• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLET

B. Kaitan Antara Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus

2. Debitor Mempunyai 2 (Dua) atau Lebih Kreditor

Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorum yang juga ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissement

Verordening.107 Syarat ini menengaskan bahwa dalam kepailitan hendak dihindari adanya sita individual. Apabila kreditor hanya satu maka tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit, hal ini karena bertentangan dengan esensi dari hukum kepailitan itu sendiri sebagai suatu sita yang bersifat umum untuk kepentingan seluruh kreditor-kreditornya, artinya, bila hanya satu orang kreditor saja eksistensi undang-undang kepailitan kehilangan raison d’etreny. Jadi yang menjadi batasan adalah jumlah kreditor dan bukan jumlah utang.108

Dalam hal ini PT. Prima Jaya Informatika mendalilkan adanya kewajiban lain kepada PT. Extend Media Indonesia atas pelaksanaan kerja sama layananmobile data content, untuk periode bulan Agustus 2011 dan bulan September 2011 seluruhnya sebesar Rp. 40.326.213.794,- (empat puluh milyar tiga ratus dua puluh enam juta dua ratus tiga belas ribu tujuh ratus sembilan puluh empat Rupiah), dengan mengajukan alat-alat bukti tertulis atau surat.

Selanjutnya PT. Telkomsel mengakui memang terdapat kewajiban kepada PT. Extend Media Indonesia atas pelaksanaan kerja sama layanan mobile data content, untuk periode bulan Agustus 2011 dan bulan September 2011 seluruhnya sebesar Rp. 40.326.213.794,- (empat puluh milyar tiga ratus dua puluh enam juta dua ratus tiga belas ribu tujuh ratus sembilan puluh empat Rupiah), tetapi kewajiban tersebut sudah dilunasi oleh PT. Telkomsel dengan mengajukan alat bukti berupa surat.

107

Sutan Remy syahdeini,Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka utama grafity, 2009), hal. 53.

Menurut majelis hakim Pengadilan Niaga walaupun bukti surat berupa photocopy yang diajukan oleh Pemohon Pailit tidak ada aslinya tetapi oleh karena diakui kebenarannya oleh Termohon Pailit dan Termohon Pailit menyatakan telah melakukan pembayaran terhadap tagihan kreditor lain tersebut, maka pengakuan Termohon Pailit di persidangan merupakan alat bukti yang bersifat sempurna dan bukti surat tersebut tetap dipertimbangkan.

Berdasarkan bukti tentang pembayaran atas tagihan PT. Extent Media Indonesia periode bulan Agustus sampai dengan Oktober 2011 dan bukti tentang bukti pembayaran pembatalan Netting Invoice No: INV-TSEL-010/IX/2012 periode Agustus 2012, Majelis berpendapat oleh karena bukti surat-surat tersebut berupa photocopy dan tidak ada aslinya maka bukti surat tersebut tidak perlu dipertimbangkan dan haruslah dikesampingkan.

Terkait dengan alat bukti surat yang berupa photocopy, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat cendrung tidak konsisten yang mana pada satu sisi mempertimbangkan bukti-bukti berupa photocopy tentang adanya kreditor lain yang diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika, sementara bukti tentang pelunasan utang yang diajukan oleh PT. Telkomsel terhadap kreditor lain yang berupaphotocopydan tidak ada aslinya dikesampingkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1888 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa: “kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya”. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 1888 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Apabila akta yang asli itu tidak ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar

hanyalah dapat dipercaya, sekedar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya”.

Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1888 KUHPerdata bukti surat yang tidak ada aslinya, maka tidak mempunyai kekuatan pembuktian, karena kekuatan pembuktian alat bukti tertulis adalah pada aslinya.Photocopydari sebuah surat yang tidak dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan dan harus dikesampingkan sebagai alat bukti surat.

PT. Telkomsel mendalilkan bahwasannya bukti-bukti surat tersebut bukan merupakan bukti photocopy, karena bukti tersebut merupakan instruksi bayar yang diajukan oleh Pemohon kasasi melalui Bank BCA di mana terhadap instruksi pembayaran tersebut Bank BCA telah menerbitkan salinan yang telah dibubuhi tandatangan dan cap yang asli oleh pegawai BCA dan juga terdapat bukti tanda transfer yang tercetak asli dalam salinan bukti pembayaran tersebut. Yang mana bukti tersebut telah ditunjukkan kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga.

Pelunasan terhadap PT. Extent Media Indonesia telah dinyatakan dalam perjanjian penyelesaian terhadap perjanjian kerjasamamobile data contentantara PT. Telkomsel dengan PT. Extent Media Indonesia No. PKS.1078/LG.05/LG-01/IX/ 2012 tanggal 3 September 2012 di mana Pasal 6 ayat (2) dalam perjanjian kerjasama tersebut menyepakati sebagai berikut: “para pihak sepakat dengan ditandatanganinya perjanjian penyelesaian ini dan diikuti dengan diselesaikannya pembayaran sebagaimaan dimaksud dalam Pasal 2 perjanjian penyelesaian ini, maka PT. Telkomsel tidak mempunyai kewajiban apapun kepada PT. Extent Media Indonesia”.

Salah satu alat bukti yang dipergunakan dalam perkara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika yang menjadi pertimbangan majelis hakim Pengadilan Niaga adalah berupa alat bukti pengakuan. Dalam perkara tersebut pengakuan yang dilakukan oleh PT. Telkomsel termasuk jenis Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe).

Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe) adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Keterangan tambahan atau klausula semacam itu dapat berupa pembayaran, pembebasan atau kompensasi. Pengakuan ini sebenarnya adalah jawaban Termohon Pailit tentang hal pokok yang diajukan oleh Pemohon Pailit, tetapi disertai dengan penjelasan tambahan yang menjadi dasar penolakan permohonan pailit.109

Pada pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe) menimbulkan permasalahan hukum berkenaan dengan larangan onsplitsbaar aveau atau onsplitsbaar bekentenis, yaitu berupa prinsip, bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisah sesuai yang digariskan Pasal 1924 KUHPerdata jo Pasal 176 HIR.110

Berdasarkan ketentuan Pasal 1924 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa: “suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang melakukannya”. Larangan onsplitsbaar aveau yang digariskan Pasal 1924 KUHPerdata Jo Pasal 176 HIR, telah menimbulkan akibat hukum yaitu: tidak ada

109

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Op.cit, hal. 738.

dalil yang diakui dan oleh karena itu Pemohon Pailit tetap wajib membuktikan dalilnya, sekalipun hal itu telah diakui oleh Termohon Pailit.111

Pelanggaran terhadap prinsiponsplitsbaar aveauatauonsplitsbaar bekentenis, dapat menimbulkan kesewenang-wenangan kepada pihak yang berperkara. Sekiranya hakim hanya menerima sebagian pengakuan saja dan menolak keterangan yang berisi bantahan, berarti tindakan dan penerapan tersebut telah mengakui sepenuhnya kebenaran dalil permohonan pailit, dengan demikian pihak yang memberikan pengakuan berklausul mengakui keterbuktian dalil pemohon.112

Hal demikian merugikan Termohon Pailit yang memberikan pengakuan atau kalau hakim hanya menerima pengakuan, kemudian memisahkannya dari syarat atau bantahan yang dikemukakan Termohon Pailit, berarti hakim telah memberatkan Termohon Pailit dengan pangakuannya tersebut dan sebaliknya jika hakim hanya menerima keterangan yang berisi bantahan saja dan menolak bagian yang mengandung pengakuan, berarti hakim secara sewenang-wenang telah merugikan kepentingan pihak Pemohon Pailit.

PT. Telkomsel telah membuktikan bahwa utang terhadap PT. Extent Media Indonesia telah dilunasi seluruhnya, sehingga adanya utang terhadap kreditor lain tidak terpenuhi. Bila debitor hanya memiliki satu kreditor, maka seluruh hasil penjualan harta kekayaan debitor merupakan sumber pelunasan bagi kreditor satu- satunya.

111Ibid,

hal. 741.

112

Fred. B. G. Tumbuan berpendapat bahwa: “keharusan sedikitnya 2 (dua) kreditor dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sesuai dengan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian kekayaan debitor di antara kreditornya harus dilaksanakan secarapari passu pro rata parte.”113

Hukum harus memberikan kepastian hukum, oleh karena itu pengaturan hukum harus dilakukan secara cermat, tegas dan tepat sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan ataupun penyalahgunaan aturan hukum tersebut dalam penerapan hukum, sehingga aturan hukum mana yang harus diterapkan dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum menjadi jelas dan pasti.

Hukum perjanjian dan hukum kepailitan sama-sama sebagai hukum positif, maka setiap ketentuan dan aturan harus diterapkan tanpa saling berbenturan. Oleh karena itu kelemahan yang terdapat di dalam ketentuan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus diperbaiki dan disempurnakan, sehingga perkara perdata biasa tidak akan diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian hukum kepailitan yang mana akibat hukum dari kepailitan ini lebih luas.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai sejauh mana hakim menentukan dapat terbukti secara sederhana atau bila terdapat tangkisan atau bantahan terhadap bukti yang diajukan atau bila ada sanggahan

113

terhadap permohonan tersebut yang membuat perkara dianggap menjadi rumit, sehingga pelaksanaan dan penafsiran dilakukan sepenuhnya oleh majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan tersebut.

Ketidak jelasan ini menyebabkan dan menghasilkan putusan yang berbeda- beda pula karena pertimbangan dan penafsiran hakim mengenai pembuktian sederhana ini berbeda satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Seperti pada perkara kepailitan antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika, apa yang sudah diputuskan oleh majelis hakim pada Pengadilan Niaga sudah terbukti secara sederhana, akan tetapi pada tingkat kasasi pada Mahkamah Agung, majelis hakim Mahkamah Agung menyatakan tidak terbukti secara sederhana.

Pelaksanaan pembuktian sederhana tidak semudah membayangkan arti kata “sederhana”. Dalam perkara kepailitan tertentu yang diajukan, Majelis hakim menyatakan bahwa membutuhkan pembuktian yang tidak sederhana dan mejelis hakim menyatakan perkara tersebut harus diselesaikan melalui gugatan perdata pada pengadilan negeri.

Hal tersebut dilatar belakangi oleh karena hubungan perhutangan antara debitor dengan kreditor tidak dapat dibuktikan secara sederhana atau pembuktiannya rumit, seperti adanya tangkisan berdasarkan prinsip hukum exceptio non adimpleti contractus, yang mengiring majelis hakim pada suatu kesimpulan bahwa perkara tersebut tidak dapat diselesaikan dengan pembuktian sederhana.