• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Hukum Acara Pidana

Dalam dokumen PENGANTAR HUKUM INDONESIA (Halaman 69-72)

BAB VII HUKUM PERDATA

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana merupakan Hukum Pidana Formil yaitu keseluruhan aturan hukum yang mengetur cara melaksanakan ketentuan Hukum Pidana materiil, jika ada pelanggaran terhadap norma-norma yang dimaksud oleh ketentuan ini.

Adapun proses pelaksanaan acara pidana terdiri beberapa tingkatan. Berbeda dengan pemeriksaan dalam hukum acara perdata yang mengejar kebenaran formil, dalam hukum acara pidana yang dikejar adalah kebenaran materiil, di mana suatu pengakuan tanpa didukung oleh alat bukti lain bukanlah merupakan alat bukti mutlak. Juga pemeriksaan dalam acara perdata hanya dalam sidang, sedang dalam hukum acara pidana dikenal pemeriksaan di luar sidang. Pemeriksaan dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut :

a. Pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek),

b. Pemeriksaan terakhir (eindonderzoek) dl dalam sidang pengadilan pada tingkat pertama.

c. Memajukan upaya hukum (rechsmiddelen) yang dapat dijalankan terhadap putusan Hakim, baik di tingkat pertama rnaupun pada tingkt: banding.

d. Pelaksanaan putusan Hakim.

ad.a. Dalam pemeriksaan pendahuluan ini dikumpulkan bahan-bahan yang mungkin dapat menjadi bukti terjadinya pelanggaran atau kejahatan. Jumlah dan sifat bahan-bahan ini menentukan apakah si tertuduh akan dituntut atau tidak. Dalam pemeriksaan pendahuluan, dipergunakan sebagai pedoman asas-asas sebagal berikut :

1. Asas kebenaran materill (kebenaran dan kenyataan) yaitu usaha-usaha yang ditujukan untuk mengetahui apakah benar-benar berjadi pelanggaran atau kejahatan.

2. Asas inquisitoir, yaitu bahan dalam pemeriksaan pendahuluan ini si tertuduh/si tersangka hanyalah merupakan obyek. Khusus asas yang kedua ini hanya berlaku pada waktu kita masih menggunakan sistem HIR. Setelah kita mempunyai kodinkasi yang bersifat nasional yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka HIR sepanjang yang mengenai hukum acara pidana

kita tinggalkan. Dalam sistem KUHAP, terdakwa sudah bisa didampingi oleh pembela.

ad.b. Pemeriksaan dalam sidang bertujuan untuk menguji apakah suatu tindak pidana betul-bebul terjadi atau apakah bukti-bukti yang diajukan itu sah atau tidak. Berlainan dengan pemeriksaan pendahuluan, maka pada pemeriksaan dalam sidang Terdakwa/tertuduh telah diangap sebagai subyek yang berarti telah mempunyai kedudukan sebagai pihak yang sederajat dengan penuntut umum. Sifat pemeriksaan itu adalah accusatoir.

Pemeriksaan dalam sidang dilakukan secara terbuka (sesuai dengan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004) untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 ada satu asas lagi yang penting, yaitu yang tercantum dalam pasal 8 yang berbunyi sebagai berikut :

“setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (asas

presumption of innocent).

Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (pasal 37 Undang- Undang nomor 4 tahun 2004).

Pengaturan dalam UU Pokok Kekuasaan kehakiman lebih maju mengenal kedudukan Tersangka, seperti dalam pasal 36-nya yang berbunyi: “Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukannya penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat".

Jaksa sebagai penuntut umum dalam melakukan penuntutan di Indonesia menganut prinsip “oportunita” di samping kita mengenai prinsip yang lain yaitu prinsip “legalita”

Prinsip legalita; dalam prinsip ini penuntut umum tidak boleh tidak mesti menuntut seorang di muka Hakim Pidana, apabila ada bukti cukup untuk mendakwa seseorang telah melangar suatu peraturan Hukum Pidana.

Prinsip oportunita yang menggantungkan hal akan melakukan suatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan ditinjau satu persatu. Ada kalanya sudah jelas/terang seseorang telah melakukan kejahatan, tetapi kalau dia dituntut ke pengadilan kepenlingan negara akan sangat dirugikan. Contoh : seseorang (A) adalah seorang ahli kimia sedang ditugasi negara untuk membuat sesuatu yang panting bagi negara. Terdesak oleh kebutuhan ekonoml, la terpaksa menjual barang Inventaris. Pejabat pengawas melaporkan hal tersebut kepada Jaksa dan tersangka mengakui kesalahannya. Kalau tersangka (A) terus dituntut ke muka pengadilan,

ini akan membawa aklbat bahwa (A) harus menghentikan pekerjaan yang ditugaskan negara kepadanya. Mungkin sekali kepentingan negara mendesak supaya pekerjaan itu segera dilaksanakan, sedang orang lain tidak dapat mengerkakannya. Dalam hal semacam ini Penuntut Umum dapat tidak menuntut (A) ke Pengadilan dan perkaranya dikesamplngkan (di-deponeer). Dalam hal ini yang mempunyai wewenang mendeponeer perkara demi kepentingan umum adalah Jaksa Agung (pasal 35 huruf c Undang-Undang Ng. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI).

Menuntut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada Hakim, dengan permohonan, supaya Hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.

Seorang terdakwa/tersangka dalam menghadap di sidang pengadilan boleh didampingi pembela, dapat tidak didampingi, kecuali dalam hal terdakwa atas perbuatannya dapat diancam dengan pidana mati. Dalam hal ini, ia harus didampingi oleh pembela. Kalau terdakwa tidak mampu, maka kewajlban pihak Pengadilan untuk menyediakan pembela.

Dalam sidang ini baik Terdakwa maupun Jaksa dapat mengajukan alat-alat bukti. Alat: bukti dari Terdakwa gunanya untuk menangkal tuduhan Jaksa, sedang dari pihak Jaksa untuk menguatkan tuduhannya. Alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana yang diatur dalam KUHAP pasal 184 adalah :

a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat-surat, d. petunjuk,

e. keterangan terdakwa.

Setelah pemeriksaan alat-alat bukti selesai, maka tiba saatnya Jaksa membacakan tuntutannya (requisitoir), dan setelah Jaksa membacakan tuntutannya, tiba giliran Terdakwa membacakan pembelaannya (pledooi). Setelah itu giliran Jaksa membacakan repliknya, dan kesempatan berikutnya ada pada Terdakwa membacakan dupliknya. Kesempatan diberikan kepada kedua belah pihak Jaksa dan Terdakwa, sampai kedua belah pihak puas, setelah Hakim memperoleh keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan kebenaran perkara tersebut, maka Hakim akan mernpertimbangkan hukuman apa yang akan dijatuhkan.

1. putusan yang mengandung pembebasan Terdakwa (vrijspraak); dalam hal ini perbuatan yang dituduhkan Jaksa tidak terbukti.

2. Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging); dalam hal ini perbuatan yang dituduhkan Jaksa terbukti tetapi bukan merupakan kejahatan ataupun pelanggaran.

3. Putusan yang mengandung penghukuman.

ad.c. sesudah perkara diputus oleh Hakim, maka apabila Jaksa atau Terdakwa tidak puas terhadap putusan Hakim, mereka dapat mengajukan upaya hukum, dalam hal ini dapat banding ke Pengadilan Tinggi. Kalau keputusan Pengadilan Tinggi belum memuaskan, dapat minta kasasi kepada Mahkamah Agung.

ad.d. jika keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya sudah tidak dapat diajukan perlawanan lagi, maka keputusan itu dapat dilaksanakan dan ini merupakan tugas Jaksa untuk mengeksekusikan atau melaksanakan putusan Hakim. Setelah kita mengetahui Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana, maka kita dapat melihat beberapa perbedaan antara kedua hukum tersebut, yaitu :

1. Ada tidaknya suatu acara perdata adalah tergantung padarkemauan pada para pihak dalam hal ini penggugat. Sedang inisiatif beracara pidana datangnya dari pihak penguasa (Jaksa), namun ada beberapa kejahatan tertentu (delik acuan), di mana pihak penguasa baru bertindak sesudah ada pengaduan dari pihak yang bersangkutan.

2. Di dalam Hukum Acara Perdata sernua pemeriksaan dilakukan di dalam persidangan (di muka Hakim); dalam Hukum Acara Pidana dikenal adanya pemeriksaan pendahuluan.

3. Di dalam acara perdata para pihak tidak perlu datang menghadap sendiri ke pengadilan, dapat diwakilkan atau menguasakan. Pada acara pidana Terdakwa harus menghadap sendiri; pembela hanya mendampingi saja.

1. 4. Dalam acara pidana yang dikejar adalah kebenaran materiil, sedang pada acara perdata adalah kebenaran formil.

Dalam dokumen PENGANTAR HUKUM INDONESIA (Halaman 69-72)