• Tidak ada hasil yang ditemukan

Phalaenopsis x Renanthera Phalaenopsis x Vandopsis

BAHAN DAN METODE Penyiapan kalus

Kalus klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil inisiasi diperbanyak dengan cara disubkultur pada media proliferasi kalus yaitu 1/2 MS yang diberi tambahan zat pengatur tumbuh 0,2 mg.l-1 thidiazuron dan 0,5 mg.l-1 2,4-D, dipindahkan pada media 1/2 MS tanpa zat pengatur tumbuh selama 1 minggu untuk mengurangi pengaruh

ZPT pada kalus. Tahap ini membutuhkan beberapa subkultur untuk mencapai jumlah kalus yang memadai untuk perlakuan.

Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus dan regenerasi tanaman

Kalus masing-masing klon yang telah diperoleh, sebagian diberi perlakuan peredaman EMS selama 30, 60 90, 120 menit dengan konsentrasi masing-masing 0,3% dan 0,6%. Kalus yang telah direndam tersebut, diinkubasikan di ruang terang dengan suhu 25 °C hingga diperoleh tunas varian. EMS dilarutkan dalam buffer fosfat dengan cara mencampurkan 39 ml 0,2M KH2PO4 dan 61 ml K2HPO4 yang dilarutkan dengan 4% DMSO dalam 100 ml akuades, pH 7. Kalus yang telah direndam dicuci dan dikulturkan kembali pada media regenerasi 1/2 MS yang ditambahkan 0,4 mg.l-1 BAP dan 0,2 mg.l-1 2,4-D. Pengamatan dilakukan pada persentase kalus yang mampu hidup untuk menentukan LC50 pada 6 MST. Selanjutnya salah satu konsentrasi yang ditemukan menyebabkan 50% eksplan mati, dijadikan acuan untuk menentukan kembali konsentrasi dan perendamannya. Konsentrasi yang digunakan untuk memperbanyak mutan adalah E0, E1-E5 berturut- turut sebesar 0; 0.2; 0.25; 0.3; 0.35; 0.4% dengan lama perendaman yang sama yaitu 30 menit. Pengamatan dilakukan pada 16 MST pada eksplan beregenerasi, jumlah plantlet yang dihasilkan. Daya hambat perlakuan EMS diamati berdasarkan penurunan persentase pembentukan plantlet.

Evaluasi keragaman varian EMS

Ploidi kromosom planlet varian hasil mutasi induksi dianalisis dengan cara sederhana yaitu dengan merendam ujung akar muda yang sebelumnya telah dikupas tudung akarnya yaitu beberapa lapis sel bagian paling ujung, dengan larutan maserasi HCl 1N dan dipanaskan selama 2 menit pada suhu 60 °C. Irisan ujung akar tesebut diurendam dengan 2 % aceto-orcein selama 20 menit. Ujung akar tersebut dikeringkan dan di letakkan di atas gelas preparat dan ditetesi kembali dengan aceto- orcein dan ditutup dengan gelas penutup selanjutnya ditekan atau di squase. Kromosom dihitung di bawah mikroskop.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh konsentrasi EMS pada kalus dapat diketahui dari tabel 13, yang menunjukkan bahwa persentase kalus yang hidup dan kemampuan kalus beregenerasi semakin menurun dengan semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama perendaman kalus di dalam larutan EMS.

Tabel 13 LC50 pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 berdasarkan persentase konsentrasi EMS dan waktu yang digunakan untuk perendaman. Pengamatan dilakukan pada 6 MST, data diolah dengan persamaan Quadratic Fit.

Klon  LC50

Konsentrasi EMS (%)  Waktu Perendaman (menit) 

SGN‐PV2.11  0.28  38.70 

642  0.35  22.50 

377  0.32  19.40 

Keterangan: LC (konsentrasi yang menyebabkan lethalitas eksplan).

Persentase kalus yang hidup menentukan LC50, yang apabila dihitung menggunakan CurveExpert 1.3 pada persamaan Quadratic Fit, LC50 dapat diketahui pada klon SGN-PV2.11 adalah pada konsentrasi EMS sebesar 0.28% dengan perendaman selama 38.7 menit. LC50 klon 642 adalah konsentrasi 0.35% perendaman selama 22.5 menit sedangkan klon 377 mencapai LC50 pada konsentrasi 0.32% perendaman selama 19.4 menit (Tabel 12). Secara umum dapat dikatakan bahwa konsentrasi LC50 berkisar antara 0.28-0.34% dengan perendaman 19.4 – 38.7 menit. Berdasarkan LC50 tersebut, untuk mendapatkan varian dibuat perlakuan dengan lama perendaman EMS selama 30 menit dengan konsentrasi 0; 0.2; 0.25; 0.3; 0.35 dan 0.4% yang diaplikasikan pada ketiga klon di atas.

Kalus yang telah berumur 4 bulan tanpa diberi perlakuan (EMS 0%) mendeferensiasikan tunas sebesar 22 per eksplan kalus, sedangkan kalus embriogenik Phalaenopsis 642 dengan perlakuan standar (EMS 0%) menghasilkan 14.5 tunas per eksplan dan 15 tunas pada klon 377. Hal ini menunjukkan penghambatan pembentukan tunas, dan ini terjadi pada ketiga klon yang ditandai dengan penurunan persentase jumlah eksplan yang bertunas, dengan semakin tinggi konsentrasi EMS dan semakin lama perendamannya (Tabel 14). Penghambatan dibuktikan juga dalam penelitian mutasi tanaman pisang (Roux 2007) dan kedelai (Pavadai et al. 2004). Tabel 14 Pengaruh konsentrasi dan waktu perendaman mutagen EMS pada kalus klon

SGN-PV2.11, 377 dan 642 terhadap persentase eksplan hidup yang diamati selama 6 MST, jumlah tunas per eksplan dan penurunan jumlah total tunas yang diamati selama 16 MST

Klon dan Perlakuan EMS

Eksplan hidup (%)

Jumlah tunas per eksplan

Penurunan Jumlah tunas per eksplan (%) Klon SGN-PV2.11 0 95.0 22.5** 00.0 0,3% 30 menit 57.5 12.6 * 66.0 0,3% 60 menit 45.0 9.0 81.0 0,3% 90 menit 22.5 3.5 96.0 0,3% 120 menit 00.0 0.0 100.0 0,6% 30 menit 35.0 4.9 92.0 0,6% 60 menit 57.5 5.6 89.0 0,6% 90 menit 20.0 6.0 94.0 0,6% 120 menit 12.0 5.3 97.0 Klon 642 0 80.0 14.5* 0.0 0,3% 30 menit 76.3 5.9 61.0 0,3% 60 menit 16.3 5.1 92.0 0,3% 90 menit 30.0 4.1 89.0 0,3% 120 menit 37.0 5.3 83.0 0,6% 30 menit 0.0 5.1 93.0 0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0 0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0 0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0 Klon 377 0 85.0 15.0* 00.0 0,3% 30 menit 92.5 4.4 68.0 0,3% 60 menit 13.8 5.0 94.0 0,3% 90 menit 30.0 4.1 90.0 0,3% 120 menit 43.0 4.1 86.0 0,6% 30 menit 2.5 1.8 99.0 0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0 0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0. 0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0

Keterangan : Penurunan jumlah total tunas dihitung dengan rumus : [(x0*y0-x1*y1)/ (x0*y0)]*100% ; dimana x0 dan y0 berturutan adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada perlakuan standar (larutan EMS 0%), sedangkan x1 dan y1 adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada masing-masing perlakuan EMS.

Pada perlakuan 0.3% selama 30 hingga 120 menit, klon SGN-PV2.11 menghasilkan persentase kemampuan bertunas semakin kecil. Pada klon 642 tidak mampu bertahan dalam konsentrasi EMS 0.6%. Kalus langsung mati dalam waktu 2- 4 MST sehingga tidak didapatkan tunas atau persentasenya menjadi 0%. Konsentrasi 0.3% pada perendaman 30 menit merupakan konsentrasi terendah yang hanya mampu menyebabkan 57.5% eksplan klon SGN-PV2.11 yang hidup. Eksplan klon 642 hidup sebesar 76.3%, sedang eksplan klon 377 hidup sebanyak 92.5%. Persentase kematian meningkat sangat tinggi pada konsentrasi yang lebih tinggi dan lama perendaman

yang lebih lama. Konsentrasi 0.3% menyebabkan kematian eksplan kalus mencapai 88% pada SGN-PV2.11, 100% pada klon 642 dan klon 377 pada lama perendaman 60-90 menit.

Pengaruh EMS terhadap kalus tersebut menandakan bahwa EMS secara mudah terabsorbsi oleh kalus. Penyerapan EMS oleh kalus dibantu dengan adanya DMSO yang diaplikasikan sebagai pelarut EMS. DMSO berperan penting dalam membantu peningkatan absorbsi dan penetrasi ke dalam jaringan (Khalatkar 1976).

Evaluasi keragaman fenotip varian

Konsentrasi EMS yang digunakan untuk mendapatkan varian yaitu E1 sampai dengan E5 yang merupakan konsentrasi baru untuk mendapatkan varian pada ketiga klon dengan lama perendaman yang sama yaitu 30 menit. Konsentrasi E1 yaitu konsentrasi 0.2% menunjukkan bahwa jumlah tunas yang dihasilkan relatif lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi yang lain yang semakin tinggi. Jumlah tunas yang terbentuk pada konsentrasi tersebut mencapai 108-218 plantlet, dan pada konsentrasi lebih dari 0.2% tunas yang terbentuk umumnya semakin sedikit.

Macam fenotip yang terjadi akibat pengaruh EMS terdiri atas 5 karakter abnormal yaitu daun bulat kerdil, ujung daun terbelah, daun tak beraturan, daun warna merah, daun terompet (Gambar 13a-f). Fenotip abnormal terbentuk hingga mencapai 20.9% pada konsentrasi 3.5% dari klon 377 dalam bentuk daun tidak beraturan. Persentase terkecil dari abnormalitas varian terdapat pada klon 642 yang terjadi pada perlakuan EMS E1 atau EMS 0.2% yaitu sebesar 0.9% (Tabel 14). Keragaman fenotip pada genotip SGN-PV2.11 meningkat antara 0.6- 16.5%, pada genotip 642 meningkat sebesar 0.9-6.2%, sedangkan genotip 377 meningkat antara 7.6-20.9%.

Perubahan fenotip ke arah abnormal pada ketiga klon berbeda. Pada klon 377 hanya terjadi 2 macam fenotip abnormal, klon 642 terdapat 4 macam fenotip abnormal, sedangkan SGN-PV2.11 terjadi 5 macam fenotip abnormal. Berdasarkan hal tersebut, berarti bahwa SGN-PV2.11 merupakan genotip yang paling mudah terpengaruh oleh perlakuan EMS. Klon 642 merupakan klon yang lebih tahan terhadap EMS karena selain jumlah fenotip yang lebih sedikit juga persentasenya lebih rendah dari pada persentase fenotip abnormal klon yang lain.

Tabel 15 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif abnormal diantara populasi varian klon 377, 642 dan SGN-PV2.11 yang diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan EMS setelah 16 MST.

Klon Phalaenopsis dan

karakter varian

Jumlah dan persentase varian diantara populasi plantlet yang diregenerasikan dari kalus dengan berbagai

perlakuan EMS

E0 E1 E2 E3 E4 E5

Klon SGN-PV2.11 315* 278 115 0 0 109

Daun bulat, kerdil 0 0 4(3.4) 0 0 6(5.5)

Ujung daun terbelah 0 3(1.07)) 0 0 0 0

Daun tak beraturan 0 5(1.7) 5(4.3) 0 0 18(16.5)

Daun warna merah 0 0 14(12.1) 0 0 7(6.4)

Daun terompet 2(0.6) ** 0 0 0 0 0

Klon 642 174 108 89 68 32 44

Daun bulat, kerdil 0 3(2.7) 4(4.4) 0 0 0

Ujung daun terbelah 0 1(0.9) 0 0 0 0

Daun tak beraturan 0 6(5.5) 5(5.6) 2(2.9) 2(6.2) 2(4.5)

Daun warna merah 0 0 0 0 0 0

Daun terompet 2(1.1) 0 2(2.2) 0 0 0

Klon 377 186 118 117 138 43 85

Daun bulat, kerdil 0 0 0 0 0 0

Ujung daun terbelah 0 9(7.6) 15(12.8) 11(7.9) 0 0

Daun tak beraturan 0 19(16.1) 17(14.5) 12(8.6) 9(20.9) 16(18.8)

Daun warna merah 0 0 0 0 0 0

Daun terompet 0 0 0 0 0 0

Keterangan : a* : angka yang ditunjukkan a = total plantlet yang dievaluasi. p(q)** : angka yang ditunjukkan oleh p = jumlah plantlet dengan fenotip varian dan q = persentase plantlet varian. E0 (EMS 0%), E1 (EMS 0.2%), E2 (EMS 0.25%), E3 (EMS 0.3%), E4 (EMS 0.35%), E5 (0.4%).

Varian akibat perlakuan EMS dengan fenotip normal memiliki jumlah kromosom yang bervariasi. Jumlah kromosom plantlet normal Phalaenopsis umumnya adalah 2n=2x=38. Pada varian klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 tanpa perlakuan EMS memiliki jumlah kromosom normal, tetapi pada plantlet yang berasal dari kalus yang diberi perlakuan EMS memiliki jumlah kromosom bervariasi. Beberapa contoh tanaman yang dianalisis jumlah kromosomnya terlihat pada gambar 14a-b, klon 377 dan 642 memiliki kromosom berjumlah 56. Perubahan jumlah kromosom banyak terjadi pada saat kalus mengalami pembelahan mitosis abnormal sehingga berbagai proses terjadi seperti poliploid, aneuploid, kromosom lengket dan sebagainya (Yuffa et al. 2000; Jander et al. 2003; Zhao et al. 2005).

Pada tanaman varian berdaun tidak beraturan dan ujung daun terbelah juga memiliki jumlah kromosom antara 38-50, tetapi pada varian kerdil jumlah kromosom

bisa lebih rendah dari jumlah kromosom normal yaitu 38. Hal berarti ada kemungkinan terjadi keabnormalan pada saat proses mitosis.

Gambar 13 Fenotip yang terbentuk karena pengaruh mutagen EMS (a) plantlet SGN- PV2.11/88E/E1/2.2 dengan ciri normal, (b) plantlet 377/23F/E1/1.7 dengan pertumbuhan daun abnormal, (c) plantlet 642/13F/E2/1.4 dengan pertumbuhan daun abnormal, (d) plantlet SGN-PV2.11/71E/E5/2.2 dengan pertumbuhan duduk daun rapat (e) SGN-PV2.11/.K4/E0/1.1 bentuk terompet, (f) plantlet SGN-PV2.11/54E/E5/3.1 berdaun bulat.

a

b

c

d

Gambar 14 Jumlah kromosom pada tanaman fenotip normal (a) jumlah kromosom 2n=2x=38 pada SGN-PV2.11/41E/E1/3.1, (b) jumlah kromosom 2n=3x=56 pada klon 377/22F/E2/5.4, (c) jumlah kromosom 2n=3x=56 pada 642/13F/E2/4.4.

Tabel 16 Jumlah kromosom beberapa mutan normal maupun abnormal pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang terjadi akibat perlakuan EMS

Klon Mutan dan Ciri Penampilan Plantlet Kisaran Rata-rata Jumlah Kromosom Klon SGN-PV2.11

SGN-PV2.11/41E//E/3.1, normal 38 - 56 SGN-PV2.11/54E/E5/3.1, kerdil 30 - 36 SGN-PV2.11/44E/E5/5.1, daun tak beraturan 36 - 44 SGN-PV2.11/ 2E/E1/6.3, ujung daun terbelah 37 - 46

Klon 642

642/15F/E1/1.6, normal 38 - 55

642/19F/ E5/8.4, daun tak beraturan 38 - 47 642/15F/E2/1.4, kerdil 32 - 39

Klon 377

377/22F/E2/2.2, normal 38 - 76

377/23F/E1/1.7, daun tak beraturan 38 - 50 377/23F/E1/2.7, daun terbelah 38 - 47

KESIMPULAN

1. Mutagen kimia EMS dapat menyebabkan penghambatan pembentukan tunas ketiga klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 sebesar 60 - 100% dengan perlakuan

konsentrasi 0.3 - 0.6% dan lama perendaman 30, 60, 90,120 menit.

2. LC50 perlakuan perendaman EMS pada kalus Phalaenopsis diketahui sebesar 0.28 - 0.32% dengan perendaman selama 19.4-38.7 menit.

3. Keragaman genetik pada SGN-PV2.11 dapat ditingkatkan sebesar 1.07% - 16.5%, pada 642 meningkat sebesar 0.9% - 6.2% dan pada klon 377 meningkat sebesar 7.6 - 20.9%.

4. Keragaman genetik yang timbul berupa ciri morfologi tanaman yang terdiri dari 5 macam yaitu normal, kerdil ujung daun terbelah dan duduk daun tidak beraturan.

DAFTAR PUSTAKA

Jander et al. 2003. Ethylmethanesulfonate saturation mutagenesis in Arabidopsis to determine frequency of herbicide resistance. Plant Physiol 131: 139-146.

Khalatkar AS. 1976. Influence of DMSO on the mutagenicity of EMS in barley. Bot Gazette 137 (4): 348-350.

Luan YS, Juan Z, Rong GX, Jia AL. 2007. Mutation induced by ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell Tissue Organ Cult 88 (1): 77-81

Minnot MJP, Warren JH. 2001. Meiotic and mitotic instability of two EMS-produced centric fragmentt in the haplodiploid wasp Nasonia vitropennis. J Heredity 87 (1) : 8-16

Nassar MN, Cucolo M, Miller SA. 2009. Ethyl methanesulphonate in a parenteral formulation of BMS-214662 mesylate, a selective fernasyltransferase inhibitor: formation and rate of hydrolisis. Pharm Dev Technol 14(6): 672- 677

Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. T eknik rekayasa genetik tanaman. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. hal 59-78

Pavadai P, Dhanavai D. 2004. Effect of EMS, DES and colchicines treatment in soybean. Crop Res-Hisar. Vol 28:118-120.

Rego VL, de Faria RT. 2001. Tissue culture in Ornamental plant breeding : Rev Crop Breed Appl Biotech. 1(3) : 283-300.

Roux NS. 2007. Banana Improvement. Plant Breeding Unit. FAO/IAEA Agriculture and Biotechnology Improveent. IAEA . Austria.

http://localhost/F:/lit%201maret%2007/Bana%20Improvement html.

Soniya EV, Banerjee NS, Das MR. 2001. Genetic analysis of somaclonal variation among callus-derived plant of tomato. Current Sci 80 (9): 1213-1215.

Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methanesulfonate (EMS) and N-nitrose- N-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J Cent Eur Agric. 6(1): 59-64

Yuffa AM, Da Silva RF, Rios L, de Enrech NX. 2000. Mitotic Aberrations in coffee (Coffea Arabica cv Catimor) leaf explantes and their derived embryogenic callii. EJB Electronic J Biotech 3(2):1-6.

Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) OC49, compared to conventional plants. Plant Cell Tisues Organ Cult 82: 357-361.

UJI IN VITRO KETAHANAN TERHADAP Erwinia carotovora subsp carotovora PADA VARIAN SOMAKLON PHALAENOPSIS