• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Bimbingan Konseling dengan Bimbingan Konseling Islami

Dalam dokumen Bimbingan konseling islami (Halaman 43-46)

zΟù=Ïèø9$#çμ¯Ρr&

C. Hubungan Bimbingan Konseling dengan Bimbingan Konseling Islami

Pada dasarnya, keberadaan bimbingan konseling umum bukanlah produk yang tidak sesuai dengan apalagi bertentangan dengan Islam, bahkan secara sepintas terdapat kemiripan antara bimbingan konseling 37 Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir Al Thobari, Jamiul Bayan An Ta’wili Ayatil

umum dengan Bimbingan Konseling Islami yakni sama-sama memberikan bantuan psikologis kepada konseli. Namun, perbedaan yang tampak dari konsep Saiful Akhyar di atas menunjukkan konsep spritual dan dimensi material menjadi landasan utama dalam proses konseling Islami. Titik tekan dari dimensi spritual membantu konseli untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah yang dapat menjadikan individu menuju pribadi yang sehat secara batin melalui peningkatan kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan yang senantiasa beriman dan bertakwa kepadaNya. Sedangkan pemenuhan dimensi material dapat berupa bantuan pemecahan masalah kasbiyah kehidupan untuk menuju individu yang sukses.

Bimbingan Konseling Islami merupakan pemberian bantuan yang dilakukan untuk memecahkan masalah atau mencari solusi atas permasalahan yang dialami konseli dengan bekal potensi dan fitrah agama yang dimilikinya secara optimal dengan menggunakan nilai-nilai ajaran Islam yang mampu membangkitkan spiritual dalam dirinya, sehingga manusia akan mendapatkan dorongan dan mampu dalam mengatasi masalah yang dihadapinya serta akan mendapatkan kehidupan yang selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Bimbingan Konseling Islami sebagai cabang keilmuan modern merupakan suatu hal yang baru secara konseptual, walaupun pada praktiknya penerapan Bimbingan Konseling Islami telah ada semenjak kemunculan Agama Islam yang dibawa dan disebarkan oleh Nabi Muhammad. Evidensi keberadaan praktik Bimbingan Konseling Islami pada Masa Nabi sering sekali tampak dari sikap yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad dalam memberikan layanan Bimbingan Konseling Islami kepada para sahabat melalui praktik-praktik halaqah al dars maupun proses konseling Islami. Peran Nabi sebagai seorang konselor memberikan ‘ibarah bagi kekayaan khazanah keilmuan konsep Bimbingan Konseling Islami yang masih dikatakan “proses menjadi”. Dari beberapa pemikiran di atas dapat dikatakan bahwa bimbingan konseling Islami adalah sebuah proses bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli, agar konseli dapat hidup dan berkembang secara optimal sesuai dengan fitrahnya, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia-akhirat dengan berdasarkan landasan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ruang lingkup konseling islami mencakup seluruh peri kehidupan manusia sebagai makhluk Allah yang secara garis besar dapat dijabarkan ke dalam dua dimensi yakni dimensi spiritual/ruhaniyah dan dimensi material/Dhohiriyah.

Prinsip dan landasan Islami ini kiranya sebagai instrumen yang mem-pertegas perbedaan antara Bimbingan Konseling Islami dengan bimbingan konseling konvensional barat yang bersifat empirik spekulatif dalam memahami hakikat manusia yang berdampak pada cakupan konseling Islami. Keberadaan bimbingan konseling konvensional yang banyak bermuara dari pemikiran barat yang bersifat empirik-spekulatif dinilai masih sangat banyak memiliki kekurangan dalam memahami konsep konseling secara utuh tentang objek formal yang dikaji yakni manusia. Sebagai contoh, pandangan behaviorisme yang menilai bahwa manusia tidak ubahnya seperti kertas yang kosong (tabula rasa), permasalahan yang muncul dari dalam diri manusia merupakan kalkulasi dari faktor empiris. Individu yang bermasalah merupakan individu yang tidak memiliki kecakapan (latihan/pembiasaan) dan pemahaman yang komplit, sehingga sangat tampak pesimisme kelompok behavior terhadap kemampuan manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah akal yang mampu membenahi dan memecahkan masalahnya melalui dimensi spiritual. Bimbingan konseling barat yang berangkat dari paham-paham psikologi pada dasarnya memiliki kekurangan jika tidak dimasukkan nilai-nilai Islami di dalamnya. Menurut Djamaluddin Ancok (1994), Fuat Nashori (1994), Bastaman (1995), dan Sutoyo (2009), memiliki sejumlah kekurangan yang perlu disempurnakan.

Aliran Psikoanalitik terlalu pesimistik, deterministik, dan reduksionistik. Djamaludi Ancok menilai bahwa aliran ini terlalu menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia, teori ini tidak mampu menjelaskan dorongan orang muslim untuk mendapatkan ridho dari Allah.38 Disamping itu juga, teori terlalu menekankan pengaruh masa lalu terhadap perjalanan manusia, dan terlalu pesisimis dalam setiap pengembangan diri manusia. Aliran Behaviorisme juga terlalu deterministik dan kurang menghargai bakat dan minat seseorang individu sebagai mahluk yang memiliki potensi. Selain itu, aliran ini kurang menghargai adanya perbedaan antara setiap individu dalam menilai, memandang dan menyelesaikan masalah, sementara perbedaan individual adalah suatu kenyataan.39

38 Djamaludin Ancok, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem

Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 67.

39 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Denga Islam: Menuju Psikologi

Kesebalikan dengan psikoanalitik, aliran humanistik, terlalu optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dianggap sebagai penentu tunggal yang mampu memainkan peran “play-God” (peran Tuhan).40 Jika seorang konselor terlalu mengikuti aliran ini seperti membiarkan anak berjalan dalam kegelapan malam, karena konselor hanya sebagai tempat cerita.

Setiap teori memang memiliki keterbatasannya masing-masing, oleh karena itu para psikolog sosial kritis menyarankan agar menyempurnakannya dengan menjadikan ajaran agama menjadikan acuan dasar. Bahkan secara tegas Djamaludin Ancok menyarankan agar nilai-nilai agama dan model yang pernah dilakukan oleh Nabi dalam membimbing ummatnya menjadi landasan dalam merumuskan alternatif Bimbingan Konseling di era globalisasi.41 Dari komentar di atas memang masih diperlukan bagi lembaga dan orang yang ahli di bidangnya untuk melakukan berbagai upaya pembahasan yang lebih mendalam agar dapat meminimalisir pemahaman yang berbeda-beda itu, sehingga pada masa yang akan datang konseling Islami semakin utuh dan mapan untuk digeluti bagi mahasiswa yang memasuki jurusan Bimbingan Konseling Islam serta dapat lebih meyakinkan para umat Islam bahwa Bimbingan Konseling Islami menjadikan salah satu alternatif di kalangan umat Islam untuk menuntaskan permasalahan yang berkaitan dengan ajaran agama Islam yang seharusnya dan menjauhi segala bentuk sikap yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah sebagai Sang Pencipta.

Dalam dokumen Bimbingan konseling islami (Halaman 43-46)