atau mustahik sesuai dengan ketentuan zakat. Zakat dapat dipandang berdayaguna jika dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pemenuhan kebutuhan
UMAT PADA BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
A. Implementasi Fungsi Perencanaan
Secara struktural bab ini mengacu pada bab‐bab sebelumnya yaitu bab II
mengenai dasar‐dasar manajemen dan bab III tentang aspek kelembagaan dan program
Badan Amil Zakat Nasional. Dua bab yang disebutkan itu, bersifat teoritis dan untuk bab
ini akan bersifat evaluasi.
Bab ini ‐sebagaimana terlihat dalam judul sub bab‐ bertujuan untuk memberikan
evaluasi terhadap fungsi‐fungsi manajemen manajemen yang diimplementasikan oleh
Badan amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk peningkatan
kesejahteraan umat. Hasil analisis ini diharapkan memberikan jawaban terhadap
pertanyaan sub b yang diajukan dalam penelitian yaitu sejauhmana Badan Amil Zakat
mengimplementasikan fungsi‐fungsi manajemen dalam pendayagunaan zakat untuk
peningkatan kesejahteraan umat ?
A. Implementasi Fungsi Perencanaan
Perencanaan merupakan proses yang meliputi penetapan tujuan, strategi dan
pengembangan secara terpadu dan terkoordinasi untuk mendukung upaya pencapaian
tujuan organisasi.370 Pandangan yang lain berkaitan dengan perencanaan dikemukakan
oleh Morrisey, bahwa perencanaan merupakan proses untuk menetapkan tujuan
organisasi serta sejumlah teknik yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
dimaksud.371 Fungsi manajemen yang berkaitan dengan perencanaan mengandung arti
penentuan tujuan organisasi, penggunaan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai
tujuan organisasi.372
Dari pengertian perencanaan sebagai salah satu fungsi manajemen maka
ditemukan dua unsur yang sangat mendasar yaitu: penentuan tujuan organisasi dan cara
370
Stephen P. Robin and Mary Coulter, Management, eight edition, (Singapore: Pearson Education, Pte. Ltd., 2005), h. 159. 371
George L. Morrisey dalam Gary Dessler, Management h. 69. 372
mencapai tujuan. Unsur pertama, berkaitan dengan cita‐cita, keinginan luhur yang akan
dicapai oleh organisasi. Menurut Daft tujuan organisasi memiliki dua arah pesan yakni
internal dan eksternal. Pesan internal ditujukan kepada pengurus organisasi dan
eksternal ditujukan kepada lingkungan Kedua arah pesan ini berkaitan dengan
legilitimasi organisasi.373
Untuk unsur yang kedua dalam fungsi perencanaan, terkait dengan penentuan
teknik yang dipergunakan, penggunaan sumber daya organisasi guna mencapai tujuan
orgnisasi. Kedua unsur dalam perencaaan ini, memiliki masing‐masing karakteristik.
Pada unsur pertama, seperti dikemukakan oleh Daft berkaitan dengan legitimasi baik
keluar maupun ke dalam sedang unsur kedua berkaitan dengan penggunaan sumber
daya organisasi. Selain perbedaan karakteristik kedua unsur perencanaan, maka
ditemukan persamaan karakteristik yaitu, keduanya terkait dengan dimensi ruang (
dimana) dan waktu (kapan).
Berkaitan dengan fungsi perencanaan maka terdapat pertanyaan yang terkait
yaitu apa yang menjadi tujuan organsasi jangka panjang, apa strategi yang dipergunakan
untuk mendukung tercapaianya tujuan organisasi, apa tujuan jangka pendek organisasi
serta apa kesulitan‐kesulitan yang dihadapi organsasi untuk mencapai tujuan.374
Apabila pertanyaan–pertanyaan dikaitkan dengan dua unsur dimaksud, dapat
dinyatakan bahwa pertanyaan bagian pertama diakomodir pada perumusan tujuan
organisasi yakni apa yang menjadi tujuan jangka panjang organisasi, sedang bagian
kedua pertanyaan di atas, kesemuanya terakomodir pada unsur cara mencapai tujuan
organisasi. 373
Richard L. Daft, Management, h. 7. 374
Bagan 3 : tentang Unsur dalam Fungsi Perencanaan
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2008.
Apabila bagan di atas dihubungkan dengan komponen indikator penelitian maka
akan membentuk unsur sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 8: tentang Sintesis antara Unsur dalam Fungsi Perencanaan dengan Indikator Penelitian
Indikator Sintesis Unsur dalam Fungsi
Perencanaan Efektif Terhadap
Mustahik
Unsur Kelembagaan Perencaan Tujuan Organisasi Efisien Sumber daya: Cara Mencapai Tujuan Organisasi
Perumusan Tujuan Organisasi Cara Pencapaian Tujuan
Ekonomi, Waktu, Tenaga
Tepat Waktu Waktu Penerimaan Cara Mencapai Tujuan Organisasi Tepat Jumlah Jumah Dana yang
ditetapkan
Cara Mencapai Tujuan Organisasi Perubahan Mustahik Sosekreg Mustahik Cara Mencapai Tujuan Organisasi
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2008
Dari tabel yang dikemukakan di atas terdapat tiga komponen yaitu:
indikator penelitian, unsur dalam perencanaan dan sintesis. Dalam komponen sintesis,
terlihat unsur kelembagaan yang memiliki hubungan dengan unsur perencanaan tujuan
organisasi dan unsur efektif pada mustahik untuk komponen penelitian. Dengan kata
lain, dalam fungsi perencanaan, pencapaian tujuan organisasi hanya akan efektif jika
dikaitkan dengan kepentingan mustahik. Sebaliknya dengan perumusan tujuan
organisasi yang tidak berpihak pada kepentingan mustahik maka perumusan tujuan
organisasi itu dipandang tidak efektif.
Untuk empat unsur lainnya yang ada pada indikator penelitian yang telah
dikemukakan unsur‐unsurnya dalam komponen sintesis kesemuanya dimasukkan dalam
unsur cara mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan
fungsi perencanaan, maka empat unsur lainnya memiliki hubungan dengan cara
mencapai tujuan organisasi.
Secara fungsional unsur‐unsur dalam tabel di atas yang terdiri dari tiga
komponen, akan dijadikan sebagai instrumen analisis untuk melihat implementasi fungsi
perencanaan dalam pendayagunaan zakat pada Badan Amil Zakat Nasional.
1. Gambaran Umum Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam Penca‐ paian
Tujuan Organisasi dan Cara Mencapainya
Secara umum kebijakan yang telah ditetapkan Badan Amil Zakat Nasional dalam
pendayagunaan zakat (tahun 2004‐2007) didasarkan pada pengembangan visi yang
telah dirumuskan sebagai arah organisasi. Visi organisasi: ”Menjadi pusat zakat nasional
yang memiliki peran dan posisi yang sangat strategis di dalam upaya pengentasan
pengelolaan zakat nasional yang amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan
syari’at Islam.”375
Secara umum yang dipahami dari visi Badan Amil Zakat Nasional meliputi tiga
aspek sebagaimana yang akan diuraikan. Dua aspek pertama merupakan tujuan yang
akan dicapai oleh organisasi dalam jangka panjang sedang satu aspek pada bagian kedua
merupakan persiapan internal kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam mencapai
dua aspek yang menjadi tujuan jangka panjang organisasi.Mengenai dua aspek yang
pertama, dilihat dari sisi fungsi perencanaan, merupakan langkah awal dari perencanaan
tujuan organisasi.376
Pertama, menjadi pusat zakat nasional. Pandangan ini didasarkan pada aspek
yuridis formal dalam UU No. 33/ 1999 tetang Pengelolaan Zakat pasal 2 ayat (1) yang
menetapkan struktur Badan Amil Zakat menurut wilayah administrasi formal. Badan
Amil Zakat Nasional merupakan badan yang berada di tingkat nasional dan
berkedudukan di ibu kota negara.
Bagi Badan Amil Zakat Nasional, dukungan yuridis formal sebagaimana yang
dipahami olehnya, merupakan bagian kekuatan organisasi untuk mencapai tujuan
jangka panjang. Karenanya dari analisis fungsi perencanaan maka faktor dukungan ini
merupakan tahapan lebih lanjut dari penetapan tujuan jangka panjang organisasi.377
Berkaitan dengan dukungan UU ini terhadap pencapaian tujuan organisasi
jangka panjang, maka patut dinyatakan bahwa dalam UU ini dan peraturan lainnya tidak
ditemukan penjelasan secara tersurat bahwa Badan Amil Zakat Nasional sebagai pusat
zakat nasional. Pemahaman tentang Badan Amil Zakat Nasional sebagai pusat zakat
nasional hanya didasarkan atas pasal 6 ayat (3) yang menyatakan ”badan amil zakat di
semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan
informatif. Fuad menyatakan bahwa pandangan Badan ini sebagai pusat zakat nasional
didasarkan pada: a. Badan ini secara kelembagaaan berada pada tingkat nasional; b.
375
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006), h. 17.
376
John R. Schermerhon, JR., Management, (Singapore: John Wiley & Sons Inc, 1996), h. 139.
377
Menurut Schermerhon, tahapan seanjutnya setelah penetapan tujuan adalah merumuskan kondisi yang mendukung pencapaian tujuan. John R. Schermerhon, JR., Management, h. 139.
diperlukan suatu badan amil yang memberikan bimbingan dan kordinasi dengan badan‐
badan amil lainnya.378
Penetapan Badan Amil Zakat Nasional sebagai pusat zakat nasional,
dimaksudkan agar badan ini mengemban misi sebagai: a. Regulator zakat
nasional; b Menjadi Koordinator Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat; c, Menjadi
pusat data zakat nasional; d. Menjadi pusat dan pengembangan sumber daya manusia
zakat nasional.379
Pandangan sebagai regulator tidak berarti bahwa Badan Amil Zakat Nasional
akan bertindak sebagai lembaga yang membuat UU dan Peraturan lainnya berkaitan
dengan pengembangan zakat secara nasional. Karena dari sisi kewenangan, seluruh
badan amil zakat hanya diberikan tugas pokok oleh pasal 8 UU ini untuk mengumpulkan,
mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Namun,
harapan Badan Amil Zakat Nasional sebagai regulator dimaksudkan untuk memberikan
arah fiqhiyah dan manajemen terhadap pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Untuk
yang pertama, kewenangan ini memungkinkan dilakukan karena, Surat Keputusan
Menag No. 581/1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat,
pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa ”Badan Amil Zakat Nasional terdiri atas Dewan
Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana.” Surat Keputusan Dirjend Bimas
Islam dan Urusan Haji No.D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat, Pasal 5 yang mengatur tentang tugas Dewan pertimbangan yang tampaknya lebih
pada hal‐hal yang berkaitan dengan pedoman dalam bidang syari’ah.380
Badan Pengawas pada Badan Amil Zakat Nasional terdiri dari empat belas orang
dengan kwalifikasi latar belakang pendidikan agama Islam (Pakar Hukum Islam dan
Ulama) sebanyak 40 % dan lainnya dari praktisi zakat, ekonom dan hukum, sebagaimana
378
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
379
Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 18. 380
”(1) Dewan Pertimbangan memberikan pertimbanga, fatwa, saran dan rekomendasi tentang pengembangan hukum dan pemahaman mengenai pengelolaan zakat. (2) Dewan Pertimbangan mempunyai tugas: a. Menetapkan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat bersama Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana. b. Mengeluarkan fatwa syari’ah baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh Pengurus Badan Amil Zakat.”
terlihat pada tabel empat (4).381 Sumber daya untuk melakukan pemahaman baru
terhadap pendayagunaan zakat, memungkinkan dilakukan agar mereka dapat
mendorong pengembangan zakat dengan memperhatikan perkembangan lingkungan
strategis yang ada. Pemahaman baru terhadap pendayagunaan zakat, berpeluang
mereka lakukan dengan tidak sekedar menerapkan seperti yang ada dalam kitab fikih
saja.382
Pandangan untuk menjadi koordinator terhadap badan amil zakat dan lembaga
amil zakat, sesuai dengan pasal 6 ayat (3) UU ini, ditambah dengan kondisi faktual Badan
Amil Zakat Nasonal yang secara administratif berada di ibu kota negara, maka
memungkinkan mengambil kebijakan untuk bertindak sebagai koordinator lembaga
pengelola zakat.
Kebijakan Badan Amil Zakat Nasional untuk menjadi koordinator, dimaksudkan
agar pengelola zakat di Indonesia memiliki pandangan yang sama tentang pengelolaan
zakat. Untuk mendukung harapan itu, Badan Amil Zakat Nasional sebagai koordinator
telah melakukan kegiatan di antaranya: (a) Pertemuan tingkat nasional tentang
peningkatan kinerja pengelolaan zakat; (b). Melakukan kunjungan ke berbagai badan
amil zakat dan lembaga amil zakat dalam rangka mendengar dan mengetahui informasi
sekitar pelaksanaan pengelolaan zakat; (c) melakukan silaturrahim ke Menteri tertentu
dalam rangka menyampaikan gagasan berkaitan perlunya sinergi dengan lembaga
pengelola zakat.383
Kedua, pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan Keinginan untuk menjadikan
Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga yang memiliki kepedulian terhadap
pengentasan kemiskinan, didasarkan atas pertimbangan: (a.) Merespons kecenderungan
pemikiran muslim yang ingin menjadikan zakat sebagai instrumen pengentasan
kemiskinan; (b) keterbelakangan dan kemiskinan masih merupakan masalah besar yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia.384 Kecenderungan pendapat di atas, sebagaimana
diuraikan pada bab II penelitian ini tentang zakat sebagai instrumen ekonomi dalam
381
Tabel empat (4) tentang sumber daya personal BAZNAS dari sisi latar belakang keilmuan dan profesi merupakan hasil analisis penulis terhadap data dalam Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 21-22.
382
Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Umum Pengurus Badan Amil Zakat Nasional Periode 2001-2004, Jakarta, 6 Pebruari 2008.
383
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
384
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Januari 2008.
peningkatan kesejahteraan umat sangat tepat direspons oleh Badan Amil Zakat
Nasional, karena secara teoritis diperlukan lembaga untuk mengembangkan gagasan
para pemikir muslim itu. Kencenderungan pengelola zakat di Indonesia dalam kaitannya
dengan pengembangan ekonomi dapat dilihat pada tabel sembilan belas (19) dan hasil
analisisnya pada tabel sembilan (9) di bawah ini.
Tabel 9 : Perbandingan Prosentase Antar Sektor pada Pendayagunaan Zakat Infaq dan Sedekah Lembaga Pengelola Zakat di Indonesia
No Sektor Pendayagunaan Prosentase Ket
1 Usaha Produktif 10‐50 2 Pengembangan Kecerdasan SDM (Da’wah + Ibnussabil) 25‐50 3 Prasarana Pendidikan /
Rumah Ibadah serta
Bantuan Sosial
10‐24
4 Amil 10—12.5
Sumber Data : Hasil Analisis Penulis terhadap data tabel 19, (2008)
Tabel di atas menjelaskan bahwa bahwa alokasi dana yang secara langsung
dalam aspek ekonomi sekitar 10‐50%.
Berkaitan dengan aspek pengentasan kemiskinan yang menjadi bahagian dari
visi Badan Amil Zakat Nasional, serta argumen yang membangunnya, secara manajerial
badan ini telah mengimplementasikan pondasi manajemen yang baik. Menurut
Schermerhon, pondasi perencanan yang baik adalah memiliki dampak yang
berkaitan dengan sisi‐sisi kemanusiaan.385 Dilihat dari sisi aspek pengentasan
kemiskinan yang telah ditetapkan Badan ini sebagai tujuan jangka panjang, maka
tampak bahwa perencanaan yang dibangun badan ini telah memiliki dampak
kemanusiaan. Sebab masalah kemiskinan berkaitan dengan ketidakmampuan
masyarakat untuk mengakses sumber‐sumber penghasilan dan tidak berfungsinya
potensi‐potensi diri mereka dalam mengembangkan aspek kemanusiaan.
Selain dampak kemanusiaan di atas, maka dampak lain adalah partisipasi Badan
ini dalam mengatasi problema kemiskinan. Data menunjukkan bahwa di Indonesia
sampai tahun 2005 jumlah penduduk miskin mencapai 39.050.000 jiwa.386
Dalam kaitan dengan perencanaan jangka panjang yang memiliki dampak
berwawasan masa depan dilihat dari sisi manajemen pada satu sisi dan hubungan aspek
perencanaan Badan Amil Zakat Nasional dengan pencapaian aspek kesejahteraan umat,
maka dapat dikemukakan dua hal. (a). Pencapaian kesejahteraan umat, tidak dapat
dicapai tanpa upaya untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi dan religius (sosereg)
terhadap mustahik yang dapat mendukung bagi mereka dalam mengakses sumber‐
sumber ekonomi. (b) Penciptaan kondisi sosekreg bagi mustahik harus didukung oleh
tersedianya instrumen ekonomi.
Kedua hal yang dikemukakan di atas berkaitan dengan pencapaian aspek
kesejahteraan umat, tampaknya telah dilakukan oleh Badan ini sebagaimana yang akan
dikemukakan pada fungsi pengorganisasian. Namun demikian berkaitan dengan fungsi
perencanaan, maka pengembangan internal kelembagaan yang mendukung fungsi
pengorganisasian merupakan prasyarat yang harus dilakukan Badan ini.
Ketiga, pengembangan internal kelembagaan. Pengembangan internal
kelembagaan diperlukan untuk mendukung fungsi kelembagaan. Salah satu bentuk
kebijakan ini, Badan Pelaksana mengembangkan struktur kelembagaan dengan
menambah bagian pelaksana harian. Menurut ”keputusan Presiden RI. No. 103 tahun
2004 menetapkan organisasi Badan Amil Zakat Nasional terdiri dari Badan Pelaksana,
Komisi Pengawas dan Dewan Pertimbangan.”387
385
John R. Schermerhon, JR., Management, (Singapore: John Wiley & Sons Inc, 1996), h. 148.
386
Tabel 18: tentang perkembangan kemiskian di Indonesia. 387
Keberadaan pengurus pelaksana harian Badan Amil Zakat Nasional, sesuai
dengan surat keputusan Badan Pengurus No.01/Badan Amil Zakat Nasional /VIII/2002
dimaksudkan untuk memberikan dukungan efektifitas terhadap jalannya roda
organisasai. Menurut mantan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional, terdapat dua
pertimbangan dibentuknya kepengurusan ini: a. Mengingat Pengurus Badan Pelaksana,
secara personal memiliki tingkat kesibukan yang tinggi, sehingga diduga kuat akan
memberikan pengaruh yang berarti dalam aktifitas organisasi; b. Secara kelembagaan,
keberadaan pengururs harian itu berfungsi sebagai pelaksana teknis administrasi
organisasi.388
Dalam pengembangan sumber daya manusia, Badan Pelaksana mengutus
personal lembaga untuk mengikuti pendidikan formal dalam bidang manajemen. Untuk
2004‐2007 telah disiapkan personal kelembagaan dari unsur pelaksana harian untuk
mengiku pendidikan S2 sebanyak 5 orang. Selain itu juga diikutkan dalam kursus‐kursus
pengembangan manajemen.389
2. Arah Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam Pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk 2004‐2007
diarahkan pada: Pertama, orientasi pada pengentasan kemiskinan mustahik. Untuk
mendukung kebijakan ini, Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional menetapkan tiga
puluh lima prosen (35 %) untuk program pendayagunaan zakat ditujukan untuk
mustahik pada sektor ekonomi. Hal ini merupakan prosentase tertinggi dibanding
dengan program lainnya sebagaimana terlihat pada tabel tujuh (7). Dalam tabel itu
terlihat sektor pengembangan ekonomi merupakan tertinggi diikuti sektor lainnya yakni
peningkatan kualitas sumber daya manusia (25 %), kesehatan (20 %), dakwah (10 %)
serta kemanusiaan (10 %).
Kedua, orientasi pada manajemen pendayagunaan. Orientasi ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk memberikan dampak yang sebesar‐besarnya bagi mustahik dalam
pendayagunaan zakat. 390 Dikaitkan pandangan ini dengan kondisi objektif
388
Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Umum Pengurus Badan Amil Zakat Nasional Periode 2001-2004, Jakarta, 6 Pebruari 2008.
389
Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.
390
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 September 2007.
pendayagunaan zakat di Indonesia, kiranya cukup strategis, karena secara umum
pendayagunaan yang dikembangkan oleh lembaga pengelolalan zakat cenderung kurang
memperhatikan aspek ini. Dalam tabel sembilan belas (19) terlihat hanya sebahagian
kecil lembaga lengelola zakat yang memiliki arah pengembangan yang berbasis ekonomi
yang jelas dengan alokasi 20 prosen ke atas. Selanjutnya, secara umum pengelolaan
zakat di Indonsia cenderung mendayagunakan zakat dengan tidak memperhatikana
aspek manajemen. Hal ini terlihat pada kurangnya sosialisasi terhadap perencanaan dan
implementasi program dan pertanggungjawaban zakat kepada publik.391 Penyebab dari
kondisi internal kelembagaan yang demikian itu dikarenakan oleh kualitas sumber daya
manusia pengelola yang berasal dari latar belakang keilmuan yang relatif berasal dari
sumber yang sama serta tingkat pengalaman yang minim. Dampak lain dari kondisi
sumber daya pengelola zakat yang demkian adalah zakat sebagai sumber dana
keagamaan belum memperlihatkan hasil yang maksimal.392
Dalam kaitan dengan perlunya manajemen pendayagunaan dalam pengelolalan
zakat, kiranya pernyataan Azyumardi cukup beralasan ”...Di tengah peningkatan
filantropi di kalangan masyarakat kita, persoalannya adalah seberapa jauh dana yang
dikumpulkan bermanfaat untuk meningkatkan keadilan sosial ? Apakah dana filontropi
yang masih besar masih didistribusikan secara konvensional, misalnya terutama untuk
pembangunan rumah ibadah, ataukah juga semakin banyak untuk membantu
terciptanya kepedulian dan keadilan sosial....”393
Dalam mendukung arah manajemen pendayagunaan, Badan Amil Zakat,
menetapkan langkah yaitu: a. Perlunya dilakukan studi kelayakan program terhadap
tingkat kebutuhan mustahik; b. Dampak yang diperoleh bagi mustahik dalam suatu
program; c. Pendampingan program dan keberlanjutan program.394 Arah manajemen ini
dikembangkan selain untuk internal kelembagaan tapi juga untuk eksternal
kelembagaan dengan menjalin kemitraan dengan lembaga
391
Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.
392
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
393
Azyumardi Azra, Meningkatkan Manajemen Filantropi Islam, dalam Eri Sudewo Manajemen Zakat, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004), h. Xxi.
394
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
pengelola zakat lainnya dalam suatu program tertentu.395 3. Penyusunan rumusan tentang makna zakat
Pemahaman tentang pengertian zakat yang diberikan oleh Badan Amil Zakat
Nasional dan diterbitkannya, memungkinkan diketahui pula faktor persepsi terhadap
makna zakat. Terdapat berbagai aspek yang terkait dengan zakat dari pengertian zakat
yang diberikan Badan Amil Zakat Nasional. Pertama, zakat merupakan aktivitas ekonomi
yang berhubungan kehidupan sosial ekonomi.396 Dengan pandangan ini, hemat penulis,
menjadikan argumen Badan Amil Zakat Nasional sangat mendorong sinergi antar
pengelola zakat. Peningkatan sinergi antar pengelola zakat, akan mendorong
terwujudnya pendayagunaan zakat yang berarti bahwa dana zakat akan memberikan
manfaat sebesar‐besarnya kepada kehidupan sosial.
Pandangan ini mendorong lahirnya pengelola zakat profesional yang amanah
dan didukung oleh pengelolaan yang berbasis manajemen, dan tidak mendorong
lahirnya pengelolaan zakat bersifat individual yang bekerja dengan tidak mengandalkan
sistem organisasi. Hemat penulis dengan pengelolaan zakat yang individual, tidak akan
sesuai dengan makna yang terkandung dalam mâliyah ijtimâiyah.
Bagi Badan Amil Zakat Nasional indikator zakat dapat dipandang sebagai
mâliyah ijtimâiyah jika zakat mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat.
Penciptaan kesejahteraan umat berpeluang untuk tercipta, jika pendayagunaan zakat
didukung oleh penguatan kelembagaan pengelolaan zakat.
Kedua, zakat dipandang sebagai pelaksanaan rukun Islam. Dengan pandangan
ini,maka bagi Badan Amil Zakat Nasional tidak hanya sekedar melihat sebagai zakat
kewajiban muzaki, tetapi dana zakat merupakan suatu dana yang bersumber dari
pelaksanaan ibadah yakni rukun Islam. Dibanding dengan yang pertama sebagaimana
dikemukakan di atas berkaitan dengan persepsi Badan Amil Zakat Nasional tentang
zakat, maka yang kedua ini lebih bersifat teologis.
395
Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
396
Pengertian zakat dapat dipahami dari buku yang diterbitkan BadanAmil akat Nasional: ”Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’luum minad diin bidhdharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 11.
Dalam pandangan yang lain dinyatakan ”... Zakat itu tumbuh, karenanya Badan