• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kybernologi dan Metodologi Metodologi Il

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kybernologi dan Metodologi Metodologi Il"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Kybernologi dan Metodologi:

Metodologi Ilmu Pemerintahan

(2)

Tulisan ini merupakan versi elektronik dari versi cetaknya. Tidak untuk diperjual-belikan

(3)

DENGAN KATA SAMBUTAN REKTOR IPDN PROF. DR Drs H. I NYOMAN SUMARYADI, MSi

DITERBITKAN UNTUK

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (IPDN) OLEH SIRAO CREDENTIA CENTER (SCC)

BEKERJASAMA DENGAN

(4)

PENGANTAR

Buku berjudul Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan

sejauh ini merupakan himpunan tulisan paling tipis di antara seri Kybernologi sebelumnya. Bab I Metodologi Ilmu Pemerintahan ditulis memenuhi permintaan Direktur Program Pascasarjana (PPs) Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof. DR Tjahya Supriatna, SU, melalui surat tgl 17 Desember 2009

No. 4235/256/AK/PPS/09 tentang Kesediaan Menyusun Silabi Mata Kuliah Program S3, S2, dan Profesi Kepamongprajaan IPDN. Silabi dua matakuliah lainnya, yaitu Kybernologi dan Kepamongprajaan, telah terbit dengan judul GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan (2009).

Dalam draft kurikulum di lingkungan PPs IPDN, matakuliah Ilmu Pemerintahan sebagai core curriculum program, ditulis Ilmu Pemerintahan (Kybernologi), mengingat nama Kybernologi belum dikenal di lingkungan birokrasi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan penghadiran Kybernologi seperti itu terlihat posisi Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di PPs IPDN pada dua hal: 1. Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada PPs IPDN adalah Ilmu

Pemerintahan yang body-of-knowledge (BOK)-nya Kybernologi, bukan Ilmu Pemerintahan yang merupakan bagian BOK Ilmu Politik

2. Derajat akademik BOK Kybernologi berkualitas akademik utuh dan bulat, yaitu berderajat S1 (Sarjana), S2 (Magister), dan S3 (Doktor)

Oleh sebab itu, buku Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan

ini diterbitkan untuk IPDN oleh Sirao Credentia Center (SCC), sebuah penerbit nirlaba yang berkedudukan di Tangerang, bekerjasama dengan Yayasan

(5)

DR Ir A. Asri Harahap, SE, MM, atas kerjasama yang baik dengan Direktur SCC Pdt Pramudianto, STh, SE, MMin.

Bertemu Prometheus” merupakan bab penutup Metodologi Ilmu Pemerintahan (Rineka Cipta, 1997). Prometheus adalah seorang tokoh mitologi Junani. Menurut Edith Hamilton dalam Mythology (1957), istri Uranus (Heaven) bernama Gaea (Earth) melahirkan beberapa anak, salah seorang bernama Ocean. Istri Ocean bernama Tethya melahirkan Iapetus. Iapetus mempunyai tiga anak, Prometheus (Forethought), Atlas, dan Epimetheus (Afterthought) yang tanpa berpikir panjang menikahi Pandora.

Di zaman itu, Zeus (terhitung paman Prometheus) berkuasa di Olympia, tempat bersemayam para Dewi dan Dewa. Zeus beristri duabelas. Dari Maia istrinya yang kedelapan, yang tinggal di gua Gunung Cyllene di Arcadia, Zeus memperoleh bayi ajaib, licik, cerdik, kuat dan dalam hal musik, berbakat, Hermes namanya. Zeus terlihat memerintah dengan “baik.” Populer. Lihat saja. Suatu saat dia memanggil Hermes dan mengeluarkan titah: “Turunlah ke bumi, bawa dan anugerahkanlah kehormatan (reverence) dan keadilan (justice) kepada manusia untuk digunakan sebagai asas kehidupan di bawah Olympia.” Hermes yang memang cerdas

bertanya: “Bagaimana cara mendistribusi kedua nilai itu kepada manusia, apakah misalnya sebagaimana halnya seni, hanya kepada beberapa orang yang berbakat, derajat hanya kepada kaum ningrat, atau keterampilan hanya kepada kalangan cerdik cendekia? Atau kuberikan kepada semua orang?” “Kepada setiap orang!” Zeus tegas. “Aku berkenan melihat setiap orang memiliki kedua nilai luhur

tersebut.” Mendengar berita tentang anugerah itu manusia bersukacita, gempar di mana-mana, gemuruh bertempik sorak. Baliho-baliho raksasa terpampang dengan tulisan: “Hidup Olympia, Zeus Demokrat Sejati, Zeus pemimpin besar!”

Namun apa sesungguhnya yang terjadi? Sambil makan ambrosia dan minum

(6)

kehormatan dan berhak mengejari keadilan, dan oleh sebab itu, layak didengar. Keinginan Prometheus untuk berbagi api, sumber kehidupan, dengan Zeus, tidak digubris. “Tidak ada aturannya,” sahut Hermes. “Zeus tidak punya agenda untuk membahas hal itu,” lanjutnya sambil mencibir.

Maka suatu ketika di musim hujan seperti ini (140110), kendatipun sadar bahwa sepandai-pandai tupai meloncat, sesekali terpelesat jua, suatu waktu ulahnya ketahuan karena mata-mata Zeus mengintai di mana-mana, telefon siapa saja disadap, facebook dibungkam, bisa-bisa ia ditangkap dan dihilangkan tanpa bekas, Prometheus sudah tunggang tak tertahankan dan beraksilah dia. Bumi kembali gempar, bukan oleh Hermes tetapi oleh Prometheus: “Prometheus stealing

heavenly fire, Theseus slaying the Minotaur, Hercules straining under his Twelve Labors, Jason seeking the Golden Fleece,” demikian Rouse kembali memberi kesaksian di sampul belakang bukunya. Separatis! Pelanggaran! Tangkap!

Hilangkan! Sebuah jeritan panjang memilukan disertai erangan menyayat jiwa dari mulut Prometheus yang dipaku di pegunungan batu bernama Caucasos, dan

kepakan dahsyat sayap burung rajawali yang mengoyak isi perut Prometheus dengan paruhnya yang tajam sehingga memburai di angkasa, menyentakkan penulis dari lamunannya, kembali di dunia nyata.

Rasa-rasanya Indonesia sekarang mirip Olympia dengan Zeus dan jaringan

hermesiannya. Oleh sebab itu Prometheus dijadikan gambar halaman depan buku Kybernologi ini, Generasi promethean, bangkitlah!

Jakarta, 14 Januari 2010

(7)

KATA SAMBUTAN

REKTOR INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Pada tgl 22 Mei 2003, Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) meluncurkan satu produk akademik bernama Kybernologi. Kybernologi adalah sebuah bangunan

pengetahuan (body-of-knowledge, BOK) pemerintahan (governance). Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge) hasil rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan

Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan, tidak pada sudutpandang kekuasaan, dan pengaitannya dengan

sudutpandang lain yang berbeda, misalnya sudutpandang kekuasaan Bestuurskunde (Belanda besturen) yang kemudian berkembang menjadi

Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen, di negeri asalnya yaitu Belanda, didefinisikan sebagai “. . . ilmupengetahuan yang bertujuan memimpin hidupbersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya, tanpa merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene Inleiding tot de

Bestuurskunde (1953). Bangunan BOK Bestuurswetenschap di masa itu di negeri asalnya berderajat akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program

pendidikannya dianugerahi gelar Doktor.

Melalui proses pembelajaran Program S1, S2 dan S3 sejak tahun 1994 (antara lain bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran), BOK tersebut kini di Indonesia telah mencapai derajat keilmuan tertinggi yang utuh dan lengkap, seperti terlihat dalam buku GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan yang terbit tahun lalu. Esensi sisi Ontologi dan Epistemologi Kybernologi adalah MetodologiIlmu

Pemerintahan, sementara sisi Axiologinya berkembang menjadi satu bidangkajian dan program diklat baru bernama Kepamongprajaan. Perkembangan akademik ini langsung mendukung kebijakan baru Pemerintah yang menetapkan IPDN sebagai Penyelenggara Sistem Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan

berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009. Dengan demikian

Kybernologi bukan hanya judul seri buku yang terbit sejak tahun 2003, melainkan sebuah BOK yang terus berkembang.

Penerbitan buku ini memperkaya khazanah pustaka Ilmu Pemerintahan yang masih terhitung langka di Indonesia. Buku ini diharapkan menjadi pegangan bagi

(8)

Pemerintahan (Kybernologi) melalui Tridharma Perguruan Tinggi: pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dalam rangka membangun pemerintahan Indonesia yang maju dan berkelanjutan.

(9)

DAFTAR ISI

I METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN

1 Pengertian . . . 1

2 Hubungan Metodologi Dengan Filsafat Ilmu . . . 6

3 Bahan Baku BOK: Data . . . 8

4 Bahan BOK: Konsep. . . 10

5 Jarak Konseptual . . . 14

6 Hubungan Antar Konsep. . . 16

7 Bahan BOK: Teori . . . 18

8 Bahan BOK: Objek Materia dan Objek Forma . . . 28

9 Bahan BOK: Verstehen . . . 36

10 Bahan BOK: Objek dan Subjek, Waktu dan Ruang . . . 49

11 Konstruksi BOK: Roh dan Raga . . . 52

12 Konstruksi BOK: Beberapa Pertimbangan. . . 59

13 Konstruksi BOK: Pertanyaan . . . 63

14 Konstruksi BOK: Jawaban Kualitatif . . . 72

15 Konstruksi BOK: Jawaban Kuantitatif. . . 80

16 Konstruksi BOK: Jawaban Kombinatif . . . 85

17 Konstruksi BOK: Jawaban Normatif . . . 89

18 Every Science Begins as Philosophy . . . 90a II PEMERINTAHAN YANG BERKELANJUTAN DAN KEKUATAN OPOSISIONAL 1 Pemerintahan Yang Berkelanjutan. . . 91

2 Kekuatan Oposisional . . . 92

3 Mengembangkan Loyal Opposition . . . 96

4 Dampak Akademik Gagasan Pemerintahan Berkelanjutan. . . 96

5 Ringkasan. . . 97

III PERANAN CAMAT DALAM MANAJEMEN SUMBERDAYA DAERAH 1 Otonomi Daerah . . . 99

2 Kebijakan Pemerintahan Daerah. . . 101

3 Hubungan Antar Sumberdaya. . . 102

4 Tugas Camat. . . 105

5 Manajemen Sumberdaya . . . 105

(10)

IV TEORI SOSIAL

1 Kurikulum Program Pascasarjana IPDN

Berbasis Apa?. . . 108 2 Basis Sistem (Bangunan) Kurikulum. . . 109 3 Teori Sosial . . . 111

V LAGI-LAGI FAKTOR DAN DIMENSI

1 Indicators and Dimensions. . . 113 2 Faktor dan Dimensi . . . 113

VI PENYELENGGARAAN LABORATORIUM LAPANGAN

ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (DI) KABUPATEN WONOSOBO

1 Dasar Pemikiran. . . 116 2 Desain Penyelenggaraan . . . 117 3 Formulir Ujicoba . . . 118

(11)

METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN (MIP)

Taliziduhu Ndraha, Kybernolog

1

PENGERTIAN

Yang dimaksud dengan Ilmu Pemerintahan di sini adalah Kybernologi. Kybernologi disebut juga Ilmu Pemerintahan Baru. Apakah Kybernologi itu? Menurut Pasal 3 Deklarasi Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, “Setiap Orang Berhak Atas Kehidupan, Kebebasan, dan Keselamatan Sebagai Individu” warga suatu masyarakat. Untuk bisa hidup, manusia membutuhkan alat atau bahan yang mendukung kehidupannya, seperti makanan, minuman, udara segar,

ketertiban, keadilan, kedamaian, dan sebagainya. Alat atau bahan itu disebut

bernilai (bermanfaat, berguna, bermakna). Pada zaman dahulu kala, nilai diperoleh langsung dari alam, tetapi lama-kelamaan harus melalui usaha pengolahan

sumberdaya, penggunaan teknologi, dan penciptaan. Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan nilai di dalam suatu masyarakat membangun subkultur masyarakat yang disebut subkultur ekonomi (SKE). SKE berfungsi membentuk, menambah dan mencipta nilai melalui kerja. Sayang sekali, timbul masalah. Kualitas sumberdaya, distribusi (pemilikan), kesempatan, dan

kemampuan mengolahnya berbeda-beda dan tidak merata, sehingga pada suatu saat di mana-mana terdapat ketimpangan (kesenjangan). Ada masyarakat yang memiliki nilai dalam jumlah besar (sangat kaya) dan ada yang nyaris tidak memilikinya (sangat miskin). Kondisi ini oleh naluri kemanusiaan dan

persaudaraan dianggap tidak adil. Konflik sosial yang berlarut-larut yang merusak masyarakat itu sendiri sering terjadi. Untunglah, masyarakat memiliki naluri

penyesuaian dan penyelamatan diri melalui berbagai cara untuk mengatasi masalah di atas, antara lain dengan membuat dan menyepakati norma-norma sosial yang mengatur perilaku warga masyarakat sehingga ketimpangan nilai semakin berkurang dan rasa keadilan sosial antar warga masyarakat meningkat. Tetapi rupanya kesepakatan saja tidak cukup. Norma-norma sosial perlu ditaati,

ditegakkan, dan jika perlu dipaksakan dengan kekuatan bahkan kekerasan. Upaya penegakan sebagian norma-norma sosial tersebut melahirkan subkultur lain yang disebut subkultur kekuasaan (SKK). Pelaku atau pemeran SKK adalah

(12)

alat, ia pada hakikatnya tidak dapat dan tidak mau mengontrol dirinya sendiri. Pemangku kekuasaan cenderung menempuh jalan pintas yang disebut korupsi, mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan kekuasaan dan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, kekuasaan harus dikontrol.

Siapa atau lembaga apa yang berfungsi mengontrol kekuasaan? “Jangan beli kucing dalam karung,” demikian kearifan sosial kita. “Pembeli kucing” yang membuka karung pada saat transaksi terjadi (di hilir) adalah masyarakat dalam kualitasnya sebagai pelanggan. Sudah barang tentu, jauh sebelum ada larangan itu, ada aturan (di hulu) yang menyatakan bahwa penjual harus membuka karungnya dan memberi kesempatan kepada pelanggan untuk memeriksa isinya. Pembuat aturan itu adalah masyarakat juga tetapi dalam kualitasnya sebagai konstituen. Jadi masyarakat berfungsi mengontrol SKK di hulu melalui pembuatan peraturan, dan di hilir melalui pemantauan dan evaluasi (monev). Konsekuensinya,

masyarakat menuntut pertanggungjawaban SKK atas penyelenggaraan fungsi-fungsinya. Kepercayaan masyarakat kepada SKK bergantung pada

pertanggungjawaban tersebut. Usaha masyarakat untuk berperan mengontrol SKK di hulu dan di hilir, yang berdampak pada tingkat kepercayaannya kepada

pemerintah, membentuk subkultur sosial (SKS) di dalam masyarakat.

Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance), bukan “kepemerintahan.” Interaksi itu menghasilkan kinerja pemerintahan. Jika kinerja pemerintahan itu berkualitas good, maka pemerintahan yang bersangkutan disebut

good governance. Jika tidak, bad governance. Interaksi berulang dan terjadi di mana-mana antar subkultur masyarakat membentuk fenomena pemerintahan. Fenomena itu merupakan kancah pengkajian bersama (common platform, landasan bersama, objek materia bersama) berbagai ilmupengetahuan. Landasan bersama itu mempunyai banyak sudut (sudutpandang). Setiap pengkajian (penelitian) mendarat pada sudut yang berbeda-beda yang disebut objek forma pengkajian. Ilmu Politik misalnya mendarat pada sudut kekuasaan. Bestuurskunde yang masuk di Indonesia sejak awal abad ke-20, sekitar medio abad yang sama didaratkan pada sudut Ilmu Politik, sehingga sampai sekarang apa yang disebut “Ilmu Pemerintahan” oleh banyak kalangan dianggap (hanya) merupakan salah satu kajian Ilmu Politik, atau sebagian aksiologinya.

Bestuurskunde (Belanda besturen) yang kemudian berkembang menjadi

(13)

sebesar-besarnya, tanpa merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (1953). Jadi sejak awal, Bestuurswetenschap itu

lahir di sudut (ke)manusia(an), bukan di sudut kekuasaan. Bangunan ( body-of-knowledge, BOK) Bestuurswetenschap di masa itu di negeri asalnya berderajat akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program pendidikannya dianugerahi

Gambar 1 Pemerintahan (Governance): Interaksi Antar SKE, SKK, dan SKS Angka-angka Menunjukkan Rute Pemerintahan

Bencana nasional yang terjadi pada tahun 1965 membawa kesadaran baru bahwa ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara. Kesadaran baru ini

mendorong usaha pendaratan-kembali Bestuurswetenschap, Bestuurswetenschap,

dan Bestuurswetenschappen di Indonesia pada sudutpandang yang berbeda, tidak pada kekuasaan seperti di masa lalu tetapi pada (ke-) manusia (-an), yaitu habitat yang melahirkannya di negeri asalnya, dan merekonstruksi hasil-hasilnya.

Rekonstruksi tersebut berlangsung senyap, tidak gegap, tetapi pasti, terlebih setelah bencana nasional tahun 1998, disusul bencana nasional 2004-2005. Hasil rekonstruksi buah pendaratan itu pada tgl 8 Mei 2000 diberi nama Kybernologi

(14)

diberi akhiran –logy, -logi) dan diluncurkan oleh Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta pada tgl 22 Mei 2003. Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge) hasil rekonstruksi buah pendaratan

Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan, tidak pada sudutpandang kekuasaan, dan pengaitannya dengan sudutpandang lain yang berbeda, misalnya sudutpandang kekuasaan (Gambar 2).

PENDEKATAN MENGGUNAKAN KACAMATA KEKUASAAN/

KEWENANGAN

sudut pendekatan

PENDARATAN BANGUNAN UTUH, BESTUURSKUNDE, LENGKAP,BERDERAJAT BESTUURSWETENSCHAP & su- FENOMENA AKADEMIK STRATA

BESTUURSWETENSCHAPPEN dut PEMERINTAHAN SATU, DUA, & TIGA, DENGAN MENGGUNAKAN pen- RUANG PENDA- HASIL REKON- KACAMATA KEMANUSIAAN da- RATAN BERSAMA STRUKSI BUAH PEN- HAK ASASI MANUSIA (HAM) ratan SEMUA PENELI- DARATAN, DAN

DAN LINGKUNGAN TIAN DIBERI NAMA DI BUMI INDONESIA KYBERNOLOGI

KONSTRUKSI HASIL PENDEKATAN KACAMATA KEKUASAAN/KEWENANGAN TERHADAP FENOMENA PEMERINTAHAN DISEBUT “ILMU PEMERINTAHAN” SEBAGAI BAGIAN ILMU POLITIK

Gambar 2 Dua Cara Pendekatan Terhadap, dan Pendaratan Pada Fenomena Pemerintahan

Perbedaan antara Ilmu Pemerintahan sebagai bagian Ilmu Politik dengan Kybernologi, dapat dibaca dalam Bab I dan Bab II Kybernologi: Sebuah

(15)

Istilah methodologyterdiri dari methodos dan logos. Methodos berasal dari meta

dan hodos. Meta berarti beyond, “di luar sana,” yang belum diketahui (unknown), sedangkan hodos berarti jalan, cara, atau alat. Jadi metodologi adalah jalan (cara, alat) yang ada (known) yang perlu ditempuh (digunakan) oleh seseorang (knower) untuk mengetahui (knowing) sesuatu yang belum diketahui. Knowing

menghasilkan pengetahuan (knowledge). Menurut Fred N. Kerlinger dalam Bab I

Foundations of Behavioral Research (1973), ada empat cara (methods of) knowing,

yaitu the method of tenacity, the method of authority, the method of intuition (a priori method), dan the method of science. Dilihat dari sudut the method of

science, Metodologi Ilmu adalah metodologi yang didasarkan pada hipotesis-dasar berbunyi: “There are real things, whose characters are entirely independent of our opinion about them.” Bagian sesuatu yang belum diketahui yang bisa diketahui disebut sesuatu yang dapat diketahui (knowable), sedangkan bagian yang

selebihnya meliputi bagian yang belum diketahui dan bagian yang tidak dapat diketahui (unknowable). Hubungan antara bagian yang diketahui dengan bagian yang tidak diketahui itu ialah, semakin diketahui, semakin tidak diketahui.

KNOWER | |

KNOWN--->KNOWING--->KNOWABLE--->UNKNOWABLE--->? | |

| | ---KNOWLEDGE<---

Gambar 3 Metodologi Ilmu

Metodologi meliputi tiga komponen, yaitu Metodologi Penelitian, Metodologi Ilmu, dan Metodologi Pengajaran. Walaupun masih dapat diperdebatkan,

Metodologi Penelitian terdiri dari Metodologi Penelitian Kualitatif dan Metodologi Penelitian Kuantitatif. Setiap disiplin ilmu memiliki metodologinya sendiri. Jadi ada Metodologi Ilmu Politik, Metodologi Ilmu Sosial, dan Metodologi Ilmu Hukum, dan seterusnya. Ilmu Pemerintahan memiliki Metodologi Ilmu Pemerintahan. Metodologi Pengajaran menyangkut dua hal pokok, Didaktik Pengajaran tentang bahan-ajar, dan Metodik Pengajaran tentang cara-ajar.

(16)

2

HUBUNGAN METODOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU

“Every science begins as philosophy and ends as art, it arises in hypothesis and flows into achievement. Philosophy is a hypothetical interpretation of the unknown (as in metaphysics), or of the inexactly known (as in ethics or political

philosophy); it is the front trench in the siege of truth. Science is the captured territory; and behind it are those secure regions in which knowledge and art build our imperfect and marvelous world,” demikian Will Durant dalam The Story of

Philosophy (1956). Filsafat Ilmu meliputi tiga hal. Pertama Ontologi (ontologia, cabang Metafisika; Metafisika sendiri mempelajari the nature of existence), yaitu sistem pemikiran tentang hakikat sesuatu objek pengetahuan. Sutan Takdir

Alisjahbana (STA) dalam Pembimbing KeFilsafat I Metafisika (1952) menggambarkan hakikat itu sebagai Serbatunggal dan Serbaganda (Bab IV), Serbazat (Bab V) dan Serbaroh (Bab VI), Serbadua dan Serba(e)sa Bab VII), Serbasawat dan Serbatuju (Bab IX), Serbatentu dan Serbataktentu (Bab X).

Hakikat lainnya terlihat pada Bab VIII berjudul Perhubungan Sebabakibat. Dalam bab itu STA berpendapat segala sesuatu serbahubung, khususnya hubungan kausal. Pada suatu saat suatu hal merupakan akibat dari sesuatu, pada saat lain hal yang sama menjadi sebab terjadinya sesuatu yang lain pula.

Kedua, Epistemologi (epistēmē, pengetahuan). Epistemologi di sini meliputi apa yang oleh M. J. Langeveld dalam Menuju KePemikiran Filsafat (1957) disebut Logika (Bab IV) dan Teori Pengetahuan (Bab V). Ia memasukkan Metodologi

dalam Logika. Epistemologi adalah sistem pemikiran tentang “tau,” “mungkin tau,” “tidak tau,” dan “bagaimana mengetahui sesuatu.” Kebenaran sebagai carian Epistemologi dibahas oleh Langeveld dalam Bab III bukunya.

Ketiga, Axiologi (dari áxio, bernilai, berharga) yaitu Teori Nilai meliputi Etika, Estetika, Kepercayaan, dan sebagainya (Bab VII Langeveld). Oleh sebab itu, sementara Epistemologi membentuk faktor “tau,” Epistemologi membangun kekuatan “mau” dan “mampu” dalam diri manusia.

Gambar 4 menunjukkan hubungan antara tiga liputan Filsafat Ilmu tersebut.

Gambar 4 juga menunjukkan bahwa Metodologi meliputi Metodologi Penelitian,

Metodologi Ilmu, dan Metodologi Pengajaran, dengan ruang lingkup masing-masing. Metodologi Penelitian (Research) mempelajari bagaimana menemukan pengetahuan dari hasil pengamatan terhadap fakta melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, Metodologi Ilmu mempelajari bagaimana mengonstruksi

(17)

--KUALITATIF--- membangun hidup-bersama manusia dalam damai sejahtera. Hubungan antar tiga

(18)

metodologi itu lebih lanjut ditunjukkan dalam Gambar 5.

3

BAHAN BAKU BOK: DATA

Data berasal dari kata datum (tunggal) dan data (jamak), dari dare, a thing given, individual fact. Fact adalah the quality of existing, or of being real. Factum, facere, to do. Fakta adalah kualitas keberadaan sesuatu, misalnya fenomena, kejadian, peristiwa, atau keadaan. Data berfungsi sebagai:

1. Bahan baku dan juga sebagai bahan bangunan. Tanah liat adalah bahan baku pembuatan batubata, sementara batubata merupakan bahan bangunan.

2. Bahan baku untuk diolah menjadi informasi. Salah satu bentuk informasi adalah masalah pemikiran. Masalah pemikiran adalah sesuatu yang mendorong atau membuat orang berfikir, yaitu keingintahuan (curiosity). 3. Jawaban faktual terhadap masalah pemikiran, terutama pemikiran

berpendekatan kualitatif

4. Bahan mentah pengujian empirik terhadap hipotesis 5. Alat untuk memaparkan suatu hal secara deskriptif

6. Alat pendukung permasalahan pemikiran (dari dalamnya dimunculkan masalah pemikiran)

7. Temuan penelitian

8. Bahan mentah untuk analisis statistik

Gambar 5 menunjukkan bahwa fakta direkam (ditangkap) dengan alat yang disebut konsep (concept). Perekaman fakta dapat dilakukan dalam beberapa cara: 1. Perekaman suatu fakta begitu terjadi (begitu “keluar dari sembernya”) tanpa menggunakan konsep tertentu (belum diketahui atau belum ada konsepnya) melainkan merekam apa adanya dengan alat (bahasa, simbol, gambar, ungkapan, dsb) yang ada, sedalam-dalamnya, kualitas serinci-rincinya dikenal. Supaya hal itu terjadi, fakta yang direkam haruslah terarah (focused) dan seterbatas mungkin (kasus). Hasilnya adalah data kualitatif “murni”

2. Perekaman fakta dengan menggunakan konsep tertentu yang sudah ada. Penggunaan konsep tertentu untuk merekam suatu fakta dimungkinan bila fakta keluar dari sumber yang terjadi berulang-ulang atau terdapat di mana- mana, sehingga leluasa untuk mendeduksi konsepnya dari konsep yang sudah ada. Hasilnya adalah data semi-kualitatif

(19)

artinya alat itu mengukur apa yang dapat diukurnya: kunci roda untuk

membuka roda dan bukan tang, gram untuk mengukur berat dan bukan liter. Reliable artinya penggunaan alat ukur valid yang sama memberikan hasil yang sama walau digunakan untuk objek, waktu, dan tempat yang berbeda- beda. Hasilnya adalah data kuantitatif.

Dari keterangan di atas diketahui bahwa akurasi data bergantung pada

1. Kemampuan untuk merekam suatu fakta sedalam-dalamnya sebagaimana adanya pada saat “keluar dari sumbernya”

2. Validitas dan reliabilitas konsep sebagai alat perekaman dan pengukuran fakta

3. Kelengkapan atau kebulatan data tentang suatu hal. Setiap fakta harus dapat direkam dan diukur pada dan dari segala segi sepanjang waktu tertentu (time series) sehingga perubahan-perubahannya diketahui

Dimensi-dimensi data:

1. Waktu, kemutakhiran, urutan data menurut waktu, dan periode data (time series)

2. Lokasi atau setting terjadinya fakta yang hendak direkam 3. Kejelasan sumbernya

4. Kejelasan substansi fakta (tentang apa) 5. Relevansi data dengan pokok pemikiran 6. Kompatibilitas data dengan data lainnya 7. Faktualitas (factuality)

8. Akurasi, reliability

9. “Bersih,” “kebersihan” data, artinya bebas-cacad, bebas salah-ketik, salah ejaan, salah bahasa, dsb)

10. Keamanan data

11. Kemudahan (aksesibilitas, servabilitas) untuk pelanggan 12. Validitas data

13. Status data (database, dokumen, rahasia, terbatas, dsb)

Jenis-jenis data sebagai berikut:

1. Data Orisinal, yaitu data hasil rekaman terhadap suatu fakta buat pertama kalinya. Di satu fihak, data orisinal bernilai tinggi, mengingat

(20)

tetapi di fihak lain bernilai rendah, karena biasa ketinggalan zaman (out-of- date)

3. Data Primer yaitu data “kasar” (raw data) yang belum diolah 4. Data Sekunder adalah data olahan dari data primer.

5. Data Kualitatif adalah data hasil perekaman sekenal dan sebulat mungkin seluruh kualitas suatu fakta sebagaimana adanya pada saat “keluar dari sumbernya,” dengan alat rekam yang ada, terutama pengamatan dan pengalaman

6. Data Kuantitatif adalah data hasil rekaman fakta dengan menggunakan konsep atau konsep-konsep tertentu sebagai alat rekam dan alat ukur. 7. Data Berulang adalah hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi keulangannya, misalnya upacara ulang tahun kemerdekaan

8. Data Sekalilalu, yaitu hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi kesekalilaluannya, misalnya upacara ulang tahun kesepuluh

9. Data Kontinyu (continuous data). Disebut demikian jika di antara dua nilai dapat disisipkan nilai lain, Misalnya usia. Di antara usia 14 dan 15 tahun secara teoretik dapat disisipkan usia 14⅛ tahun

10. Data Diskrit (discrete data). Disebut demikian jika di antara dua nilai tidak bisa disisipkan nilai lain. Misalnya jumlah anak. Jumlah anak dalam sebuah keluarga bisa 2 dan bisa 3, tetapi tidak mungkin 2⅓ anak

Database bukan sekedar bahan baku tetapi bisa jadi bahan bangunan. Data berkualitas database jika data itu definitif, terstandardisasi, dan merupakan referensi buat data lainnya. Misalnya data kependudukan.

4

BAHAN BOK: KONSEP (CONCEPT)

Konsep bukan konsepsi dan bukan draft.Konsep adalah pengertian. Sebuah

pengertian bisa terdiri dari beberapa kata atau kalimat. Di satu fihak, konsep adalah satuan pengetahuan, dan di fihak lain konsep adalah alat untuk merekam,

“menangkap” atau “menjaring” suatu fakta (Gambar 5) pada suatu saat. Menurut kamus, konsep (concept) adalah “an idea or something formed by mentally

(21)

Research: Teori, Metodologi, Administrasi I (1985, h. 22).

Tiap konsep memiliki kualitas (characteristic, property, attribute) tertentu, yang dapat diukur atau dapat diamati. Kualitas adalah isi suatu konsep. Dalam buku-buku tentang metodologi biasanya nilai (value) yang dianggap sebagai isi suatu konsep. Dalam Kybernologi, kualitas dibedakan dengan nilai dan norma. Tiap konsep mengandung minimal satu kualitas. Konsep “buku” berkualitas satu

bersifat abstrak, tidak terukur atau tidak dapat diidentifikasi dengan tepat. Contoh,

FAKTA

---observasi--- | | |

| khusus | | | |

| BUKU TULIS | | | | | --- | | | | | | --- --- | | BUKU TULIS ---| BUKU | | TULIS |--- | | | | --- --- | | | | | | | | | | | | per- per- | | |---BUKU LAIN---BUKU---konsep---umum---sama beda---diabstraksikan | | | | an an | | | | | | | | | | | | --- --- | | | BUKU GAMBAR ---| BUKU | | GAMBAR |--- | | --- --- | | | | | | --- | | | | | BUKU GAMBAR |

| | | | khusus |

| | | ---observasi--- FAKTA

Gambar 6 Proses Abstraksi

jika di atas meja terletak sebuah buku tulis dan sebuah buku gambar yang tentu saja berbeda, dan seseorang disuruh mengambil buku, maka ia tentu saja sedikit banyak ragu-ragu, buku mana yang dimaksud di antara dua buku yang ada.

Berbeda halnya jika yang bersangkutan disuruh mengambil buku gambar (konsep berkualitas dua), keragu-raguan itu hilang. Semakin lengkap kualitas suatu

(22)

perilaku ditimbang disepakati

-->KONSEP--->KUALITAS--->NILAI--->NORMA | bisa dipaksakan (N) | | | | | feedback N<H dimonitor ditegakkan | ---N=H<---HASIL--- feedforward N>H dievaluasi (H) diterapkan

Gambar 7 Hubungan Antar Kualitas, Nilai dan Norma

Definisi konsep diambil dari teori atau sumber tertentu, dan sedapat-dapatnya tidak dari kombinasi berbagai teori atau sumber. Sebab pengombinasian definisi dari berbagai sumber tidak bisa langsung digunakan, harus diuji dulu. Juga tidak dari suatu kebijakan, undang-undang, atau peraturan, karena ketiganya bukan teori. Yang menyatakan sesuatu itu definisi konsep(tual) seharusnya penulis sumbernya, bukan peneliti. Formula sebuah definisi tidak boleh tautologik seperti A = A yang B, melainkan A = B yang C (ref. Irving M. Copi, Introduction to Logic, 1959, Chapter Four). A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Misalnya “segitiga (definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus

(definiens).”

Bagaimana jika fenomena yang diteliti merupakan fenomena baru atau langka, belum diteliti secara akademik, atau belum ada definisinya? Misalnya fenomena kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami. Katakanlah, konsep

“kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami” itu belum ada. Jika konsep yang ada hanya definisi konsep “kepemimpinan,” maka harus dibentuk

(dirumuskan) definisi konsep “kepemimpinan kepala desa,” dan selanjutnya definisi konsep “kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami.” Proses pembentukan konsep baru ini disebut conceptualization (konseptualisasi). Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep (baru) dengan memasukkan kualitas (karakteristik) yang baru ke dalam konsep yang ada bersama

karakteristiknya, sehingga definisi konsep yang baru dapat dirumuskan. Jadi dalam definisi konsep kepemimpinan dimasukkan (ditambahkan) karakteristik

(23)

Kerlinger menarik perbedaan dan hubungan antara concept dengan construct. Jika

concept diumpamakan unsur bangunan tertentu, sebuah komoditi, misalnya sebuah kipas angin, maka construct adalah kipas angin yang sama yang telah dipasang di dinding atau langit-langit sebuah kamar dan menjadi bagian integral seluruh bangunan. Jadi construct adalah concept yang telah digunakan menjadi bagian integral bangunan yang lebih besar. Dalam hubungan ini BOK. Besar

kemungkinan, komoditi itu dimodifikasi atau dipesan khusus hanya untuk bangunan terkait. Bisa juga, konsep yang terbentuk di lingkungan sebuah

bangunan dengan fungsi tertentu, digunakan untuk bangunan lain dengan fungsi yang berbeda.

Konsep yang nilai kualitasnya bervariasi, disebut variabel (variable). Misalnya salah satu kualitas konsep PNS adalah kesetiaan. Nilainya bervariasi, berkisar antara 0 dengan 100. Jadi setelah ditimbang, diberi nilai 50 atau 80. Namun demikian yang disepakati dan ditetapkan sebagai nilai minimal (norma) untuk dapat dijadikan sebagai bahan pengusulan promosi adalah 91 (“passing grade”).

(24)

5

JARAK KONSEPTUAL

Definisi konsep berfungsi menunjukkan dimensi-dimensi konsep. Pada gilirannya definisi operasional dibuat berdasarkan definisi konsep. Definisi suatu variable

X Z Y

Gambar 8 Interface antara X dengan Y

menunjukkan dimensi-dimensi variabel yang bersangkutan. Fungsi definisi konsep yang lebih pelik adalah fungsinya dalam menemukan jarak konseptual. Misalnya jarak konseptual antara kepemimpinan (X) dengan komunikasi (Y). Semakin banyak dimensi komunikasi yang bersentuhan atau sama dengan dimensi

X---<---Z--->---Y

Gambar 9 XY Jarak Konseptual; Z minimal Nol

(25)

konseptual = nol. Pada kondisi itu, konstruksi hubungan eksternal antar konsep tidak valid. Pemikiran dianggap valid jika Z minimal lebih besar daripada nol (Gambar 9), tetapi tidak “tidak terhingga.” “Tidak terhingga” sama dengan nol.

X1 goals--- | X2 standards---| | X3 feedback---| |

VARIABEL X X4 opportunity----|--->performance VARIABEL Y |

X5 means---| | X6 competence---| | X7 motive---

Gambar 10 Model Performance Dengan Sufficient Factors Lengkap Menurut Clay Carr (1994)

Konsep “jarak konseptual” dibentuk seperti konstruksi konsep “jarak social” dalam Sosiologi atau “jarak kekuasaan” dalam Ilmu Politik. Jarak konseptual

menunjukkan tingkat atau derajat (variabilitas) keeratan hubungan antara dua atau lebih konsep, dekat atau jauh. Jika hubungan itu bersifat kausal atau pengaruh,

---contingent factors--- | | |

X---Z1---Z2---Z3---Y | | | | | --->X1 GOAL--->ACTIVITY--->OPPORTUNITY-->STANDARD-->PERFORMANCE | X7 MOTIVE TIME, SPACE PROCEDURE | | X6 COMPETENCE X4 X2 | | X5 MEANS | | | ---FEEDBACK<---EVALUASI<---PELANGGAN<--- X3 = Z4

X--->Y jembatan, objek penelitian; Z1, Z2, Z3, Z4, contingent factors

(necessary factors), tiang penyangga yang menerangkan bagaimana X

mempengaruhi Y atau bagaimana Y bergantung pada X. Untuk menjadikannya model sirkuler, ditambahkan activity, pelanggan, dan evaluasi sebagai contingent factors baru. Dalam hubungan itu, feedback adalah Z4. Factor Z tidak bisa diepsilonkan semuanya; jika X1 dan X7 diteliti, yang bisa dijadikan epsilon hanya X5 dan X6. Jadi “epsilonisasi” variable itu tidak boleh sembarangan atau suka-suka!

(26)

maka semakin dekat hubungan (semakin pendek jarak) antara X dengan Y, maka semakin langsung pengaruh X terhadap Y, semakin pendek “jembatan” antara X dengan Y, dan semakin tidak diperlukan tiang penyangga (Z) antara keduanya. Sudah barang tentu, semakin ringan pula masalahnya. Antara “makan” dengan “kenyang,” tidak ada yang perlu dipertanyaan, karena jika makan cukup, pasti kenyang, lihat Gambar 10. Sebaliknyalah yang terjadi bilamana hubungan itu semakin jauh (Gambar 11).

Untuk menemukan jarak konseptual, diperlukan definisi konsep, dan dari definisi konsep dapat diketahui dimensi-dimensi, baik dimensi X maupun dimensi Y. Derajat kedekatan antara dimensi X dengan dimensi Y itulah yang menunjukkan hubungan antar konsep sebagai dasar rekonstruksi teori. Baca Bab XIII

Kybernologi Sebuah Profesi (2007) dan Bab IX Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008

6

HUBUNGAN ANTAR KONSEP

Hubungan antar fenomena sejajar dengan hubungan antar konsep X dengan Y beserta model-modelnya (beberapa di antaranya, ref. Peter Hagul, Chris Manning, dan Masri Singarimbul, “Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar Variabel,” dalam Masri Singarimbul dan Sofian Effendi, peny. Metode Penelitian Survai, 1982). Hubungan itulah yang harus diamati, diuji atau dibuktikan.

Hubungan itu memiliki sifat-sifat atau karakteristik, antara lain sebagai berikut:

Pertama, hubungan eksklusif dengan hubungan inklusif. Hubungan ini terkait erat dengan jarak konseptual di atas. Hubungan itu disebut eksklusif, jika konsep yang satu tidak berada di dalam konsep yang lain, jarak konseptual Z harus lebih besar daripada nol. Dalam hubungan itu, X tidak berada di dalam Y dan

sebaliknya, Y tidak berada di dalam X. Disebut inklusif jika konsep yang satu berada di dalam konsep yang lain. Jika hal itu terjadi, katahubung antara yang satu dengan yang lain adalah “dalam” (peran X dalam Y).

Kedua, hubungan kausal dengan hubungan korelasional. Hubungan kausal (sebab-akibat, cause and effect) adalah hubungan yang terpenting (Gambar 10 dan 11). Babbie menjelaskan hal ini panjang lebar dalam Bab 3 bukunya. Model

(27)

berada di luar (eksternal) akibat. Dilihat dari sisi ini, tidak ada faktor internal sebagaimana disangkakan banyak orang. Di dalam organisasi ada uang dan SDM. Uang (faktor) terhadap SDM (result) di dalam (internal) organisasi, tetapi uang bukan faktor internal organisasi melainkan dimensi organisasi. “Ada tiga kriteria hubungan kausal,” demikian Babbie.

1. Yang satu (cause) persis (in time) mendahului yang lain (effect) 2. Yang satu dengan yang lain secara empirik berkorelasi

3. Korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain tidak dipengaruhi oleh fihak ketiga

Menurut Babbie lebih lanjut, ada dua macam causes, yaitu necessary cause dan

sufficient cause (Gambar 11). “A necessary cause represents a condition that must be present for the effect to follow,” woman---->pregnant. “A sufficient cause represents a condition which, if it is present, inevitably results in in the effect,” army---->uniform. Yang satu “must,” yang lain “if.” Katahubung antara satu dengan yang lain adalah “terhadap,” “Pengaruh X terhadap Y,”

“Apakah X berpengaruh terhadap Y?” “Jika. . . , maka. . . .” Cause dan

effect disebut terminal dan simbol ----> menunjukkan rute antar terminal. Yang menjadi persoalan sekarang ialah, hubungan itu deterministik atau tidak? Di dalam ruang perilaku manusia, akibat yang sama ditimbulkan oleh sebab yang berbeda-beda. Derajat kepastian hubungan pengaruh antara X dengan Y dalam lingkungan sosial, lebih rendah ketimbang lingkungan fisikal. Kinerja

(performance) pada Gambar 11 memang secara sufficient dipengaruhi oleh tujuh faktor (Gambar 10), tetapi performance itu sendiri contingent pada Z1Z2Z3 (contingent, necessaryfactors). Faktor-faktor itulah yang memastikan kadar kinerja. Dengan demikian, pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak berhenti pada penemuan faktor-faktor sufficient saja, tetapi harus mengejar faktor-faktor

contingent-nya. Dengan perkataan lain, dalam Kybernologi, implementasi kebijakan merupakan contingent faktor keberhasuilan kebijakan itu sendiri.

Konsekuensinya ialah, implementasi kebijakan tidak boleh diposisikan sebagai cek kosong yang bebas diisi oleh implementor sesuka-suka hatinya.

Selanjutnya, jika korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain dipengaruhi oleh fihak ketiga, maka hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut

korelasional. “Semakin meningkat pendidikan, semakin semakin meningkat jumlah mobil.” Faktor ketiga adalah “Semakin meningkat pendapatan.” Yang satu tidak langsung mempengaruhi yang lain, faktor ketigalah yang melakukannya.

(28)

Ketiga, hubungan positif dengan hubungan negatif. Hubungan antara X dengan Y disebut positif jika secara empirik nilai yang satu naik diiringi kenaikan nilai yang lain, atau sebaliknya jika secara empirik nilai yang satu turun, nilai yang lain juga turun. Hubungan itu disebut negatif, jika secara empirik nilai yang satu naik sementara nilai yang lain turun, atau sebaliknya.

Keempat, hubungan langsung dengan hubungan tidak langsung. Hubungan ini erat terkait dengan debat tentang determinisme perilaku manusia. Di lingkungan fenomena fisikal, hubungan langsung X---->Y itu dengan derajat kepastian tinggi. Tetapi mengingat sifat ketergantungan perilaku manusia pada berbagai hal yang tak terduga, maka nyaris mustahil model perilaku sosial serta-merta bersifat langsung. Selalu saja diperlukan contingent factor-nya. Derajat kepastian

hubungan antara X dengan Y bergantung pada contingent factor-nya yang paling individual, kasus demi kasus. Jadi model pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak

X---->Y tetapi X---Z--->Y.

Kelima, hubungan searah dengan hubungan timbalbalik (bukan dua arah) Hubungan searah misalnya hujan--->jalan licin. Tidak mungkin

jalan licin--->hujan. Hubungan timbal-balik misalnya

investasi--->laba. Tetapi bisa juga laba--->investasi.

Keenam, hubungan linier dengan hubungan siklik atau sirkuler. Hubungan kelima di atas berkaitan dengan hubungan keenam ini. Pada umumnya hubungan

input--->output bersifat linier. Hubungan timbal-balik antar lebih dari dua

konsep menjadi sirkuler atau siklik. Dalam hubungan itu salah satu rute adalah

feedback (feedforward). Hubungan linier disebut juga hubungan fungsional, misalnya input--->output di atas. Model hubungan sirkuler atau siklik menjadi dasar bagi pemikiran beranalisis jalur (path analysis). Contoh klasik tentang hal ini adalah Model Lingkaran Setan Kemuskinan (the vicious circle of poverty, lihat Taliziduhu Ndraha dalam Desain Riset, 1987).

7

BAHAN BOK: TEORI (THEORY)

(29)

Many theories make a causal statements, or a proposition, about the expected relation among variables.” “A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and

predicting the phenomena,” demikian Kerlinger. Donald R. Cooper dan C. William Emori dalam Business Research Methods (1995), menjelaskan perbedaan dan

---TEORI--- | |

abstraksi | | DATA--->KONSEP KONSEP | | |

| | | |<---direkam |---operasionalisasi---| | | | | | | FAKTA--->VARIABEL VARIABEL nilai | | | | ---HIPOTESIS---

Gambar 12 Hubungan Antar Konsep, Teori, Variabel, dan Hipotsis

hubungan antara propositions dengan hypotheses. “We define a proposition as a statement about concepts that may be judged as true or false if it refers to

observable phenomena. When a proposition is formulated for empirical testing, we call it a hypothesis. As a declarative statement, a hypothesis is of a tentative and conjectural nature.” Menurut Babbie, teori terdiri dari beberapa pernyataan (statements). Pertama asas-asas atau dalil-dalil (laws). Kedua axioma, yaitu “fundamental assertions,” kebenaran yang dengan sendirinya benar tanpa perlu diuji atau dibuktikan. Axioma berfungsi sebagai sebagai fondasi bangunan teori. Ketiga, proposisi, yaitu “conclusions drawn about the relationship among concepts, based on the logical interrelationships among the axioms.” Gustav Bergmann

dalam Philosophy of Science (1958) berpendapat bahwa “Theory is a group of laws. The laws that serve as the premises of these deductions are called the axioms

of the theory; these which appear as conclusions are called theorems.” Lebih lanjut Babbie menunjukkan hubungan timbal-balik antara teori dengan fakta (observations) seperti Gambar 13. Gambar itu juga sekaligus menunjukkan perbedaan dan hubungan antara pendekatan kualitatif dengan pendekatan

(30)

generalisasi empirik (empirical generalization) yang bersifat induktif, dan pendekatan kuantitatif yang berjalan dari teori ke observasi melalui pengujian hipotesis dan bersifat deduktif.

--->THEORIES--- | | | | | | EMPIRICAL HYPOTHESES GENERALIZATIONS | | | | | | | ---OBSERVATIONS<---

Gambar 13 Hubungan Antara Teori Dengan Fakta

Inti dinamik suatu teori adalah hipotesis. Pemikiran bermula dari keingintahuan (curiosity). Keingintahuan itu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan (question). Kerlinger menyatakan bahwa masalah penelitian “should express a relation between two or more variables. It asks, in effect, questions like: “Is A related to B?” How are A and B related to C?” How is A related to B under condition C and D?” Ada yang cenderung mengambil jalan pintas yang lebih mudah, yaitu

mengutip “temuan” (sebenarnya hipotesis) penelitian orang lain sebelumnya yang berbunyi: “X mempengaruhi Y,” sehingga yang bersangkutan tinggal melanjutkan dengan pertanyaan: “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y?”

Pertanyaan pemikiran dijawab dengan dua cara. Langsung merekam fakta empirik yang dipertanyakan (ingin diketahui), yaitu melalui pendekatan kualitatif, atau berkonsultasi dengan teori yang ada. Pertanyaan dijawab dengan teori berdasarkan alasan, bahwa teori yang ada merupakan jawaban yang telah teruji dalam

masyarakat, bahkan dalam sejarah. Menurut Earl Babbie dalam The Practice of Social Research, (Bab 2, 1983), dalam penelitian kuantitatif yang menggunakan metodologi deduktif, masalah (pertanyaan) penelitian dijawab dengan teori dan hasil deduksi teori berakhir pada hipotesis. Jadi hipotesis adalah jawaban teoretik

(31)

body-of-knowledge (BOK) |

| theory |

--- | | concept concept | | |---operasionalisasi--| | | variable variable | | |---hypotesis---| | | |

dimensions | dimensions | | |

| | |

indicators | indicators | | |

| | | items---testing---items | | | | ---alat ukur---

Gambar 14 Hipotesis

Adakah jawaban teoretik (hipotesis) terhadap pertanyaan “Seberapa besar. . . . .?” Tidak ada! Besarnya pengaruh X terhadap Y yang besarannya dinyatakan dengan koefisien determinasi itu dengan sendirinya keluar dari komputer pada saat hipotesis “X mempengaruhi Y,” diuji. Jika demikian, pertanyaan “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y?” bukan (tidak layak dijadikan) pertanyaan penelitian.

Apakah “Besarnya pengaruh X terhadap Y diukur pada dimensi-dimensi X,” memenuhi syarat sebagai sebuah hipotesis? Kerlinger (kemudian dikutip oleh sejumlah penulis metodologi seperti John W. Creswell dalam Research Design, 1994, dan relatif sama dengan Donald R. Cooper dan C. William Emory dalam

(32)

sembarangan, melainkan perkiraan berdasarkan analisis teoretik yang relevan dan kuat.

“Besarnya pengaruh. . . .” tidak menjelaskan apakah ada, dan jika ada,

bagaimana sifat hubungan antara X dengan Y. Ia hanya menyatakan bahwa “ini” diukur pada “itu.” Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y diukur pada dimensi-dimensi X” bukanlah hipotesis penelitian, melainkan proposisi penelitian (Cooper dan Emory, op. cit., h. 39), yaitu sekedar “a statement about concept,” bahwa “besarnya pengaruh. . . . “ (concept), “diukur pada atau ditentukan oleh. . . . .” (statement). Dalam kalimat itu tidak ada sesuatu yang diuji atau dibuktikan. Hubungan antara variable dengan dimensinya menurut teori terkait, sudah pasti. Lagi pula fungsi dimensi dan indikator pada Gambar 14 tidak untuk mengukur, melainkan langkah yang harus ditempuh untuk mendeduksi dan mengonstruksi alat-ukur yang sesungguhnya (alat untuk mengukurvariabel)

yaitu items pertanyaan (rating scale) atau pernyataan (Likert).

Apakah kalimat yang berbunyi: “Besarnya pengaruh X terhadap Y bergantung pada dimensi-dimensi X,” sebuah hipotesis?” Kalimat itu bukan hipotesis, karena keseluruhan dimensi-dimensi X = X. Jawaban itu sama saja dengan: “Besarnya pengaruh X terhadap Y bergantung pada X.” Jawaban tersebut bersifat

tautological, tidak reliable.

Bagaimana dengan kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y ditentukan oleh dimensi-dimensi X,” Pernyataan “ditentukan oleh” dalam kalimat hipotetik itu berarti “besarnya” pengaruh X terhadap Y “bergantung pada” dimensi-dimensi X. Pernyataan ini mengubah posisi dimensi-dimensi itu, dari dimensi X menjadi faktor yang menentukan (mempengaruhi) X. Di sini X bergantung pada faktor-faktor itu. Dengan sendirinya variabel yang tadinya X, berubah menjadi Y atau Z, dan dimensi-dimensinya menjadi X baru. Model

X--->Y |

---|--- | | |

D1 D2 Dn D = dimensi

Gambar 15 Dimensi-Dimensi X

(33)

D1 (X1)---

|

D2 (X2)---|--->Y |

Dn (Xn)---

Gambar 16 Dimensi X (D1, D2, Dn) Berubah Posisi dari Dimensi Menjadi Faktor (X)

Model Gambar 16 harus dianalisis lebih lanjut, artinya dimensi-dimensi X1, X2, Xn harus diidentifikasi, kemudian dimensi baru itu berubah lagi menjadi variable bebas, demikian terus-menerus. Kapan berakhirnya? Oleh sebab itu harus diingat bahwa faktor berbeda dengan dimensi dan dimensi tidak boleh diperlakukan

sebagai faktor atau variable bebas. Kesalahfahaman tentang faktor dengan dimensi ini sering terjadi. Misalnya pada hari Sabtu 12 November 2005, di gedung Program Pascasarjana sebuah universitas besar di Bandung, Ujian Disertasi (biasa juga disebut Ujian Terbuka, promosi Doktor) mahasiswa Program Doktor atas nama L3G03810 dan L3G03855, berlangsung. Inilah promosi Doktor ke 5 dan 6 Program tersebut yang dibuka sejak tahun 2000. Keduanya berhasil

mempertahankan naskah disertasi masing-masing dalam Ujian Naskah Disertasi (Ujian Tertutup) sekitar tiga bulan sebelumnya.

Judul kedua disertasi (sebutlah berturut-turut disertasi promovendus 5 atau D5 dan disertasi promovendus 6 atau D6) menunjukkan perbedaan dan persamaan. D5 berjudul Pengaruh Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi, dan StrukturBirokrasi Terhadap Kemandirian Kelompok Tani, sedangkan D6 berjudul Pengaruh Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi Terhadap

Implementasi Kebijakan Perberasan dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani. Dalam judul kedua disertasi terdapat kata “pengaruh.” Hal itu berarti promovendi hendak mempelajari hubungan kausal antara dua atau lebih variabel, antara

variabel pengaruh (X) dengan variabel yang dipengaruhi (Y). Ada empat variabel pengaruh yang diteliti oleh kedua promovendi, berturut-turut komunikasi (X1), sumberdaya (X2), disposisi (X3) dan struktur birokrasi (X4). Variabel terpengaruh (Y) berbeda. Y penelitian D5 adalah kemandirian kelompok tani, sedangkan Y penelitian D6 (dalam naskah disebut Z) adalah pendapatan petani, sedangkan implementasi kebijakan perberasan variabel antara Z (yang disebutnya Y). Konstruksi kerangka pemikiran D5 adalah:

(34)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ---> KEMANDIRIAN PENYULUHAN PERTANIAN KELOMPOK TANI |

| komunikasi sumberdaya disposisi struktur birokrasi

Gambar 17 Model Penltian D5 (h.98 Disertasi) Komunikasi dsb Adalah Dimensi Implementasi

Konstruksi teoretik D6 sebagai berikut:

KOMUNIKASI--- |

SUMBERDAYA---| IMPLEMENTASI PENDA- |--->KEBIJAKAN --->PATAN

DISPOSISI---| PERBERASAN PETANI | |

STRUKTUR BIROKRASI--- | | harga dasar

Gambar 18 Model Penelitian D6 (h. 121 dan 127 Disertasi) Komunikasi dsb Adalah Faktor Implementasi

Teori dikonstruksi seperti Gambar 17 untuk menjawab empat pertanyaan masalah penelitian D5 yang semuanya dimulai dengan pertanyaan: “Bagaimana pengaruh X terhadap Y?” yang dijawab dengan empat hipotesis “X berpengaruh terhadap Y,” dan Gambar 18 untuk menjawab enam pertanyaan yang semuanya dirumuskan dengan “Apakah X berpengaruh terhadap Y?” dan dijawab dengan enam hipotesis: “X berpengaruh terhadap Y.” Jadi pertanyaan yang berbeda dijawab dengan

jawaban yang sama (Tabel 1).

Tabel 1 Masalah Penelitian Disertasi dan Hipotesis

--- DISERTASI PERTANYAAN JAWABAN TEORETIK

--- D5 Bagaimana Pengaruh X X Berpengaruh Terhadap Y

Terhadap Y?

D6 Apakah X Berpengaruh X Berpengaruh Terhadap Y Terhadap Y?

(35)

Segera terlihat bahwa terdapat inkonsistensi antara pertanyaan dengan jawaban pada D5. Pertanyaan “bagaimana” (“how”) dalam bahasa Indonesia menunjukkan beberapa makna (arti), yaitu sebagai proses yaitu contingent atau necessary factors

yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output, dan sebagai kualitas, misalnya “baik,” “lancar,” dan sebagainya. Jadi pertanyaan “bagaimana” dalam arti pertama, sangat penting, dan berkaitan erat dengan pertanyaan “mengapa.” Jika “mengapa” bertanya tentang penyebab penyakit, “bagaimana” bertanyan tentang cara

mencegah dan mengobatinya. Sudah barang tentu, pertanyaan “bagaimana” dalam arti kedua hanya layak untuk penelitian kualitatif yang langsung dapat menjawab dengan fakta empirik. Jawaban “berpengaruh” pada Tabel 1 menunjukkan output, bukan proses atau kualitas.

“Apakah X berpengaruh terhadap Y,” merupakan pertanyaan yang di dalam metodologi diibaratkan pesawat yang sedang mengalami gangguan di udara dan sibuk mencari lapangan untuk pendaratan darurat. Atau laksana seorang penjual suatu obat (X) yang lagi ingin mengetahui penyakit apa (Y) yang bisa

disembuhkan dengan obat itu. Inilah “logika” birokrasi! Birokrasi memiliki kekuasaan atau alat, dan ingin tau, dengan kekuasaan atau alat itu ia bisa apa. Seharusnya, seorang peneliti Kybernologi ibarat pesawat yang hendak take off. Dari FOR (frame-of-reference) fihak yang diperintah, yaitu pelanggan, korban, dan mangsa pemerintahan ia berangkat. Penyakit apa yang sedang diderita

masyarakat? “Mengapa. . . .” (diagnosis) itulah pertanyaan yang diibaratkan sebagai “take off.” Pertanyaan itulah yang membawa peneliti ke arah hubungan kausal antara Y dengan X. Jika terjawab “Disebabkan oleh. . . ,” atau

“Karena. . . . .” maka terapinya dengan tepat dapat didefinisikan. Jadi pertanyaan yang jauh lebih tepat ialah “Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Y?”

(36)

hanya satu yaitu harga dasar beras. Apakah harga dasar beras dapat diposisikan sebagai dimensi implementasi kebijakan perberasan?

X Z Y

KOMUNIKASI--- |

SUMBERDAYA---| IMPLEMENTASI KESEJAH- |--->KEBIJAKAN --->TERAAN DISPOSISI---| PERBERASAN PETANI | | |

STRUKTUR BIROKRASI--- | | | | (dengan dimensinya masing- manajemen dan ope- HDI masing) rasi perberasan

Gambar 19 Model Penelitian D5 (disarankan)

X Z Y

KOMUNIKASI--- |

SUMBERDAYA---| IMPLEMENTASI KE- KEMANDIRIAN |---->BIJAKAN PENYULUH- ---> KELOMPOK DISPOSISI---| AN PERTANIAN TANI | | |

STRUKTUR BIROKRASI---- | | | | (dengan dimensinya manajemen dan operasi HDI masing-masing) penyuluhan pertanian

Gambar 20 Model Penelitian D6 (disarankan)

Dengan demikian, kerangka pemikiran penelitian D5 dan D6 disarankan seperti Gambar 19 dan Gambar 20. Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y ditentukan oleh. . .” bukan hipotesis penelitian.

Ada juga yang berusaha menjawab pertanyaan “seberapa besar” itu dengan

hipotesis berbunyi: “Semakin tinggi X, semakin tinggi Y” (hubungan positif) atau “Semakin tinggi X, semakin rendah Y” (hubungan negatif). Jawaban yang

(37)

“Besarnya pengaruh,” yang ditunjukkan oleh koefisien hubungan (r) atau pengaruh R) pada hipotesis berepsilon, bias, tidak sesuai dengan fakta. Lebih-lebih di bidang Ilmu Sosial, akurasi temuan penelitian, dalam hal ini “besarnya pengaruh,”

relative. Penyebabnya antara lain faktor “science is not portable,” “sufficient factors” yang tidak lengkap, “contingent factors” yang sulit diidentifikasi mengingat proses social bersifat culture bound, dan contingent factor diwarnai oleh cultural lag, hubungan antar faktors yang berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga selalu saja ada faktor yang belum diketahui. Jika diketahui sekalipun, mungkin sulit diteliti. Hal-hal itu membuka ruang abu-abu yang disebut factor

epsilon. Mengingat epsilon itu, pertanyaan “Bagaimana X mempengaruhi Y,” atau “Di bawah kondisi apa X mempengaruhi Y,” jauh lebih penting ketimbang

pertanyaan “Seberapa besar” itu, demikian Kerlinger dan Babbie di atas. Sebab, walaupun koefisien hubungan itu diketahui, selalu saja koefisien itu bias.

X GRAND THEORY |

| |

tingkat

abstractness MID-RANGE THEORIES konsep

| | |

| LOWER RANGE THEORIES |

X---JARAK KONSEPTUAL---Y

Gambar 21 Abstractness dan Conceptual Distance

Jarak konseptual antara X dengan Y menunjukkan bobot masalah pemikiran, dan pada gilirannya hal itu menunjukkan tingkat kebutuhan akan eksplanasi atau prediksi hubungan antar keduanya. Semakin jauh jarak konseptual antara X dengan Y, semakin tidak pasti hubungan, semakin berat bobot masalah, semakin besar teori yang diperlukan., pengaruh X terhadapY (Gambar 21). Adapun abstractness konsep diukur dengan tingkat operasionalitasnya. Semakin operasional konsep, semakin berkurang abstractness-nya. Dalam hubungan itu, tingkat abstractness X sebaiknya setara dengan tingkat abstractness Y, agar “jembatan” (hubungan antara keduanya) tidak “nungging” atau timpang, tetapi relatif rata (setara). Semakin abstrak konsep atau variable, semakin jauh jarak konseptual antar konsep atau variabel, semakin besar teori yang diperlukan untuk menerangkanatau meramalkan hubungan antara X dengan Y.

(38)

terjadi, semakin besar teori. Pada tingkat tertentu, teori seperti itu disebut Teori Besar (Grand Theory). Selanjutnya, semakin besar atau kuat dukungan variable penyangga (variable antara, contingent factor), kemerosotan

pengaruh X terhadap Y semakin kecil atau semakin lemah, dan explanatory power pemikiran semakin kuat (masalah pemikiranpun semakin jelas).

8

BAHAN (BOK):

OBJEK MATERIA DAN OBJEK FORMA

Berbagai pendekatan diperlukan untuk menemukan ruang sasaran atau objek.pemikiran ilmiah. Suatu pendekatan (pendaratan, approaching)

menunjukkan titikpandang terpandang (Y, fenomena, unknown) dari sebuah

sudutpandang pemandang (X, knower), alat yang digunakan untuk memandang- nya (Z, knowledge, teori), dan proses (---> knowing), Gambar 22.

TITIK TERPANDANG (Y)

ALAT MEMANDANG (Z)

SUDUT PANDANG (X) --->

Gambar 22 Pendekatan

Pendekatan awal Kybernologi bertolak dari sebuah dalil Filsafat Ilmu berbunyi

credo et intelligam (percaya baru tau). Pendekatan ini disebut pendekatan metadisiplin, karena pada saat Y dipandang, alat memandang bukanlah

pengetahuan (teori Kybernologi), karena Kybernologi pada saat itu secara formal belum ada, melainkan credo. Kalaupun pemandang X menggunakan alat Z, alat itu bukanlah Kybernologi, melainkan kompleks disiplin lain, misalnya Teologi,

Filsafat, Fisika, Biologi, Demografi, Sosiologi, Politik, dan sebagainya. Kompleks inilah sumber bangunan Ontologi Kybernologi (Gambar 23).

(39)

ALLAH

Dari interaksi itu terbentuk fenomena pemerintahan yang merupakan objek materia semua disiplin ilmu pengetahuan, dan common platform Ilmu-Ilmu Sosial.

Selanjutnya lihat Gambar 24. Objek forma Kybernologi mulai terkuak tatkala pemandang mendaratkan pandangannya pada sudut manusia dengan HAM dan kebutuhan dasarnya, lingkungan dengan keberlanjutannya (Gambar 2). Objek forma semakin jelas manakala pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan

(40)

ONTOLOGI |

BASIC PLATFORM

|

metadisiplin |

| | | TITIKPANDANG |

| fenomena pemerintahan (objek materia) | | COMMON PLATFORM |

| ILMUPENGETAHUAN | | KHUSUSNYA ILMU-ILMU SOSIAL (ALATPANDANG) | | | | | | | | SUDUTPANDANG (MANUSIA DAN LINGKUNGAN) | | GOVERNANCE | | objek forma | | | | | | | | ANGGAPAN DASAR* | | rekonstruksi | | | | | | | | KYBERNOLOGI | | perbedaannya dengan ilmu-ilmu lain | | | | ---|--- |

monodisiplin, dst

Gambar 24 Pendekatan Metasisiplin Mengantar Pemikiran Ke Arah Objek Materia dan Objek Forma Kybernologi

Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan lama dan pembangunan BOK baru bernama Kybernologi berlangsung di bawah sejumlah anggapan dasar (Bab 1 Kybernologi

2003). Misalnya anggapan dasar berbunyi: “Pemerintahan Sejajar Dengan Proses Produksi Dengan Konsumsi,” atau “Jangan Beli Kucing Dalam Karung.”

Setelah konsep-konsep ditemukan dan hubungan antar konsep direkonstruksi, terbentuklah BOK Kybernologi dalam wujud monodisiplin (Gambar 24).

(41)

---

---> 7pembentukan civil service --->14pembentukan public actor --->12pembuatan kebijakan publik --->15pemberdayaan (enabling, emp.*) --->13pengadaan public goods --->17privatisasi vs statalisasi *empowering

Gambar 25 Pemenuhan Kebutuhan Manusia Melalui Peran Negara Kebutuhan

Model c Gambar 26 menunjukkan pendekatan multidisiplin. Pendekatan ini digunakan untuk merekam dan mempelajari suatu masalah dari berbagai sudut yang berbeda guna menemukan objektivitas pengetahuan dan keseimbangan kebijakan. Model d digunakan oleh suatu disiplin dalam berinteraksi dengan

disiplin lainnya yang berbeda dalam rangka mengembangkan diri agar tetap dalam paradigma normal science. Model ini adalah lanjutan model c. Interaksi itu

berlangsung dalam bentuk saling meminjam konsep atau metode. Sudah barang tentu berdasarkan norma, kode etik, dan dengan teknik yang lazim di dunia akademik. Sebagai contoh adalah scientific movement berjudul reinventing

(42)

X1--- eureka! cūriōsitās |

?--->X X--->Y X2---|--->Y X<--->Y Z<---X<--->Y--->Z a b | d e

X3---

c

metadisiplin monodisiplin multidisiplin interdisiplin lintasdisiplin

? credo X disiplin X disiplin X disiplin X disiplin X disiplin Y masalah Y masalah Y disiplin Y disiplin Z hibrida

Gambar 26 Berbagai Pendekatan

dari ruang Ekonomi-Bisnis, sehingga di Indonesia banyak menimbulkan salah-faham: “Apa pemerintahan dijual-beli?” Model e adalah pengembangan dan lanjutan model d. Model e digunakan untuk memupuk kerjasama maupun

kerjabersama antar disiplin secara sistematik. Dengan pendekatan itu, antara Ilmu Politik dengan Kybernologi, misalnya, muncul kajian hibridal bernama Politik Pemerintahan yang digunakan oleh IPDN sebagai nama salah satu fakultasnya. Pendekatan sentripetal dari luar ke dalam ruang Kybernologi itulah yang terlihat pada Pohon Kybernologi. Bab II Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005) menunjukkan Pohon Kybernologi yang tertanam, berakar, tumbuh dan berbuah melalui berbagai pendekatan: metadisiplin, monodisiplin, multidisiplin, inter-disiplin, dan lintasdisiplin (transdisiplin). Kekuatan sentripetal melahirkan hibrida dari luar (Politik) ke dalam pemerintahan, misalnya Politik Pemerintahan. Baca juga Bab 35 Kybernologi, 2003.

Dalam perkembangan lebih lanjut, melalui pendekatan yang sama, antar disiplin misalnya Kybernologi dengan Ilmu Politik, didorong oleh kekuatan sentrifugal dari dalam Kybernologi, lahir hibrida sebaliknya, yaitu Kybernologi Politik. Kekuatan sentrifugal tersebut menggerakkan pengkajian lain ke arah berbagai disiplin di luar Kybernologi: Kybernologi Pertanian dengan Agro-Pemerintahan, Kybernologi Administrasi dengan Administrasi Pemerintahan, dan seterusnya. Perkembangan ini direkam dalam Kata Pengantar buku Menuju Ke Pemikiran Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan (2009). Sebagian Kata Pengantar itu dikutip sebagai berikut.

Gambar

Gambar 1 Pemerintahan (Governance): Interaksi Antar SKE, SKK, dan SKS Angka-angka Menunjukkan Rute Pemerintahan
Gambar 2 Dua Cara Pendekatan Terhadap,  dan Pendaratan Pada Fenomena Pemerintahan
Gambar 4 Filsafat Ilmu dengan Metodologi Ilmu
Gambar 6 Proses Abstraksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Komoditi beras organik di Indonesia telah diproduksi dalam jumlah yang masih terbatas. Sampai saat ini beras organik belum memasyarakat, terbatas pada kalangan tertentu begitu juga

Apa yang sedang kita cuba ialah untuk mengasakkan dalam masa dua puluh tahun satu revolusi fakta dan pendapat yang begitu bertenaga di Eropah dan selama enam abad diperlukan

PT 1,1,16 : Dilihat yang diketahui apa saja kira-kira sudah sesuai apa belum kalau kiranya sudah sesuai, sudah ada 2 desain isinya apa-apa saja sudah pas gitu ya

Melangkah maju bukanlah karena memperbaiki apa yang telah dilakukan, melainkan mencapai apa yang belum dilakukan. Refleksi ini menemani penulis dalam proses penulisan

sebuah prodak keluar sertifikat halalnya belum tentu itu bisa digunakan kalau tidak sesuai dengan tujuan penggunaanya yang halal kan begitu, nah jadi terkait dengan

Maka dalam penentuan kandungan logarn tertentu dalam suatu sampel anorganik tertentu yang komposisinya belum diketahui, terlebih dahulu perlu diketahui cara dekomposisi yang

Jakarta, melainkan lembaga Badan Pengawasan Pemilu DKI Jakarta. Judul semacam ini membawa otoritas intelektual tertentu, bahwa apa yang dilakukan oleh Ahok tidak melanggar

Faktor apa yang paling mempengaruhi Anda melakukan pembelian berulang- ulang terhadap produk tertentu tanpa mempertimbangkan penggunaan barang tersebut.. (pilih salah