• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEO RI

HASIL PENELITIAN

A. Deskri psi Keraton Surakarta

5. Aspek sim bol is pada Pol a bangunan Keraton

budaya Jawa selain m empunyai fungsi kegunaan juga m em punyai fungsi simbolik Secara umum bangunan Kerat on Kasunanan Surakarta menyerupai bentuk semar dalam wayang kulit yang mempunyai m akna. Diawali dari bangunan paling depan yaitu yang disebut dengan T opengan atau Kuncungan. Topengan berasal dari kata Topeng yang berarti wajah. Topengan ibarat T openg, m aka daari itu wajahnya sulit unt uk ditebak, ibarat watak dan pribadi manusia yang sulit unt uk ditebak atau diterka. Sedangkan Kuncungan berasal dari kata kuncung. Kuncung tersebut melambangkan sesuatu yang terhormat karena letaknya di atas kepala. Oleh karena itu semua pendatang atau tamu sejak berada di tem pat tersebut sudah bersopan-santun. Kuncungan pada bangunan keraton disebut dengan nama Maligi a. Simbolisme pada Bagian Tata Ruang Ban gunan Keraton

Bangunan keraton adalah merupakan susunan kosm is dengan bagian-bagiannya. Setiap bagian tata ruang m empunyai sim bolisme. Pada hakekatnya yang m elekat pada bagian tata ruang bangunan keraton adalah merupakan proses perjalanan manusia dalam m encapai kesem purnaan hidup. Oleh karena itu bagian tata ruang bangunan keraton adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Bangunan paling luar dari komplek Keraton Kasunanan Surakart a adalah berbent uk gapura. Gapura tersebut terdiri atas bangunan yang pada awalnya berbent uk pilar di atasnya terdapat besi melengkung. Gapura tersebut disebut disebut dengan Gapura Gladak. Gladak berart i Giring. Jadi di sekitar gapura Gladak tersebut adalah m erupakan suatu tempat unt uk mengum pulkan hewan buruan yang di Gladak (digiring) atau diseret dengan gerobak. Hal tersebut mengandung m akna bahwa manusia dalam m enuju ke kam ulyan jati atau ke pangkuan T uhan Yang Maha Esa, harus mampu mengendalikan dan m enaklukkan dalam arti menguasai nafsu-nafsu jahat yang melekat pada diri manusia yang oleh Tuhan juga sebenarnya telah dilarang untuk dilakukan setiap m anusia. Dalam bangunan gapura gladak tersebut terdapat arca Brahmana Yaksa yang menakutkan. Makna dari arca arca Pandita Yaksa tersebut adalah bahwa setiap perjalanan menuju ke Kam ulyanjati akan selalu menghadapi rintangan. Oleh

karena itu rint angan yang menakutkan tersebut harus dihadapi dengan tabah. Itulah makna sim bolik gapura gladak yang merupakan pintu masuk ke alun-alun Utara.

Setelah melewati Gapura Gladak terus mem asuki gapura yang kedua yaitu gapura Pam urakan. Gapura Pamusakan tersebut mempunyai art i bahwa di tem pat tersebutlah hewan-hewan disembelih dan dibagi-bagikan kepada yang wajib menerima. Adapun art i sim boliknya adalah m erupakan suatu lam bang bagaimana beratnya seseorang menguasai hawa nafsu hewani tersebut. Nafsu hewani tersebut m erupakan godaan yang berat bagi setiap manusia yang ingin ke kam ulyan jati.

Proses selanjutnya apabila orang sudah berhasil m elewati Gapura Gladak dan Gapura Pamurakan, secara lahiriyah memasuki alun-alun Utara. Pada awalnya alun-alun utara tersebut m erupakan padang pasir yang rata, sehingga setiap orang yang berjalan siang hari akan m erasakan panas. Namun apabila m alam hari tiba, akan terasa sejuk dan nyam an. Kesem uanya itu adalah merupakan sim bolisme, yaitu keadaan alam yang agung. Alam atau dunia yang merupakan cipt aan T uhan yang di dalam nya terdapat dua hal yang selalu betentangan dan harus selalu dialami oleh setiap umat m anusia. Pada alun-alun utara juga terdapat dua buah pohon beringin kurung yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru. Kedua buah pohon beringin tersebut m erupakan sim nbolism e pengayoman, kewibawaan, kesejukan, hayem dan hayu.

Perjalanan selanjutnya setelah melewati alun-alun Utara akan dijumpai sebuah bangunan yang dinam akan Pagelaran Sasono Sum ewo. Sewaktu Keraton Surakart a menjadi pusat pemerintahan, Sasono Sum ewo tersebut berfungsi sebagai tempat duduk Pepatih Dalem atau Pepatih Kerajaan bersama seluruh staf bawahannya. Dalam masa kerajaan ini, Sasana Sumewa bersam a “Perdana Menteri bersama stafnya” merupakan sim bolism e penguasa. Oleh karena itu pagelaran Sasana Sum ewa dan perdana ment eri merupakan simbolisme penguasa yang menjalankan pem erintahan.

Perjalanan selanjutnya setelah melewati pagelaran Sasana sum ewa, orang akan m em asuki keraton m elalui siti hinggil. Di dalam siti hinggil tersebut terdapat

bangunan yang dinam akan dengan manguntur tangkil. Di tem pat inilah raja duduk, tempat tersebut m engandung simbolism e sekaligus sebagai pusat kewibawaan atau prabowo dan daya magis. Pada salah satu bangunan yang terdapat di siti hinggil tersebut, yaitu pada Bale Angun-Angun sering diperdengarkan gamelan lokananta. Gamelan lokananta tersebut merupakan lam bang dari “Suwaraning Hasepi”, yang m erupakan sim bolisme bahwa kehidupan ini hanya sebentar dan dilanjutkan menuju kepangkuan T uhan Yang Maha Esa.

Setelah m elewati m anguntur tangkil, perjalanan mem asuki kraton akan sam pai ke kori m angu. Kori mangu tersebut terletak disebelah selatan siti hinggil. Sam pai di kori m angu, perjalanan tersebut akan berhenti sejenak. Bangunan kori mangu tersebut adalah merupakan simbolisme bahwa setiap orang selalu dihadapkan pada pem ikiran yang ganda untuk m enuju kehidupan yang kekal. Sehingga selalu terdapat keragu-raguan dalam dirinya. Ditempat ini orang tidak akan berhenti lama sebab didesak waktu dalam m engarungi kehidupannya.

Kemudian perjalanan dilanjutkan melewati kori Brojonolo, di tempat inilah dalam batin m anusia terjadi pembersihan atau saringan. . Maksud dari saringan di sini adalah untuk m enilai hal-hal apa saja yang dapat dibawa dalam perjalanan menuju proses kehidupan selanjutnya. Kem udian perjalanan dilanjut-kan dengan harus melalui sebuah pint u yang dinamadilanjut-kan dengan Kori Kam andungan. Dalam Kori Kamandungan tersebut orang m asih dapat melihat pada dirinya sendiri, apakah busananya sudah sesuai dengan kesusilaan atau sopan sant un. Hal ini m engandung sim bolisme bahwa cipt a, rasa, dan karsa masih me-ngelom pok m enjadi satu dan belum berubah m eskipun nafsu sudah mereda. Dalam suasana sepert i itu perjalanan sudah mendekati pada suasana yang heneng-hening sert a hawas-heling, yaitu mendekati suasana yang heneng-hening/sunyi, awas dan waspada yang berarti selalu ingat kepadaNya.

Dalam m elanjutkan perjalanan menuju Kerat on, orang pasti melihat Panggung Songgo Buwono, Panggung Songgo Buwono tersebut dibangun berdekat an dengan Kori Sri Mangant i. Bent uk Panggung dan kori Sri Mangant i tersebut diibaratkan sebagai 1ingga dan yoni yang m elam bangkan bahwa lingga

adalah penggoda yoni, sedang yoni adalah penggoda lingga. Dalam artian selanjutnya bangunan tersebut dapat diartikan bahwa seseorang laki-laki dalam manghadapi sakarat ul maut, ia akan selalu teringat dan tergoda oleh wanita atau kekasihnya, demikian juga sebaliknya wanita akan digoda oleh laki-laki.

Setelah melewati Kori Sri Mangant i, m aka akan sam pai pada pelataran dalam dim ana disitu terdapat Pendhopo Agung Sasono Sewoko yang sangat megah, anggun dan berwibawa. Bangunan tersebut m em punyai sim bolisme bahwa orang harus waspada dan berhati-hati dalam bert indak bila menghadapi hal-hal yang serba gem erlapan.

Dem ikianlah arti simbolisme dari bagian-bagian bangunan Keraton Surakart a. Apabila diperhat ikan m aka setiap bangunan tersebut m erupakan proses kehidupan manusia.

b. Aspek seni dan Budaya pada Bangunan Tradisional Jawa.

Hasil seni dan budaya pada m asyarakat Jawa, tidak bisa lepas dari konteks masyarakat. Masyarakat Jawa m em punyai pandangan hidup yang sinkritisme. Hal ini mempengaruhi orang Jawa unt uk m ewujudkan bentuk bangunan tradisionalnya sehingga tidak mengherankan bila adanya beberapa unsur pengaruh yang datang dari luar.

Dalam pembahasan berikut ini akan dipaparkan mengenai hasil kebudayaan di atas pada bangunan Keraton Surakarta yang merupakan perwujudan dari hasil percam puran ant ara kebudayaan asli (animisme) dengan kebudayaan-kebudayaan luar, ant ara lain kebudayaan Hindhu-Budha, Islam dan Eropa.