atau mustahik sesuai dengan ketentuan zakat. Zakat dapat dipandang berdayaguna jika dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pemenuhan kebutuhan
KESEJAHTERAAN UMAT
A. Penetapan, Status , Prototipe, Kewenangan serta Pertanggungjawaban Amil
Bab ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi pada pendayagunaan zakat yang
dilakukan Badan Amil Zakat Nasional dengan menjadikan pola‐pola yang berkembang
pada zaman Rasul sebagai indikator evaluasi. Bab ini pula diharapkan memberikan
jawaban atas sub masalah pertama yang diajukan dalam penelitian ini yaitu apakah
aspek kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam mendayagunakan zakat untuk
peningkatan kesejahteraan umat telah mengacu pada pola pendayagunaan zakat pada
zaman Rasul atau tidak ?
A. Penetapan, Status , Prototipe, Kewenangan serta Pertanggungjawaban Amil
Pembahasan tentang penetapan dan prototipe amil dimaksudkan untuk
mengetahui tentang siapa yang menetapkan amil, status, prototipe, kewenangan serta
pertanggungjawaban amil.
1. Penetapan dan status Amil
a. Pihak Yang Menetapkan Amil
Dalam hadis yang diriwayatkan Muadz bin Jabal –sebagaimana dikemukakan
pada bab II penelitian ini‐ terlihat bahwa rasul Muhammad sebagai pemimpin dalam
jabatan publik mengangkatnya sebagai amil. Sebagai pemimpin publik mengandung arti
bahwa zakat merupakan urusan publik dan tidak termasuk dalam urusan pribadi.
Pemenuhan ekonomi merupakan salah satu satu kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi oleh umat Islam baik secara individual maupun kolektif. Secara individual
mengandung arti bahwa dengan pemenuhan kebutuhan itu, akan memberikan peluang
memenuhi kebutuhan‐kebutuhan lainnya. Selanjutnya dari sisi kolektifitas, dari sisi
aspek dana ekonomi, diharapkan dapat menjadi sarana dalam mengatasi problema
Urusan problema sosial yang merupakan bagian dari kolektifitas yang
disebutkan di atas, tidak dapat ditangani secara individual, karena problema itu memiliki
implikasi yang luas bagi tata kehidupan sosial. Di sini peran pemerintah sebagai
pejabat puiblik sangat menentukan. Dalam konteks ini maka zakat sebagai bagian dari
urusan publik memiliki argumentasi yang kuat. .
Terkait dengan pembahasan siapa yang menetapkan amil dalam konteks Badan
Amil Zakat Nasional, maka ada dua hal yang perlu digarisbawahi yaitu: a. Badan Amil
Zakat Nasional ditetapkan dengan UU No. 38/ 1999 dan b. Surat Keputusan Presiden.
Yang pertama UU ini merupakan sebuah kebijakan politik. Legislasi yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah, menunjukkan harapan kuat
bagi mereka untuk memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menjalankan
ibadah zakat pada satu sisi dan efektifitas zakat dalam kehidupan mustahik pada sisi
yang lain.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa terdapat relevansi dari sisi fungsi politik
rasul Muhammad sebagai pemimpin poli k, dengan diundangkannya UU No. 38/1999
tentang Pengelolaan Zakat, yang menetapkan Badan Amil Zakat Nasional sebagai amil
zakat.
b. Status Amil
Sebagai dikemukakan di atas bahwa dilihat dari sisi proses pengangkatan
Muadz sebagai amil pada jaman Rasul, maka pengangkatan itu dinyatakan sebagai
proses politik dan karenanya Muadz dalam konteks sebagai amil zakat dapat
dikategorikan sebagai aparatur negara. Menjadikan amil zakat sebagai aparatur negara,
dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka perlu dilakukan penelaahan pada UU
No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebagai dasar yuridis pembentukan Badan Amil
Zakat Nasional. Menurut UU ini pasal 6 (4) dinyatakan bahwa “Pengurus badan amil
zakat teridiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan
tertentu”. Menurut naskah penjelasan UU ini yang dimaksud dengan masyarakat adalah
“ulama, kaum cendekia, dan tokoh masyarakat setempat, ” namun tidak ditemukan
penjelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan unsur pemerintah.
Amil Zakat Nasional menurut pengamatan penulis terhadap susunan pengurus
menunjukkan sejumlah aparatur departemen Agama dari direktur pengembangan wakaf
dan zakat.
Dengan demikian, dalam kepengurusn Badan Amil Zakat Nasional dapat
dinyatakan bahwa dalam hal status amil, tidak terimplemenasi sebagaimana status amil
yang dipahami pada jaman Rasul yakni aparatur negara. Berbagai argumen yang
dibangun atas pandangan di atas yaitu: Pertama baik dari dokumen negara berupa UU
NO. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat maupun SK Presiden tentang Pengangkatan
Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, tidak ditemukan pernyataan berkaitan status
pengurus Badan Amil Zakat Nasional sebagai aparatur negara.
Kedua, dari sisi sumber pembiayaan Badan Amil Zakat Nasional yang berasal
dari APBN, sebagaimana yang ditetapkan oleh UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat, maka hal ini tidak dapat dijadikan sebagai argumen untuk mengkategorikan
pengurus badan ini sebagai aparatur negara. Hal ini dikarenakan APBN yang diterima
Badan Amil Zakat Nasional menurut Keputusan Presiden tentang Pembentukan Badan
Amil Zakat Nasional ditujukan kepada Departemen Agama. Kondisi ini membuktikan
bahwa anggaran departemen Agama yang diberikan kepada Badan Amil Zakat Nasional
memiliki persamaan dengan bantuan anggaran pendanaan yang diberikan kepada
lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh swasta.
Ketiga, sebagaimana dikemukakan pada pasal 6 (4) UU ini dan naskah
penjelasannya, yang menetapkan unsur masyarakat dalam kepengurusan badan amil
zakat, merupakan argumen yang mempertegas bahwa lembaga ini dikelola oleh
masyarakat dan pemerintah.
2. Proto pe Amil
a. Makna dan Syarat‐Syarat Amil
Dalam pandangan Badan Amil Zakat Nasional, amil zakat adalah ”...orang
atau lembaga yang mendapatkan tugas untuk mengambil, memungut, dan menerima
kemudian menyalurkannya kepada para mustahik yang berhak menerimanya....”312 Mencermati pandangan mengenai makna amil, tampaknya pengurus Badan
Amil Zakat Nasional mempersamakannya dengan lembaga. Lembaga diartikan sebagai
makna lain dari amil. Karena itu fungsi kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional
merupakan perwujudan dari makna amil yang dikenal dalam Islam. Berbeda dengan
kitab fikih makna amil dalam arti lembaga tidak ditemukan. Tetapi pengertian yang
dikemukakan oleh Badan Amil Zakat Nasional di atas, dapat diterima mengingat, makna
amil mengalami pergeseran fungsional dari perorangan ke dalam makna kolektifitas
kelembagaan.
Makna amil zakat yang dipahami Badan Amil Zakat Nasional seperti di atas,
dipandang terimplementasi pada pemahaman makna amil yang dapat di pahami dari
prototipe Muadz bin Jabal sebagai amil yang diangkat oleh Rasul dan sekaligus
menggambarkan makna amil pada jaman Rasul. Pandangan ini didasarkan pada
argumen: Pertama, pengangkatan Mudz sebagai amil yang bersifat individual pada
zaman Rasul, tidak berarti memberikan jastifikasi secara prinsip bahwa amil harus
dilakukan secara individual. Hemat penulis pengangkatan amil bagi Muadz oleh Rasul
didasarkan pada prototipe yang dimiliki olehnya yang dipandang layak oleh Rasul untuk
mengurus masalah keuangan publik yakni zakat. Pertanyaan yang relevan diajukan
adalah apakah dengan prototipe amil dimaksud terimplementasi pada Badan Amil Zakat
Nasional atau tidak.
Untuk menjawab pertanyaan ini, dilihat dari sisi sosiologis maka, perubahan
masyarakat dipandang suatu keniscayaan. Dengan demikian, maka penyelesaian
masalah kemiskinan termasuk yang berkaitan dengan kesejahteraan umat tidak dapat
lagi ditangani secara individual tetapi harus didasarkan pada pendekatan kolektifitas
kelembagaan. Karena itu, Badan Amil Zakat Nasional yang eksistensinya didasarkan
pada UU No. 38/ 1999 merupakan “ij had” pemerintah untuk menjadikan zakat lebih
efektif, sebagaimana semangat efektifitas zakat yang dipahami dari hadis tentang
pengangkatan Muadz sebagai amil oleh Rasul selaku pemimpin politik ketika itu. Dengan demikian, berkaitan dengan pertimbangan semangat efektifitas yang
didukung dengan prototipe Muadz sebagai simbol prototipe amil, merupakan dua hal
312
Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab), h. 85.
yang menjadi dasar pertimbangan utama dalam memahamai makna amil pada zaman
Rasul.
Implementasi kedua pertimbangan yang dipahami dari kasus Muadz di atas,
terlihat pada dasar pertimbangan (huruf b) UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat
“bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan
hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat”.
Dalam dasar pertimbangan UU dimaksud, terlihat zakat dinilai sebagai
instrumen untuk kesejahteraan masyarakat. Tentu saja upaya untuk mencapai tujuan
dimaksud, yakni efektifitas pendayagunaan zakat melalui pembentukan Badan Amil
Zakat merupakan suatu keniscayaan.
Berkaitan dengan syarat‐syarat amil, yang disimbolkan oleh Muadz sebagai
prototipe amil, dapat lihat pada implementasinya baik pada pandangan pengurus Badan
Amil Zakat Nasional maupun pada UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Badan
Amil Zakat Nasional menetapkan syarat yang tidak hanya bersifat ideologis (Beragama
Islam), kedewasaan untuk bertanggungjawab kecakapan (akil balig), intelektualitas
(memahami hukum zakat dengan baik),integritas (jujur dan amanah) serta kemampuan
untuk melaksanakan tugas keamilan.”313
Syarat di atas secara kelembagaan diilhami oleh sifat Rasul yang selanjutnya
dijadikan sebagai azas dan budaya kerja organisasi. Menurut Badan Amil Zakat Nasional
yang dimaksud dengan sidd q yaitu seorang amil melakukan pekerjaan dengan benar
dan profesional. Adapun amanah mengandung arti bersifat jujur dan dapat dipercaya.
Tabl gh yaitu amil yang menerapkan manajemen transparan dan akuntabel serta
fatânah yakni amil harus melakukan pemberdayaan yang kreatif, efektif dan
bermanfaat ganda (multiplier effect).314
313
Syarat amil menurut Badan Amil Zakat Nasional ”Beragama Islam, dewasa (akil balig), memahami hukum zakat dengan baik, harus jujur dan amanah, serta memahami hukum zakat dengan baik, serta memiliki kemampuan (capable) untuk melaksanakan tugas keamilan.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 86.
314
Azas dan Budaya kerja organisasi Badan Amil Zakat Nasional yaitu:”Siddiq, melakukan pekerjaan dengan benar dan profesional, Amanah, sifat jujur dan dapat dipercaya,
Tabligh, manajemen yang transparan dan akuntabel serta fathonah, pemberdayaan yang kreatif,
efektif dan bermanfaat ganda (multiplier effect).”Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 19.
Mengenai syarat amil yang dikemukakan oleh ditetapkan oleh Badan Amil Zakat
Nasional merupakan implementasi dari syarat‐syarat pengurus badan amil zakat yang
ditetapkan oleh UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut naskah penjelasan
pasal 6 (4) UU ini, syarat dimaksud “antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi,
profesional, dan berintegritas tinggi.
Penerapan syarat amil dilihat dari sisi sumberdaya personil Badan Amil Zakat
Nasional, dapat dipandang tidak hanya didominasi oleh mereka yang berlatar belakang
ulama sebagai upaya untuk memenuhi keperluan penguasaan hukum zakat secara
syar’iy tetapi direkrut dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi. Pandangan ini
terimplentasi dalam struktur organisasi dan hal ini merupakan aset organisasi
sebagaimana dikemukakan dalam laporan tahun 2006. Sebagai aset organisasi dalam hal
sumber daya manusia, menurut Badan Amil Zakat Nasional menjadikan lembaga ini
berpeluang untuk melakukan pengelolaan zakat secara amanah dan profesional.”315
Tabel 4 : Sumberdaya Personal Badan Amil Zakat Nasional dari sisi Latar Belakang Keilmuan dan Profesi
No. Latar Belakang Keilmuan dan Profesi Jumlah
01 Ulama, Pakar Agama Islam 12
02 Anggota DPR 4 03 Pengusaha 2 04 Tokoh Masyarakat 4 05 Manajemen 9 06 Sarjana Hukum 8 07 Akuntan 2 08 Ekonom 5 Jumlah 46
315”Kehadiran para ulama, profesional, birokrat, wakil rakyat dan tokoh masyarakat yang dikenal bersih, berdedikasi, kredibel dan ahli di bidangnya dalam kepengurusannya, Badan Amil Zakat Nasional melaksakan tugasnya secara amanah dan profesional.”Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 20.
Sumber: Data Diolah dari Buku Annual Report 2006.
Dalam tabel empat di atas terlihat latar belakang sumber daya manusia dari sisi
keilmuan dan profesi yang dimiliki Badan Amil Zakat Nasional yang meliputi ulama pakar
agama Islam (12 orang), anggota DPR (4 orang), pengusaha (2 orang), tokoh masyarakat
(4 orang), manajemen (9 orang), sarja hukum (8 orang), akuntan (2 orang), ekonom (5
orang).
Melihat keragaman latar belakang keilmuan dan profesi sumber daya manusia
personal Badan Amil Zakat Nasional maka dapat dipandang sebagai suatu tim kerja
dalam mewujudkan fungsi keamilan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kompleksitas
fungsi amil ( sebagaimana akan diuraikan pada sub D bab
ini ), tidak memungkinkan lagi diemban oleh personil atau orang perorang semata
karena diakibatkan oleh keterbatasan personal baik dari sisi pengetahuan dan
keterampilan. Terhadap sumber daya personal Badan Amil Zakat Nasional yang
beragam dilihat dari sisi latar belakang keahlian di atas dipandang relevan dengan QS.
An‐Nahl/16: 43316
Salah satu penafsiran terhadap term ahl al‐dzikr seperti yang dinyatakan oleh
Fakhr al‐Râzi (w. 604 H) adalah “orang yang memiliki pengetahuan tentang masa
lampau”.317 Khususnya masalah keagamaan karena melihat konteks ayat ini. Al‐Zajjâj
seperti dikutip kitab tafsir terdahulu, menyatakan bahwa ayat ini mengandung arti
“perintah bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan dan kewenangan.”318
Quraish Shihab, menyatakan bahwa karena redaksi ayat dimaksud bersifat bersifat
umum, maka mengandung arti bahwa ayat ini memerintahkan untuk menanyakan
kepada yang dipandang ahli terkait apa saja yang tidak diketahui atau diragukan
316
نﻮ آنإﺮآﺬ ا هأاﻮ ﻬ إﻰ ﻮ ﺎ ر إﻚ ﺎ رأ و
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
317
Fakhr al-Dīn Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmy, al-Bakry al-Râzi al-Syâfiī, al-Tafsīr al-Kabīr Aw Mafâtih al-Ghaib, J. XIX,(Qahirah: Maktabahag Taufiqiyah, t.th.), h. 31.
318
Fakhr al-Dīn Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmy, al-Bakry al-Râzi al-Syâfiī, al-Tafsīr al-Kabīr Aw Mafâtih al-Ghaib, J. XIX,(Qahirah: Maktabahag Taufiqiyah, t.th.), h. 31.
kebenarannya. Adapun yang dipandang ahli menurutnya yaitu siapapun yang
dipandang mengetahui tentang sesuatu dan tidak tertuduh objektifitasnya.319
Dalam konteks pendayagunaan zakat, tampaknya tidak hanya terkait dengan
problematika hukum Islam (ijthâd), tetapi terkait dengan aspek manajemen, integritas
atau kejujuran dan keadilan amil zakat serta ekonomi, yang kondisi ini menunjukkan
pendayagunaanya melibatkan multi latar belakang keahlian dan keilmuan. Kerjasama
“tim untuk saling bertanya” dalam melakukan upaya pendayagunaan zakat merupakan
suatu keniscayaan.
Pengelola zakat dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional yang memiliki amil
yang multi latar belakang dan keilmuan juga dapat dipahami dari tabel lima (5) dari sisi
unsur, dimensi, sumber pembentukan persepsi dan kategorisasi yang merupakan suatu
hasil alisisis. .
Tabel 5: Hasil Analisis Terhadap Konsep Amil Badan Amil Zakat Nasional:
Dimensi, Sumber Pembentukan Persepsi, Kategorisasi
No. Konsep Amil:
Unsur‐Unsur
Dimensi Amil Sumber
Pembentukan
Persepsi
Kategorisasi
Konsep Amil
1 2 3 4 5
01 Islam Aqidah Kitab Fikih 01‐04 Syarat
Amil
02
Akil Baligh Kecakapan
Syar’iy Al‐Hadits: Muadz bin Jabal 03 Pemahaman Hukum Zakat
Hukum Islam Al‐Hadits: Muaz
bin Jabal
04 Jujur dan Amanah Integritas
(Moralitas)
Keputusan Dirjen
Bimas Islan dan
Urs. Haji .
05. Kemampuan untuk Manajerial Sda. (profesional)
319
tugas keamilan
06 Pendataan secara
cermat
Administrasi Pandangan
Badan Amil Zakat
Nasional 06‐09 Tugas Pokok Keamilan: Pertama 07. Pembinan dan Penagihan Psikologi Komunikasi Sda 08. Mengumpulkan, Menerima Mendoakan
Tugas Inti QS. Attaubah
:103 1 2 3 4 5 09. Mengadministarsik an dan Memeiliharanya Administrasi, Kearsifan, Integritas Pandangan
Badan Amil Zakat
Nasional
10. Pendataan
mustahik
Administrasi Sda 10‐13 Tugas
Pokok Keamilan: kedua 11. Menghitung Kebutuhan Mustahik Perencaan Keuangan Sda 12. Menentukan kiat Pendistribusia Manajemen Sda 13. Pembinaan Pasca Mustahik Menerima Zalat Manajemen Sda
Sumber: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel dimaksud memperlihatan bahwa dari sisi konsep amil mengandung unsur‐
unsur. Unsur‐unsur itu dapat dilihat dari sisi dimensinya, dan selanjutnya dilakukan
proses analisis seperti dimaksud memberikan peluang untuk melakukan kategorisasi
terhadap pandangan Badan Amil Zakat Nasional. Hasil kategorisasi yang dikemukakan
mengacu pada pengkategorisasian Badan Amil Zakat Nasional mengenai tugas pokok
amil yaitu berkaitan kepentingan pengumpulan zakat dari muzaki dan kepentingan
mustahik.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa konsep amil menurut Badan Amil Zakat
Nasional didasarkan pada lima sumber yang terkumulasi pada Al‐Qur’an, al‐Hadis,
Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D‐291 Tahun 2000 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Zakat, Kitab Fikih dan pandangan Badan Amil Zakat Nasional sendiri.
Dari sisi dimensi atas konsep amil memperlihatkan tiga belas point yang dikembangkan
ke dalam sembilan jenis dimensi. Selanjutnya dari sisi kategorisasi konsep amil,
memperlihatkan dua kategorisasi yaitu syarat amil dan tugas pokok keamilan.
Implikasi uraian ini menunjukkan bahwa amil merupakan suatu profesi atau
pekerjaan yang tidak bebas syarat. Pandangan ini relevan dengan fungsi bahagian amil
sebagai mustahik atas dana zakat, yang dapat dipandang sebagai konpnesasi dari
profesionalisme yang diemban oleh amil.
b. Pengangkatan Amil
Menurut Badan Amil Zakat Nasional, amil zakat harus memperoleh mandat dari
lembaga ini. Perolehan mandat menunjukkan bahwa amil telah memenuhi syarat yang
telah ditetapkan baik dari sisi administrasi, profesionalisme dan integritas.320 Untuk
Badan AmiL Zakat Nasional, selain secara kelembagaan ditetapkan sebagai amil, badan
ini juga menetapkan amil sebagai bentuk perpanjangan tangan administrasi yang dikenal
dengan unit pengumpul zakat (UPZ).
Unit pengumpul zakat (UPZ ) dibentuk berdasarkan UU.No. 38/ 1999 tentang
pengelolaan zakat pasal 22 yang menyatakan ”...dalam hal muzaki berada atau menetap
di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul zakat pada
perwakilan Republik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat
Nasional.” Dalam Keputusan Dirjend. Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.
D/291/2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat pasal 9 ayat (2) dinyatakan ”
Badan Amil Zakat Nasional dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat pada Instansi /
320
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
lembaga pemerintah pusat, BUMN, dan perusahaan swasta yang berkedudukan di Ibu
kota Negara dan pada kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.”
Kewenangan UPZ diatur dalam pasal ini ayat (8) ”Unit Pengumpul Zakat melakukan
pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat di unit
masing‐masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan
hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulam Badan Pelaksana Badan Amil Zakat,
karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakannya.”
Badan Amil Zakat Nasional sampai dengan 2007 telah membentuk 33 UPZ di
dalam negeri dan 31 di luar negeri. Untuk UPZ yang ada di dalam negeri hanya 17 yang
aktif. Untuk UPZ di luar negeri mengalami berbagai kendala dan Badan Amil Zakat
Nasional lebih memilih mengoptimalkan untuk UPZ dalam negeri.321 Kewenangan UPZ,
selain untuk kegiatan penghimpunan, Badan Amil Zakat Nasional memberikan
kewenangan pendayagunaan terbatas kepada mustahik yang ada pada internal
instansi/badan usaha tempat UPZ itu. Dalam hal pendayagunaan, Badan Amil Zakat
Nasional, hanya menerima laporan pertanggungjawaban zakat tentang mustahik yang
telah menerimanya.322
Khusus mengenai pemberian kewenangan Badan Amil Zakat Nasional kepada
UPZ dalam hal pendayagunaan, hemat penulis, sebenarnya merupakan penyimpangan
dari Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji323 yang
hanya memberikan tugas kepada UPZ untuk mengumpul zakat. Walaupun sebenarnya,
calon mustahik dapat saja diajukan oleh UPZ kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk
diterima sebagai mustahik, namun dalam kenyataannya UPZ mengadakan penyeleksian
321
Dalam melakukan pembentukan UPZ, Badan Amil Zakat Nasional berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat 7. Prosedur pembentukan Unit Pengumpulan Zakat dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a.Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengadakan pendataan di berbagai instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas; b. Badan Amil Zakat seseuai dengan tingkatannya mengadakan kesepakatan dengan pimpinan Instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas, untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat; c. Ketua Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Unit Pengumpul Zakat.
Berbagai kendala pembinaan UPZ di luar negeri di antaranya biaya kominikasi yang mahal. Wawancara Pribadi dengan Subroto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.
322
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
323
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat (8), Unit Pe ngumpul Zakat melakukan pengumpulan dana zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat di unit masing-masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulan badan Pelaksana Amil Zakat, karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakan.
dan pendayagunaan dana zakat sebelum dana diberikan kepada Badan Amil Zakat
Nasional.
Perluasan makna amil zakat yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional
pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep amil dalam literatur
keagaman324 dan Keputusan Direktur Jenderal Urusan Haji. Walaupun demikian,
karakteristik pendapat Badan Amil Zakat ini terletak pada unsur manajemen organisasi
terutama dalam hal penetapan subjek dan fungsi
kelembagaan.
3. Kewenangan Amil
Kewenangan amil zakat dapat ditelusuri pada hadis Nabi mengenai
pengangkatan Muadz bin Jabal sebagai amil. Menurut hadis Nabi sebagai yang
dikemukakan pada bab II disertasi ini, kewenangan amil ”tu’khadzu min agniyâihim wa turadd ilâ fuqarâihim” yakni mengambil zakat dari orang kaya dan mengembalikannya
kepada orang miskin, dan kewenangan yang dipahami dari hadis ini dapat dinyataan
sebagai kewenangan distribusi.
Untuk mengetahui sejauhmana kewenangan distribusi amil terimplemnatasi
pada Badan Amil Zakat Nasional, maka akan dilakukan analisis terhadap kewenangan
amil sebagaimana yang dipahami menurut UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat