  Kondisi  ini  juga    berpengaruh   terhadap   kecenderungan  kajian   zakat.  

Kajian‐kajian   zakat selama ini cenderung hanya dipandang dari aspek syari’ah, tanpa   dilihat dari aspek aspek lainnya seperti ekonomi sosial politik.   Pada hal sesungguhnya,   kajian‐kajian zakat tidak dapat   dipokuskan semata pada aspek syari’ah sebagaimana  yang mewarnai kajian zakat dewasa ini. tetapi kajian non syar’ah dalam antar disiplin 

ilmu mutlak  diperlukan.  Dalam  aspek  syari’ah  misalnya,  zakat  dipandang  sebagai 

kewajiban bagi muzakki,  dan hak menerima bagi mustahik serta hak pengelolaan bagi  amil.  Tetapi, zakat tidak hanya berbicara tentang hak dan kewajiban antar ketiga unsur  di  atas,  tetapi    dapat  dikaji  lebih  jauh  agar  zakat  memiliki  keterkaitan  dengan 

mengembangkan    hak‐hak  mustahik.    Dengan  demikian,  maka  kajian  zakat, 

(24)

  Sebagai salah satu sumber keuangan Islam, perhatian terhadap kajian zakat 

seyogianya  tidak  hanya  tertuju  pada  aspek  pengumpulan  semata.  Namun  aspek 

pendayagunaan dipandang sangat penting.  Pentingnya aspek pendayagunaan  karena: 

(a). Zakat yang terkumpul pada amil yang diserahkan oleh muzakki,   maka dengan 

pada  aspek pengumpulan  hanya  memiliki  “beban  tunggal “yaitu bagimana  upaya 

pengumpulan  dana  zakat  dari  muzakki.    Selanjutnya,    dengan  dana  zakat  yang 

didayagunakan  kepada  mustahik    sesuai  dengan  petunjuk  syari’at,  maka  akan 

memberikan pengaruh tidak hanya kepada mustahik,   namun juga terhadap muzakki 

untuk mengeluarkan zakat mereka pada satu sisi dan akan mendorong amil dalam 

meningkatkan kwalitas pengelolaan dana zakat.  

Berkaitan dengan pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, maka 

ditemukan hasil penelitian yang kurang menggembirakan. Di antara hasil penelitian  itu:  Pertama, Uswatun Hasanah, menetapkan bahwa  terdapat kendala yang dihadapi  oleh  BAZIS DKI Jakarta antara lain   lemahnya aspek organisasi, kurangnya sumber daya  manusia, pengawasan, pembinaan terhadap mustahik dan biaya operasional yang tidak  cukup.9  Kedua, hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Basril menunjukkan bahwa  hanya sekitar 30 % dari dana bergulir yang diberikan oleh Bazis DKI Jakarta, dapat  dikembalikan dengan baik oleh kelompok usaha yang berasal dari mustahik.10        

       9

Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 196. Hemat penulis, penelitian ini dilakukan sebelum lahirnya UU dimaksud, namun substansi kendala lembaga pengelola zakat pasca UU ini masih dipandang relevan dengan hasil penelitian ini.

10

(25)

Dalam tabel  sembilan  belas  (19) terlihat bahwa sejumlah lembaga pengelola 

zakat yang sudah menerapkan manajemen. Penerapan manajemen paling tidak terukur 

pada ditemukannya prosentase dalam sektor‐sektor pendayagunaan zakat. Pengelola 

zakat  dimaksud  belum  ditemukan  adanya  keseragaman  prosentase  dalam  aspek 

pendayagunaan zakat. Terdapat pengelola zakat yang memberikan prosentase tertinggi 

pada asepk tertentu, sedang  pengelola lainnya memilih prosentase tertinggi pada aspek   lainnya.     Hasil analisis dalam tabel   sembilan (9) menunjukkan bahwa sektor usaha 

produk f  10‐50  %;     pengembangan  sumber daya  manusia  25‐50 %;   prasarana 

pendidikan/ rumah ibadah  bantuan sosial 10‐24 %   serta sektor amil 10‐12.5 %. Secara 

umum terdapat kecenderungan bahwa pengelola zakat, belum memiliki kesamaan 

prosentase dalam  menetapkan pendayagunaan zakat terhadap mustahik.  

Berkaitan dengan upaya perbaikan pendayagunaan zakat, telah  dikembang   kan  oleh kalangan tertentu berbagai    gagasan.    Gagasan  tersebut antara  lain,  

perlunya   dilakukan   pendekatan   transformatif   dalam  mengembangkan  

masyarakat sadar zakat.11   

Selain gagasan yang dikemukakan di atas, Palmawati menawarkan pendekatan 

partisipatif. Menurutnya, pendekatan ini mengandung arti agar berbagai berpihak pihak  yang terlibat dan memiliki kepentingan yakni pemerintah, amil, muzakki serta mustahik,  berpartisipasi secara aktif serta memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan  kewajiban zakat.”12 Oleh Zukâri menyatakan bahwa seharusnya zakat berfungsi sebagai  instrumen kesejahteraan sosial (al‐Rifâhah aIjtimâiyah) namun  yang terjadi dewasa ini  masih sebatas pada fungsi bantuan (Had al‐kâfi).13 

       11

Safwan Idris sang penggagas pendekatan ini, menyatakan bahwa, tujuan akhir dari upaya gerakan sadar zakat adalah menciptakan suatu masyarakat baru yang memiliki kesadaran tinggi terhadap dimensi-dimensi yang terkandung dalam zakat yang meliputi : ibadah, hukum, sosial, ekonomi, politik dan pendidikan. Menurutnya, dewasa ini terjadi kecenderungan masyarakat memahami zakat dalam dimensi hukum dan ibadah saja.Safwan Idris, Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Pendekatan Transformatif (Jakarta: Cita Putra Bangsa , 1997), h. 315-320..

12

Palmawati Tahir, “Zakat dan Negara (Studi tentang Prospek Zakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan Berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat),” (Disertasi S3 Konsentrasi Ilmu Hukum PPS. Universitas Indonesia Jakarta, 2004), h. 435.

13

(26)

Selain pandangan di atas kalangan tertentu seperti ulama,14 akademisi 15  serta  pengamat sosial ekonomi umat Islam16 menaruh perhatian dalam pendayagunaan zakat.  Selain  mereka yang berlatar belakang akademisi, pengamat sosial ekonomi umat Islam 

dan pemimpin ormas, kalangan perbankan juga memberikan perhatian di antaranya 

bahwa ”selama ini zakat terkesan kurang diperhatikan sehingga penangannya dilakukan 

tidak  efektif  dan karenanya  perlu pengawasan  yang  ketat untuk  menjaga  tingkat 

kepercayaan masyarakat luas”.17 Gagasan yang lain, perlunya pendampingan kepada 

mustahik agar dana yang diberikan oleh pengelola zakat tidak hanya berfungsi sebagai  karitatif finansial yang dapat habis begitu saja.18    

 Memperhatikan uraian sebelumnya, baik yang bersumber dari hasil pene litian  maupun dari berbagai gagasan dari sumber latar belakang yang beragam di atas, maka  ditemukan bahwa   salah satu masalah mendasar yang dialami oleh pengelola zakat di 

Indonesia, khususnya dalam hal pendayagunaannya adalah aspek manajemen.  

Berkaitan dengan lemahnya aspek manajemen dalam pendayagunaan zakat 

bagi  pengelola  zakat,  Emmy  Hamidiyah  melakukan  identifikasi.19 Uraian  berkaitan 

identifikasi kelemahan dari aspek manajemen pendayagunaan zakat yang  menunjukkan 

       14

Menurut Ali Yafie bahwa, ”sesuatu yang baru dalam pengelolaan zakat adalah menjadikan lembaga itu identik dengan lembaga keuangan...” Ali Yafie, dalam Aries Mufti, dkk.,

Problem Kemiskinan, (Jakarta: Blantika, 2004), h. xxiv. Didin Hafidhuddin dalam konteks sebagai ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional, ”...harus dikelola dengan melibatkan orang yang memiliki amanah, waktu yang cukup dan profesional... ” dan menurutnya pandangan ini dapat memberikan solusi atas keberadaan lembaga zakat yang masih rendah di mata masyarakat. Didin Hafidhuddin, dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, h.xxx.

15

Dalam konteks pendayagunaan zakat untuk jangka panjang Syafii Maarif dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa ”... pendayagunan zakat di Indonesia masih dalam batas untuk jangka pendek, belum ke arah jangka panjang dan bergulir....” A. .Syafi’i Maarif, ”Kata Pengantar ” dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, h. xiv.

16

Masdar F.Mas'udi dalam kapasitas sebagai Ketua PB. Nahdhatul Ulama menyatakakan bahwa ”...zakat memiliki dampak sosial yang harus riil dan ia mengandung konsep dinamis dan karenanya dari sasaran distribusi zakat tidak harus persis sama dengan penerapan pada masa Rasul....” Masdar F. Mas'udi, dalam, Aries Mufti., dkk., Problem Kemiskinan, h. xx-xxi.

17

Mulya E. Siregar, Kepala Biro Peneltian, Pengembangan dan Peraturan Perbankan Syari’ah, Direktorat Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Makalah, dalam seminar Lembaga Keuangan Sosial Islam, di UIN Jakarta, 17 Januari, 2007, h. 3.

18

A. Ridwan Amin, dkk., “Katup Pengaman Bila Instrumen Ekonomi Tidak Jalan,”dalam

Syari’ah dalam Sorotan (Jakarta: Yayasan Amanah, 2003), h. 126-127.

19

(27)

bahwa pendayagunaan zakat tidak hanya memiliki dimensi beridiri sendiri tetapi terkait  dengan dimensi lainnya. Namun demikian, cara pandang pengelola zakat terhadap zakat 

itu sendiri dipandang juga berpengaruh dalam meramaikan lemahnya pendayagunaan 

zakat. Cara pandang mereka ter‐ hadap zakat, akan berpengaruh pula dalam memaknai  organisasi pengelola zakat.    

Berkaitan posisi zakat  sebagai  salah  satu  rukun Islam Uswatun Hasanah   menyatakan  bahwa   zakat mengandung  pengabdian moral  dan ekonomi,    bagi   muzakki.  Menurutnya, dari sisi pertama  ia akan  membangun perilaku positif bagi  

muzakki dan membantu secara ekonomi  bagi mustahik.20 Namun, terdapat pandangan 

lain yang menempatkan zakat sebagai sebuah instrumen yang bersifat karitatif. Yaitu  suatu pandangan yang melihat zakat sebagai instrumen yang bersifat penyantun bagi  mustahik.21    Walaupun tidak ditemukan penelitian secara empirik tentang pengaruh   pandangan terakhir ini dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi diduga kuat bahwa 

pandangan ini membawa pengaruh bagi perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia 

khususnya terhadap pengelola zakat.  

Menempatkan zakat sebagai instrumen karitatif, akan mengantar pengelola 

zakat  memandangnya  sebagai  bagian  dari  aktifitas  sosial  semata.  Akibatnya, 

pengelolaan zakat, diarahkan untuk kepentingan sosial semata serta dikelola dengan 

pola kesukarelaan. Hasil penelitian yang dilakukan Umratul Khasanah menyimpulkan 

        mustahik hanya sebatas objek dan tidak dirasakan mustahi secara permanen. Ketiga, dari sisi regulasi. Yaitu, belum ditetapkan fungsi regulator dan pengawasan bagi pengelola zakat yang bertugas untuk antara lain : (1) Menetapkan kebijakan penyaluran zakat; (2) menetapkan skala prioritas pendayagunaan zakat yang didukung dengan perencaan yang komprehenshif; (3) membangun sinergi dan koordinasi antar lembaga pengelola zakat maupun; (4) menentukan kriteria keberhasilan program (5) melakukan evaluasi pelaksanaan program. Emmy Hamidiyah, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf & Kurban Pada lembaga Pengelola Zakat (Studi Kasus: Dompet Dhuafa Republika)”, (Tesis S2 Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam UI, 2004), h. 8.

20

Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 75.

21

Salah satu buku yang membahas tentang karitas adalah pandangan Maulana Muhammad Ali. Dalam bab zakat dia memberikan judul Zakât or Charity. Namun dalam pembahasannya, ia menjelaskan bahwa zakat tidak sekedar pemberian karitatif semata, tetapi merupakan suatu institusi yang lama dalam Islam. Ia mencontohkan, kebijakan Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat pada jamannya. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam,

(28)

terdapat empat ragam badan amil zakat dan amil zakat di Indonesia yaitu : “model  birokrasi, organisasi bisnis, ormas serta model amil tradisional.”22  

Keragaman model pengelolaan zakat di atas dipandang akan memberikan akibat  pada pengelolaan zakat. Tentu saja, dilihat dari aspek pendayagunaan zakat, dikaitkan  dengan keempat ragam pengelolaan zakat tersebut, maka diperlukan suatu upaya agar 

dalam  pengelolaannya  harus  terpenuhi  kriteria  dasar.  Kriteri  dasar  ini,  dapat 

dihubungkan  pandangan  Uswatun  Hasanah  dalam  menilai  zakat  dalam  konteks 

pendayagunaan  yaitu “terwujudnya zakat yang  efektif    sesuai  dengan fungsi dan 

tujuannya.”23  

Berkaitan dengan  pandangan  Umratul  Khasanah  di  atas  tentang  model   pengelolaan zakat,  secara  umum  dapat  dinyatakan   bahwa pengelolaan zakat di  

Indonesia masih menganut manajemen yang berparadigma ”kesukarelaan”. Manajemen 

”kesukarelaan” mengandung arti bahwa pengelolaan zakat dikelola dengan pola sebagai 

lembaga sosial yang tidak menerapkan prinsip‐prinrip manajemen. Zakat merupakan 

lembaga sukarela yang diurus dengan waktu yang belum optimal, pengurusannya 

bersifat ala kadarnya, serta mendistribusikannya sebagai dana yang kurang memberi  hasil guna kepada mustahik. Sikap pengelola zakat yang tidak memperhitungkan daya 

guna zakat kepada mustahik dan hanya mereka memandang –pengelola—tugas mereka 

sebagai  sekadar  menyerahkan  saja  (zakat)  adalah  sebuah  cerminan  dari  rasa 

kesukarelaan yang dimiliki pengelola lembaga zakat. Implikasi secara manajerial, bahwa 

pengelola hanya bertugas untuk menyampaikan zakat secara benar (menurut kriteria 

mustahik dalam fikih), baik (memberikan dengan penuh perhatian dan sopan), lalu  mustahik menerimanya pula. Cara pandang seperti ini, jelas bertentangan dengan nilai 

dasar  zakat.  Nilai  dasar  menghendaki  bahwa  zakat  itu  harus  membawa  dampak        

sosial‐ekonomi‐religius       kepada         penerimanya     dan         masyarakat sekitar    sebagaimana     yang     dipahami     dari     makna     dasar zakat     yang       berarti  ”pengembangan.”24  Yaitu terjadinya perubahan  ke arah produktif  bagi mustahik. 

       22

Umratul Khasanah, “Analisis Model... ” Tesis, 2004, h. 177.

23

Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 152.

24

(29)

  Dalam  perkembangan  pendayagunaan  zakat  di  Indonesia,  kehadiran  UU 

dimaksud, secara yuridis formal, merupakan sebuah aset. Harapan untuk melakukan 

perbaikan pendayagunan zakat     yang diusung oleh UU ini, tampaknya mengalami 

kendala internal dan ekternal. Dari sisi internal, UU ini  tidak sepenuhnya memberikan 

landasan  pendayagunaan  zakat  dalam  nuansa  sosial‐ekonomi‐  religius  terhadap 

mustahik. Pengembangan dimensi sosio‐ekonomi‐religius, yang diusung oleh UU ini, 

dipandang  bersifat  alternatif  dan  tidak  bersifat  keniscayaan.  Namun  dalam 

pelaksanaannya UU ini mengalami kendala eksternal.25 

Pergeseran  pola  ”kepercayaan  personal”  ke  ”kepercayaan  kolektifitas 

organisatoris ”   yang dialami oleh umat Islam khususnya muzakki pada satu sisi dan  

pada  sisi  lain,  kemampuan pengelola  zakat  untuk  menampilkan  diri dalam sosok 

institusional  sebagai  perwujudan  kepercayaan  kolektifitas,  harus  diwujudkan  dan 

merupakan beban baru bagi pengelola zakat. Menurut, hasil survey yang dilakukan  Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta,   filantropi Islam secara kelembagaan termasuk 

pengelolaan  zakat,  masih  ditemukan“...mengandal  kan  relasi  inter‐personal  dan 

kapasitas  individual”.  Namun  terdapat  lembaga  tertentu  yang  tidak  lagi  

mengembangkan  pola relasi ini.26   

 Dalam    perkembangan memasuki ”babak baru”  bagi lembaga pengelola  

zakat, tampaknya, terdapat kecenderungan  nuansa pergeseran seperti dikemukakan di 

atas belum terasa kental dalam   atmosfir manajemen pengelola zakat.   Peneliti Pusat 

Bahasa UIN Jakarta, berpendapat bahwa pengaruh agama Islam dalam pelaksanaan 

filantropi Islam secara umum dan termasuk di dalamnya adalah   pelaksanaan zakat  sangat kuat.27 Menjadikan doktrin sebagai argumen dalam melihat pengaruhnya dalam  pelaksanaan zakat misalnya, dapat saja diterima dengan pendekatan sosiologis, dengan        

25

Adapun kendala dari sisi ekstenal yang dihadapi UU ini, lebih bersifat psikososial. Sebelum UU ini, secara sosilogis, umat Islam terbiasa menyerahkan zakatnya kepada mustahik dengan menganut pola kepercayaan personal. Kepercayan personal adalah muzakki mengeluarkan zakatnya dengan menyerahkan kepada seseorang yang bertindak sebagai amil.

26

Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, ( Ed.), Pengantar Editor dalam Revitalisasi Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2005), h. ix.

27

(30)

catatan bahwa, secara konsepsional zakat merupakan ibadah dalam Islam dan dalam  tataran praksis nabi dan para sahabat   serta berbagai   petunjuk al‐Qur’an dapat 

dilakukan  kajian  ulang  dalam memahami  pandangan  berkenaan dengan  zakat itu.  

Dengan kata lain, menjadikan zakat sebagai doktrin memang demikian adanya, tetapi 

berbagai perspektif dapat diberikan kepadanya, baik dalam konteks pengembangan 

konsep maupun dalam pelaksanaannya.  

   Dalam aspek pendayagunaan misalnya, kelompok mustahik sebagai kelompok 

penerima,  secara permanen ditetapkan oleh al‐Qur’an, namun  dari sisi kriteria, perilaku  dan motivasi mereka, masih terbuka peluang  untuk melakukan pengkajian lebih lanjut  dalam berbagai perspektif. Perilaku mustahik, pada masyarakat awal Islam, boleh jadi  memiliki   karakteristik yang sama dalam seluruh masa dilihat dari tingkat kebutuhan  mereka terhadap zakat, namun yang berbeda adalah sejauh mana terhadap motivasi, 

penggunaan dan penghayatan nilai‐nilai yang mereka kembangkan dari penerimaan 

mereka terhadap zakat. Unsur‐unsur perbedaaan ini, tidak sepenuhnya, dapat dilihat  sebagai perilaku permanen bagi mustahik, tetapi perilaku itu merupakan konstruk dari 

berbagai elemen yang  membangunnya. Elemen‐elemen  yang membangun perilaku 

mereka mencakup   pengaruh lingkungan sosial, ekonomi dan politik juga keterlibatan  amil  zakat atau pengelola zakat.28   

Dalam upaya melakukan perbaikan dalam aspek pendayagunaan zakat, Didin 

Hafidhuddin  merumuskan  delapan  langkah  untuk  proses  akselerasi  penguatan 

kelembagaan  zakat  di  Indonesia  yaitu:  optimalisasi  zakat,  membangun  citra 

kelembagaan zakat yang amanah dan professional, membangun sumber daya manusia 

pengelola  zakat,  amandemen  UU  No.  38/1999  dan  peraturan  terkait  dengannya, 

membangun database mustahik dan muzakki, menciptakan standarisasi mekanisme 

kerja pengelola zakat, memperkuat sinergi antar lembaga pengelola, membangun sistem  zakat. 29  

      

28

Pertimbangan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi perilaku mustahik, dapat menjadi landasan bagi pengelola zakat dalam merumuskan kebijakan mengenai pendayagunaan zakat. Kecermatan pengelola zakat dalam memahami perilaku mustahik akan memberikan dampak bagi perkembangan pengelolaan zakat dan juga bagi perubahan mustahik ke arah yang positif serta merupakan tantangan yang dihadapi oleh pengelola zakat.

29

(31)

Uraian berkaitan mustahik dalam sudut ekonomi  dapat  dikelompokkan; a.  Kelompok yang secara tegas membutuhkan harta dalam hal ini orang miskin; orang  fakir; kelompok Fī sabīlillahal‐Ġhârimīn, al‐Riqåb; b. Kelompok yang secara tidak tegas 

membutuhkan harta, dalam  arti bahwa boleh jadi memerlukan bantuan ekonomi dan 

boleh jadi tidak, dan karenanya, sangat ditentukan oleh kondisi  objektif  perekonomian   yang  mereka miliki..  Kelompok ini    adalah ibn  

al‐sabīl dan al‐’â milīn.30 

Penelitian  terhadap  pendapat  ulama  khususnya  yang  berkenaan  dengan 

ekonomi Islam menunjukkan adanya konsep yang berkenaan dengan pendayagunaan 

zakat dalam perspektif yang berbeda‐beda. Mahmud Matrajî misalnya, menyatakan 

menurut  Syafii,  bahwa  zakat  wajib  didistribusikan  kepada  mustahik  dan  Mâlik, 

berpendapat bahwa kepada mereka diberikan  dengan pola perwakilan saja‐ tidak 

diberikan kepada semua kelompok mustahik‐.31 Abū Zahrah berpendapat bahwa hukum 

zakat pada asalnya diberikan kepada negara untuk mengaturnya dan diperbolehkan 

untuk memberikan wewenang kepada muzakki untuk mendistribusikannya.32  Namun 

demikian, Abū Zahrah mengakui peran amil sebagai pihak yang mengurus  pengumpulan 

zakat,  memilih,  meniliti  calon  mustahik  yang  berhak  menerimanya  serta 

membagikannya.33  

       30

Dalam Alquran, terdapat delapan sasaran pendayagunaan zakat atau mustahik, QS. Attaubah/9: : 60

و بﺎ ﺮ ا و ﻬ ﻮ ﺔ ﺆ او ﺎﻬ ﺎ او آﺎ او ءاﺮ تﺎ ﺪ ا ﺎ إ

اوﷲا و رﺎ ا

ﻜ ﷲاوﷲا ﺔ ﺮ ا

”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

31

Mahmud Matrajî dalam Muhammad Idrîs al-Syâfiî, al-Um, Juz I, (Bairut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), cet. II, h 94.

32

Muhammad Abu Zahrah, Zakat, diterjemahkan Zawawy (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004) cet.III, h. 163.

33

Muhammad Abu Zahrah, Zakat, h. 151. Menurut al-Qurtubî, Syâfiî dan Mujâhid berpandangan bahwa bagian amil adalah seperdelapan dari total dana zakat yang terkumpul sedang Ibnu ’Umar dan Mâlik diberikannya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya, selain itu terdapat pendapat yang lain bahwa ia diberikan dari baitul mal.33 Abû Hanifah, tidak memberikan prosentase, tetapi dia menyatakan bahwa amil berhak memperoleh bagian dana zakat secara ma’ruf menurut kemungkinan kelancaran tugas-tugasnya sebagai amil. Muhammad Abu Zahrah,

(32)

Al‐’Assâl dan Fathy Ahmad   menyatakan  bahwa  zakat  bertujuan   untuk   meratakan jaminan sosial dan dengan demikian zakat yang diterima, mustahik akan  menahan diri untuk tidak mengganggu harta orang kaya.34  

Perbedaan  pendapat  ulama  dan  cendekiawan  muslim  di atas berkaitan  

dengan pendayagunaan zakat, pada satu sisi menggambarkan terjadinya perkembangan 

pemikiran di kalangan mereka, namun   pada sisi lain, secara aplikatif   khususnya 

berkaitan dengan pendayagunaan zakat, tampaknya tidak menguntungkan umat Islam.  

Pandangan    terakhir    di  atas,  menunjukkan  bahwa  dengan  perbedaaan 

pandangan itu   menimbulkan beragamnya interpretasi bagi pengelola zakat dalam 

pendayagunaan zakat. Pada tataran ini, pengelola zakat, melakukan  interpretasi sendiri‐ sendiri seiring dengan tingkat pengetahuan mereka  baik dari sisi fiqhiyah maupun dari  sisi manajemen. Akibat interpretasi sendiri‐sendiri ini, berimplikasi terhadap mustahik.  Bagi  mustahik sebagai kelompk sasaran, boleh jadi dengan pendayagunaan zakat yang  ada pada satu sisi akan memberikan dampak material yang   memuaskan, tetapi pada  satu sisi kering dari aspek spritual, sebaliknya, dengan material zakat –dana‐ yang  diterima yang sedikit tetapi didukung oleh pembinaan spritualitas yang tinggi dari  pengelola zakat.  

Dengan  kondisi  pengetahuan  pengelola  zakat  dari  aspek  fiqhiyah  dan 

manajemen  dalam  pendayagunaan  zakat,    berikut  implikasi  pendayagunaan  yang 

ditimbulkannya, menunjukkan bahwa ajaran zakat belum dapat menduduki   fungsinya 

dalam realitas masyarakat –mustahik – dalam kehidupan sosio‐ekonomi‐religius secara  sinergis, dan dari sisi ini maka Islam sebagai rahmat li al‐‘Ălamin belum terwujud.  

 Idealisme mengenai pendayagunaan zakat di   atas, dan dikaitkan dengan 

perbedaan pendapat di kalangan ulama dan cendekiawan muslim yang berpengaruh 

kuat bagi pendayagunaan zakat bagi pengelola zakat, maka implikasinya diperlukan 

        merupakan salah satu model jaminan sosial Islam dan karenanya, zakat paling utama didistribusikan untuk kepentingan fakir dan miskin. Lihat, Muhammad Muhammad Amin al-Sya’râny, al-Damân al-Ijtimâiy fi al-Islam, (t.tp: t.p., 1975), h. 127.

34

(33)

penggalian secara konsepsional mengenai pendayagunaan zakat dengan menerapakan 

aspek metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan, dipandang sangat mendesak.   

Dalam konteks pendayagunaan zakat di Indonesia, tidak dapat dilihat   dari   perspektif ibadah semata, tetapi  zakat memiliki kaitan yang erat dengan   dimensi  

peningkatan  kesejahteraan  umat.  Partisipasi  pengelola  zakat  dalam  melakukan 

“pembaharuan” sebagaimana yang dikemukakan di atas, dalam pendayagunaan zakat 

juga  dipahami  sebagai bagian yang  memiliki  relevansi dengan  upaya  peningkatan 

kesejahteraan umat.   

Dengan  memperhatikan  uraian  terdahulu,  maka    dapat  dikemukakan 

pertimbangan pemilihan  judul ini yaitu: Pertama,  untuk merespon berbagai ga‐ gasan  

mengenai peningkatan pendayagunaan zakat yang secara umum mereka menghendaki 

perlunya dilakukan perbaikan dalam manajemen pendayagunaan zakat oleh lembaga 

pengelola zakat.   Kedua,   dilihat dari sisi karakteristik dana   zakat dibanding dengan  sumber dana   lainnya, seperti infak dan sadaqah, maka dana yang disebutkan pertama,  memiliki  karakterisitik    tersendiri  yakni  sebagai  dana  zakat    dari  muzakki  yang   diimplementasikan   sebagai bentuk   pelaksanaan rukun Islam.   Karena itu, kegagalan  dana zakat untuk mewujudkan fungsinya,   dapat   saja   dipandang sebagai   bagian  kegagalan umat Islam merespon makna rukun Islam dimaksud dalam kehidupan sosial  ekonomi sosial relegius.    Ketiga,   pendayagunaan zakat oleh pengelola zakat dipandang  belum memberikan hasil maksimal bagi mustahik. Manfaat zakat bagi mustahik, selama 

ini   baru pada tingkat minimal.   Dengan pendayagunaan yang berbasis manajemen, 

maka pengelola zakat   berpeluang untuk mengembangkan dana mencapai manfaat 

maksimal bagi  mustahik. Keempat,  kondisi dalam negeri yang mengalami keterpurukan 

dalam bidang sosial ekonomi, dengan jumlah   miskin yang mengalami peningkatan, 

maka  pendayagunaan  zakat  sebagai  instrumen  sosial  ekonomi  dipandang  sangat 

mendesak untuk dilakukan.   

(34)

mereka terhadap pendayagunaan zakat. Dalam hal perspektif pendayagunaan zakat,  maka sikap kritis umat Islam terhadap pengelola zakat selain membutuhkan tertib 

akuntansi    atas  laporan‐laporan  keuangan  pendayagunaan  dana  zakat  juga 

membutuhkan pembuktian empiris  atas  dampak‐dampak  sosial  ekonomi  religius  atas  dana zakat terhadap  

mustahik.   

  Pemilihan Badan Amil Zakat Nasional, dalam penelitian ini sebagai objek kajian  karena: Pertama, secara politis badan ini didirikan oleh pemerintah. Badan Amil Zakat  Nasional didirikan dengan mengacu pada   Surat Keputusan Presiden RI. No. 8 Tahun  2001.   Berbeda dengan lembaga amil zakat   yang hanya dibentuk oleh masyarakat;   Kedua, secara geografis, Badan Amil Zakat Nasional berkedudukan di Jakarta Ibu kota  negara, yang secara langsung bersentuhan   dengan kehidupan metropolis; Ketiga,  ia    dibiayai oleh pemerintah. Dalam UU No. 38/1999 dan SK Presiden No.9 / 2001 tentang  Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional disebutkan bahwa ”... Segala pembiayaan yang  diperlukan bagi pelaksanan tugas Badan Amil Zakat Nasional dibebankan pada Anggaran  Departemen Agama....”; Keempat,  visi BAZNAS yang sangat strategis yaitu ”...Menjadi  Pusat Zakat Nasional yang memiliki peran dan posisi yang sangat strategis di dalam uaya 

pengentasan   kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan ....”35  

Dengan visi ini, maka  secara kelembagaan badan ini mengakui perlunya perhatian yang  besar terhadap  peningkatan kesejahteraan umat dan dengan demikian  badan ini dapat  diidentifikasi sebagai lembaga kesejahteraan umat.  

  Keempat  dasar  pertimbangan  dalam  pemilihan  Badan Amil  Zakat Nasional 

sebagai objek penelitian,   merupakan karakteristik yang tidak dimiliki oleh badan amil  zakat daerah dan lembaga pengelola zakat lainnya. Hemat penulis, dasar pertimbangan  ini mengandung faktor internal dan eksternal. Eksternal   mencakup dukungan politis,  sedang internal adalah perumusan visi dan tempat kedudukan organisasi. Jika dua faktor  

itu dihubungan dengan aspek manajemen, maka dapat diasumsikan bahwa Badan Amil 

Zakat Nasional memiliki posisi yang sangat kuat dan strategis baik dari sisi kelembagaan,  maupun harapan‐harapan sebagai lembaga yang pro pada peningkatan kesejahteraan di  tengah  bangsa  Indonesia  yang  sebahagian  penduduk  dilanda berbagai permasa   lahan  ekonomi sosial dan budaya.  

       35

(35)

Berdasarkan uraian di atas   berkenaan dengan kondisi pendayagunaan zakat 

serta kecederungan pemikiran ulama yang dapat dinyatakan sebagai pembawa gagasan 

ekonomi Islam yang menjadikan zakat mempunyai dampak sosial‐ekonomi‐relegius bagi 

mustahik serta gagasan untuk memperbaiki pengelolaan zakat, maka penelitian ini 

dipandang laik untuk dilakukan. 

B.  Permasalahan  

      1.   Identifikasi Masalah    

Penelitian yang  diberi judul Pendayagunaan Zakat Pada  Badan Amil  Zakat 

Nasional  dalam  Peningkatan  Kesejahteraan  Umat,  bermula  dari  keinginan  untuk 

memperoleh jawaban terhadap pendayagunaan zakat yang dikembangkan oleh Badan 

Amil Zakat Nasional dalam peningkatan kesejahteraan umat. Terhadap judul tersebut, 

memungkinkan akan timbul sejumlah permasalahan yang dapat didentifikasi sebagai 

berikut :  

      a.   Aspek Fungsi Badan Amil Zakat Nasional. Secara umum Badan Amil Zakat 

Nasional dapat dinyatakan sebagai pelopor pembaharuan zakat  dalam perspek f UU 38  Tahun 1999 tentang  Pengelolaan Zakat.  Dalam UU 38/1999 disebutkan bahwa dari sisi 

struktural  badan  pengelola  zakat  terdiri  dari  Badan  Amil  Zakat  Nasional  yang 

berkedudukan di ibu kota Negara; Badan Amil Zakat Daerah Propinsi yang berkedudukan  di Ibu kota Provinsi; Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten atau Kota berkedudukan di Ibu  kota Kabupaten atau Kota; Badan Amil Zakat Kecamatan yang berkedudukan di Ibu kota  kecamatan. Pola struktur organisasi ini,  menunjukkan bahwa terdapat keinginan UU ini 

untuk menjadikan Badan Amil Zakat Nasional sebagai pelopor pendayagunaan zakat 

secara  nasional.  Dengan  demikian,  badan  ini  diharapkan  dapat  berperan  sebagai 

percontohan zakat dalam berbagai hal di antaranya manajemen pendayagunaan zakat 

dan  penggunaan dalil syar’iy  sebagai landasan dalam pendayagunaan zakat. 

Dengan melihat posisi Badan Amil Zakat Nasional yang demikian strategis, maka  pertanyaan kemudian adalah apakah posisi yang diamanatkan UU itu telah disandang  oleh Badan Amil Zakat Nasional?. Pertanyaan ini menarik, karena di luar institusi ini, UU 

telah  mengakomodir  berdirinya  institusi  lain  dengan  tugas  yang sama  dalam  hal 

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya pendistribusian zakat berupa kebutuhan makanan pokok dari BAZNAS sangat tepat sekali dimana kondisi sekarang ini banyak di Kabupaten Cirebon yang terpapar

Emi Hartatik yang berjudul “Analisis Praktik Pendistribusian Zakat Produktif Pada Badan Amil Zakat Daerah BAZDA Kabupaten Magelang” yang membahas tentang pendistribusian

Merujuk dari undang-undang tersebut dan untuk mendukung efektifitas dari penanaman dan penerapan nilai toleransi beragama melalui intiusi pendidikan, tak hanya

Dalam t Test menyatakan bahwa sebagian signifikan efek investasi negatif pada pertumbuhan ekonomi di kota Batam dan variabel tenaga kerja menyatakan bahwa pekerjaan Parsial

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS V PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI SDN 02 PODOREJO

Deret-p memiliki bentuk sebagai berikut. Deret-p konvergen jika p > 1 dan divergen jika p 1 {Bukti konvergensi ini ditunda dulu hingga Anda selesai mempelajari beberapa

4 Dari uraian tersebut diatas, maka penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Garuda Indonesia Branch Office Solo dan mengangkat sebuah tema yang

bahwa dalam Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Badan Amil Zakat Nasional, Badan Amil