• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN BOK: VERSTEHEN

Dalam dokumen Kybernologi dan Metodologi Metodologi Il (Halaman 46-51)

pengaruh X terhadap Y semakin kecil atau semakin lemah, dan explanatory power pemikiran semakin kuat (masalah pemikiranpun semakin jelas).

BAHAN BOK: VERSTEHEN

Ada tiga hal yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan ini. Dua di antaranya berkaitan dengan praktik politik, dan satu yang berkaitan dengan metodologi. Pertama artikel Sofyan A. Djalil “Harga BBM dan Masa Depan Indonesia,” (Kompas, 121005) “Kali ini saya amat sedih, Pak Effendi, logika opposisi Anda tanpa berempati sedikit pun pada kesulitan negara yang begitu parah: . . . ,“ kedua, pernyataan Alwi Shihab “Pasti ada kendala, tetapi persentasenya sangat kecil,” (sehingga dapat diabaikan) ujar Alwi di Jakarta kemarin (Kompas, 181005), dan ketiga penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian pemerintahan pada tingkat pascasarjana di lingkungan UNPAD (S2 sejak 1996 dan S3 sejak 2000).

Empathy vs Sympathy. Kata empathy berasal dari bahasa Gerik empátheia, affection (em-, in- dan pathy, pátheia, suffering, feeling), berarti “intellectual identification with or vicarious experiencing of the feelings, thoughts, or attitudes of another person,” dan “the imaginative ascribing to an object, as a natural object or work of art, feeling or attitudes present in oneself.” Makna empathy kemudian dipengaruhi oleh konsep Jerman Einfühlung. Kata tersebut berkaitan dengan kata

sympathy (Latin sympathīa, Gerik sympátheia, dari sym-, before, syn, co-, with, dan páth(os), suffering, feeling), berarti “harmony of or agreement in feeling, as between persons or on the part of one person with respect to another,” dan “a quality of mutual relations between people or things whereby whatever affects one also affects the other.” Arti kedua ini mirip sekali dengan ungkapan tat twam asi, semboyan Kementerian Sosial dahulu kala, yang berarti “aku adalah engkau,” “engkau adalah dia,” dan “dia adalah aku.” Apa yang dirasakan oleh yang satu, dirasakan juga oleh yang lain. Simpati timbul karena adanya kesamaan atau ketertarikan.

Apakah hubungan empati dengan simpati? W. Lawrence Neuman dalam Social Research Methods (1997, 356) menyatakan bahwa “Empathy does not necessarily mean sympathy, agreement or approval; it means feeling things as another does.” Thomas A. Schwandt, “Constructivist, Interpretivist Approaches to Human Inquiry,” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, (eds), Handbook of Qualitative Research (1994, 120) menggambarkan empati itu sebagai “getting inside the head of another,” didukung oleh sikap etik dan emik (amïc). Berdasarakan analisis hermeneutic (hermeneutics, Teori Pengertian, “a theory of meaning,” Ilmu Penafsiran, “making the obscure plain,” (lihat Neuman, 1997, 68) dapat dikatakan bahwa empati adalah konsep metodologi, yaitu cara memahami perasaan, sikap, dan tindakan subjek yang diamati dengan menggunakan

“intellectual identification,” didorong oleh keingintahuan yang dalam (curiosity), untuk menafsirkan fenomena sosial sehingga terlihat perbedaan, uniqueness, kualitas, karakteristik, antara yang satu dengan yang lain sebagaimana adanya, sedangkan simpati merupakan konsep yang digunakan untuk memahami proses sosial yang terjadi antar pelaku yang berbeda-beda, yang terjadi berdasarkan adanya ketertarikan atau kesamaan. Jadi seseorang bisa bersimpati melalui empati, dan bisa juga bersimpati tanpa melalui empati melainkan melalui kesamaan atau ketertarikan satu dengan yang lain. Dalam Gambar 28, A menggunakan FOR B. Dalam Gambar 29, simpati A terhadap B terbentuk karena adanya ketertarikan atau kesamaan antara keduanya.

A --- berempati ---> B FOR FOR | | --- | | | | empati A thd B simpati A thd B | | | | --->

FOR, frame of reference

Gambar 28 Hubungan antara Empati dengan Simpati Yang Satu Menggunakan FOR Yang Lain

Membangun kebersamaan dan kesepakatan bisa melalui pendekatan kuantitatif dan bisa juga melalui pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan kuantitatif orang

berbicara tentang dan memihak (ke)pada dominasi, mayoritas, kuorum,

A --- bersimpati---> B ---> SIMPATI hobi X hobi X

tertarik menarik turut berduka berduka kepentingan Y kepentingan Y

Gambar 29 Terbentuknya Simpati Via Kemersamaan dan Ketertarikan

pembenaran, voting, kurva normal, rata-rata, generalisasi, statistik, exchange, bargaining, kekuasaan, dan sebangsanya. Alwi Shihab dalam pernyataannya di atas, menggunakan pendekatan kuantitatif. Berdasarkan pendekatan kuantitatif, maka yang kalah, minoritas, yang tidak terdaftar, powerless, tontonan, korban, mangsa, dianggap tidak ada, atau dapat diabaikan. Pendekatan kualitatif adalah kebalikannya. Pendekatan ini telah dibahas dalam, Kybernologi (2003), Bab 36, Melalui pendekatan kualitatif yang dijadikan pegangan oleh peneliti dalam mereproduksi dalam pikirannya “the feelings, motives, and thoughts behind the action of others,” adalah frame-of-reference (FOR) subjek yang diamatinya, sedangkan dengan pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan FORnya sendiri. Dengan pendekatan kualitatif, sekecil apapun hal yang diamati, ia mempunyai kualitas dan nilai, dan oleh sebab itu ia tidak pernah dianggap tidak ada, dan

kehadirannya tidak pernah terabaikan. Sama seperti tubuh manusia. Komponennya yang kelihatannya terkecil, terlemah, ternyata memberi sumbangan vital terhadap keseluruhan.

Terlepas dari persoalan, pendekatan mana yang digunakan, hubungan antara nilai empati dan simpati dengan kedua pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 30). Gambar 30 menunjukkan hubungan jalur antara empati dengan simpati. Simpati dapat terbentuk melalui empati (sel 4 melalui sel 3). Yang dimaksud oleh Sofyan A. Djalil dengan empati adalah empati dalam sel 1, sedangkan simpati yang diharapkan terbentuk melalui pernyataan Alwi Shihab adalah simpati dalam sel 2.

--- | NILAI | |---| | EMPATI | SIMPATI | | Keberbedaan | kebersamaan | ---|---|---|

| | KUANTITATIF | yg berbeda 1 | mayoritas yg 2| | | (FOR pene- | dan kecil | dijadikan da- | | | liti) | diabaikan | sar kebersamaan| | PENDEKATAN |---|---|---| | | KUALITATIF | setiap kom- 3 | keberadaan 4| | | (FOR subjek | ponen ber- | yg menjadi da- | | | yg diamati) | nilai | sar kebersamaan| ---

Alwi Shihab membenarkan kebijakan pemberian kompensasi BBM langsung tunai kepada orang terdaftar miskin, kendatipun banyak yang sesungguhnya tidak berhak tetapi terdaftar, dan sebaliknya banyak yang berhak tetapi tidak terjangkau pendaftaran, sementara banyak pula orang melarat lanjut usia setelah menempuh perjalanan yang jauh, antri berjam-jam, berdesakan, bahkan ada mati terinjak- injak, tetapi itu semua, dianggap tidak apa-apa, karena “persentasenya sangat kecil.” Jika seorang yang usil bertanya: “Jika orang tua miskin yang terinjak itu, Anda sendiri, bagaimana?” Dia diam, tidak menjawab, atau dia menjawab dengan ketus: “Boro-boro saya miskin, bahkan sayalah yang membuat orang miskin dan terinjak. Anda tau, kan, saya tidak miskin, oleh sebab itu saya tidak bisa me- ‘reproduce in my own mind the feelings, motives, and thoughts behind the action of other’” (“feelings” dibaca “sufferings,” “misery”).

Apakah melalui perbedaan (sel 3, Gambar 30) orang bisa tiba pada kebersamaan (sel 4)? Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian proposisi satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman,

The Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka Tunggal Ika. Bisa, jika sikap terhadap perbedaan bahkan heterogenitas, bertolak dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Seperti tajuk doa Reinhold Niebuhr (1892-1971):

God,

Give us grace to accept with serenity The things that cannot be changed

Courage to change the things Which should be changed And the wisdom to distinguish

The one from the other

Konsep empati dan simpati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding

yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of sympathetic imagination or empathic identification on the part of inquirers that allowed them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of an individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin mengenalnya sebagaimana adanya. Menurut Max Weber,

Verstehen adalah “empathic understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives, ang thoughts behind the action of others.” Konsep

Sosial lainnya, dan dijadikan dasar pendekatan kualitatif Metodologi Penelitian Sosial. Adalah Wilhelm Dilthey yang mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi

Naturwissenschaft yang tersusun berdasarkan abstract explanation (Erklärung) dan Geisteswissenschaft yang berakar dalam “an empathetic understanding, or

Verstehen, of the everyday lived experience of people in specific historical settings” (Neuman, 1997, 68). Tujuan Naturwissenschaft adalah scientific explanation, sedangkan Geisteswissenschaft “the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena” (Denzin dan Lincoln, 1994, 119).

Menurut Schwandt ada dua pendekatan yang digunakan dalam human inquiry. Pertama, pendekatan constructivist yang berpendapat bahwa “knowledge and truth are created, not discovered by mind,” dan kedua pendekatan interpretivist, yang menyatakan “. . . the facts of the world are essentially there for study. They exist independently of us as observers, and if we are rational we will come to know the facts as they are.” Lepas dari persoalan tersebut, diperlukan adanya intersubjective,

common meanings---“ways of experiencing action in society which are expressed in the language and descriptions of institutions and practices.” Oleh sebab itu, “Accordingly, constructivists and interpretivists in general focus on the processes by which these meanings are created, negotiated, sustained, and modified within a specific context of human action. The means or process by which the inquirer

SETTING

|

| menerangkan

FENOMENA SOSIAL <--- TEORI | meramal | | |

SUBJEK |

PENELITI --- berempati --> YG DIAMATI ---> VERSTEHEN

| FOR the meaning

| | | | | | |--- menafsir---> DATA | | | | | | | --- mengonstruksi ---> KATEGORI --- properties FOR frame-of-reference

arrives of this kind of interpretation of human action (as well as the ends or aim of the process), is called Verstehen (understanding)” (Denzin dan Lincoln, 1994, 120). Jadi jelaslah, Verstehen adalah proses dan temuan proses penafsiran fenomena sosial dan perilaku manusia melalui pendekatan kualitatif penelitian. Pentingnya Verstehen itu dijelaskan oleh Max Weber sebagaimana dikutip oleh Neuman (1997, 68): “Weber argued that social science needed to study meaningful social action, or social action with a purpose,” karena mengerti tidaknya seseorang akan suatu hal pada akhirnya menentukan pola perilaku yang bersangkutan. Untuk Indonesia, konsep Verstehen sebagai metode sangat penting, mengingat budaya Indonesia adalah budaya yang sangat kaya, sangat beragam, purba, unik, tetapi minat untuk mengungkapkannya semakin lemah, sementara FOR generasi sekarang jauh berbeda dengan FOR generasi pelaku budaya pada zamannya. Menurut Metodologi Sejarah, nilai-nilai purba dapat diungkapkan melalui Verstehen, bilamana peneliti mampu berempati dengan masa lampau, menempatkan diri seolah-olah berada di masa silam itu. Hanya saja, biaya penelitian dan pelestariannya mahal. Belum lagi pola perilaku sosial yang bersifat

covert, tertutup, tidak jelas (wayang), “lain di mulut, lain di hati,” lain yang tersurat, lain yang tersirat. Melalui Verstehen, ada apa di belakang perilaku manusia, bahkan mungkin di bawah sadarnya sebagaimana adanya, bisa terungkap, bisa difahami. Verstehen bisa menggambarkan perilaku teror dan menyawab pertanyaan mengapa seseorang menjadi teroris, tetapi dengan Verstehen orang tidak bisa membenarkan terorisme. Dilihat dari sudut ini, Metodologi Kualitatif unggul dalam pengungkapan nilai dan sistem nilai, sementara Metodologi Kuantitatif dapat digunakan untuk memproses norma. Teknik dan prosedur yang harus ditempuh guna menemukan Verstehen di belakang dan teori tentang fenomena yang diamati, diuraikan oleh Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam

Dalam dokumen Kybernologi dan Metodologi Metodologi Il (Halaman 46-51)

Dokumen terkait