• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zakat   sebagai   instrumen   Ekonomi   Islam   dalam   Peningkatan   Kesejahteraan   Umat           Sub bab ini akan menjelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan umat

Dalam dokumen Hamzah Pendayagunaan Zakat (Halaman 73-96)

atau   mustahik   sesuai   dengan   ketentuan zakat. Zakat dapat dipandang berdayaguna jika dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pemenuhan kebutuhan

UNTUK   PENINGKATAN   KESEJAHTERAAN   UMAT

B.   Zakat   sebagai   instrumen   Ekonomi   Islam   dalam   Peningkatan   Kesejahteraan   Umat           Sub bab ini akan menjelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan umat

berpeluang  dicapai  dengan  menjadikan  zakat  sebagai  sumber  ekonomi.    Dalam 

pandangan ekonomi Islam, zakat dijadikan sebagai sumber ekonomi dan karenanya 

membutuhkan pendayagunaan yang berbasis pada pengelolaan tertetu. Amil   dalam 

zakat  mengandung  konsep  institusional    dan  dalam  konteks  kesejahteraan  umat,  

konsep instutusional ini   dapat ditelaah lebih jauh untuk dinyatakan sebagai institusi 

kesejahteraan.  

      1.   Penger an dan Prinsip‐Prinsip Ekonomi Islam   

a.    Pengertian Ekonomi Islam  

Kata Iqtisâd telah direlevankan dengan kata ekonomi dan mengandung arti 

perilaku antara kikir dan boros136 Iqtisâd  pada awalnya tersusun dari huruf qaf, sad dan 

dâl    serta  mempunyai  makna  dasar  salah  satu  di  antaranya  adalah  melakukan 

penabungan.137 Dalam   QS. Fâtir/35: 32.138  terungkap tiga perilaku dan salah satu 

perilaku adalah “pertengahan”.        

136

Dalam bahasa Arab istilah yang dipandang relevan dengan ekonomi diungkapkan dengan al-iqtisad. Secara bahasa Arab ia diartikan dengan kesederhanaan, penghematan. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) , h. 1124. Pandangan dengan perilaku di atas dikemukakan oleh al-Ragib al-Asfahany, Mufradât al-Fâz al-Qurân, (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1992), h. 672.Terkait dengan kata ini mengenai ekonomi dapat dilihat dalam ’Ali ibn Muhammad al-Jam’at, Mu’jam Mustalahât al-Iqtisadiyyah wa al-Islâmiyyah, (Riyâd: Maktabah al- ’Ibkân, 2000, cet I), h. 69. Muhammad Jalâl Sulaiman Sîdiq. Dawr al-Qîm fî Najâh al-Bunûk al-Islâmiyyah, (Qâhirah: al-Ma’had al-’Ăli

li l-Fikr al-Islâmî, 1996, cet.I), h. 11. 137

Abu Husain Ahmd ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs al-Lughah, Juz V, (t.tp.: Dâr al-Fikr, 1979), h. 95. Menurut kitab ini terdapat tiga makna dasar kata yang tersusun dari

huruf-huruf dimaksud yaitu, mendatangi ssuatu dan induk sesuatu, memotong. 138

وﺪ ﻬ و ﺎ ﻬ ﺎ دﺎ ﺎ ا ﺬ ابﺎ ﻜ اﺎ روأ تاﺮ ﺎ ﺎ ﻬ

ﻚ ذﷲانذﺈ

Al-Fanjâri memberikan definisi tentang ekonomi Islam yaitu sebagai ilmu

yang menjadikan pertumbuhan dan mengatur aktifitas ekonomi Islam yang bersumber dari pokok Islam.” 139 al-’Assâl menyatakan bahwa sebahagin ahli memberikan 

pengertian ekonomi Islam yakni sekumpulan dasar‐dasar umum ekonomi yang dipahami 

dari al‐Qur’an dan Sunnah serta dibangun dengan memperhatikan nilai yang terkandung 

dalam   dasar‐dasar tersebut sesuai dengan perkembangan lingkungan dan zaman..140 

MM. Metwally menyatakan bahwa ekonomi Islam merupakan “ilmu yang mempelajari 

perilaku muslim dalam suatu masyarakat   yang   mengikuti   al‐Qur’an,   Hadits   Nabi 

(Muhammad),     Ijma dan  

Qiyas.”141  

b.  Prinsip‐Prinsip Ekonomi Islam  

Kata Prinsip secara etimologis adalah dasar; asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berfikir, atau bertindak.142

Kata asl dan asâs yang direlevankan dengan prinsip, telah dipergunakan oleh al-Qur’an. Kata yang pertama dipergunakan oleh Q.S. al-saffât 37/56: 64 yang menjelaskan bahwa pohon

zaqqūm berasal dari dasar neraka. Q.S. Ibrâhīm 14/72: 24 yang menjelaskan mengenai

perumpamaan kalimat yang tayyib "baik" seperti pohon yang akarnya tsâbit "teguh" dan cabangnya menjulang ke langit; Q.S. al-Hasyr 59/101: 5 berkaitan dengan pohon kurma orang

       

“Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1260] dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. [1260] yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan. 139

Muhammad Syaufî al-Fanjâri, Nahwu al-Iqtisâd al-Islâmi dalam Hamid Mahmûd dan Abd Allah Abd Husain, al-Iqtisâd al-Islâm. Penerjemah M. Irfan Syafwani, (Yogyakarta:

Megistra Insani Pres, 2004), h. 14. 140

Ahmad Muhammad al-'Assâl dan Fati Ahmad ‘Abd al-Kar³m, al-Nidhâm al-Iqtisâd Fi

al-Islâm Mabâdi’uh wa daf’uh, (Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1977), h. 13-14.

141

MM. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Penerjemah M.Husein Sawit, (Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 1. 142

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1990), h. 701. Dalam bahasa Inggeris Principle yang berarti asas atau dasar. Lihat John M. Echols, Kamus Inggeris Indonesia, (Jakarta: Grmaedia, 1995), h. 447. Dalam bahasa Arab, prinsip diterjemahkan dengan al-mabâdi’ yang tunggalnya adalah al-mabda`, ia diartikan dengan asas atau dasar. Sedangkan kata al-asl diartikan dengan pangkal. Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab… h. 63, 28. Kata al-asl tersusun dari huruf

al-hamzah, sâd dan lam yang mempunyai arti dasar pangkal sesuatu. Abī Husain ibn Fâris ibn Zakarîyâ , (t.tp.: Dâr al-Fikr, 1979, Juz I), h. 109.

kafir baik yang ditebang maupun yang dibiarkan hidup oleh orang Islam. Dari penggunaan al-Qur’an atas kata yang berakar dari huruf hamzah, sâd dan lam diketahui bahwa semuanya terkait dengan pohon. Baik pohon di dunia maupun pohon di akhirat. Selanjutnya diketahui bahwa salah satu fungsi "asl" pada pohon adalah tsâbit. Kata ”tsâbit” dalam al-Qur’an dipergunakan sebanyak 19 kali dengan segala bentuknya.143

Kata asâs telah dipergunakan dalam al-Quran sebanyak 3 kali.144 Q.S. al-Taubah 9/113: 109. Penggunaan assasa ditemukan dua kali yakni pada keterkaitannya dengan taqwa dalam membangun masjid dan orang yang membangun dengan dasar syafâ jurufin hâr di tepi jurang yang runtuh. Kata ussisa ditemukan pada Surah yang sama 9/113: 108 masjid yang dibangun di atas landasan taqwa adalah lebih berhak ditempati oleh kaum muslimin.

Dengan kata lain bahwa ketiga kata yang berasal dari asâs dalam al-Qur’an diungkap dalam konteks pembangunan masjid baik yang dilaksanakan oleh orang munafik maupun orang mukminin. Terdapat hal lain yang menarik di sini bahwa dalam kaitannya dengan pembangunan masjid yang dilaksanakan oleh orang munafik, maka Allah memberikan pilihan kepada orang mukmin untuk mendirikan salat dalam masjid yang dibangun di atas landasan taqwa ahaqqu ‘an taqūma fīh. Atas dasar ini dipahami bahwa kata assasa lebih berisifat aplikatif, sehingga kata ini merupakan perilaku sedang kata "asl" mengandung konsep paradigma atau landasan berfikir. Tegasnya bahwa, kata "asl" menggambarkan landasan berfikir, sedang kata "assasa" lebih bersifat pengambilan kebijaksanaan.

Dalam kaitan dengan pembahasan ini, maka nampak yang lebih relevan adalah kata asl. Yakni sebagai landasan berfikir dalam ekonomi.

Dalam wacana ekonomi Islam, tampaknya ulama dan cendekiwan muslim telah memberikan prinsip-prinsip mengenai ekonomi. Di antaranya uraian Quraish Shihab yang menetapkan empat prinsip dalam ekonomi: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas dan tanggungjawab.145 Selanjutnya, dalam menetapkan etika bisnis ia merincinya: (a) Kejujuran, (b) Keramahtamahan; (c) Penawaran yang jujur; (d) Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi waktu; (e) Penjual hendaknya tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah dalam menjual; (f) Tegas dan adil dalam timbangan dan takaran; (g) Tidak dibenarkan monopoli; (h) Tidak dibenarkan adanya harga komoditi yang boleh dibatasi; (i) Kesukarelaan.146

Selanjutnya Abd.Muin Salim memberikan uraian mengenai prinsip-prinsip filosofis ekonomi Qurani yaitu: (a) Tauhid; (b) Istikmâr atau istikhlâf; (c) Kemaslahatan (al-silâh) dan keserasian (al-‘adâlah); (d) Keadilan (al-qist); (e) Kehidupan sejahtera dan kesentosaan dunia akhirat.147 Menurut Taqiy al-Dīn al-Nabhânī bahwa asas sistem ekonomi Islam adalah : (a)

      

143

Fu’âd Abd. Al-Bâqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân al-Karīm, (Qâhirah: Dâr al-Hadīts, 2001), h. 201-2. 144

Fu’âd Abd. Al-Bâqī, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 43. 145

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), h. 409. 146

M. Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan Alquran” dalam Jurnal Ulum Alquran, No.3 VII/1997, h. 5-9. 147

Abd. Muin Salim, “Ekonomi dalam Perspektif Alquran”.Makalah pada seminar Tafsir Hadis Fak. Syari’ah IAIN Ujungpandang, 1994. , h. 1-4.

kepemilikan (property); (b) Pengelolaan (tasarruf); (c) pendistribusian kekayaan ke tengah manusia.148 Ahmad M. Saefuddin menetapkan tiga asas pokok filsafat ekonomi Islam, yaitu: (a) Sumber kekayaan adalah Allah; (b) Allah Esa dalam mencipta makhluk dan semua makhluk-Nya tunduk kepada-Nya; (c) Kesinambungan kehidupan dunia dan akhirat.149

Ahmad Muhammad 'Assâl memberikan uraian mengenai prinsip-prinsip

ekonomi dengan memperhatikan ayat dan hadis di antaranya : (a) Segala usaha adalah asalnya boleh; (b) Kehalalan jual beli dan keharaman riba; (c) Hasil pekerjaan adalah untuk yang bekerja dan tak ada berbedaan dalam hal upah mengenai laki-laki dan perempuan; (d) Pemimpin harus dapat mengembalikan distribusi kekayaan ke dalam masyarakat jika terjadi ketidakseimbangan di dalam masyarakat; (e) Keharaman penganiayaan dalam Islam.150 Uraian yang diberikan olehnya adalah memberikan contoh atas ayat dan hadis yang berkaitan dengan ekonomi dan selanjutnya memahaminya untuk merumuskan prinsip ekonomi. Uraian yang diberikan sebagaimana dalam buku dimaksud tampaknya tidak mencakup seluruh prinsip yang dikehendaki oleh al-Qur’an dan hadis

sebab, uraiannya hanya terbatas pada ayat-ayat dan hadis yang diangkat sebagai contoh.

Al-Salūsi mempergunakan kata mabâdi’ untuk menggambarkan prinsip ekonomi Islam. Menurutnya terdapat tiga prinsip ekonomi Islam yaitu: (a) kepemilikan yang dualisme yakni umum dan khusus; (b) mengandung jaminan sosial serta; (c) menganut kebebasan terikat.151 MM. Metwalliy menetapkan prinsip ekonomi Islam pada 6 pilar yaitu: (a) Semua jenis sumber daya merupakan titipan Allah kepada manusia; (b) kepemilikan manusia dibatasi oleh hak yang bersifat umum serta pemanfataan sumber daya harus pada batas yang dibenarkan agama Islam; (c) Kekuatan penggerak ekonomi adalah kerjasama; (d) Fungsi kepemilikan manusia akan mendorong kesejahteraan individual dan masyarakat secara luas; (e) Kepemilikan umum diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat secara luas; (f) Dalam kegiatan ekonomi, harus didorong ketaqwaan kepada Allah.152

Dengan memperhatikan pandangan tersebut, tampak pandangan itu tidak saling bertentangan. Walaupun demikian, untuk keperluan pembahasan ini, maka pembahasan akan mengacu pada pandangan Abd. Muin Salim dengan memberikan formulasi berupa penambahan uraian.

Pertimbangan pemilihan pandangan ini, karena pandangan M. Quraish Shihab sebahagian dapat dimodifikasi ulang untuk dimasukkan dalam pandangan Abd. Muin Salim. Demikian juga

      

148

Taqiy al-Dīn Al-Nabhânī, Al-Nizâm al-Iqtisâd fī al-Islâm, diterjemahkan oleh M. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 50. 149

Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Media Da'wah, 1984), h. 19-35. 150

Ahmad Muhammad Al-'Assâl dan Fati Ahmad ‘Abd al-Kar³m, al-Nidhâm al-Iqtisâd

Fi al-Islâm Mabâdi’uh wa daf’uh, diterjemahkan oleh Abu Ahmad dan Anshar Sitanggal, “Sistem

Ekonomi Islam Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 11-13. 151

‘Alī Ahmad al-Salūsi, Mausu’ah al-Qadâya al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah wa al-Iqtisâdi al-Islâmī, (Mesir: Dâr al-Qur’an, 2002, cet. VII), h. 36. 152

MM. Metwallly, Teori dan Model Ekonomi Islam, M.Husen Sawit Penerjemah. (Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 5-6.

pandangan A.M. Saefuddin, Taqiy al-Dīn al-Salūsi, Metwally kelihatannya dapat saja diakomodir pada pandangan Abd. Muin

1) Tauhid

Dalam kaitannya dengan keesaan Allah SWT, Ibn Taymiyah menyatakan bahwa semua makhluk Allah adalah fakir dan membutuhkan kepada apa yang bermanfaat padanya serta menghindarkan diri apa yang membahakannya. Oleh karena Dia merupakan tempat meminta dan bermaksud kepada-Nya bagi seluruh

makluk-Nya.153

Dalam al-Qur’an ditegaskan mengenai keesaan Allah QS al-Ikhlâs 112/22: 1-4. Di sana disebutkan mengenai keesaan Allah dalam arti esa sebagai satu-satunya yang harus dijadikan objek mengharap (dalam segala hal); tidak beranak dan tidak diperanakkan; serta tak satu pun makhluk yang setara dengan-Nya. Menurut Quraish Shihab, tauhid bahwa mengantar manusia untuk mengakui bahwa keesaan Allah merupakan sumber atas segala sesuatu. Dari sini diyakini oleh seorang muslim bahwa harta benda yang sedang dan akan dimilikinya merupakan milik Allah.154

Al-Qur’an berbicara mengenai rezki, antara lain Q.S. al-Saba 34/58: 36. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya (Muhammad) untuk mengatakan bahwa dalam kekuasaan Rab mengenai kelapangan dan penyempitan rezki. Selain itu, Q.S. Ibrâhīm 14/72: 35-37, Doa Nabi Ibrâhīm kepada Rab agar Mekah dijadikan sebagai kota yang aman, yang merupakan lokasi anaknya ditempatkan, serta anaknya dianugerahkan rezki dari buah-buahan.

Menarik untuk dikaji mengenai apa yang dimaksud dengan rezki sebagai kata yang terkait secara langsung dengan ekonomi. Kata razaqa berakar dari huruf ra, zai dan qaf yang mempunyai arti dasar pemberian yang terkait dengan waktu dan kemudian mengalami perkembangan tidak lagi terkait dengan waktu.155

Dilihat dari sisi kronologis surah, maka Q.S. al-Fajr 89/10: 15 memuat kata "rizq" sebagai yang pertama disebut dalam al-Qur’an. Dilihat dari sisi konteks ayat tersebut merupakan sanggahan Allah kepada orang yang menyangka bahwa rezki merupakan kemuliaan dan kemiskinan adalah kehinaan. Padahal sesunguhnya rezki adalah ujian dari Allah SWT. Di sini frasa faqaddara alaihi rizqah- "membatasai rezki" berhadapan dengan frasa fa akramah- wa

na'amah- "dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan". Perbedaan dua keadaan tersebut,

merupakan indikasi yang dipergunakan seseorang dalam melihat rahmat Allah.

Pola pikir mereka adalah terkait dengan sikap hedonistik yang mereka miliki yang sejalan filsafat materialistik. Bahwa segala sesuatu harus diukur dengan materi sehingga kebahagiaan dan kesusahan harus diukur dari sisi harta. Dilihat dari sisi konteks ayat ini, tampaknya ayat sebelumnya (pada surah yang sama ayat 7-13) berkaitan dengan pola pikir Kaum ‘Ăd, Tsamûd dan

      

153

Abd.Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim, Majmu’ Fatawâ Syaikh Islam Ibn al-Taymiyah, Jilid I, (t.tp.:tp.,t.th.), h.22. 154

Abd.Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim, Majmu’ Fatawâ Syaikh… Jilid I, h. 409-410. 155

Fir'aun yang kesemuanya hidup dalam keadaan megah dan berbuat sewenang-wenang.156 Apa yang dapat dipahami dari uraian tersebut dalam kaitannya dengan ketauhidan dalam prinsip ekonomi Islam memberikan implikasi bahwa sumber ekonomi adalah Rab al-‘Ălamîn dan bukan dari manusia itu sendiri terlebih lagi bukan pada alam. Di sini secara tegas tertolak falsafah kaum sosialis yang menyatakan bahwa hidup adalah materi dan materilah yang menggerakkan kehidupan dan agama hanyalah takhayyul.157

Penggunaan sumber daya manusia dan alam dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi pada hakekatnya merupakan suatau upaya untuk memperoleh rezki dari Allah. Pemberian rezki sebagai hasil kegiatan ekonomi oleh Allah kepada manusia, merupakan perwujudan sifat Rab Tuhan.

Dilihat dari kronologis penggunaan kata rab, Q.S. al-‘Alaq 96/01 merupakan yang pertama dalam Al-Qur’an. Perintah membaca dalam ayat pertama surat ini dan sekaligus perintah pertama dalam sejarah agama Islam, terkait dengan penyebutan nama Tuhan. Quraish Shihab menyatakan bahwa ayat tersebut dimaksudkan bahwa bacalah atas nama Tuhanmu.158 Selanjutnya oleh ‘Abd al-Halîm Mahmûd sebagai dinyatakan Quraish bahwa kata Iqra’ diartikan

secara luas olehnya sehingga berarti tidak sekedar memerintah membaca tetapi membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia.159

Pernyataan ini dapat saja diterima, mengingat secara etimologis kata iqra’ berasal qara’a yang hurufnya tersusun dari huruf qaf, ra dan mu'tal yang mempunyai arti pokok menghimpun. Dari kata ini lahir qarya yang diartikan sebagai desa atau kampung, sebab di dalamnya terjadi kegiatan penghimpunan orang.160

Selain menggambarkan perintah untuk melaksanakan aktifitas manusia dengan atas nama Tuhan "Rab" pada ayat 2 ditemukan pernyataan Tuhan bahwa manusia diciptakan dari al-‘Alaq. Kata al-‘Alaq tersusun dari huruf ‘ain, lam dan qaf mempunyai arti dasar yang mengacu pada "bergantungnya sesuatu pada yang tinggi".161

Dalam hal yang pertama manusia tidak dapat hidup dengan sendirinya ia banyak terkait dengan manusia lainnya. Dalam arti yang lebih luas manusia melakukan interaksi dengan lingkungan di mana mereka berada. Dengan pandangan ini, maka dipahami bahwa hubungan manusia dengan sesama manusia bahkan makhluk lainnya yang merupakan sumber-sumber

      

156

Istilah ’Ăd dalam bahasa Ibrânî merupakan bahasa Semit tertua "artinya tinggi dan masyhur". Diperkirakan mereka hidup sebelum 300 tahun sebelum masehi. Mereka adalah bangsa yang berjaya pada masanya mereka dinilai sebagai pendiri kebudayaan yang tertua di dunia. Asia dan Afrika merupakan pusat kegiatan mereka yang ditandai dengan pembangunan gedung dan arsitektur mereka. Lihat Sayid Muzaffaruddin Nadvi, A Geografhical History of The Qur'an, diterjemahkan Jum'an Basalim "Sejarah Geografi Qur'an" (t.tp.: Pustaka Firdaus, 1997), h. 96, 116-117. 157

Tahir Abd al-Muhsini Sulaiman, ‘Ilaj al-Iqtisdiyyah fi al-Islâm, diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal "Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam" (Bandung: Al-Maarif, t.th), h. 40. 158M. Quraish Shihab, Tafsir Amanah, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), h. 14.

159

M. Quraish Shihab, Tafsir Amanah, h. 14. 160 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs... Juz V h. 78. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia h. 1115. 161

ekonomi adalah hubungan dalam arti sosio ekonomi. Dalam arti yang kedua bahwa, manusia mempunyai potensi dan sikap keterkaitan yang sangat erat dan bahkan menentukan eksistensinya dengan keterkaitannya dengan taturan-aturan agama.

Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosio-ekonomi hanya dapat berjalan dengan baik dan eksis jika makhluk ini diatur dengan aturan yang menempatkan rab sebagai sumber dalam pelaksanaan fungsi manusia sebagai makhluk sosio ekonomik, yang secara implisit menolak anggapan bahwa sumber asasi kehidupan adalah alam dan manusia serta makhluk lainnya. Oleh Didin menyatakan bahwa aktifitas ekonomi yang dikembangkan selain harus dalam kerangka kepatuhan kepada-Nya yang meliputi mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial tetapi juga etis dan moral.162

2) Istikhlâf

Q.S. Sâd 38/38: 26163 Ayat ini memberikan informasi mengenaii pengangkatan khalifah bagi nabi Daud. Selanjutnya kepadanya diperintahkan oleh Allah untuk memutuskan perkara dengan adil di kalangan manusia. Selanjutnya ia dilarang untuk mengikuti hawa nafsu. Sebab sikap mengikuti hawa nafsu akan mengantar pada kesesatan atas petunjuk Allah dan akibatnya akan memperoleh siksaan di hari kemudiaan.

Klausa pertama dalam ayat tersebut berbicara mengenai pengangkatan khalifah nabi Daud dan konsekwensi logis jabatan tersebut untuk memutuskan perkara secara adil.164 Di sini nampaknya terdapat hubungan yang logis antara jabatan dan pembuatan keputusan dengan kata al-Haq. Huruf fa dalam fahkumbaina al-nâs,165 yang merupakan huruf fa sababiyah menunjukkan adanya hubungan pengangkatan kahalifah dengan pemutusan perkara.

Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang hurufnya tersusun dari kha, lam dan fa serta mempunyai tiga arti dasar : mengganti, belakang, dan perubahan. Dan yang diuraikan di sini, arti sebagai "pengganti".166

Dilihat dari sisi kronologis, kata khalifah dalam ayat ini merupakan ayat yang pertama yang berbicara dengan khalifah dibanding dengan pembicaraan khalifah dalam konteks dialog Allah dengan malaikat. Ini mengisyaratkan bahwa penegakan aturan Allah diberikan wewenang

      

162

Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar ( Bogor: IPB, 2007), h. 16. 163

ﻚ ىﻮﻬ ا و ﺎ سﺎ ا ﻜ ﺎ ضر ا ﺔ كﺎ ﺎ إدوادﺎ

بﺎ امﻮ اﻮ ﺎ ﺪ ﺪ باﺬ ﻬ ﷲا نﻮ ﺬ انإﷲا

“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.” 164

Muhammad ibn Ahmad al-Ansâry al-Qurtuby, al-Jâmi’li Ahkâm al-Quran Juz XV, (t.tp.:t.p. t.t), h 188-189. 165

Huruf fa mempunyai makna kausal, lihat Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan

Politik Dalam Al-Quran(Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h. 116. Badr al-Din Muhammad bin

‘Abd Allah Al-Zarkasy, Al-Burhân fi ‘Ulûm Al-Qur’ân, Juz IV, (Mesir: Dar Ihya Kutub al-Araby, t.th.), h. 298. 166

kepada jabatan khalifah untuk melaksanakannya. Tegasnya bahwa tugas kehalifahan sebagai "pengganti" adalah melaksanakan aturan-aturan yang dikehedaki oleh Allah SWT.

Dalam konteks sebagai prinsip ekonomi Islam, Istikhlaf atau kekhalifahan merupakan kewenangan bagi manusia untuk mengembangkan kegiatan ekonomi sesuai dengan perintah Allah SWT. Selanjutnya, dalam ayat di atas, terdapat larangan untuk mengkuti hawa hafsu, dalam mengambil sebuah keputusan. Ini menunjukkan bahwa dalam mengemban kekhalifahan dalam bidang ekonomi, kiranya aturan-aturan ini tidak bersumber dari hawa nafsu tetapi harus didasarkan pada wahyu. Penyimpangan dari pandangan ini akan membawa akibat buruk dalam kehidupan manusia.

Posisi manusia sebagai khalifah dalam konteks ekonomi, kiranya menolak pandangan yang menempatkannya sebagai objek ekonomi,167 karena dengan pandangan ini akan mengantar pada jatuhnya martabat manusia sebagai mahluk yang paling mulia.

Dalam konteks menjaga martabat ini, al-Qur’an melarang untuk melakukan pembunuhan kepada manusia dengan alasan ekonomi. QS al-Isra’

17/50: 31 dan QS. Al-An’am 6/55: 151168 3) Kemaslahatan (al-Salâh)

Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kemaslahatan adalah QS. Al-A'raf 7/39: 56.169 Ayat ini mengandung larangan Allah kepada manusia untuk tidak melaksanakan kerusakan setelah Allah melaksanakan perbaikan di atas dunia. Al-Tabary, menafsirkannya dengan larangan

      

167

Dalam tradisi perbudakan manusia, ditempatakan sebagai barang komoditas, dan tuannya memilik hak ekonomi untuk melakukan transaski dengan orang lain. Demikian juga dalam tradisi penjualan manusia. 168

اﺮ آﺎ نﺎآ ﻬ نإ آﺎ إو ﻬ زﺮ ق إﺔ آد وأاﻮ و

”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

وﺎ ﺎ إ ﺪ اﻮ ﺎ وﺎ اﻮآﺮ أ ﻜ ﻜ رمﺮ ﺎ أاﻮ ﺎ

آد وأاﻮ

إو ﻜ زﺮ ق إ

مﺮ ا ااﻮ و ﺎ وﺎﻬ ﺮﻬ ﺎ اﻮ ااﻮ ﺮ و هﺎ

نﻮ ﻜ آﺎ و ﻜ ذ ﺎ إﷲا

”Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun

Dalam dokumen Hamzah Pendayagunaan Zakat (Halaman 73-96)