• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA Tujuan Umum Pembelajaran

D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata

Asas-asas Hukum Acara Perdata adalah sebagai berikut: 1. Hakim Bersikap Menunggu

Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi

apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan , maka tidak ada hakim, demikian bunyi pemeo yang tidak asing lagi (Wo

kein Klager, ist kein Richer; nemo judex sine actore).

Jadi, Hakim menunggu datangnya permintaan atau tuntutan atau gugatan dari masyarakat. Penyelenggara proses peradilan adalah negara. Hakim tidak diperbolehkan menolak suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputuskan, hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Meskipun Hakim belum menemukan hukumnya untuk perkara yang diajukan, dia harus mencari dan menemukannya agar perkara itu dapat diselesaikan.

2. Hakim Bersifat Pasif

Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Artinya, luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).

Para pihak dapat mempelajari perkaranya sendiri menurut kehendak. Artinya, bahwa bila yang bersengketa mencabut gugatannya karena telah tercapai penyelesaian melalui perdamaian, hakim tidak menghalangi (Pasal 130 HIR, 154 Rbg).

Hakim hanya dibenarkan untuk memutuskan apa yang diminta oleh para pihak, tidak boleh lebih dari tuntutan para pihak (Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, 189 ayat (2) dan (3) Rbg).

Jadi, pengertian dari istilah “hakim pasif” hanya ditekankan pada penentuan luas sempitnya perkara. Hakim dalam hal ini tidak dibenarkan menambah atau mengurangi pokok sengketa yang diajukan oleh para pihak yang berkepentingan.

Dalam kenyataannya, hakim dalam pemeriksaan perkara perdata pun aktif, yaitu dia memimpin persidangan, memberi petunjuk kepada para pihak, berusaha mendamaikan mereka dan mencari jalan penyelesaian perkara yang diperiksanya. Hal ini juga sesuai dengan asas yang dianut oleh HIR.

3. Persidangan Bersifat Terbuka

Pada dasarnya, proses peradilan dalam persidangan bersifat terbuka untuk umum, artinya semua orang boleh menghadiri persidangan asalkan tidak mengganggu jalannya persidangan dan berlaku tertib. Hal ini bertujuan agar persidangan berjalan secara fair, objektif, dan hak manusia pun terlindungi, serta diharapkan putusan pengadilan pun adil bagi masyarakat.

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dari kedua ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa setiap pemeriksaan dalam sidang terbuka untuk umum, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan tertutup apabila undang-undang menentukan lain, misalnya dalam pemeriksaan perceraian atau perkosaan dalam perkara pidana.

Walaupun pemeriksaannya dilakukan secara tertutup, namun pembacaan keputusan hakim harus dilakukan dalam sidang terbuka sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

4. Mendengar Kedua Belah Pihak

Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak yang bersengketa harus didengar, diperhatikan, dan diperlakukan sama, hal ini diatur

dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).

Proses peradilan dalam hukum acara perdata wajib memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersengketa. Kesempatan yang dimaksud adalah kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.

Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar, dikenal dengan asas audi et alteram partem. Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai keterangan yang benar, sebelum pihak lain memberikan pendapatnya. Dengan demikian, pengajuan alat-alat bukti harus dalam persidangan yang dihadiri oleh dua pihak yang bersengketa.

5. Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadili diatur dalam Pasal 84 ayat (1), 319 HIR, 618 RBg.

Alasan-alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggung-jawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, sehingga mempunyai nilai-nilai objektif. Dengan adanya alasan-alasan itulah, putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkan.

Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat beberapa putusan Mahkamah Agung yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Untuk lebih dapat mempertanggjawabkan putusan sering juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.

Mencari dukungan pada yurisprudensi berarti bahwa hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi atau yang telah pernah diputuskannya sendiri saja.

6. Beracara dikenakan Biaya

Pada asasnya, berperkara dikenakan biaya diatur dalam Pasal 121 ayat (4) HIR, 182 HIR, 183 HIR, 145 ayat (4), 192, 194 Rbg). Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan kepada para pihak serta biaya materai.

Para pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo), dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari kewajiban membayar biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg).

Dalam praktik, surat keterangan itu dibuat oleh Camat setempat. Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak hakim bila ternyata pemohon bukan orang yang tidak mampu.

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Namun, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya apabila dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg).

Dengan memeriksa secara langsung terhadap para pihak, hakim akan dapat mengetahui lebih jelas pokok persoalannya, sebab para pihak yang berkepentinganlah; sebenarnya yang mengetahui seluk beluk peristiwanya.

Biaya beracara secara langsung di pengadilan lebih ringan jika dibandingkan dengan jalan perwakilan. Tidak ada ketentuan bahwa

seorang wakil harus sarjana hukum, akan tetapi jika ditinjau dari segi kenyataan beracara dengan kuasa yang sarjana hukum lebih lancar daripada kuasa yang bukan sarjana hukum.

Pada hakekatnya tujuan dari perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.