• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak-Hak Atas Tanah Berdasarkan UUPA

Dalam dokumen PENGANTAR HUKUM INDONESIA (Halaman 115-119)

BAB VII HUKUM PERDATA

ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA

C. Hak-Hak Atas Tanah Berdasarkan UUPA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tidak lagi mempergunakan perbedaan atas dasar Hukum Barat dan Hukum Adat. Semua hak-hak atas tanah yang didasarkan pada hukum barat maupun hukum adat berdasarkan UUPA di konversi (diubah status), selanjutnya hanya ada hak-hak : sebagai disebutkan dalam pasal 16:

1. Hak Milik 2. Hak Pakai

3. Hak Guna Bangunan 4. Hak Guna Usaha 5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Tanah 7. Hak Memungut Hasil

8. Hak-hak lain yang tidak termasuk di atas. Yaitu :

a. hak adat

b. hak usaha bagi hasil c. hak menumpang

d. hak menyewa tanah (pasal 53 UUPA)

Semua hak atas tanah mempunyai serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk “berbuat sesuatu” terhadap tanah yang pihaknya. Sesuatu boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan inilah yang menjadi Kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak tersebut.

Misalnya, Hak mliik yang diatur dalam pasal 20, yang merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, hak ini memberi kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu. Sedang Hak Guna Usaha hanya dibatasi paling lama 25 tahun dan inipun hanya terbatas untuk perusahaan pertanian, perikanan atau petemakan. Dan pula dengan Hak Guna bangunan, Hak tanggungan sebagai hak Penguasaan atas tanah, juga memberi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenal tanah yang dijadikan aggunan. Tehapi bukan untuk menguasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjual jika debitor cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitor padanya (Budi Harsono, 1997. h.23).

Selain hak-hak atas tanah tersebut diatas ada hak lagi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari hak-hak tersebut. Hak ini adalah Hak menguasai dari Negara sebagaimana diatur dalam pasal 2. Hak menguasai dari Negara ini tidak memberikan kewenangan kepada Négam untuk menguasai secara fisik dan menggunakannya, melainkan semata-mata bersifat hukum publik. Jika Negara sebagai Penyelenggara memerlukan tanah untuk melaksanakan tugasnya, tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada Negara selaku Badan Penguasa melalui lembaga Pemerintah yang berwenang. Tanah diberikun kepada lembaga tersebut dengan satu hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, bukan lagi sebagai Badan Penguasa yang mempunyai hak menguasai yang disebut pasal 2, tetapi sebagai badan Hukum seperti halnya orang badan-badan Hukum Perdata yang diberi dan menjadi pemegang hak atas tanah (Budi Harsono, 1997. h. 23).

Dengan keberadaan UUPA; maka ditegaskan pula beberapa peraturan yang dicabut yaitu :

1. Agrariscne wet 1870 2. Domein Ver kiaring

3. Koninklljk Besluit dan peraturan pelaksanaannya. `

4. Buku II BW sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang rerkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada masa mulai berlakunya Undang-Undang ini.

Selain itu ada juga beberapa peraturan yang juga dinyatakan tidak berlaku (dicabut) tetapi pencabutanya tidak dinyatakan secara tegas dalam diktum dan pasal-pasal UUPA.

Peraturan yang dicabut secara tidak langsung ialah semua peraturan keagrariaan yang bertentangan jiwanya dengan prinsip-prinsip UUPA. Konstatasi ini didasarkan pada

pernyataan pasal 58 yang menyatakan bahwa, "segala peraturan yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan ini". Berdasarkan pasal 58 tersebut, maka ada peramran yang harus dinyatakan tidak berlaku meskipun UUPA sendiri tidak menyebutkan secara eksplisit.

Diantara peraturan yang harus dicabut dengan sendirinya ialah staatblad 179 tahun 1875 tentang Larangan Pengasingan Tanah. Peraturan (staatsblad) ini dinyatakan dicabut karena bertentangan dengan UUPA dalam hal :

1. Staatblad tersebut didasarkan pada penggolongan penduduk Indonesia seperti yang dianut BW; yakni golongan penduduk ada 3 macam :

a) Golongan Eropa b) Golongan Bumi Putra c) Golongan Timur Asing

2. UUPA tidak mengenai ada penggolongan penduduk seperti itu, yang dikenal dalam UUPA adalah :

a) Warga Negara Indonesia (WNI) b) Orang Asing.

Orang-orang asing (bukan pribumi) dapat menjadi Warga Negara Indonesia atau WNI jika memenuhi syarat perundang-undangan yang berlaku. Sehingga perbedaannya bukan pada pribumi dan non pribumi; tetapi perbedaan yang dianut oleh UUPA adalah “apakah sudah Warga Negara Indonesia (WNI) atau belum". Orang-orang non pribumi dapat menjadi WNI menurut peraturan perundangan yang ada.

Staatsblad tentang larangan pengasingan tanah itu dinyatakan berdasarkan pada penggolongan penduduk seperti dianut BW dan Agransphe Wet 1870 dikarenakan ia mengatur bahwa “golongan bumi putra dilarang menjuai tanahnya kepada golongan lain". Karena ketentuan yang demikian tidak sesuai dengan UUPA maka dengan sendirinya ketentuan tersebut dinyatakan dicabut. Sebab tidak menganut penggolongan- penggolongan Warga Negara seperti BW. Di Indonesia hanya ada WNI dan orang asing. Golongan Eropa atau Timur Asing bisa mendapatkan hak Milik atas tanah jika sudah menjadi WNI.

Dalam Hukum Tanah Nasional dikenai adanya Hak Tanggungan (pasal 51 - UUPA). Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Senda yang Berkaitan Dengan Tanah.

Sedangkan mengenai pengaturan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1996. Pengaturan lebih lanjut mengenal penduftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1997.

Mengenai pengakuan terhadap hak ulayat (pasal 3 UUPA) diatur lebih lanjut dalam Permen Agrarla/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan hukum pernbebasan tanah :

- Perpres No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. yang juga masih memberlakukan Keppres No. 55 Tahun 1993.

- UU RI No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda- Benda yang Ada Di Atasnya.

- UU RI No. 51 PrP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa izin yang Berhak Atau Kuasanya.

Dalam dokumen PENGANTAR HUKUM INDONESIA (Halaman 115-119)