Sejak pasal 6 dan 12 kita sudah menerima informasi bahwa Yudas adalah pengkhianat. Andaikata Injil Yohanes merupakan film spionase, ceritanya mungkin demikian: jati diri si penyusup plus pengkhianat itu dibuka lebar-lebar, lalu hukuman dijatuhkan. Namun di sini yang kita temukan justru berlawanan. Setelah para murid tahu bahwa Yesus akan diserahkan kepada para penguasa, Yesus justru mempersilahkan si pembelot pergi dan melaksanakan rencananya. Kita tentu tergoda bertanya, mengapa?
Injil Yohanes tidak menjawab pertanyaan tadi secara langsung. Namun sejauh ini kita tahu bahwa penyaliban Yesus memang bagian dari kehendak Allah; juga hasil pengkhianatan Yudas. Karena itulah Yesus tidak mencegahnya. Yang jadi pertanyaan kita, apakah nas ini mengimbau kita untuk menganut fatalisme dalam hidup: anggapan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini sudah ditentukan atau ditakdirkan? Tidak, karena kita melihat di sini bukan kepasrahan buta yang fatalistis, melainkan sikap aktif Yesus yang secara rela merespons rencana dan kehendak Sang Bapa dalam ketaatan. Bagaimana menghadapi Yudas? Kalimat Yesus kepada Yudas justru bernada perintah, seakan menandai kesiapan Yesus menjalani babak akhir pelayanan-Nya di bumi. Ini bukan kalimat orang yang pasrah membuta dan menyerahkan segalanya pada nasib. Apa yang terjadi pada Yesus dalam pasal-pasal berikut-Nya adalah akibat dari pilihan aktif ketaatan-Nya.
Sebagai murid Kristus, kita tidak diminta untuk pasrah menerima keadaan, apapun yang terjadi. Panggilan kita adalah bersikap taat. Kita tidak boleh lupa bahwa ketika Setan bekerja dan mengatur siasat, Allah turut bekerja melalui kuasa Roh-Nya dan juga melalui ketaatan kita. Penderitaan, kesusahan, beban pelayanan, dan juga sukacita dan penghiburan, semuanya kita tanggung bukan karena pasrah begitu saja kepada undian nasib yang tak terduga, melainkan karena kita memilih untuk taat kepada kehendak-Nya.
76 Senin, 3 Maret 2008 Bacaan : Yohanes 13:31-38
(3-3-2008)
Yohanes 13:31-38
Identitasku: kasih
Judul: Identitasku: kasihApa identitas utama yang membedakan para murid dari dunia? Bukan pemahaman doktrin yang komprehensif dan ortodoks! Ini memang penting, tetapi bukan itu pembedanya. Bisa saja orang dunia punya pemahaman doktrin sedemikian. Bukan pula kemegahan organisatoris dalam bentuk berlimpahnya anggota, dana, dan sarana. Ini memang baik, tapi organisasi dunia pun diizinkan Tuhan memiliki hal serupa.
Yang jadi pembeda para murid dari dunia adalah kasih. Namun kata kasih sendiri kerap
dirongrong dan dibiarkan turun tingkat menjadi klise rohani. Kita hanya merasa perlu menyebut atau menyisipkan kata kasih dalam ujaran dan tulisan kita, walaupun dalam realpolitik kehidupan gerejawi, kenyataannya bisa lain. Pertimbangan kegerejaan, organisatoris pelayanan, atau relasi pribadi antarwarga gereja, justru banyak didasari oleh pertimbangan lain: mulai yang bersifat egois seperti ketidaksukaan, kenyamanan pribadi, dendam, hingga yang bersifat pragmatis seperti ketakutan terhadap reaksi pihak luar, persepsi perlu berhemat, dll. Namun tidak bagus jika kita melulu membahas ketiadaan kasih di sini. Masalah utama kita sebagai warga gereja dan murid Kristus adalah, teladan Kristus dan para murid itu terasa begitu jauh dari kita. Kasih terasa makin \'surgawi\' alias makin jauh dari bumi, bahkan di antara para murid-Nya.
Kita butuh teladan. Kita butuh contoh. Ketimbang hanya menunggu, mari kita saling jadi teladan bagi satu sama lain. Toh perintah Yesus, Tuhan kita itu, jelas: yang disuruh mengasihi adalah kita. Seiring dengan makin kencangnya laju zaman ini, kita justru makin kesulitan untuk menunjukkan kasih tulus kepada orang-orang yang paling dekat dengan kita: pasangan hidup, anggota keluarga, tetangga, sesama warga jemaat yang berdekatan, rekan pelayanan, dll. Kita perlu menggumulkan lagi kapan dan bagaimana hari ini, besok, dan hari demi hari seterusnya, kita menunjukkan kasih itu. Mari tunjukkan identitas sejati kita.
77 Selasa, 4 Maret 2008 Bacaan : Yohanes 14:1-7
(4-3-2008)
Yohanes 14:1-7
Jalan
Judul: JalanKita mungkin tidak sadar bahwa orang Kristen zaman dulu lebih banyak dikenal dengan sebutan "pengikut Jalan [Tuhan]" (lih. mis. Kis. 9:2, 22:4). Bahkan kata "Kristen" atau "Khristianos" pun dulunya bermakna melecehkan: "orangnya si Khristos." Namun itulah kenyataannya. Menjadi Kristen berarti berada dalam perjalanan di jalan Tuhan, yakni mengikuti, menyaksikan, dan ikut mewujudkan kehendak Tuhan. Itulah sebabnya Injil Yohanes memunculkan Yesus sebagai Sang Jalan yang kita pilih dan kita ikuti. Masalahnya, insan-insan modern seperti kita lebih senang dengan kema-panan. Berjalan berarti berpindah berarti berubah berarti tidak mapan. Dan itu tidak kita sukai!
Tujuh ayat ini sangat dalam dan kita tidak mungkin bisa mengupas semua isinya di sini. Namun ada beberapa poin yang perlu kita soroti. Pertama, bahkan setelah Yesus pergi pun Ia tetap melayani kita, para murid-Nya: Ia menyiapkan tempat bagi kita (ayat 2-3). Kedua, melalui Kristus Sang Jalan, kita mengenal Allah Bapa. Bahkan, tanpa Kristus kita tidak mung-kin mengenal Sang Bapa seperti ini. Ketiga, Sang Jalan yang kita sambut dengan iman ini sekaligus adalah kebenaran dan hidup kita: artinya, kita dibenarkan dan memperoleh hidup ketika kita melakukan langkah iman yaitu percaya kepada Kristus. Keempat, kita memperoleh jaminan surgawi dari Tuhan. Oleh sebab itu, sewajarnyalah bila kita merespons Dia dengan langkah konkret, yang berpadanan dengan status anugerah kita.
Poin renungan kita kali ini sederhana saja: Jika memang demikian, kita masih tunggu apalagi? Tidaklah pantas jika kita masih tetap mencintai \'kemapanan\' dunia ini dan melupakan mandat kemuridan kita, yaitu menyampaikan kabar bahwa Yesus adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup, bahwa Allah Bapa takkan bisa dikenal kecuali melalui Dia. Sebagai murid, kita tahu "ke mana Tuhan pergi" (ayat 4) yakni menuju jalan yang mewujudkan kehendak Sang Bapa yang niscaya penuh kemuliaan.
78
Rabu,, 5 Maret 2008
Bacaan : Yohanes 14:8-14