• Tidak ada hasil yang ditemukan

Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional

ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

B. Sejarah Hukum Perdata Internasional

1. Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional

Di dalam sejarah perkembangan Hukum Perdata Internasional, tampaknya perdagangan (pada taraf permulaan adalah pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional. Pada zaman Romawi Kuno, segala persoalan yang ditimbul sebagai akibat hubungan antara orang Romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut

praetor peregrinis. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut

pada pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para cives

Romawi, yaitu Ius Civile yang telah disesuaikan dengan

pergaulan internasional. Ius Civile yang telah diadaptasi untuk

hubungan ointernsional itu kemudian disebut Ius Gentium.59

Pada masa Romawi berkembang asas-asas yang dilandasi prinsip atau asas toritorial, yang dewasa ini dianggap sebagai

asas Hukum Perdata Internasional yang penting, misalnya:60

a. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat dimana benda tersebut berada atau terletak.

b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap

perjanjian-perjanjian (yang bersifat Hukum Perdata

Internasional) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian.

c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban perseorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.

59 Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 14. 60 Ibid, Hlm. 23.

Di dalam prinsip teritorial, hukum yang berlaku bersifat toritorial. Setiap wilayah (teritorial) memiliki hukumnya sendiri, dan hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau yang berada di wilayah itu, dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.

2. 2. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abab 6-10 M)

Pada akhir abab 6 M, Kekaisaran Romawi ditaklukkan bangsa “Barbar” dari Eropa. Bekas wilayah Kekaisaran Romawi diduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta hukum agamanya masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian, prinsip toritorial telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal, hukum yang berlaku digantungkan kepada pribadi yang bersangkutan. Sehingga di dalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberapa hukum sekaligus.

Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah hukum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hukum

mana yang akan diberlakukan.61

Beberapa asas Hukum Perdata Internasional yang tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai asas Hukum Perdata Internasional (yang berasas personal)

misalnya:62

61 Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 15. 62 Ibid, Hlm. 16.

a. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hukum personal dari pihak tertugat. b. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum seseorang ditentukan oeh hukum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hukum personal dari masing-masing pihak.

c. Asas yang mengatakan bahwa maslah pewarisan harus diatur berdasarkan hukum personal pewaris.

d. Pengesahan suatu perkawianan harus dilakukan berdasarkan hukum personal sang suami.

3. 3. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M)

Di kawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat teritorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Perancis, dan Jerman. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hukum mereka sendiri terhadap semua orang dan semua hubungan hukum yang

berlangsung di wilayahnya.63 Dengan perkataan lain, tidak ada

pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki orang asing dapat begitu saja dcabut penguasa, sehingga dalam keadaan demikian Hukum Perdata Internasional tidak

berkembang sama sekali.64

Di kawasan Eropa bagian selatan, transformasi dari asas personal geneologis ke asas toritorial berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat peerdagangan, khususnya di

63 Ibid, 1974, mengutip Graverson, R.H. Conflict of Laws-Private International Law, edisi 7. Sweed & Maxwell, London, Hlm. 31.

Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah geneologis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu antara lain Florence, Pisa, Paruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota

tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan:65

a. Batas-batas teritorial tersendiri; dan

b. Sistem hukum lokal sendiri yang berlainan satu lainnya dan berbeda pula dengan hukum Romawi dan Lombardi yang

berlaku umum di seluruh Italia.66

Keanekaragaman (diversity) sistem-sistem hukum lokal (municipal laws) ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antar kota seringkali menimbulkan problem pengakuan terhadap hukum dan hak-hak asing (kota lain) di dalam satu wilayah kota. Secara langsung atau tidak, situasi ini mendorong pertumbuhan kaidah-kaidah hukum perdata internasional.

4. 4. Perkembangan Teori Statuta Di Italia (Abad 13-15 M)

Seiring dengan makin berkembangnya perdagangan antara (warga) kota-kota di Italia tersebut di atas, penerapan asas toritorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali.

Sistem feodal memandang hanya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu hukum masing-masing kota di Italia itu berlainan. Tentunya tidak dapat dipertahankan lagi apabila

65 Ibid, hlm. 17.

hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak yang dibuat di

kota A akan dikesampingkan di kota B.67

Situasi ini mendorong para ahli hukum universitas-universitas di Italia untuk mencari asas-asas hukum yang dianggap lebih adil dan wajar (fair and reasonable). Usaha yang dilakukan dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tulis dalam hukum Romawi. Mereka inilah yang termasuk dalam golongan

postlossatoren.68

Dalam mencari dasar hukum untuk mengatur hubungan-hubungan diantara para pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dari Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata: cuntos popules ques Clementiae Nostrae Regit

Imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).69

Di dalam teks codex tersebut ditemukan glosse accursius

(1128) yang pada pokoknya mengatakan:70

Apabila seseorang warga Bologna digugat di Modena, maka ia janganlah diadili menurut status deri Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga, oleh karena dalam Undang-undang Conctos Popolos telah ditentukan ... quos

nostro clmennae regit imperium.71

Doktrin yang telah dikemukakan Accursius di atas kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato

67 Ibid, Hlm. 165.

68 Ibid, Lihat juga Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 18. 69 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.cit, Hlm. 167. 70 Sudargo Gautama, Op. Cit, Hlm. 167.

71 Dengan bahasa yang lain Bayu Seto merumuskan tafsiran Accursius sebagai berikut” bila seseorang dari suatu kota tertentu dituntut secara hukum di kota lain, maka ia tidak diadili berdasarkan hukum dari kota lain itu, sebab ia bukan merupakan subyek hukum di sana”. Lihat Bayu Seta, Op. Cit, Hlm. 10.

1357). Bartolus berusaha mengembangka asas-asas untuk menentukan wilayah berlakunya setiap atauran hukum yang berlaku dengan mengajukan pertanyaan hubungan macam manakah yang diatur oleh suatu kaidah hukum tertentu. Jadi, titik tolaknya adalah kaidah-kaidah yang berlaku di suatu negeri

atau kota tertentu.72

Bortolus menghubungkan statuta personalia dengan lex originis dan statuta realia dengan kekuasaan toritorial hukum itu. Dia membedakan statuta ke dalam statuta yang mengijinkan

sesuatu (earlubend, veroorloren) dan yang melarang sesuatu.

Statuta personalia adalah statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal. Hal ini bermakna, bahwa statuta itu mengikuti orang (persoon) dimanapun ia

berada.73 Statuta realia mempunyai lingkungan kuasa secara

toritorial. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk di bawah statuta-statutanya.

Bartoluslah yang mengemukakan persoalan-persoalan yang hingga kini masih menajdi persoalan Hukum Perdata Internasional, antara lain mengenai bentuk (form) perbuatan hukum. Bartolus menambahkan satu statuta lagi, yaitu statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di temapat berlakunya statuta itu dengan segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatuir menurut statuta di tempat perjanjian itu

seharusnya dilaksanakan.74

72 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, Hlm. 16. 73 Sudargo Gautama, Op. Cit, Hlm. 168. 74 Ibid

Berdasarkan doktrin statuta di atas kemudian dikembangkan metode berfikir Hukum Perdata Internasional sebagai berikut:

a. Apabila persoalan Hukum Perdata Internasional yang dihadapi menyangkut persoalan status suatu benda, maka kedudukan hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat dimana benda itu berada. Dalam perkembangannya, cara berfikir realia semacam ini hanya berlaku terhadap benda tetap saja. Sedangkan terhadap benda

bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.75

b. Apabila persolan Hukum Perdata Internasional yang dihadapi berkaitan dengan status personal, maka status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statuta personalia dari tempat dimana orang tersebut berkediaman tetap (lex

domicilii); dan

c. Apabila persoalan Hukum Perdata Internasional yang dihadapi berkenaan dengan bentuk dan atau akibat dari suatu perbuatan hukum, maka dan akibat dari perbuatan itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana perbuatan hukum itu dilakukan. Cara berfikir atau asas ini diadopsi oleh Pasal 18 AB yang menyebutkan: “Bentuk setiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang dari negara atau tempat dimana perbuatan itu dilakukan” (De vorm van

elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is verrigt).

75 Mobilia sequntuur personam bermakna bahwa benda bergerak nmengikuti orangnya. Dengan kata lain benda bergerak diatur atau tunduk kepada hukum nasionalitas atau domisili pemilik benda bergerak yang bersangkutan. Lihat J.G. Castel, Op. Cit, Hlm. 8.

5. 5. Teori Statuta Di Perancis (Abad 16)

Pada abad ke-16 provinsi-provinsi di Perancis memiliki sistem hukum tersendiri yang disebut coutume, yang pada hakikatnya sama dengan statuta. Karena adanya keanekaragaman cautume tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar provinsi, maka komplik hukum antar provinsi makin meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hukum Perancis, seperti Charles Dumaulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statuta dan menerapkannya di Perancis dengan

beberapa modifikasi.76

Charles Duomulin memperluas pengertian statuta

personalia hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang

dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian atau kontrak. Jadi, perjanjian atau kontrak yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam

statuta realia, menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam

ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih hukum adalah semacam status perseorangan.

Walaupun Bertrand D’Argentre mempergunakan teori statuta dari Bartolus dan Dumoulin, akan tetapi pada akhirnya ia mengemukakan teori yang jauh berbeda dengan asas-asas teori

statuta Italia dan teori Dumoulin.77 Menurut Bertrand

D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi (kebesan) para

pihak, melainkan otonomi, provinsi.78

76 Bayu Seto, Op. Cit, hlm. 24.

77 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit. hlm. 25. 78 Bayu Seto, Op. Cit, hlm. 25.

Bertrand D’Argentre tetap mengakui adanya statuta

personal, akan tetapi perlu adanya pengecualian. Dengan

bahasa yang lain, Bayu Seto79 menjelaskan bahwa, D’Argentre

mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta

personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan

seseorang untuk melakukan tindakan hukum (legal capacities), akan tetapi:

a. Ada statuta yang dimaksudkan untuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia); atau

b. Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (statuta mixta) yang dilakukan di tempat tertentu. Statuta semacam ini harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan teritorial atau wilayah penguasa yang memberlakukan statuta itu. Menurut

Sudargo Gotama, pendirian atau pendapat yang

dikemukakan Bertrand D’Argentre yang demikian itu tidak bisa dilepaskan dari status Bertrand D’Argentre sebagai seorang baron. Pandangan-pandangannya tentu tidak terlepas dari pengaruh ide-ide feodal yang mengedepankan segi toritorial semua ketentuan hukum. Kedaulatan teritorial itu adalah yang tertinggi dan harus dihormati semua orang yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum di wilayah

penguasa yang bersangkutan.80

6. 6. Teori Statuta Di Negeri Belanda (Abad 17)

Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat

79 Ibid

itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dibuat negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah negara tersebut.

Hukum asing tidak berlaku di wilayah negara tersebut.81 Prinsip

dasar yang diguakan penganut teori statuta di negeri Belanda adalah kedaulatan eksklusif negara.

Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajukan tiga prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

perkara-perkara hukum perdata internasional sebagai berikut:82

a. Hukum dari suatu negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja.

b. Semua orang baik yang menetap maupun sementara, yang berada di wilayah suatu negara berdaulat harus menjadi ubjek hukum dari negara itu dan terikat pada negara itu. c. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas

= comity), diakui pula bahwa setiap pemerintah negara yang berdaulat mengakui, bahwa hukum yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap memilii kekuatan berlaku

dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan

kepentingan subyek hukum dari negara yang memberikan

pengakuan itu.83 Menurut Sudargo Gautama, hakim yang

berpedoman pada asas komitas tidak berarti dapat bertindak sewenang-wenang. Hakim perlu memperhatikan pula hukum asing demi kepentingan negara-negara yang bersangkutan secara timbal balik.

Selanjutnya Ulrik Huber menegaskan bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut di atas harus pula diperhatikan

81 Ibid, hlm. 171.

82 Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 24-25 dan C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, hlm. 19. 83 Sudorgo Gautama, Op. Cit, hlm. 172.

prinsip lain, yaitu semua perbuatan/transaksi yuridis yang dianggap sah berdasarkan hukum dari suatu negara tertentu, akan diakui sah pula di tempat lain yang sistem hukumnya sebenarnya menganggap perbuatan atau transaksi semacam itu batal. Tetapi, perbuatan atau transaksi yang dilaksanakan di suatu tempat tertentu yang menganggapnya batal demi hukum

juga harus dianggap batal dimanapun juga.84

Menurut Johanes Voet, pada hakekatnya tidak ada negara yang wajib mengatakan suatu kaidah hukum asing berlaku dalam batas-batas wilayah hukumnya. Jika hal ini terjadi, maka hal itu disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun

pergaulan antar bangsa atau comitas gentium.85

Dewasa ini teori comitas gentium tersebut sudah banyak ditinggalkan para ahli. Cheshire misalnya, menyatakan bahwa penggunaan hukum asing hanyalah disebabkan keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do

jastice), Jadi, tidak berdasarkan sopan santun atau bukan pula

merupakan perongrongan atau pengorbanan kedaulatan negara

sendiri.86