ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran
E. Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana
Ada berbagai asas yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana. Asas-asas tersebut ada yang berasal dari:
1. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No. 14 Tahun 1970) sejak tanggal 15 Januari 2004 telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
2. Asas-asas umum hukum.
Ad. 1. Yang berasal dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 4 tahun 2004.
Di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 6 Tahun 1981 disebutkan ada 10 asas yang berasal dari Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dijabarkan ke dalam KUHAP, diantaranya:
a) Asas kedudukan yang sama dalam hukum (equality before the
law)
Pasal 5 ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Atas dasar asas ini maka di dalam KUHAP tidak ada ketentuan yang memperbedakan antara orang kaya dan miskin antara pejabat
dengan bukan pejabat. Setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana akan diproses dengan prosedur yang sama.
b) Asas tertulis pelaksanaan upaya jaksa.
Pasal 7 : Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penjabaran dari asas ini terdapat dalam Pasal 18 KUHAP tentang penangkapan, Pasal 21 ayat (1) tentang penahanan, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) tentang penggeledahan, Pasal 38 ayat (1) tentang penyitaan dan Pasal 43 tentang penyitaan surat.
c) Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Pasal 8 : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Dalam KUHAP asas ini dijabarkan antara lain ke dalam Pasal 117 ayat (1) keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapun atau dalam bentuk apapun. Pasal 153 ayat (2) sub b, hakim wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberi jawaban secara tidak bebas.
d) Asas peradilan cepat dan biaya ringan
Pasal 4 menentukan: Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa peradilan dilaksanakan dengan cepat, tepat, adil dan biaya ringan, acaranya tidak berbelit-belit yang menyebabkan prose sampai
bertahun-tahun, bahkan perlu dilanjutkan oleh ahli warisnya (penjelasan UU No. 14 Tahun 1970). Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan dari pencari keadilan; sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan secara efisien dan efektif, biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dan mencari kebenaran dan keadilan. Di dalam KUHAP sendiri asas ini dijabarkan dalam bentuk jenis acara pemeriksaan. Ada acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat.
e) Asas peradilan terbuka untuk umum (public hearing)
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 17, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 19:
(1) Sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.
(2) Tidak dipenuhi ketetnuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum
Dalam KUHAP asas ini dijabatkan pada Pasal 153 ayat (3) dan dalam Pasal 195.
f) Asas pembelaan diri (right of self defence)
Pasal 35 : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004).
Pasal 36 : Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta penasihat hukum (UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 38 UU No. 4 Tahun 2004).
Di dalam KUHAP asas ini dijabarkan ke dalam Pasal 54, 55, 56 dan 57.
Ad. 2. Asas-asas umum hukum
Asas-asas umum hukum ini, adalah asas-asas yang tidak berasal dari satu aturan hukum tertentu. Tetapi merupakan suatu pemikiran awal (dasar pemikiran) untuk penyusunan aturan-aturan hukum yang konkrit.
a. Asas opportunitas dan asas legalitas
Asas opportunitas ini adalah asas dimana penuntut umum wajib tidak menuntut suatu perkara pidana yang mempunyai bukti yang cukup demi kepentingan umum.
Menurut Wiryono Projodikoro45, ada orang yang berpendapat
bahwa asas ini berasal dari Pasal 37 RO yang berisi bahwa pegawai penuntut umum wajib melakukan sesuatu berhubung dengan adanya laporan tentang adanya suatu peristiwa tentang tindak pidana. Akan tetapi pendapat tersebut menurut Wiryono Projodikoro tidak cepat, karena menurut pasal itu hanya dapat ditafsirkan bahwa penuntut umum wajib mengusut suatu perkara yang sedang terjadi.
Dalam Undang-Undang Pokok Kejaksaan yang lama (UU No. 15 Tahun 1961 prinsip ini tercantum dalam Pasal 12 yang menentukan bahwa Jaksa Agung dapat mengenyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Artinya perkara tersebut tidak diajukan ke pengadilan. Dalam bahasa Belanda disebut dengan deponeeren = deponir (Indo). Istilah sehari-hari perkara tersebut didep. Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, prinsip ini dimuat dalam Pasal 32 sub c. Jaksa Agung mempunyai wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Lawan dari asas opportunitas ini adalah asas legalitas, yaitu penuntut umum wajib menuntut setiap perkara yang cukup bukti ke pengadilan. Asas ini tidak dianut di Indonesia.
b. Asas larangan menghakimi sendiri (Verbod van eigen richting) Asas ini adalah asas yang paling pokok dalam pembentukan hukum acara pidabna. Dari asas ini timbul pemikiran agar ada aturan hukum yang mengatur prosedur untuk menyelesaikan sesuatu perkara baik pidana maupun perdata. Ada aturan hukum material saja tidak akan dapat dijalankan jika tidak ada aturan tentang prosedur menjalankan aturan hukum material. Tindakan menghakimi sendiri akan dapat menimbulkan tindak pidana baik berupa penganiayaan, pembunuhan, merampas kemerdekaan orang lain dan sebagainya.
Di dalam KUHAP larangan menghakimi sendiri ini dapat dilihat dalam Pasal 108 ayat (1) (2) (3).
c. Asas inquistoir dan accusatoir
Prinsip inquisitoir dan accosatoir ini berhubungan dengan sistem pemeriksaan.
Wiryono Projodikoro46 menulis tentang prinsip ini sebagai
berikut. Di dunia ilmu pengetahuan hukum ada dua sistem yang dapat dianut, sistem inquisitoir dan accusatoir. Inquisitoir (arta kata: pemeriksaan) menganggap tersangka sebagai barang, suatu obyek yang harus diperiksa wujudnya berhubungan dengan suatu pendakwaan. Sedang sistem accusatoir (arti kata: menuduh) menganggap seorang tersangka atau terdakwa sebagai subjek berhadap-hadapan dengan pihak mendakwa yaitu kepolisian dan kejaksaan yang mempunyai hak-hak yang sama nilainya, dan hakim berada di atas kedua pihak itu untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku.
Pada masa berlakunya HIR, tersangka pada tingkat pemeriksaan pendahuluan mempunyai hak untuk didampingi oleh penasehat hukum, tidak ada hak untuk diberitahukan tentang apa yang dipersangka kepadanya, tidak diketahui dengan pasti di mana ia diperiksa, penangkapan sangat mudah dilakukan. Pada tingkat pemeriksaan pendahuluan ini diperlakukan sistem pemeriksaan
inquisitoir.
Sistem accusatoir, diperlakukan di depan sidang di mana kepada terdakwa telah diberikan hak untuk didampingi oleh penasehat hukum. Ia telah dapat melakukan pembelaan diri baik dengan
menyanggah dakwaan atau mengajukan saksi-saksi yang
meringankannya. Saksi yang meringankan terdakwa disebut dengan saksi a de charge yang memberatkan disebut dengan saksi a charge.
Bagaimana dengan berlakunya KUHAP. Tentang hal ini ada dua pendapat. Pendapat yang pertama menyatakan yang digunakan pada pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) adalah sistem inquisitoir yang diperlunak sedangkan pendapat yang kedua menyatakan digunakan sistem accusatoir yang terbatas. Dasar hukum yang digunakan adalah sama yaitu kepada tersangka diberihak untuk didampingi oleh penasehat hukum pada kepada tersangka diberi hak untuk didampingi oleh penasehat hukum pada pmeriksaan pendahuluan, seperti yang diatur dalam Pasal 54 KUHAP.
KUHAP menentukan ada 5 tahap penyelesaian perkara pidana, yaitu:
1. Tahap penyidikan 2. Tahap penuntutan
3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan 5. Tahap pengawasan dan
Ad. 1. Tahap penyidikan
Pada tahap penyidikan ini ada dua tahap pemeriksaan perkara pidana, yaitu:
a. penyelidikan b. penyidikan
Tahap penyelidikan merupakan bahagian dari penyidikan. Penyelidikan dilakukan oleh penyelidik yaitu pejabat Polisi RI sejak dari Baradha sampai dengan Jenderal Polisi (Pasal 4 KUHAP). Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik. Penyidik terdiri atas: penyidik POLRI dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu (PPNS) (Pasal 6 KUHAP). Pengertian penyidik dan penyidikan, lihat Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP.
Ad. 2 Tahap penuntutan
Tahap penuntutan ini dibagi dua: a. prapenuntutan
b. penuntutan
Prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk menyempurnakan berkas perkara penyidikan yang belum lengkap (Pasal 110 dan 138 KUHAP). Tidak semua berkas perkara penyidikan dilakukan prapenuntutan, hanya yang tidak lengkap saja dilakukan tindak prapenuntutan oleh penuntut umum (lihat pengertian Jaksa dan Penuntut Umum dalam Pasal 1 butir 6 sub a dan b).
Penuntutan (vervolging) adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana yang cukup bukti ke pengadilan yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Pengertian ini penting, karena dengan tindakan penuntutan menghentikan jalannya daluarsa penuntutan (Pasal 80 KUHP).
Ad. 3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan
Setelah perkara pidana dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan maka ketua pengadilan mempertimbangkan apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Jika berwenang ia menunjuk hakim yang mengadili perkara tersebut (Pasal 152 KUHAP).
a. Acara Pemeriksaan
Hakim mengadili perkara tersebut sesuai dengan acara pemeriksaan perkara tersebut.
(a) Perkara biasa diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa (Pasal 152 – 202 KUHAP).
(b) Perkara singkat, diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat (Pasal 203 KUHAP)
(c) Perkara cepat: 1. perkara ringan, diperiksa dengan acara pemeriksaan perkara ringan (Pasal 205 – 210 KUHAP).
2. perkara pelanggaran lalu lintas jalan tertentu,
diperiksa dengan acara pemeriksaan
pelanggaran lalu lintas jalan tertentu (Pasal 211 – 216 KUHAP)
b. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian adalah alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
(a) keterangan saksi (b) keterangan ahli (c) surat
(d) petunjuk
(e) keterangan terdakwa (ayat (1) Pasal 184)
Dalam ayat disebutkan hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
c. Sistem pembuktian
Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem pembuktian negatief wettelijk, yaitu hakim hanya dapat menghukum terdakwa jika sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP.
d. Isi Putusan Hakim Pidana
Ada 3 macam isi putusan hakim pidana:
(a) Putusan bebas (vrijspraak), yaitu dakwaan terhadap terdakwa tidak terbukti.
(b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts
vervolging), yaitu dakwaan penuntut umum terbukti tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Misalnya perbuatan tersebut perbuatan hukum perdata atau pada terdakwa terdapat alasan yang menghapuskan pidana (Pasal 191 (2) KUHAP).
(c) Penjatuhan pidana (veroordeling), dakwaan penuntut umum terbukti. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan (193 KUHAP).
e. Upaya Hukum (rechts middelen)
Terhadap putusan hakim dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (Pasal 1 butir 12 KUHAP).
Upaya hukum ada 2 macam:
2. Upaya hukum luar biasa adalah:
1. peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
2. kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung.
Ad. 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi dengan upaya hukum biasa, dilaksanakan oleh Jaksa. Hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau pasti (institusi kracht van
gewijsde) yang dapat dilaksanakan. Sedangkan putusan yang masih
diajukan perlawanan, banding atau kasasi, tidak boleh dilaksanakan (dieksekusi).
Ad. 5. Tahap pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan, telah dibahas pada halaman sebelumnya.
Karena dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu bertentangan satu sama lain;
a. karena putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Menurut Pasal 263 ayat (3) KUHAP, putusan dapat dimintakan peninjauan kembali apabila suatu putusan terhadap perbuatan pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pelaksanaan hukuman.
Tata cara peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP. Dalam peninjauan kembali putusan, Mahkamah Agung dapat merumuskan:
1. menolak permohonan peninjauan kembali bila alasan tidak dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
2. bila Mahkamah Agung membenarkan alasan permohonan, putusan Mahkamah Agung dapat berupa:
a. putusan bebas,
b. putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
c. putusan tidak menerima tuntutan penuntut umum, atau d. putusan yang menerapkan pidana yang lebih ringan.
RANGKUMAN
Secara umum orang memberi pengertian kepada hukum acara pidana sebagai peraturan hukum yang menentukan cara bagaimana mempertahankan ketentuan hukum pidana material. Akan tetapi Van Bemmelen tidak sependapat bahwa hukum acara pidana semata-mata sebagai pelaksana dari ketentuan hukum pidana material, karena aturan hukum acara pidana juga menghasilkan norma-norma sendiri, seperti setiap orang wajib menjadi saksi, setiap orang tidak boleh meninggalkan tempat kejadian perkara, sampai dengan dibolehkan meninggalkan tempat tersebut oleh yang berwenang.
Ada 3 macam isi putusan hakim pidana:
1. Putusan bebas (vrijspraak), yaitu dakwaan terhadap terdakwa tidak terbukti.
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging), yaitu dakwaan penuntut umum terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Misalnya perbuatan tersebut perbuatan hukum perdata atau pada terdakwa terdapat alasan yang menghapuskan pidana (Pasal 191 (2) KUHAP).
3. Penjatuhan pidana (veroordeling), dakwaan penuntut umum terbukti. TErdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan (193 KUHAP).
Terhadap putusan hakim dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah: hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (Pasal 1 butir 12 KUHAP).
Upaya hukum ada 2 macam:
1. Upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding dari kasasi. 2. Upaya hukum luar biasa adalah:
a. peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
b. kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung.
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum acara pidana. 2. Jelaskan beberapa pembaharuan yang terdapat dalam
hukum acara pidana
3. Jelaskan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara pidana.
4. Jelaskan alasan-alasan yang menghapuskan pidana.
GLOSSARIUM
Negatief wettelijk, yaitu hakim hanya dapat menghukum terdakwa jika
sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA
Wirjono projodikoro, 1989, Hukum Acara Pidana, hlm. PT Refika Aditama, Bandung.