• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLET

B. Aturan Hukum Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus

1. Peraturan Perundang-undangan

Hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan aturan hukum peninggalan Belanda, yaitu yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”.

Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam Buku III KUHPerdata diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige daat) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarneming). Namun, sebagian besar dari Buku III KUHPerdata ditujukan kepada

71

perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi isinya mengenai hukum perjanjian.72

Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang perikatan, keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV yang mengatur tentang:

Bab I : ketentuan perikatan pada umumnya (Pasal 1233-1312 KUHPerdata) Bab II : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari persetujuan atau perjanjian (Pasal 1313-1351 KUHPerdata).

Bab III : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang (Pasal 1352-1350 KUHPerdata)

Bab IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan (Pasal 1381-1456 KUHPerdata)

Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat dan lazim disebut dengan perjanjian bernama. Secara garis besar, Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedangkan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bagian umum. Jadi bagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama. Misalnya: Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya

72

perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII.73

Prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Pasal 1478 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya”.

Adanya kata “tidak diwajibkan” pada ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bermakna penjual diperbolehkan untuk tidak melaksanakan kewajibannya, dengan ketentuan pembeli tidak melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu sesuai dengan yang disepakati. Ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bertujuan agar terdapat suatu keadilan yang mana salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, jangan sampai dapat memaksakan pihak lainnya untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian”. Pasal 1514 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “jika pada waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan tentang itu,74 si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan harus dilakukan.

73

Ibid.

74

Pasal 1517 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267”. Dalam hal ini terdapat ketentuan bahwasannya si pembeli harus melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran terlebih dahulu untuk dapat menerima haknya yang merupakan kewajiban dari si penjual.

Asser-Rutten berpendapat bahwa exceptio non adimpleti contractus dapat diajukan mengingat dalam perjanjian timbal balik para pihak telah menjanjikan prestasi yang saling bergantungan antara satu dengan yang lain. Di dalam jual beli, baik pihak pembeli hendak membeli sebuah rumah maupun karena penjual juga telah sepakat dengan harga jual belinya. Sepakat akan benda yang dibeli tergantung pada harga yang telah disetujui. Ini berarti prestasi untuk membayar harga jual beli bergantung langsung pada prestasi untuk menyerahkan bendanya. Akibatnya pihak yang telah menolak memenuhi prestasi yang telah dijanjikan, tetapi menuntut pelaksanaan prestasi oleh pihak lawan bertindak tanpa itikad baik (kepatutan dan kesusilaan).75

2. Yurisprudensi

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu

75

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Di dalam praktik terdapat hukum yurisprudensi (yurisprudentie recht) yang timbul dari putusan-putusan pengadilan, terutama putusan-putusan Mahkamah Agung.76 Menurut C.S.T Kansil, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama di masa yang akan datang.77

Yuriprudensi terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

a. Yurisprudensi (biasa), merupakan seluruh putusan pengadilan yang telah telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang terdiri dari putusan perdamaian dalam perkara perdata, putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi dan seluruh putusan Mahkamah Agung.78

b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), merupakan putusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard arresten) untuk mengambil keputusan.79

Adapun yurisprudensi mengenai prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat dilihat pada :

76

R. Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 158. 77

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), hal. 317.

78

Ahmad Ali,Op. cit, hal. 125. 79 C.S.T. kansil,Op. cit, hal. 50.

a. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor 156 K/SIP/1955, yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 2 Desember 1953 Nomor 218/1953, yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 29 September 1951 Nomor 767/1950 G dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Companymelawan Oei Ho Liang.

Perkara ini bermula dari tuntutan PT.Pacific Oil Company kepada tergugat Oei Ho Liang selaku penjual dalam perjanjian jual beli karet untuk menyerahkan sejumlah karet yang diperjanjikan dan membayar ganti kerugian yang diderita penggugat karena kelalaian tergugat. Bahwa tergugat dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950 telah menyatakan bahwa tergugat tidak akan menyerahkan barang-barangnya tersebut, dengan demikian tergugat telah menyatakan dirinya lalai.

Selanjutnya ditangkis oleh tergugat dengan menyatakan bahwa penggugat sendiri telah lalai melaksanakan janjinya, yaitu tidak membayar harga pembelian karet tersebut tepat pada waktunya yaitu selambat-lambatnya pada tanggal 21 Januari 1950 pukul 12.00 WIB. Tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan, bahwa penggugat sendiri telah lalai sehingga ia tidak berhak mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Putusan tersebut dalam pemeriksaan

banding telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi di Jakarta dengan putusan tertanggal 2 Desember 1953 No. 218/1953P.T. Perdata.

Selanjutnya PT. Pacific Oil Company mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan keberatan-keberatan, yaitu:

1) Keputusan Pengadilan Tinggi tersebut tidak berdasarkan alasan- alasan yang cukup.

2) Bahwa perjanjian tidak dengan sendirinya batal menurut hukum sehingga sesuatu “wanprestasi” tidaklah secara langsung membebaskan pihak lawan dari kewajibannya untuk memenuhi perjanjian tersebut.

3) Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut pihak lawan tersebut seharusnya memajukan suatu gugatan balasan untuk membatalkan perjanjian tersebut.

4) Penggugat untuk kasasi itu karena suatu keadaan darurat (overmacht) tidak dapat melakukan pembayaran pada 21 Januari 1950 sebelum pukul 12.00 WIB.

5) Andaikan penggugat untuk kasasi pada saat itu dengan cara lain misalnya dengan membayar uang tunai dapat melakukan pembayaran, maka tergugat dalam kasasi tidak akan dapat memenuhi kewajibannya oleh karena dokumen-dokumen yang bersangkutan ada di kantor Cirebon, yang mana kantor tersebut sedang ditutup.

Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menolak keselurahan alasan-alasan kasasi dengan pertimbangan hukum yaitu: Penggugat telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu, maka Penggugat tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian kerjasama tersebut.80

b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 30 Juni 1999 Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst. kepailitan. Dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel.

Permohonan pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang pembangunan gedung. PT. Waskita Karya sebagai Pemohon Pailit adalah kontraktor yang ditunjuk oleh Termohon Pailit sebagai pemilik gedung hotel Sheraton Mustika Princess untuk membangun atau sebagai pelaksana pembangunan gedung berdasarkan surat perjanjian kerja sama.

Pemohon Pailit telah melaksanakan seluruh pekerjaan dengan baik dan penuh tanggung jawab namun Termohon Pailit tidak membayar kewajibannya pada Pemohon Pailit sebesar Rp. 2.085.608.726.23 (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen).

80

Lihat I. Rubini, R. Roechimat dan M. Chidir Ali, Hukum Acara Perdata dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (1955-1975), (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hal. 148-173.

Bahwa karena pekerjaan telah diselesaikan namun Termohon Pailit tidak membayar meskipun telah ditagih oleh Pemohon Pailit, maka berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut Termohon Pailit berhutang pada Pemohon Pailit dan utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Ditangkis oleh Termohon Pailit bahwa Pemohon Pailit tidak melaksanakan perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga menimbulkan kerugian bagi Termohon Pailit baik karena robohnya bangunan jembatan layang menuju hotel maupun karena keterlambatan pengoperasian hotel.

Tuntutan Pemohon Pailit akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan bahwa Pemohon Pailit dan Termohon Pailit telah mengadakan perjanjian, Pemohon Pailit selaku kontraktor membangun hotel milik Termohon Pailit.

Dari hubungan hukum antara kedua pihak tersebut timbul suatu keadaan yang mana Pemohon Pailit telah menyelesaikan pekerjaannya tetapi Termohon Pailit tidak bersedia membayar, yaitu sebesar Rp. 2.085.688.726,23,- (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen). Prestasi sejumlah uang yang dituntut oleh Pemohon Pailit yang tidak dibayar oleh Termohon Pailit, merupakan utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit.

Sebaliknya dalam hubungan kerja atau perjanjian antara Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit, ternyata ada satu pekerjaan pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel yang harus dikerjakan oleh Pemohon Pailit. Tentang pekerjaan pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel tersebut tidak disangkal keberadaannya oleh Pemohon Pailit. Bahwa bangunan jembatan layang menuju hotel yang dikerjakan oleh Pemohon Pailit ternyata roboh atau gagal.

Pemohon Pailit tidak memperbaiki atau mengerjakan kembali bangunan jembatan layang menuju hotel. Termohon Pailit telah menunjuk kontraktor lain untuk membuat dan memperbaiki bangunan jembatan layang menuju hotel tersebut. Biaya yang dikeluarkan oleh Termohon Pailit untuk biaya yang telah dibayarkan kepada Pemohon Pailit dan biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan kepada kontraktor yang baru untuk pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel baru serta perbaikan lainnya, seluruhnya sebesar Rp. 4.378.244.000,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh delapan juta dua ratus empat puluh empat ribu Rupiah). Prestasi sejumlah uang tersebut dituntut oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit, prestasi tersebut merupakan utang Pemohon Pailit kepada Termohon Pailit.

Menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit sebesar Rp. 2.085.688.726,23,- (dua milyar delapan puluh

lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen) belum jatuh tempo, karena berdasarkan bukti-bukti yang ada Pemohon Pailit belum menyelesaikan pekerjaan secara penuh sesuai yang ditentukan dalam Surat perjanjian yang dibuat oleh Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit.

Berdasarkan putusan tersebut, selanjutnya PT. Waskita Karya mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi adalah bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang adanya utang yang telah jatuh tempo dan salah menerapkan hukum tentang adanya utang pada kreditor lain.

Terhadap keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa dengan terkaitnya perkara ini dengan masalah prinsip hukum yaituexceptio non adimpleti contractusdihubungkan pula dengan masalah hukum ipso jure compensatur, maka penyelesaian permasalahan ada atau tidak adanya utang yang disyaratkan Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998, memerlukan pembuktian yang rumit dan berkepanjangan.

Sedangkan prinsip proses pemeriksaan pembuktian maupun sistem pembuktian yang digariskan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 adalah acara cepat (expedited prosedure) dengan sistem pembuktian sederhana, bertitik tolak dari fakta-fakta indikasi

permasalahan hukum adanya exceptio non adimpleti contractus dan ipso jure compensaturdihubungkan dengan prinsip Pasal 6 ayat (3) dimaksud, penyelesaian perkara ini tidak bisa diselesaikan melalui proses Pengadilan Niaga berdasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, akan tetapi harus melalui jalur penyelesaian perdata biasa.81

c. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta tanggal 13 Februari 2001 Nomor: 06 K/N/2001 yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No.81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. dalam perkara kepailitan antara PT. Kadi Internasional melawan PT. Wisma Calindra.

Permohonan Pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang pembangunan gedung (Construction Contract) yang mana Pemohon Pailit yaitu PT. Kadi Internasional dan Termohon Pailit yaitu PT. Wisma Calindra telah setuju untuk membangun sebuah kondominium yang terletak di Jalan Jenderal S. Parman Kav.76 Jakarta dengan sistem kontrakTurn Key.

Di dalam Kontrak tersebut disepakati bahwa Pemohon Pailit mengerjakan Proyek Kondominium tersebut secara keseluruhan, dari penyusunan konsep, studi kelayakan, perencanaan konstruksi, pengadaan

81

sampai pada penyelesaian proyek Kondominium tersebut seperti yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan Termohon Pailit terikat untuk melakukan pembayaran dalam jumlah harga kontrak yang telah disepakati pada saat proyek kondominium tersebut selesai dibangun oleh Termohon Pailit.

Bahwa dalam Pasal 1 ayat (9) Perjanjian Kesepakatan (Agreement of understanding) yang dibuat dengan Akta Notaris No.140 tanggal 30 Maret 1985 yang merupakan perjanjian yang tidak dapat dipisahkan dari “Perjanjian Pembangunan” (Construction Contract) di atas dinyatakan bahwa kewajiban dari Termohon Pailit tersebut sebagai loan (pinjaman) antara lain sebagaimana terbukti sebagai berikut: “Pinjaman”: adalah jumlah yang setara dengan harga kontrak ditambah dengan bunga 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan (Agreement of Understanding) dinyatakan sebagai berikut: “Pinjaman dan bunga sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun atas jumlah yang terhutang termasuk pajak penghasilan, akan dibayarkan kembali oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dari setiap dan semua pendapatan tidak termasuk biaya pelayanan akan tetapi termasuk uang jaminan yang berasal dari setiap dan semua perjanjian sewa yang diadakan oleh Termohon Pailit dengan para penyewa dalam waktu 9 (sembilan) tahun sejak tanggal penyelesaian proyek”.

Dari kutipan perjanjian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau utang yang harus dibayarkan oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit adalah berupa nilai pokok hutang yang telah disepakati dalam kontrak (contract price) ditambah dengan bunga sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahunnya yang akan dibayarkan secara bertahap dalam jangka waktu pembayaran selama 9 tahun terhitung dari dikeluarkannya berita acara serah terima (Certificate of Completion).

Pemohon Pailit telah menyelesaikan proyek Kondominium tersebut secara keseluruhan di mana Termohon Pailit juga telah mengkonfirmasikan bahwa proyek Kondominium tersebut telah selesai dibangun dengan diterbitkannya berita acara serah terima (Certificate of completion) pada tanggal 18 Desember 1987.

Bahwa dalam akta Perjanjian Tambahan (Suplementary Agreement) No. 56 tanggal 24 Desember 1987 Termohon Pailit kembali mengkonfirmasikan bahwa Termohon Pailit telah menyelesaikan pembangunan proyek Kondominium tersebut pada tanggal 30 September 1987 dan untuk itu Termohon Pailit telah menerbitkan Certificate of Completion pada tanggal 18 Desember 1987. Selain itu, Termohon Pailit juga mengakui bahwa jumlah utang pokok yang menjadi kewajiban Termohon Pailit untuk dibayarkan kepada Pemohon Pailit adalah sebesar US$ 6.059.250 (enam juta lima puluh sembilan ribu dua ratus lima puluh dolar Amerika Serikat).

Bahwa meskipun utang Termohon Pailit telah jatuh tempo dan dapat ditagih, namun Termohon Pailit tidak melakukan pembayaran seperti yang telah diperjanjikan, walaupun Pemohon Pailit telah berkali- kali melakukan peringatan. Utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit yang seharusnya menurut Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan (Agreement of Understanding) telah harus dilunasi pada tanggal 17 Desember 1996, ternyata sampai saat permohonan pernyataan pailit ini didaftarkan tidak dilunasi, sehingga utang tersebut secara keseluruhan telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Berdasarkan atas niat baik, Pemohon Pailit tetap mengingatkan Termohon Pailit untuk melunasi utangnya, akan tetapi Pemohon Pailit hanya menawarkan janji-janji penyelesaian tanpa pernah melaksanakan janji pelunasan tersebut kepada Pemohon Pailit. Sejak tanggal 18 Agustus 1994, Termohon Pailit tidak pernah melakukan pembayaran utangnya sama sekali terhadap Pemohon Pailit.

Keseluruhan utang yang dimiliki Termohon Pailit (utang ditambah dengan bunga) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Pemohon Pailit sampai dengan tanggal 4 Desember 2000 adalah sebesar US$ 23.488.949,- (dua puluh tiga juta empat ratus delapan puluh delapan ribu sembilan ratus empat puluh sembilan dolar Amerika Serikat).

Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang ada Termohon

Pailit telah mengakui adanya utang kepada Pemohon Pailit dan utang tersebut terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kalimat dapat ditagih pada syarat kedua ini bersifat fakultatif, artinya apabila utang telah jatuh tempo, maka utang tersebut boleh ditagih dan boleh belum ditagih, dan apabila belum ditagih tidak menghilangkan syarat kedua ini, sebab pada Prinsipnya utang harus dibayar, tanpa melakukan penagihan sebelumnya.

Berdasarkan syarat substansial sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan secara sederhana telah terpenuhi dan terbukti, maka permohonan pailit yang diajukan harus dikabulkan, sedangkan dalil Termohon Pailit yang mengatakan bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur Pasal 6 ayat (3) undang-undang kepailitan, melainkan suatu perkara yang kompleks dan rumit tidak beralasan dan harus dikesampingkan.

Akhirnya hakim dalam putusannya tertanggal 04 Januari 2001 menetapkan mengabulkan permohonan pailit dan menyatakan PT. Wisma Calindra pailit. Atas putusan pailit tersebut selanjutnya PT. Wisma Calindra mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi adalah bahwajudex factietelah keliru dan salah menerapkan hukum serta lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu:

1) Bahwa Judex Factie tidak membedakan dan salah menerapkan hukum atas dua jenis aspek hukum perjanjian konstruksi yang terbagi atas:

a) Jenis pertama: Perjanjian kontruksi di mana kontraktor murni dan hanya wajib sebagai kontraktor sedangkan customer wajib menyediakan tanah dan biaya kontrak.

b) Jenis kedua: jenis perjanjian konstruksi yang mana kontraktor di samping sebagai kontraktor juga wajib sebagai penyandang dana atau wajib mencari kreditor yang membiayai biaya konstruksi. Sedangkan klien hanya menyediakan tanah atau lahan. Ternyata judex factiesalah karena menerapkan hukum untuk perjanjian konstruksi jenis pertama padahal perjanjian antara kreditor dan debitor adalah jenis kedua.

2) Unsur contract price atau utang “dapat ditagih” tidak dipenuhi sebab prasyaratcontract pricedapat ditagih tidak terpenuhi.

3) Karena Pemohon Kasasi (debitor) mengajukan tangkisan fakta bahwaexceptio non adimpleti contractus maka perkaraa quo tidak dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga secara sederhana, melainkan harus di pengadilan umum, akan tetapi judex factie tidak mengindahkan persyaratan mutlak pembuktian sederhana.

Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya membenarkan alasan yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi. Dari bukti-bukti yang diajukan

oleh Pemohon Kasasi, Majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah perjanjian timbal balik di mana kedua belah pihak menurut perjanjian kesepakatan mempunyai kewajiban.

Perjanjian kesepakatan tetap berlaku hingga disediakannya pinjaman kepada Pemohon Kasasi yang cukup untuk membayar jumlah yang terutang yang harus dibayar kepada Termohon Kasasi. Oleh karena masih harus diperiksa dahulu apakah Termohon kasasi telah melaksanakan kewajibannya, pemeriksaan mana tidak bersifat sederhana oleh karena harus memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk membuktikannya atau membantahnya.

Seperti memberikan kesempatan kepada Pemohon Kasasi untuk menanggapi bukti tambahan yang diajukan oleh Termohon Kasasi. Sehingga belumlah dapat dikatakan bahwa utang yang telah jatuh waktu tersebut juga telah dapat ditagih dan karena salah satu syarat tidak dapat dipenuhi maka permohonan pailit haruslah ditolak.

Majelis hakim kasasi dalam putusannya tertanggal 13 Februari 2001 dengan putusan No. 06 K/N/2001 memutuskan mengabulkan Permohonan Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga No. 81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. tanggal 04 Januari 2001. Selanjutnya

Termohon Kasasi (PT. Kadi Internasional) mengajukan peninjauan kembali pada tanggal 9 Maret 2001.

Menurut hakim majelis Peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa, mengenai keberatan Pemohon Peninjauan kembali, bahwa keberatan ini tidak dapat