• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nafs Insani

Dalam dokumen Bimbingan konseling islami (Halaman 144-149)

MANUSIA DAN STRUKTUR DASAR KEPRIBADIANNYA

B. Struktur Kepribadian dan Cara Kerjanya Menurut Psikologi Islami

3. Nafs Insani

Miskawaih menyebutnya dengan Jiwa rasional (al-nafs an-natiqah) yang memiliki daya pikir, yang disebut jiwa atau daya raja (mulukiyah), yang merupakan fungsi jiwa tertinggi, yang memiliki kekuatan berpikir dan melihat fakta dengan alat otak.48 Menurut Ibnu Sina dan para Sufi, komponen utama dari nafs-insani adalah kecedasan (aql) dan hati (qalb).

a. Kecerdasan (‘Aql)

Dalam Arab, kata ‘aql berarti membatasi, mengikat, kaki unta, berdiri tegak di karang yang tinggi, dan menyelidiki. ‘Aql secara khusus berarti kecerdasan, menalar, membedakan, dan jiwa itu sendiri. Hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa dengan memilih kata ‘aql, tiga fungsi besar dari kecerdasan yaitu inbibition (pengekangan, kontrol) recognition (pengenalan) dan reasoning (penalaran) dapat tercakup secara bersamaan: (a), ‘Aql, walaupun secara literaturberarti mengikat kaki binatang, di sini berarti

adalah ketika ada situasi yang disimpan dalam pikiran dan kemudian dimunculkan kembali melalui daya kekuatan internal dan eksternal. Belajar adalah mengingat pengalaman masa lalu dan menerapkannnya dalam situasi yang baru, sehingga hal yang asing menjadi sesuatu yang dikenal. Baca Ibn Sina, hlm. 192

47 Ibid, Mohammad Shafii, Psikoanalisis Dan Sufisme.., hlm. 18-19 48 Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, (Beirut : Mansyurah Dar al-Maktabah al-Hayat, 1398 H), cet.II, hlm. 62

mengendalikan dorongan jiwa untuk mengekang insting binatang dan keinginan-keinginan di dalamnya. (b) Makna lain ‘aql adalah berdiri tegak. Salah satu perbedaan besar antara manusia dan primata adalah kemampuan untuk berdiri tegak, menggerakkan tangan untuk membuat alat dan meng-gunakan alat. Sebagaimana kita ketahui, nenek moyang Homo Sapiens dikenal sebagai Homo Errectus. Pemilihan kata ‘aql oleh para Sufi, baik secara sengaja atau tidak, menunjukkan adanya kualitas manusia dalam masalah ini. (c) Arti paling umum dari ‘aql adalah berpikir dan menalar.49

Menurut Ibnu Sina, kemampuan kecerdasan, menalar, dan penemuan makna dari suatu objek atau tindakan adalah kulitas khusus dari kehidupan manusia. Ibnu Sina percaya bahwa ada dua tipe kecerdasan:50

a. Kecerdasan Praktikal (‘aql al-amila) atau kecerdasan kerja. Tipe kecerdasan ini berhubungan dengan aspek-aspek praktikal dalam kehidupan sehari-hari. Fungsinya adalah sebagai berikut: memisahkan, menganalisis, memperhatikan dengan rinci, membedakan, dan berpikir deduktif. Kecerdasan praktikal membantu individu dalam menilai kenyataan sehari-hari dan berjuang untuk mempertahankan. b. Kecerdasan Abstrak dan Universal (‘aql al-alima).

Tipe kecerdasan ini berarti kemampuan pikiran dalam hal teoritis dan abstrak. Fungsinya mencakup kemampuan untuk mempresepsikan keseluruhan atau suatu keutuhan, kemampuan berpikir induktif, kecerdasan psikologis dan filosofi (misalnya merenung, merefleksi (-pen), aspirasi religious, dan nilai-nilai keindahan. Pada tingkat yang lebih tinggi, ekspresi kreatif dari jiwa manusia dalam lingkup industri, seni, dan arsitektur, penemuan ilmiah, dan terutama spiritual, dan ekspresi mistikal adalah bentuk dari kecerdasan abstrak

Selain itu Ibnu Sina juga mengemukakan konsep Kecerdasan Universal. Bagi Ibnu Sina, Kecerdasan Universal merupakan suatu realitas dengan eksistensinya sendiri, yang terpisah dengan tubuh dan jiwa manusia. Sebagian besar manusia mempunyai potensi untuk mendapat inspirasi dari Kecerdasan Universal ini, sehingga mampu mentransendensikan realita konkret dan dualitas dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan Universal adalah eksistensi yang meliputi keseluruhan, inklusif, dan holistik.

49 Ibid, Mohammad Shafii, Psikoanalisis Dan Sufisme.., hlm. 36.

Menurut Shafii, konsep kecerdasan praktikal dan abstrak sejajar dengan proses berpikir sekunder yang merupakan tingkat tertinggi dari fungsi ego dalam psikologi ego. Proses berpikir sekunder tersusun dari kecerdasan sensorik-motorik, fungsi ego otonom, mekanisme pertahanan diri, dan proses berpikir primer. Penilaian terhadap realitas (reality testing), menalar, rasionalitas, dan deduksi logika dari proses berpikir sekunder mirip dengan kecerdasan praktikal dalam psikologi Sufi. Kemampuan konseptualisasi dan abstraksi sebagai tingkat tertinggi dari proses berpikir sekunder menurut psikologi perkembangan Jean Piaget dan psikologi ego, mirip dengan konsep kecerdasan abstrak dalam psikologi Sufi. Tetapi psikologi ego tidak membicarakan konsep Kecerdasan Universal.51

b. Hati (Qolb)

Para ahli tasawwuf (Sufi) mengartikan tingkat tertinggi dari alam bawah sadar sebagai qolb dalam bahasa Arab. Istilah ini berarti hati, jiwa, dan ruh. Sebagaimana yang digunakan oleh para Sufi, qolb ini berarti pusat alam bawah sadar (batin). Ini adalah bagian dari alam bawah sadar yang meng-hubungkan kehidupan manusia dengan Realitas Universal. Para sufi menganggap bahwa seluruh perkembangan kecerdasan manusia merupakan suatu langkah menuju pengalaman dan pengetahuan. Pengetahuan ini bukan sekedar kecerdasan, rasionalitas, atau pemahaman, tetapi melebihi semua itu. Ini adalah pengetahuan hati, atau qolb, yang membebaskan jiwa dan badan dari dualitas. Para Sufi percaya bahwa adalah suatu hal yang penting sekali bagi seorang “pencuri kebenaran” atau “pencari pengetahuan” untuk memahami dan menyadari semua tingkat-tingkat nafs yang ada di dalam dirinya. Tujuannya adalah untuk mentransendensikan “diri yang sementara” (temporal self) dan juga “pengetahuan yang sementara” (temporal knowledge).52 Al Ghazali, sebagai salah satu pemikir Muslim yang telah menghasilkan banyak karya mencoba untuk menyatukan ajaran agama, konsep filosofi, dan gagasan Sufi dengan cara sintesa yang kreatif.53 Dalam bukunya yang ditulis di abad ke-12, kimiya Al Sa’adah, ia memuali pembahasannya

51 Ibid, Mohammad Shafii, Psikoanalisis Dan Sufisme.., hlm. 37-38 52 Ibid. hlm. 38

53 Setelah menghabiskan beberapa tahun sebagai seorang ahli teologi, ilmuwan, dan filsuf, menjadi sadar bahwa semua pengetahuan yang selama itu dimiliki adalah pengetahuan lahiriah. Ia menyadari bahwa pengetahuan yang sesungguhnya didapat

dengan hadis yang artinya, “Siapa yang mengetahui diri (nafs)-nya, maka ia mengetahui Tuhannya. Lebih lanjut, Al Ghazali memberikan nasihatnya mengenai makna hati, sebagai berikut:

“Tidak ada yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu sendiri; jika kamu tidak mengerti dirimu, bagaimana kamu dapat mengerti orang lain? Kamu mungkin mengatakan, “Aku mengerti diriku,” tetapi kamu salah! … Hal yang hanya kamu ketahui tentang dirimu adalah penampilan fisikmu. Hal yang kamu ketahui tentang batinmu hanyalah ketika kmau lapar lalu kamu makan, ketika kamu marah kamu bertengkar dan ketika kamu bernafsu kamu bercinta. Semua binatang sederajat denganmu dalam keadaan ini. Kamu harus menemukan kebenaran dalam dirimu …Apa dan siapakah kamu? Darimana kamu datang dan kemana kamu akan pergi? Apa peranmu dalam dunia ini? Mengapa kamu diciptakan? Dimanakah letak kebahagiaanmu? Jika kamu ingin mengetahui dirimu, kamu harus mengetahui bahwa kamu tersusun dari dua hal. Pertama adalah badan dan penampilan luar (lahiriah) yang dapat kamu lihat dengan mata. Lainnya adalah kekuatan alam bawah sadar (batin, qolb). Ini adalah bagian yang tidak dapat dilihat dengan mata tetapi dapat diketahui melalui pengertian. Keberadaanmu yang sesungguhnya adalah dalam batin (qolb)-mu. Segala sesuatu adalah pelayanan bagi batin atau qolb-mu”.54

melalui pengalaman psiko-mistis pribadi yang melampaui batas kata-kata dan buku-buku. Suatu hari Ghazali melakukan perjalanan melalui gurun pasir dari suatu kota di propinsi Khorasan menuju kota lain. Sebagaimana kebiasaan waktu itu, ia berpergian dengan caravan. Seluruh buku, tulisan, dan karya ilmiahnya dalam bidang filsafat dan teologi dikerjakan di atas keledai. Tiba-tiba karavannya diserang segerombolan perampok. Perampok-perampok tersebut mengambil semua barang. Termasuk keledai dan semua buku muatannya. Ghazali menjadi terkejut dan menjadi panic. Ia mendatangi pimpinan perampok dan menanyakan apakah kepala perampok itu bisa membaca atau menulis. Pemimpin bandit itu ternyata adalah seorang pemuda. Ketika melihat Ghazali dalam keadaan tertekan dan kebingungan, ia menjawab, “Tidak, aku tidak bisa membaca ataupun menulis”. Ghazali kemudian meminta, “Ambilah semua barangku, semua yang aku punya, kecuali buku itu dan naskahku. Aku mengabdikan seluruh hidupku untuk mengumpulkan semua ini. Tidak ada gunanya untuk kamu. “perampok muda tersebut diam sejenak dan kemudian berkata, “Pak Tua, kamu mengaku sebagai seorang yang terpelajar dan berpendidikan. Pelajaran macam apa yang dapat diambil perampok buta huruf darimu?”

Pertemuan ini menggugah Ghazali ke asala keberadaan dirinya dan awal kesadarannya– tahap awal bagi langkah para Sufi untuk mencapai. Ia kemudian memutuskan untuk berhenti mempelajari pengetahuan lahiriah dan mulai perjalanannya melewati jalan Sufi. Setelah bertahun-tahun melakukan meditasi dan menjalani kehidupan Sufi, Ghazali kemudian mulai menulis kembali. Bedanya sekarang ia mengintegrasikan filosofi dan teologi dengan pengalaman (rohani) dari meditasi Sufi.

54 Al Ghazali, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad. (tt). Kimiya’u Al Sa’adah, dalam, Majmu’atu Al Rasail Al Ghazali, (Kairo: Maktabah Al Taufiqiyyah, tt), hlm 450-455

Ketika memaparkan hati (qolb) Ghazali menggunakan metafora berikut:

…Tubuh seperti sebuah Negara. Para pekerja adalah tangan, kaki, dan bagian lain dari tubuh. Nafsu seperti penarik pajak. Kemurkaan atau kemarahan seperti polisi. Qolb (hati) adalah raja. Kecerdasan seperti menteri. Nafsu, seperti penarik pajak mempunyai banyak arti, yaitu berusaha untuk memaksakan segala sesuatu. Kemurkaan dan kemarahan kejam, kasar, dan menghukum seperti polisi dan ingin merusak atauj membunuh. Raja tidak hanya mengontrol nafsu dan kemarahan, tetapi juga kecerdasan dan harus menjaga keseimbangan antara semua kekuatan ini. Kalau kecerdasan dikalahkan oleh nafsu dan kemarahan, Negara akan mengalami kejatuhan dan raja akan diruntuhkan.55

Satu cara agar seorang dapat mengatur kekuatan yang saling berlawanan ini adalah dengan mengamati perbuatan, perilaku, pemikiran, dan perasaannya sendiri.

Ghazali merinci lebih jauh:

Jika kamu mengikuti ajakan nafsu babi kamu akan menjadi orang yang tidak tahu malu, rakus, tidak mau dikritik, memecah belah, iri, dan pendendam. Jika kamu mengabaikan nafsumu dan mengaturnya dengan kecerdasan dan pemikiran, kamu akan puas, tenang, damai, peduli, dan dapat mengendalikan dirimu sendiri. Kamu akan menjadi murah hati dan jauh dari ketamakan. Jika kamu mengikuti kemarahan anjing, kamu akan menjadi sangat angkuh, tidak punya rasa takut, jahat, pembohong, mementingkan diri sendiri, dan mencaci maki orang lain. Jika kamu mengendalikan kemarahan ini, kamu akan menjadi sabar, toleran, tabah, memaafkan, berani, tenang, dan murah hati.

Setan dalam dirimu terus-menerus menghasut babi dan anjing ini. Jika kamu mengikuti ajakan setan kamu akan menjadi penipu dan pengkhianat. Jika kamu mengendalikan dorongan-dorongan ini dan menggabungkan pemikiran dan kecerdasan, kamu akan menjadi cerdas, berilmu pengetahuan, berpikiran psikologis, dan peduli dengan orang lain. Ini adalah resep dari kepemimpinan. Bibit kebahagiaan tumbuh dalam dirimu… Hati seperti cermin yang bersinar. Perbuatan-perbuatan buruk seperti asap yang akan menutupi kaca. Kemudian kamu tidak mampu melihat kebenaran dirimu. Kamu akan diselimuti dari pandangan Realitas Universal atau Tuhan.

Hati adalah pusat dari alam bawah sadar. Ini adalah dorongan pemersatu yang mengendalikan nafs-hewani dari dalam dan mengarahkan energi-energi badan dan jiwa ke arah jalan ilmu di luar kecerdasan intelektual dan ilmu pengetahuan lahiriah. Hati seperti katalisator (penghubung) antara emosi, efek, dan proses berpikir, nilai-nilai religius, dan di atas itu semuanya, pendorong kehidupan manusia secara terus-menerus menuju hubungan erat antara seluruh makhluk. Hati adalah sungai yang membawa jiwa yang gelisah kea rah Lautan Realitas yang sangat luas (Haqq).56

Kecerdasan Universal mirip dengan konsep hati (Qolb) dari Ghazali dan para Sufi lain. Ibnu Sina mengkonsepkan keberadaan Kecerdasan Universal dari pandangan medis, psikologis, dan filosofis. Ia mencoba untuk menyatukan filosofi Aristoteles dengan teologi Islam dan terutama dengan Sufisme. Hati (qolb) dalam Sufisme melampaui kecerdasan, terutama kecerdasan praktikal dan rasional yang dibatasi oleh logika berpikir Aristoteles dan penalaran. Konsep hati dalam ajaran Sufi dan Kecerdasan Universal dari Ibnu Sina, keduanya mentransendensikan keberadaan individual dan mempunyai kualitas universal dan sifatnya trans-kesadaran. Perwujudan fenomena semua eksistensi (makhluk) berawal dan berakhir dengan Hati dan Kecerdasan Universal. Hati dan kecerdasan Universal adalah ekpresi dari pusat alam bawah sadar, batin, dan energy kreatif daalm kehidupan.

56 Ibid, Mohammad Shafii, Psikoanalisis Dan Sufisme.., hlm. 39

Dalam dokumen Bimbingan konseling islami (Halaman 144-149)