• Tidak ada hasil yang ditemukan

Phalaenopsis x Renanthera Phalaenopsis x Vandopsis

PEMBAHASAN UMUM

Di dalam pemuliaan anggrek Phalaenopsis, hingga saat ini, pengembangan masih mengarah pada perbaikan bunga saja. Perbaikan mutu dan kualitas dalam bidang ketahanan terhadap penyakit belum dijadikan tujuan penting, meskipun permintaan pasar terhadap bibit sehat dan bermutu sangat dibutuhkan. Hal ini terbukti dengan minimnya data-data yang mendukung pengembangan Phalaenopsis tahan penyakit. Budidaya Phalaenopsis di Indonesia juga belum mengenal penggunaan bibit berkualitas tinggi dan tahan penyakit hasil pemulia Indonesia sendiri. Kenyataan ini mendorong untuk terus melakukan penelitian mengenai Phalaenopsis tahan penyakit. Strategi penggunaan kultivar tahan penyakit merupakan strategi efisien untuk mendukung biokontrol penyakit (Sobiczewski 2008), mengingat lingkungan Indonesia yang beriklim tropis.

Pada pemuliaan konvensional, perbaikan tanaman melalui pembentukan kultivar tahan penyakit dapat terlaksana apabila tersedia sumber genetik dari sifat yang diinginkan. Sifat ketahanan terhadap penyakit busuk lunak pada anggrek belum diketahui secara pasti terdapat pada salah satu jenis anggrek terutama Phalaenopsis. Salah satu penelitian awal mengenai skrining terhadap Erwinia carotovora telah dilakukan oleh salah seorang peneliti tanaman hias, dan diketahui bahwa Phalaenopsis cornu-cervi dan Phalaenopsis amboinensis memiliki ketahanan terhadap penyakit busuk lunak (Handayati et al. 2004).

Berdasarkan informasi adanya Phalaenopsis yang diduga memiliki ketahanan terhadap penyakit busuk lunak, dikembangkan penelitian menggunakan materi klon yang memiliki keturunan Phalaenopsis spesies yang tahan yaitu Phalaenopsis amboinensis. Metode kombinasi keragaman somaklonal menggunakan mutagen fisik dan kimia serta pengujian terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora merupakan metode yang efektif, murah dan efisien dilaksanakan.

Langkah pertama yang dilakukan adalah inisiasi pembentukan kalus embriogenik 3 buah klon yaitu SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang merupakan klon hasil silangan Phalaenopsis komersial, pada media terpilih yaitu MI-3 yang mengandung 1/2 MS yang ditambah 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 thidiazuron, adalah berbeda beda. Faktor yang menentukan keberhasilan induksi kalus antara lain kandungan nutrisi media tanam, lingkungan, sumber eksplan yang digunakan, umur sumber eksplan dan genotip (Akin-Idowu 2009).

Dalam studi ini, faktor yang dilihat adalah faktor nutrisi dan genotip. Nutrisi dalam media yang digunakan terdiri atas unsur makro dan mikro serta vitamin dan zat

pengatur tumbuh. Komposisi media tersebut belum mampu mendorong pembentukan kalus 100%. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain komposisi media itu sendiri yang belum tepat, kesalahan teknis pada saat pengirisan eksplan sehingga misalnya menyebabkan eksplan agak kering, dan sebagainya. Faktor penyebab lain adalah genotip. Klon SGN-PV2.11 cenderung lebih mudah diinduksi dan diproliferasikan kalusnya bila dibandingkan dengan klon 642 dan 377. Klon SGN-PV2.11 lebih mudah diinduksi kalusnya karena kemungkinan tetua-tetuanya masih memiliki keturunan Phalaenopsis spesies yang masih memiliki ploidi yang lebih sederhana dari pada klon komersial yang lain. Klon komersial biasanya merupakan hasil beberapa kali silangan, oleh karena itu biasanya bersifat heterozygous dan juga mungkin ploidinya lebih tinggi.

Klon merupakan bagian dari suatu tanaman tunggal yang berdeferensiasi secara mitosis sehingga tidak memungkinkan terjadinya perubahan susunan genetik seperti halnya yang terjadi pada proses meiosis. Secara mendasar dalam suatu klon tidak ditemukan variasi, tetapi pengembangan variasi genetik suatu klon dapat diinduksi (Kodym & Afza 2003; Hutami et al. 2006).

Pada penelitian ini, dalam hal induksi variasi somaklonal melalui iradiasi, ada beberapa yang dapat dilihat antara lain: radiosensitivitas, perkembangan materi pasca iradiasi, dan persentase keragaman yang ditimbulkan. Ketiga hal tersebut saling berkaitan. Perlakuan iradiasi sinar gamma diketahui menyebabkan radiosensitivitas kalus ketiga klon berbeda. Klon 377 memiliki radiosensitivitas paling rendah dan klon 642 memiliki radiosensitivitas tertinggi, sedang klon SGN-PV2.11 menunjukkan radiosensitivitas di antara kedua klon tersebut di atas.

Radiosensitivitas merupakan ukuran sensitivitas materi terhadap iradiasi (Ashraf et al. 2003), seharusnya dapat dihubungkan dengan seberapa besar perubahan materi yang mampu ditimbulkan baik secara morfologi maupun genetik. Klon 377 yang memiliki radiosensitivitas rendah (tidak sensitive terhadap iradiasi), ternyata persentase perubahan morfologi yang ditimbulkan lebih besar daripada klon 642 yang teruji memiliki radiosensitivitas tinggi. Klon SGN-PV2.11 yang memiliki radiosensitivitas yang besarnya di antara klon 642 dan 377, ternyata persentase perubahan yang ditimbulkan lebih banyak.

Dari ketiga klon, daya regenerasi SGN-PV2.11 lebih besar dari pada 377 dan 642. Pada klon SGN-PV2.11 ini pula dapat dilihat bahwa dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5Gy menyebabkan daya regenerasi lebih tinggi dari pada daya regenerasi pada dosis

lebih rendah atau tinggi. Menurut beberapa peneliti, dosis iradiasi rendah umumnya dapat meningkatkan daya regenerasi kalus menjadi tanaman (Ahloowalia & Maluszynski 2001; Datta et al. 2005). Berdasarkan data kemampuan regenerasi, dosis iradiasi yang berada di sekitar LD20 –LD50 merupakan dosis yang dapat digunakan untuk meningkatkan variasi somaklonal. Mampu. Shirong (2008) dan Hussin et al. (2008) juga berpendapat sama yaitu bahwa dosis dibawah LD50 mampu meningkatkan munculnya varian lebih banyak.

Mutagen fisik iradiasi maupun mutagen kimia EMS, memiliki pengaruh yang sama pada penelitian ini. Keduanya dapat memunculkan varian-varian yang berbeda secara morfologi maupun sitologi, meskipun mekanisme mutagenesis keduanya berbeda. Menurut Kodym & Afza (2003), mutagen fisik iradiasi sinar gamma bersifat acak, menyebabkan banyak terjadi rekombinasi gen dan mutasi kromosom. Mutagen kimia bersifat lebih spesifik lokasi, banyak terbentuk heterokromatin, banyak fragmen kromosom dan lebih sedikit perubahan struktural.

Pada studi ini, varian iradiasi sinar gamma yang berfenotip abnormal terdiri atas daun bergerigi, daun terbelah, roset, merah dan berbentuk terompet, sedang varian EMS terdiri atas tanaman kerdil, daun terbelah ujungnya, duduk daun tak beraturan, warna daun merah dan daun berbentuk terompet. Secara sitologi, perubahan jumlah kromosom muncul dari beberapa varian hasil mutasi menggunakan EMS. Jumlah kromosom varian ada yang lebih tinggi dari jumlah kromosom yang normal yaitu 2n=2x=38. Beberapa varian ada yang memiliki kurang atau lebih dari jumlah kromosom normal. Perubahan jumlah kromosom menjadi lebih sedikit akibat mutagen EMS ini dapat dijelaskan dengan adanya proses yang disebabkan oleh alkilasi membentuk N-7 guanin di dalam asam nukleat atau nukleotida (Kim et al. 2004). Jumlah kromosom yang meningkat yang diakibatkan karena mutagen EMS seharusnya tidak terjadi, namun kenyataannya ditemukan pada satu varian. Hal ini dapat diduga bahwa ada kemungkinan proses penggandaan kromosom pada saat pembelahan cepat dan berulang pada proses proliferasi kalus sebelumnya, mengingat materi yang digunakan adalah kalus dan media yang digunakan mengandung zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Berdasarkan alasan kemampuan terbentuknya varian, mutagen fisik iradiasi sinar gamma maupun mutagen kimia EMS dapat dijadikan pilihan.

Fenotip abnormal yang timbul tidak semua bertahan sejak generasi ke 2, keabnormalan kembali normal pada seleksi diplontik. Pada generasi M1V4 hanya

beberapa plantlet yang tetap menjadi plantlet abnormal, di antaranya yang berbentuk kerdil. Hal ini menunjukkan bahwa variasi somaklonal yang ditimbulkan merupakan variasi epigenetik. Variasi epigenetik sangat sering terjadi melalui teknik kultur in vitro (Kaeppler et al. 2000).

Ketersediaan metode uji in vitro yang efektif dan mudah dilakukan merupakan langkah awal yang diperlukan bagi pemuliaan tanaman Phalaenopsis tahan penyakit. Metode uji yang dikembangkan harus mempertimbangkan aspek teknis pelaksaannya, yaitu mudah dilakukan, tetapi dapat menduga dengan akurat ketahanan tanaman yang diuji. Metode pelukaan dan penetesan suspensi bakteri merupakan metode yang sederhana dan mudah dilaksanakan secara in vitro. Inokulum sebanyak 10µl mampu menyebabkan infeksi pada plantlet. Metode ini juga harus didukung dengan lingkungan yang sesuai dengan lingkungan tumbuh bakteri yaitu pada suhu 28-30 °C (Charkowski 2006).

Secara umum, pengujian ketahanan varian somaklon yang dilakukan pada penelitian ini, suspensi bakteri dengan kerapatan sel 107cfu.-ml yang digunakan dapat menginfeksi plantlet-plantlet yang diinokulasi secara in vitro. Gejala awal infeksi erwinia pada daun plantlet mulai terjadi diketahui pada pengamatan 24 jam pertama setelah inokulasi. Intensitas penyakit meningkat selama 10 hari pengamatan. Laju infeksi penyakit busuk lunak ini sangat tinggi pada hari pertama, skor kebusukan daun mencapai 3-5 tergantung varian dari jenis klon yang digunakan.

Masa inkubasi penyakit busuk lunak pada semua varian, baik yang berasal dari mutagenesis dengan iradiasi sinar gamma maupun mutagenesis dengan perlakuan perendaman EMS, adalah sama yaitu selama 24 jam pertama setelah inokulasi. Varian dari mutagenesis dengan EMS lebih banyak dan lebih cepat mati bila dibandingkan dengan varian hasil iradiasi sinar gamma.

Keragaman genetik yang dihitung berdasarkan intensitas penyakit, dapat diketahui bahwa klon SGN-PV2.11 merupakan klon yang memiliki keragaman genetik yang agak sempit, sedangkan klon 377 dan 642 memiliki keragaman genetik yang sempit, dengan demikian mutasi meningkatkan keragaman sifat ketahanan terhadap busuk lunak terutama pada SGN-PV2.11 yang seharusnya sempit menjadi agak sempit, sedangkan dua klon lain induksi mutasi tidak begitu berpengaruh pada keragaman sifat ketahanan yang sempit.

Pengujian in vitro merupakan metode untuk mengefisienkan pengujian tanaman di lapangan sehingga hanya tanaman-tanaman yang telah terseleksi yang

menjadi materi pengujian sebenarnya. Pengujian sesungguhnya di lapangan akan menambah keakuratan hasil pengujian in vitro tersebut. Proses pengujian ketahanan tanaman terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan menunjukkan kesamaan dengan pengujian ketahanan secara in vitro. Reaksi yang terjadi akibat dari inokulasi tersebut seperti proses yang terjadi secara alami pada tanaman. Pola masa inkubasi, laju infeksi dan intensitas penyakit di lapangan terjadi sesuai dengan pola di dalam kultur in vitro. Beberapa varian potensial dapat dikategorikan menjadi mutan Phalaenopsis tahan dan agak tahan terhadap penyakit busuk lunak, yang berjumlah 14 mutan dari klon SGN- PV2.11, 6 mutan dari klon 642 dan 4 mutan dari klon 377. Mutan pilihan yang benar-benar dapat diandalkan adalah tanaman yang tidak terserang sama sekali yaitu yang berjumlah 4 mutan dari klon SGN-PV2.11, 2 mutan dari klon642 dan 1 mutan dari klon377.

Untuk menerangkan sifat ketahanan tanaman, telah dianalisis beberapa uji yaitu analisis konsentrasi peroksidase dan asam salisilat, serta isoenzim, karena komponen- komponen tersebut biasanya terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman pada fase awal. Secara alami tanaman akan bereaksi melawan serangan patogen dalam berbagai cara seperti membentuk hipersensitif cell death, memproduksi fitoalexin dan mengekspresikan protein PR termasuk sejumlah peptide antimikrobia (Kiba et al. 2003). Hasil uji menunjukkan bahwa kandungan asam salisilat, peroksidase dan esterase tidak berkorelasi positif terhadap ketahanan tanaman yang ditunjukkan berdasakan SKD. Hal ini menunjukkan dugaan bahwa ketiganya tidak terlibat dalam sistim pertahanan tanaman Phalaenopis pada saat terserang penyakit busuk lunak.

Beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan adalah bahwa bakteri Erwinia carotovora subsp carotovora adalah bakteri nekrotik. Bakteri nekrotik biasanya menginduksi alkaloid asam jasmonate atau ethylene dan bukan asam salisilat, meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya asam salisilat. Isoenzim peroksidase dan esterase maupun kandungan peroksidase juga tidak terlibat dalam sistim pertahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak. Hal ini terjadi karena pada proses inokulasi patogen ke tanaman, penetrasi dilakukan dengan sengaja yaitu melalui pelukaan, sehingga tidak ada proses pre-existing penyakit atau adanya proses pengenalan elisitor patogen dengan reseptor yang ada di tanaman. Dalam proses tersebut, tanaman sudah tentu tidak akan membentuk pertahanan yang berhubungan dengan pembentukan lignifikasi yaitu yang berhubungan dengan adanya peroksidase

dan esterase. Hal inilah yang menyebabkan ketiga senyawa tidak berkorelasi dengan sistim pertahanan tanaman.