• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur

4. Audit Judgment

Audit judgment merupakan suatu pertimbangan pribadi atau cara pandang auditor dalam menanggapi informasi yang mempengaruhi dokumentasi bukti serta pembuatan keputusan pendapat auditor atas laporan keuangan suatu entitas. Menurut Siregar (2012), audit judgment

adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat mengenai hasil auditnya yang mengacu pada pembentukan suatu gagasan, pendapat atau perkiraan tentang suatu objek, peristiwa, status, atau jenis peristiwa lainnya. Proses judgment tergantung pada kedatangan informasi yang terus menerus, sehingga dapat mempengaruhi pilihan dan cara pilihan tersebut dibuat. Setiap langkah dalam proses incremental judgment, jika informasi terus menerus datang akan muncul pertimbangan baru dan keputusan atau pilihan baru.

24

Judgment sering dibutuhkan oleh auditor dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan suatu entitas. Audit judgment melekat pada setiap tahap dalam proses audit laporan keuangan, yaitu penerimaan perikatan audit, perencanaan audit, pelaksanaan pengujian audit, dan pelaporan audit.

Audit judgment diperlukan karena audit tidak dilakukan terhadap seluruh bukti. Bukti inilah yang digunakan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan, sehingga dapat dikatakan bahwa audit judgment ikut menentukan hasil dari pelaksanaan audit. Auditor harus menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk menentukan hal-hal yang terkait dengan pemeriksaan yang dilakukan, baik dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pertimbangan profesional tersebut diantaranya berkaitan dengan gangguan terhadap independensi, pertimbangan tentang hasil pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut atas rekomendasi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan yang dilaksanakan, pertimbangan profesionalnya terhadap prosedur pemeriksaan yang dirancang untuk menilai salah saji material dan mempertimbangkan pengendalian intern dari entitas yang diperiksa (Praditaningrum & Januarti, 2012).

Pertimbangan (judgment) auditor dapat menjadi bias terhadap perlakuan akuntansi yang dipreferensikan klien tersebut karena auditor dibayar oleh klien dan ingin memberikan kepuasan kepada kliennya untuk mempertahankan bisnisnya. Tetapi di lain pihak, auditor

25 dihadapkan pada kemungkinan perkara hukum yangakan timbul di masa yang akan datang, kehilangan reputasi, dan sangsi dari organisasi profesi yang dapat menetralkan bias tersebut. Lagi pula auditor harus mempertahankan objektivitas dan independensinya (Arum, 2008).

Siregar (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hubungan

judgment didasari oleh dua konsep yaitu konsep materialitas dan resiko dan dikaitkan dengan laporan keuangan judgment yang ditentukan dengan mempertimbangkan kedua konsep tersebut akan berpengaruh pada opini auditor mengenai kewajaran laporan keuangan.

Materialitas berhubungan dengan judgment, ketika dikaitkan dengan evaluasi resiko, pertimbangan inilah yang akan mempengaruhi cara-cara pencapaian tujuan audit, ruang lingkup dan arah pekerjaan terperinci serta disposisi kesalahan dan kelalaian. Sedangkan resiko menunjukan tingkat resiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapat atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material (Arifuddin (2002) dalam Siregar (2012).

Menurut FASB no. 2 mendefinisikan materialitas adalah jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji dalam informasi akuntansi yang dalam kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan, mungkin membuat pertimbangan pengambilan keputusan pihak yang berkepentingan berubah atau terpengaruh oleh salah saji tersebut. Materialitas suatu error

sangat sulit diukur dan ditentukan dan sangat tergantung pada pertimbangan (judgment) dari auditor. Keadaan tersebut

26 mengidentifikasikan bahwa dalam suatu audit dibutuhkan akurasi prosedur-prosedur audit yang tinggi untuk mengetahui atau bila mungkin, meminimalkan unsur resiko dalam suatu audit.

Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa audit judgment adalah pertimbangan audit yang berhubungan dengan materialitas dan resiko, dimana jika terjadi kekeliruan pertimbangan audit atas materialitas akan menimbulkan resiko audit sehingga terjadi kekeliruan dalam menyatakan opini atas laporan keuangan.

5. Pengalaman

Definisi pengalaman adalah pengetahuan atau keahlian yang diperoleh dari suatu peristiwa melalui pengamatan langsung ataupun berpartisipasi dalam peristiwa tersebut (Sukendra et al., 2015).

Arens menyebutkan:

Auditor harus menjalani pendidikan formal dibidang akuntansi, pengalaman praktis yang cukup banyak dalam bidang kerja yang dilakukannya, serta pendidikan profesi yang berkelanjutan. Auditor harus memiliki kualifikasi teknis serta berpengalaman dalam industri-industri yang mereka audit (Arens, 2003).

Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi berperilaku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi (Adrian, 2013).

27 Pengalaman kerja seseorang akan menunjukan jenis-jenis pekerjaan yang pernah dilakukannya dan memberikan peluang yang lebih besar baginya untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. Jika seseorang memasuki karir sebagai akuntan publik, ia harus lebih dahulu mencari pengalaman profesi dibawah pengawasan akuntan senior yang lebih berpengalaman. Bahkan agar akuntan yang baru (junior) selesai menempuh pendidikan formalnya dapat segera menjalani latihan teknis dalam profesinya, pemerintah mengisyaratkan pengalaman kerja di bidang audit umum atas laporan keuangan paling sedikit 1000 (seribu) jam dalam 5 (lima) tahun terakhir dan paling sedikit 500 (lima ratus) jam diantaranya memimpin dan/atau mensupervisi perikatan audit umum, yang disahkan oleh Pemimpin/Pemimpin Rekan KAP bagi akuntan yang ingin memperoleh izin praktik dalam profesi akuntan publik (Peraturan Menteri Keuangan No.17/PMK.01/2008 Tanggal 05 Februari 2008).

Pengalaman menjadi indikator penting bagi kualifikasi profesional seorang auditor. Pengalaman audit adalah pengalaman yang diperoleh auditor selama melakukan proses audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani. Auditor yang telah memiliki banyak pengalaman tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk menemukan kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud) yang tidak lazim yang terdapat dalam laporan keuangan tetapi juga auditor tersebut dapat memberikan penjelasan yang

28 lebih akurat terhadap temuannya tersebut dibandingkan dengan auditor yang masih dengan sedikit pengalaman (Sukendra et al., 2015).

Cara memandang dan menanggapi informasi yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan antara auditor yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman akan berbeda, demikian halnya dalam memberikan kesimpulan audit terhadap obyek yang diperiksa (Wahyudi et al., 2014).

Butt (1988) dalam Adrian (2013) memperlihatkan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat

judgment yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Serta Pengalaman dari banyaknya jenis perusahaan yang telah diaudit akan memberikan suatu pengalaman yang lebih bervariasi dan bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian auditor. Auditor yang memilki banyak pengalaman dalam melakukan audit akan lebih baik dalam memberikan opini audit (Sabrina & Januarti, 2012).

Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengalaman adalah suatu hal yang dapat dijadikan pembelajaran bagi seorang auditor dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga auditor dapat memiliki kemampuan yang lebih dalam menemukan kekeliruan

(error) atau kecurangan (fraud) yang tidak lazim yang terdapat dalam laporan keuangan.

29 6. Opini Audit

Opini audit merupakan final report atas audit yang dilakukan. Dengan pemberian opini oleh auditor sesuai kode etik yang berlaku, tentu ini akan membawa citra positif bagi masyarakat dan dunia usaha. Perusahaan yang mendapat opini unqualified secara konsisten atas laporan keuangan perusahaan akan memberi keyakinan masyarakat untuk mempercayai pengelola dananya secara pasti (Surfeliya et al., 2014).

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik yang berbasis

International Standard on Audits (ISA) (SA 700 dan SA 705), ada duabentuk opini audit, yaitu:

a. Opini tanpa modifikasian

Opini yang dinyatakan oleh auditor ketika auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.

Laporan audit harus menyatakan bahwa audit dilaksanakan berdasarkan Standar Audit yang ditetapkan oleh Institut Akuntan

Publik Indonesia (“IAPI”). Laporan auditor juga harus menjelaskan bahwa standar tersebut mengharuskan auditor untuk mematuhi ketentuan etika dan bahwa auditor merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari kesalahan penyajian material.

Ketika laporan keuangan disusun berdasarkan suatu kerangka penyajian wajar, penjelasan tentang audit dalam laporan auditor harus

30

merujuk pada “penyusunan dan penyajian wajar laporan keuangan

entitas.”

Laporan auditor harus menyatakan bahwa auditor meyakini bahwa bukti audit yang telah diperoleh oleh auditor sudah cukup dan tepat untuk menyediakan suatu basis bagi opiniauditor.

b. Opini modifikasian

Auditor harus memodifikasi opini dalam laporan auditor ketika: 1) Auditor menyimpulkan bahwa, berdasarkan bukti audit yang

diperoleh, laporan keuangan secara keseluruhan tidak bebas dari kesalahan penyajian material; atau

2) Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari kesalahan penyajian material.

Ada tiga jenis opini modifikasian, yaitu: 1) Opini wajar dengan pengecualian

Auditor harus menyatakan opini wajar dengan pengecualian ketika:

(a) Auditor, setelah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa kesalahan penyajian, baik secara individual maupun secara agregasi, adalah material, tetapi tidak pervasif, terhadap laporan keuangan; atau

(b) Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang mendasari opini, tetapi auditor menyimpulkan

31 bahwa kemungkinan dampak kesalahan penyajian yang tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika ada, dapat bersifat material, tetapi tidak pervasif.

Ketika auditor menyatakan suatu opini wajar dengan pengecualian karena terdapat kesalahan penyajian material dalam laporan keuangan, auditor harus menyatakan dalam paragraf opini bahwa, menurut opini auditor, kecuali untuk dampak hal-hal yang dijelaskan dalam paragraf Basis untuk Opini Wajar dengan Pengecualian:

(a) Laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, ketika melaporkan berdasarkan kerangka penyajian wajar; atau

(b) Laporan keuangan telah disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, ketika melaporkan berdasarkan kerangka kepatuhan. 2) Opini tidak wajar

Auditor harus menyatakan suatu opini tidak wajar ketika auditor, setelah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa kesalahan penyajian, baik secara individual maupun secara agregasi, adalah material dan pervasif terhadap laporan keuangan.

32 menyatakan dalam paragraf opini bahwa, menurut opini auditor, karena signifikansi hal-hal yang dijelaskan dalam paragraf Basis untuk Opini Tidak Wajar:

(a) Laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, ketika melaporkan berdasarkan kerangka penyajian wajar; atau (b) Laporan keuangan tidak disusun, dalam semua hal yang

material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, ketika melaporkan berdasarkan kerangka kepatuhan. 3) Opini tidak menyatakan pendapat

Auditor tidak boleh menyatakan pendapat ketika auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang mendasari opini, dan auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan dampak kesalahan penyajian yang tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika ada, dapat bersifat material dan pervasif. Auditor tidak boleh menyatakan pendapat ketika, dalam kondisi yang sangat jarang yang melibatkan banyak ketidakpastian, auditor menyimpulkan bahwa, meskipun telah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat tentang setiap ketidakpastian tersebut, auditor tidak dapat merumuskan suatu opini atas laporan keuangan karena interaksi yang potensial dari ketidakpastian tersebut dan kemungkinan dampak kumulatif dari ketidakpastian tersebut terhadap laporan keuangan.

33 Ketika auditor tidak menyatakan pendapat karena ketidakmampuannya untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, auditor harus menyatakan dalam paragraf opini bahwa:

(a) Karena signifikansi hal-hal yang dijelaskan dalam paragraf Basis untuk Opini Tidak Menyatakan Pendapat, auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyediakan suatu basis bagi opini audit, danoleh karena itu; (b) Auditor tidak menyatakan opini atas laporan keuangan.