• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Kerohaniahan yang Luhur

Dalam dokumen Bimbingan konseling islami (Halaman 135-138)

MANUSIA DAN STRUKTUR DASAR KEPRIBADIANNYA

B. Struktur Kepribadian dan Cara Kerjanya Menurut Psikologi Islami

3. Aspek Kerohaniahan yang Luhur

Aspek “ruh” mempunyai unsur tinggi di dalamnya terkandung kesiapan manusia untuk merealisasikan hal-hal yang paling luhur dan sifat-sifat yang paling suci.24 Aspek ini merupakan aspek kejiwaan yang lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan. Ini merupakan sistem nilai yang telah meresap dalam kepribadian, memberikan corak pada seluruh kehidupan individu. Bagi yang beragama aspek inilah yang memberikan arah kebahagiaan dunia maupun akhirat. Aspek inilah yang memberikan kualitas pada kedua aspek lainnya.

Untuk memahami struktur dasar kepribadian dalam psikologi Islam, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu konsep nafs. Di dalam bahasa Arab, kata nafs bisa berarti bernafas, nafsu binatang, jiwa, roh, diri, individual, substansi, dan inti.25 Dalam bahasa Hebrew (Ibrani, bahasa orang Yahudi) Nafs berhubungaan dengan kata “nephes” (jiwa).26 Cukup

22 Ibid, Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat..., hlm.68

23 Prayitno & Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), hlm. 53

24 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi’ Usmani,(Bandung: Pustaka, 1997), hlm.243.

25 Yusuf Mahmud Muhammad, Al Nafsu wa Al Ruh fi Al Fikri Al Insan wa

Mauqifu Ibn Al Qoyyim Minhu, (Qatar: Dar Al Hikmah, 1993), 87-90.

26 Mohammad Shafii, Psikoanalisis dan Sufieme, Terj., freedom from the self: Sufism, Maditation and Psychoterapy, Subandi, (Yogyakarta: Campus Press, 2004), hlm. 7

sulit untuk menemukan kata yang setara dengan nafs dalam bahasa Inggris. Cukup sulit untuk menemukan terjemahan kata nafs dalam bahasa Inggris, sehingga sampai saat ini nafs sering diartikan sebagai jiwa (soul) (Morewedge, 1973). Walaupun begitu, kata “soul” hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat teologis dan metafisik dan tidak menggambarkan kedalaman dan keluasan dari konsep nafs sendiri, atau lebih spesifiknya tidak mewakili arti psikologis dari nafs. Arti yang paling mendekati dalam Bahasa Inggris adalah “personality”,

“self”, atau “level of personality development”. Menurut Mujib Ronald Alan

Nicholson menyebutkan dua istilah yang memiliki kesamaan makna yaitu,

al-huwiyyah dan al-dzatiyyah. Sementara dalam leksologi bahasa Arab

seperti yang dikemukakan oleh Abdul mujib, banyak padanan yang memiliki kemiripan dengan arti kepribadian seperti istilah nafsiyyah yang berasal dari nafs, aniyyah (iniyyah), khuluqiyyah.27

Ibnu Sina merupakan seorang dokter, ilmuwan, filosof, dan psikolog dari Persia kira-kira 1000 tahun lalu. Ia sangat dikenal di dunia barat karena pemikiran-pemikiran tentang kedokteran, sehingga ia mendapat gelar bapak kedokteran. Dalam buku The Book of Healing, (al-Shifa’), Ibnu menulis secara luas tentang struktur dasar kepribadian dan variasi nafs. Dikalangan Ilmuan kedokteran dan psikolog barat, nama Ibnu Sina lebih familiar dengan

Avisena. Karya-karya Ibnu Sina sendiri banyak dijadikan rujukan bagi

pengembangan ilmu kedokteran dan psikologi di Dunia. Dalam konteks psikologi, Ia mendasarkan pada tulisan Al-Farabi untuk memahami filosofi Yunani. Ibnu Sina menyatukan pemikiran-pemikiran Sufi dan tulisan Aristoteles dalam psikologi kepribadian manusia seperti yang terdapat dalam karyanya. “De Anima” dan mengembangkan sebuah kesatuan dan konsep holistik dari struktur kepribadian (Nasr, 1964).28 Menurut Ibnu Sina dan psikologi Sufi, seluruh hal yang hidup, selain memiliki dimensi mineral atau keadaan anorganik, juga mempunyai nafs atau beberapa

nafs, tergantung pada tingkat perkembangannya dalam lingkaran evolusi.29 Schimmel, dalam karya ilmiahnya, Mystical Dimensions of Islam, melihat bahwa ketika ahli Sufi menggunakan kata nafs itu sendiri, mereka cenderung mengidentikkan dengan nafs-hewani.30 Nafs dianggap oleh para ahli Sufi

27 Ibid, Abdul Mujib, Kepribadian..., hlm. 18

28 Ibid, Mohammad Shafii, Psikoanalisis dan Sufieme.., hlm. 18

29 Ibid, Abi Ali Al Husain Ibn Abdillah Ibn Sina, Al Syifa’.., hlm. 220-225 30 A. Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (chapel Hill: University Of North Carolina Press, 1975), hlm. 112

sebagai sesuatu yang konkrit. Tidak hanya sebuah konsep belaka atau hanya sebuah ide yang abstrak. Nafs-hewani sering diidentikkan dengan perilaku atau sikap yang menunjukkan tindakan-tidakan yang mengarah pada kerusakan dan kehancuran diri seperti amarah, dengki, hasud, dan lain-lain. Para Sufi mempertahankan dimensi binatang dalam diri manusia ini tidak untuk dibunuh atau dihilangkan tetapi digunakan untuk memanfaatkan energi dalam rangka pertumbuhan psikospiritual yang lebih tinggi. Khususnya dalam tahap yang lebih awal dari perkembangan psikomistis, seseorang membutuhkan kesadaran akan hasrat, impuls, dan tendensi-tendensi dorongan ini. Kesadaran dan kemampuan untuk memanfaatkan “energi hewani” ini dapat memberikan kemampuan psikologis untuk berjalan lebih jauh sepanjang jalan menuju Realitas (Tuhan).

Dengan demikian Nafs dapat dikenali dari sumber energi-energi dan fungsi-fungsinya masing-masing. Sebagai contoh, tanaman, binatang, dan manusia mempunyai tiga fungsi secara umum, yakni, mencari makanan, pertumbuhan, dan reproduksi. Ketiga fungsi tersebut keberadaanya sangat esensial untuk semua kehidupan. Perbedaanya terletak pada, jika binatang dan manusia memiliki kemampuan untuk berpindah dengan sendirinya dan mempunyai sistem saraf berupa persepsi sensorik, yang dapat menganalisa wujud sesuatu barang, benda maupun keadaan tertentu. Sedangkan tumbuhan tidak memiliki kemampuan sensorik untuk memindai suatu bentuk. Selanjutnya, manusia juga berbeda dari binatang karena manusia memiliki akal yang dapat berfungsi memilih dan menganalisa perkara baik dan buruk.

Al-Ghozali dalam Mujib menyebutkan dalam diri manusia terdapat tiga penggerak (gharizhoh) yang menentukan kepribadian dan sikapnya dalam menjalani kehidupan yakni:31 berfikir, syahwat, dan marah (al-Ghazali 1989). Akal yang selalu diberikan bimbingan kebaikan akan melahirkan sifat-sifat bijaksana, sehingga ia dapat membezakan kebaikan dari kejahatan. Syahwat yang terdidik melahirkan kesucian diri (‘iffah) sehingga peribadi terjaga dari perbuatan jahat. Potensi marah (al-ghadab) yang selalu mendapatkan bimbingan akan berubah menjadi kesantunan dan keberanian (al-Ghazali 1989). Salah satu di antara tiga kekuatan ini dapat menjadi watak seseorang apabila ia telah mendominasi kekuatan lainnya.32 Al-Quran sebagai Kitab 31 Ibid, Abdul Mujib, Kepribadian dalam psikologi islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hlm. 144

32 Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 25.

Suci yang bersumber Allah Swt. banyak membicarakan tentang karakter atau watak-watak manusia, seperti kâfir, mukmin, munâfiq, muflih, fâsiq, khâsir, dan lain sebagainya. Istilah-istilah ini menggambarkan watak manusia berdasarkan ciri keperibadian manusia itu, yang ditinjau dari segi daya penggerak perilaku yang terdapat pada setiap manusia. Ketiga kekuatan ini pada dasarnya memiliki kapasitas yang sama, tidak ada satu pun di antaranya yang paling dominan dibandingkan yang lain kecuali setelah mendapatkan bimbingan atau pengaruh dari faktor luar. Kekuatan yang paling banyak mendapat rangsangan ekstrinsik akan menjadi daya dominan yang tergambar dalam sikap dan perilaku.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Avixena atau yang lebih dikenal di kalangan pemikir Muslim dengan sebutan Ibn Sina merupakan salah satu filosof dan psikolog yang dalam karyanya banyak membahas tentang perilaku menjelaskan struktur kepribadian yang ada pada diri manusia. Ia menguraikan bahwa dalam diri manusi terdapat daya pendorong yang memicu lahirnya perilaku, yakni, nafs nabati, nafs hewani, dan nafs Insani.

Dalam dokumen Bimbingan konseling islami (Halaman 135-138)